Datas Ginting Suka
A. Proses Penuntutan Perkara Tindak Pidana Umum
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), proses penuntutan tindak pidana umum dilaksanakan sebagaimana tindak pidana lainnya. Tahapan tersebut terdiri dari: Pra Penuntutan, Penuntutan, Upaya Hukum dan Eksekusi, yang diuraikan sebagai berikut :
Pra Penuntutan
Berdasarkan Surat Perintah Untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan, Penuntut Umum melaksanakan tugas memantau jalannya penyidikan. KUHAP menerapkan prinsip diferensiansi fungsional dengan koordinasi penyidik yang dalam praktek justru mengkotak-kotakkan wewenang, sehingga kebanyakan Penuntut Umum cuma menunggu datangnya berkas. Prinsip koordinasi yang seharusnya sudah terjalin di tahap ini, tidak dimaknai dengan baik oleh penuntut umum maupun oleh penyidik, sehingga dalam penelitian berkas perkara hasil penyidikan terjadi bolak-balik berkas perkara. ketika hal ini terjadi, penuntut umum maupun penyidik bersikap saling tuduh tanpa membuat garis kompromi, untuk bersama-sama memadukan langkah bagi penegakan hukum yang lebih sinergis. Hal ini patut menjadi konsentrasi bagi kajian sistem Bunga Rampai Kejaksaan RI
Datas Ginting Suka
peradilan pidana ke depan, yaitu yang memadukan penyidik dan penuntut umum dalam suatu lembaga agar dapat menghasilkan proses penyidikan dan penuntutan yang lebih efektif dan eisien.
Kejaksaan sendiri sebenarnya telah berupaya membuat kebijakan untuk mengatasi permasalahan ini, yaitu dengan menerbitkan 3 (tiga) Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA), yaitu :
1. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-006/A/JA/10/2009 tanggal 30
Oktober 2009 tentang Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Umum
2. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-001/A/JA/02/2009 Tanggal
26 Pebruari 2009 tentang Penyelesaian Hasil Penyidikan serta
3. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-004/A/JA/02/2009 Tanggal
26 Pebruari 2009 tentang Meminimalisir Bolak baliknya Perkara Antara Penyidik dan Penuntut Umum.
Dalam beberapa ketentuannya, sudah dilakukan upaya strategis agar Penuntut Umum melakukan tugasnya dalam koordinasi dan konsultasi bahkan sejak diterimanya surat perintah untuk mengikuti perkembangan penyidikan diterima, sampai penelitian berkas perkara. Dan dalam koodinasi dan konsultasi dimaksud Penuntut Umum dapat segera mengambil langkah strategis untuk memutuskan apakah perkara yang ditangani penyidik adalah tindak pidana, tidak terjadi error in persona,
mengkonstruksikan apakah suatu perbuatan memenuhi unsur tindak pidana serta melaksanakan gelar perkara sebelum memberikan petunjuk yang menyatakan perkara tersebut bukan tindak pidana atau ada kekeliruan mengenai orangnya.
Persoalaannya kemudian apakah langkah koordinasi sinergis yang diharapkan terjadi, sudah berhasil dilakukan? Kenyataannya, menunjukkan banyak perkara yang menjadi isu nasional atau program prioritas penegakan hukum justru tidak mudah diselesaikan, dimana salah satu kendalanya adalah koordinasi yang tidak berjalan mulus. Dalam suatu kajian awal Penegakan Hukum Sumber Daya Alam yang dilaksanakan United Nation
Reformasi Penuntutan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum
Development Programme (UNDP) pada tanggal 29 Juli 2015 dalam konteks koordinasi di tingkat penyidikan. Salah satu yang diuji dalam kajian awal ini apakah penyidik kepolisian menandatangani Berita Acara Koordinasi dan Konsultasi yang diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-004/A/JA/02/2009 Tanggal 26 Pebruari 2009 Tentang Meminimalisir Bolak baliknya Perkara Antara Penyidik dan Penuntut Umum? Kajian menemukan fakta bahwa 36 persen penyidik dari kepolisian selalu menandatangani, 45 persen mengatakan tidak selalu menandatangani dan 18 persen mengatakan tidak pernah menandatanganinya. Padahal koordinasi ini dimaksudkan untuk mempermudah penyidik memenuhi petunjuk Penuntut Umum dan menyajikan berkas perkara hasil penyidikan yang dapat lebih cepat lolos screening, karena sudah dilaksanakan upaya koordinasi dan konsultasi sebelumnya. Dan terkait petunjuk Penuntut Umum kepada penyidik, dalam pandangan penyidik terbagi menjadi dua kelompok. Yaitu : satu kelompok mengatakan mudah dipahami (36 persen), tetapi mayoritas menjawab tidak mudah memahami petunjuk Penuntut Umum (64 persen)3.
Penuntutan
Pada tahap penuntutan, pembuatan surat dakwaan oleh Penuntut Umum adalah perwujudan kewenangan untuk menjalankan penuntutan terhadap semua tindak pidana yang masuk dalam lingkup Peradilan Umum yang hanya dapat dilakukan oleh Kejaksaan. Hal tersebut merupakan salah satu konsekuensi dari sistem Eropa Kontinental sehingga dikatakan Penuntut Umum sebagai pemegang fungsi dominus litis. Oleh karena posisi penuntutan Kejaksaan di antara penyidikan dan pemeriksaan pengadilan ini, maka fungsi Kejaksaan sebagai kunci pengendali perkara sangat penting untuk mendapatkan prioritas reformasi dalam rangkaian
3 UNDP, “Jalan Menuju Perbaikan Tata Kelola Hutan Di Indonesia”Kajian Awal
Implementasi Peraturan Bersama Penegakan Multi Hukum dan Terpadu Penanganan Kejahatan SDA-LH di Atas Kawasan Hutan dan Lahan Gambut, 29 Juli 2015
Bunga Rampai Kejaksaan RI Datas Ginting Suka
sistem peradilan pidana terpadu. Tidak ada petunjuk teknis khusus yang dikeluarkan Kejaksaan terkait surat dakwaan pasca reformasi birokrasi, tetapi Kejaksaan telah banyak memiliki petunjuk teknis penyusunan dakwaan yang baik selama ini. Hal yang sama berlaku bagi petunjuk teknis terkait hukum pembuktian.
Petunjuk Teknis pasca reformasi terkait penuntutan cukup banyak. Kesemuanya merupakan respon Kejaksaan untuk pelaksanaan penuntutan yang lebih mandiri, penyederhanaan sistem kerja dan mekanisme penanganan perkara yang efektif dan eisien. Petunjuk Teknis penuntutan diantaranya melalui :
1. Surat JAM Pidum Nomor: B-42/E/Ep.2/01/2011 tanggal 5 Januari
2011 tentang Pengendalian Rencana Tuntutan Perkara Penting dan
2. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: SE-013/A/JA/12/2011 tanggal 29
Desember 2011 tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.
Penuntutan dilakukan dengan tetap memperhatikan perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat, penuh kearifan dan keadilan, dimana pendelegasian kewenangan penuntutan diberikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri, kecuali untuk tuntutan bebas/lepas dari segala tuntutan, percobaan, seumur hidup atau pidana mati serta perkara tindak pidana umum tertentu yakni perkara tertentu yang menarik perhatian. Dan untuk jenis-jenis perkara penting antara lain perkara Sumber Daya Alam, Hak Kekayaan Intelektual maupun Narkotika/Psikotropika tetap dilaporkan secara berjenjang kepada Jaksa Agung R.I melalui JAM Pidum.
Merespon perkembangan hukum pula Kejaksaan berhasil menyusun Pedoman Penuntutan Perkara dengan Subjek Hukum Korporasi dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor: Per-028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 yang memberikan acuan bagi Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan sesuai dengan pertanggungjawaban pidana korporasi yang diatur dalam berbagai ketentuan undang-undang khusus di luar KUHP Reformasi Penuntutan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum
khususnya dalam kejahatan tindak pidana yang terorganisir, yang aturan formilnya baru akan diatur dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Disusul pula dengan Pedoman Pelaksanaan Diversi dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor: Per-006/A/JA/04/2015 tanggal 15 April 2015 sebagai respon pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Upaya Hukum dan Eksekusi
Pengajuan upaya hukum dan eksekusi telah diatur dalam berbagai petunjuk teknis, meskipun sejumlah perkembangan hukum sampai saat ini juga belum diberikan petunjuk teknis sebagai acuan bagi seluruh Jaksa di daerah. Namun, dalam manajemen pengelolaan barang bukti sudah dilakukan dengan surat JAM PIDUM Nomor: B-2000/E/Euh/07/2014 tanggal 2 Juli 2014 tentang Petunjuk Teknis Penertiban Penanganan Barang Bukti Yang Disita dalam Perkara Pidana.
B. Evaluasi terhadap Reformasi Penuntutan Perkara Tindak Pidana Umum
Secara normatif berbagai peraturan kebijakan dalam bentuk petunjuk teknis telah dibuat agar penanganan perkara tidak berlarut-larut dan memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Namun kemudian, yang menjadi masalah apakah seluruh jajaran Kejaksaan telah melaksanakannya dengan baik, apakah ada kendala dalam pelaksanaannya dan apakah membawa perubahan yang diharapkan dalam program percepatan? Jawaban dari pertanyaan ini menjadi sangat krusial untuk menentukan apakah reformasi penuntutan khususnya dalam tindak pidana umum hingga saat ini dianggap berhasil atau tidak berhasil.
Secara kuantitas baik dari jumlah perkara yang ditangani maupun yang diselesaikan dari tahun ke tahun semakin meningkat tajam. Namun, apakah hal tersebut secara kualitas telah mencerminkan penuntutan yang telah mereformasi diri, diperlukan kajian lebih lanjut. Beberapa fakta menunjukkan penyelesaian perkara yang justru menjadi isu strategis Bunga Rampai Kejaksaan RI
Datas Ginting Suka
nasional ternyata tidak memberikan peningkatan kepercayaan publik akan penuntutan yang bersih bebas korupsi,kolusi dan nepotisme, terutama dalam penegakan hukum di bidang kejahatan SDA, kekerasan terhadap perempuan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), utamanya yang memiliki predicate crime tindak pidana narkotika dan kesemuanya masuk dalam kewenangan bidang tindak pidana umum.
Namun, juga tidak sedikit penuntutan perkara tindak pidana umum membawa hasil yang gemilang seperti penuntutan terhadap tindak pidana perpajakan yang saat itu, masih dikendalikan oleh bidang tindak pidana umum. Dalam kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh Asian Agri Group, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor: 2239K/Pid. Sus/2012 tanggal 18 Desember 20124 , yang menghukum 14 (empat belas) anak perusahaan AAG dengan pidana denda pajak sebesar 2,5 trilyun, dan telah berhasil dieksekusi dan memasukkan Rp 2,5 triliun ke kas Negara. Dan eksekusi pidana mati terpidana narkotika yang sudah dilakukan dua gelombang dan menuang pro kontra namun berpotensi positif mengurangi kerusakan isik dan mental bangsa akibat kondisi darurat narkotika bangsa kita.
Mengingat besarnya perkara yang ditangani bidang tindak pidana umum, beban tugas mengoptimalkan keberhasilan penuntutan terutama dalam perkara-perkara prioritas memang cukup berat, namun diperlukan upaya-upaya yang strategis. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan optimalisasi keberhasilan reformasi penuntutan bidang tindak pidana umum,yakni: (1) Mengoptimalkan fungsi control; (2) Meningkatkan Supervisi/Bimbingan Teknis/Sosialiasi yang kompeten; (3) Spesialisasi penanganan perkara program prioritas; (4) Optimalisasi koordinasi yang sinergis; dan (5) Melanjutkan pembaruan perumusan dan penyusunan petunjuk teknis sesuai perkembangan hukum baru.
4 Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239K/Pid.Sus/2012 (Jakarta: Mahkamah Agung
RI., 2012) atas nama SUIWR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK dalam http://www. putusan.mahkamahagung.go.id, diakses tanggal 20 Mei 2014.
Reformasi Penuntutan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum
Mengoptimalkan Fungsi Kontrol
Di dalam menjaga penyelenggaran pemerintah selalu berada pada batas-batas yang diatur dengan hukum, maka setiap kekuasaan dan penyelenggaraan pemerintahan perlu diawasi sehingga tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN RB), menyebutkan fungsi kontrol ditujukan untuk menjamin seluruh proses obyek dan/atau kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai ketetapan yang berlaku, oleh karenanya menjadi sangat penting pengawasan terhadap aparat pemerintah sehingga kegiatan dalam pelaksanaan pembangunan berjalan dengan benar.
Berdasarkan Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diatur Pedoman Pelaksanaan Pengawasan dalam bentuk:
a. pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/atasan masing-masing satuan organisasi / satuan kerja terhadap bawahannya yang sering disebut pengawasan melekat atau “waskat” dan;
b. pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional yang bersangkutan yang sering disebut dengan pengawasan fungsional atau “wasnal”.
Lembaga pengawasan berfungsi sebagai upaya pencegahan dan penindakan terjadinya perbuatan menyimpang dan menyalahgunakan wewenang, sehingga tetap menjaga keprofesionalan kinerja aparat pemerintah. Namun, pengawasan baru bermakna manakala diikuti langkah tindak lanjut yang nyata dan tepat. Tanpa tindak lanjut, pengawasan tidak ada artinya. Satuan kerja mempunyai kewenangan pengawasan internal yang dilakukan melalui Pengawasan Fungsional (Wasnal) dan Pengawasan Melekat (Waskat). Pengawasan fungsional (Wasnal) adalah pengawasan oleh aparat yang tugas pokoknya membantu pimpinan, melaksanakan Bunga Rampai Kejaksaan RI
Datas Ginting Suka
pengawasan terhadap keseluruhan jajaran instansi bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Pengawasan ini membantu menjalankan fungsi pimpinan suatu manajemen organisasi yang tidak dapat dilakukan sendiri karena besarnya organisasi.
Di lingkungan Kejaksaan sendiri karena organisasinya yang terpusat dengan daerah hukum meliputi wilayah kekuasaan Republik Indonesia, maka waskat dilakukan secara berjenjang dari tingkat pusat sampai daerah, demikian pula yang berlaku dalam wasnal. Beberapa alat kontrol sudah disiapkan dalam melakukan pengawasan kinerja penanganan perkara antara lain:
1. Eksaminasi, dimaksudkan sebagai tindakan penelitian dan
pemeriksaan berkas perkara di semua tingkat penanganan perkara oleh setiap Jaksa/Penuntut Umum.
2. Pemeriksaan/Inspeksi Kasus, dimaksudkan pemeriksaan oleh
pejabat Pengawasan Fungsional berdasarkan laporan pengaduan (baik dari masyarakat, dari lembaga pemerintah tertentu, maupun dari pimpinan satuan kerja tertentu yang merupakan hasil atau tindak lanjut Pengawasan Melekat) atas terjadinya dugaan pelanggaran disiplin atau perbuatan tercela oleh Pegawai Negeri Sipil.
Meningkatkan Supervisi/Bimbingan Teknis/Sosialiasi yang Kompeten
Fungsi kontrol sebenarnya tidak melulu dilakukan dengan pengawasan, tetapi juga dengan supervisi, bimbingan teknis dan sosialisasi perlu dilakukan bahkan sebagai upaya “premium” sebelum pengawasan, mengingat tumpukan beban perkara yang dikerjakan oleh Penuntut Umum terutama di daerah. Beratnya beban tugas seringkali membuat Penuntut Umum di daerah terlena dalam penanganan perkara dan tidak sempat untuk meng-update perkembangan peraturan dan kebijakan teknis baru. Sosialiasi ini bisa menjadi fungsi pencegah yang efektif apabila dilakukan dengan serius, artinya diperlukan pembentukan Tim Supervisi/ Bimbingan Teknis/Sosialisasi yang kompeten untuk dapat memberikan
Reformasi Penuntutan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum
bimbingan teknis secara benar terkait peraturan-peraturan teknis yang terbaru. Perlakuan pengawasan setelah itu baru bisa dijalankan, apabila kebijakan-kebijakan teknis baru sudah diketahui dan dipahami oleh para pelaksana teknis yakni Jaksa Fungsional yang bekerja dalam penanganan perkara di seluruh Indonesia.
Spesialisasi Penanganan Perkara Program Prioritas
Pembagian beban perkara juga perlu dipertimbangkan, khususnya untuk penanganan perkara strategis yang menjadi isu khusus dalam pembangunan hukum nasional dan menjadi program prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang (RPJM/P). Artinya beberapa perkara memerlukan perhatian yang khusus sehingga perlu dibentuk tim yang berkonsentrasi pada bidang penanganan perkara tertentu. Pembentukan tim atau satuan tugas khusus ini mau tidak mau perlu dipertimbangkan mengingat penanganan perkara khusus tidak akan berhasil apabila para Penuntut Umum masih memiliki beban perkara lain. Padahal ketika suatu isu hukum berkembang, diperlukan penanganan yang “luar biasa” dengan ketrampilan dan pemahaman khusus/spesialis dalam bidangnya, agar juga dapat menghasilkan suatu penegakan hukum yang luar biasa.
Optimalisasi Koordinasi Yang Sinergis
Optimalisasi koordinasi yang sinergis juga merupakan kebutuhan mutlak dimana salah satu arah kebijakan dan strategi penegakan hukum yang berkeadilan adalah meningkatkan keterpaduan dalam Sistem Peradilan Pidana. Hal ini berarti, perlu upaya untuk mengaktikan peran Penuntut Umum dalam memantau perkembangan penyidikan serta bersinergi dengan penyidik melalui pemberian konsultasi, koordinasi dan konstruksi penerapan hukum yang lebih baik.
Salah satu hawa segar dalam penegakan hukum terpadu sebenarnya sudah dapat diwujudkan dalam setiap tindak pidana yang bersumber dari pelanggaran pidana lingkungan hidup pasca putusan Mahkamah Bunga Rampai Kejaksaan RI
Datas Ginting Suka
Konstitusi nomor: 18/PUU-XII/2014 tanggal 21 Januari 2015. Upaya ini menjadi salah satu terobosan pelaksanaan koordinasi yang lebih sinergis antara Penyidik-Penuntut Umum yang selama ini tidak dapat dilaksanakan sehubungan dengan keterbatasan ketentuan dalam KUHAP. Memulai upaya koordinasi sejak pada tahap penyelidikan dan dilakukan penyidikan secara terpadu oleh Penyidik bersama-sama dengan Penuntut Umum perlu dipikirkan dalam rangka percepatan penanganan perkara tindak pidana.
Melanjutkan Pembaruan Perumusan dan Penyusunan Petunjuk Teknis Sesuai Perkembangan Hukum Baru
Petunjuk Teknis yang menjadi bahan acuan penanganan perkara bagi Penuntut Umum di seluruh jajaran Kejaksaan perlu bersifat responsif terhadap perkembangan hukum baru. Ketiadaan bahan acuan menyebabkan Penuntut Umum kurang maksimal melaksanakan tugasnya, terjadi keraguan dan multi tafsir. Hal ini tentu sangat tidak kondusif dalam mendukung penegakan hukum yang memiliki kepastian hukum. Oleh karenanya perlu dibentuk tim perumus dan penyusun kebijakan teknis penanganan perkara tindak pidana umum yang khusus berkonsentrasi dalam merespon setiap perkembangan hukum baru dan segera merumuskan serta menyusunnya.
III. PENUTUP
Reformasi Birokrasi Kejaksaan sudah dilakukan dengan berbagai petunjuk teknis untuk percepatan penanganan perkara, namun perlu ditinjau kembali, seberapa jauh keberhasilan reformasi untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik khususnya di bidang penegakan hukum.
Beratnya beban bidang tindak pidana umum dengan berbagai variasi dan jumlah perkara yang ditangani, dapat diatasi dengan langkah-langkah upaya percepatan antara lain meningkatkan fungsi kontrol, peningkatan Reformasi Penuntutan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum
supervise/bimbingan teknis/sosialisasi dengan tim yang lebih kompeten dalam penguasaan bidang teknis, spesialisasi penanganan perkara-perkara yang masuk dalam prioritas agenda nasional pembangunan hukum, optimalisasi koordinasi yang sinergis serta membentuk tim yang khusus merumuskan dan menyusun kebijakan petunjuk-petunjuk teknis yang responsif dengan perkembangan hukum baru. Segala upaya yang dilakukan dengan komitmen, terencana dan sistimatis tentunya dapat membantu mewujudkan reformasi penuntutan tindak pidana umum menuju penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
Bunga Rampai Kejaksaan RI Datas Ginting Suka
DAFTAR PUSTAKA
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239K/Pid.Sus/2012 (Jakarta: Mahkamah Agung RI., 2012) atas nama SUIWR LAUT alias LIU CHE SUI alias ATAK dalam http://www.putusan. mahkamahagung.go.id, diakses tanggal 20 Mei 2014.
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114/PUU-X/2012 dalam http:// www putusan mahkamahagung.go.id, diunduh tanggal 5 Januari 2014
Reformasi Birokrasi Kejaksaan dalam http://www.kejaksaan.go.ide, diakses tanggal 16 Agustus 2015
UNDP, “Jalan Menuju Perbaikan Tata Kelola Hutan Di Indonesia”, Kajian Awal Implementasi Peraturan Bersama Penegakan Multi Hukum dan Terpadu Penanganan Kejahatan SDA-LH di Atas Kawasan Hutan dan Lahan Gambut, 29 Juli 2015
Reformasi Penuntutan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum