Kejaksaan
Ferdinand T. Andi Lolo
Anggota Komisi Kejaksaan Republik Indonesia Periode 2015-2019, Jakarta
Abstrak
Komisi Kejaksaan dibentuk sebagai salah satu langkah pengawasan untuk pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan baik di lingkungan Kejaksaan. Tugas pokok Komisi Kejaksaan mencakup 3 (tiga) hal yaitu : pengawasan, pemantauan dan penilaian yang hasilnya akan direkomendasikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti. Karena itu, Komisi dan Jaksa Agung harus menjadi mitra strategis dalam melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap Jaksa dan pegawai Kejaksaan. Tulisan ini akan menjabarkan enam matra yang menjadi fokus pelaksanaan tugas Komisi dalam jangka pendek dan jangka menengah.
Kata Kunci : Komisi Kejaksaan RI, Jaksa Agung, Pengawasan
Abstract
Prosecutorial Commission was established as one of the control measures for the implementation of clean government and good in the AGO. he principal tasks Prosecutorial Commission includes three (3) areas: surveillance, monitoring and assessment. he results are recommended to the Attorney General for further action. herefore, the Commission and the Attorney General should be the strategic partner in conducting surveillance, monitoring and assessment of prosecutors and employees of the Prosecutor. his paper will describe the six dimensions that became the focus of the implementation of the Commission’s task in the short and medium term
I. PENDAHULUAN
Komisi Kejaksaan Republik Indonesia lahir berdasarkan pasal 38 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) dan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut Komisi). Tugas pokok Komisi Kejaksaan mencakup 3 (tiga) macam yaitu : pengawasan, pemantauan dan penilaian. Hasil pengawasan, pemantauan dan penelitian kemudian direkomendasikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti.
Pada 6 Agustus 2015, Presiden telah melantik 9 (sembilan) anggota Komisi periode 2015-2019 yang merupakan komisioner periode ke-3, sejak Komisi Kejaksaan dibentuk1. Pasca pelantikan, dilakukan kunjungan kehormatan ke Kejaksaan Agung RI yang diterima oleh Jaksa Agung dan jajaran pimpinan Kejaksaan Agung. Dalam pertemuan tersebut kedua belah pihak sepakat untuk bersinergi dengan melakukan kemitraan strategis. Jaksa Agung Prasetyo menegaskan kembali komitmennya yang diberikan di istana negara seusai pelantikan para komisioner bahwa Kejaksaan akan membuka akses seluas-luasnya kepada Komisi dan mengharapkan masukan-masukan yang konstruktif dari Komisi untuk lebih memberdayakan korps Adhiyaksa.
Dan Komisi menyambut baik keterbukaan dan komitmen Jaksa Agung untuk membangun komunikasi yang lebih baik dan beretika serta meningkatkan koordinasi hingga tataran lapangan. Komisi dan Kejaksaan sepakat untuk bersama-sama meningkatkan kualitas organisasi Kejaksaan di enam matra, yaitu: (i) Kapasitas dan Kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM); (ii) Kesejahteraan personil; (iii) Operasi yang efektif dan eisien; (iv) Dukungan logistik yang memadai; (v) Pengamanan personil dan asset; 1 Komisi Kejaksaan beranggotakan tiga orang dari unsur pemerintah yaitu: Sumarno;
Yuswah Kusumah; dan Tudjo Pramono dan enam orang dari unsur masyarakat yaitu: Erna Ratnaningsih; Ferdinand T. Andi Lolo; Pultoni; Barita Simanjuntak; Yuni Arta Manalu; Indro Sugianto.
Bunga Rampai Kejaksaan RI Ferdinand T. Andi Lolo
serta (vi) perbaikan sistem penghargaan dan tindakan disiplin (reward and punishment).
Tulisan ini akan menjabarkan enam matra yang menjadi fokus pelaksanaan tugas Komisi dalam jangka pendek dan jangka menengah. Sebelumnya, akan dilakukan analisis Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Komisi serta potensi-potensi masalah dalam pelaksanaannya, dan kemudian menjabarkan enam matra yang menjadi fokus pelaksanaan tugas Komisi.
II. PEMBAHASAN
A. Analisis Tugas Pokok dan Fungsi Komisi Kejaksaan
Pembentukan Komisi Kejaksaan merupakan suatu langkah pengawasan dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan baik dilingkungan Kejaksaan. Tugas Komisi sendiri mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2011 (“Perpres 18/2011”). Pasal 3 yang berbunyi:
Komisi Kejaksaan mempunyai tugas:
a. Melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau Pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kode etik;
b. Melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap perilaku jaksa dan/atau pegawai kejaksaan baik di dalam maupun di luar kedinasan; dan
c. Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, tata kerja, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan
Pasal ini memberikan tiga tugas utama kepada Komisi yaitu: melakukan pengawasan; pemantauan dan penilaian. Tidak ada penjelasan dari pasal tersebut tentang deinisi dan batasan ketiga tugas utama tersebut.
Membangun Sinergi dan Kemitraan Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan
Dengan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk ketiga terminologi diatas, penulis secara kontekstual mengartikan tugas pertama yaitu “pengawasan”, sebagai “melihat dan memperhatikan dengan seksama kinerja dan perilaku personil Kejaksaan, baik itu Jaksa maupun Pegawai Kejaksaan; kondisi organisasi; operasi; dan sumber daya manusia Kejaksaan.” Tugas kedua yaitu “pemantauan” penulis artikan sebagai “mengamati dengan cermat secara khusus kinerja dan perilaku personil Kejaksaan, baik itu Jaksa maupun Pegawai Kejaksaan; kondisi organisasi; operasi; dan sumber daya manusia Kejaksaan.” Tugas ketiga yaitu “penilaian” penulis artikan sebagai “menentukan kadar atau mutu atau kualitas kinerja dan perilaku personil Kejaksaan; kondisi organisasi; operasi; dan sumber daya manusia Kejaksaan.”
Sepintas terminologi “pengawasan” dan “pemantauan” membingungkan, karena adanya kemiripan pada keduanya. Ditambah lagi, KBBI juga mengartikan “pemantauan” sebagai “pengawasan.” Lalu mengapa Perpres 18/2011 membagi tugas Komisi menjadi tugas pengawasan dan tugas pemantauan padahal pada hakekatnya pelaksaan kedua tugas tersebut merujuk pada kegiatan atau tindakan yang sebenarnya sama? Tidak ada alasan yang diberikan mengenai hal ini, sehingga penulis berinisiatif untuk menjelaskannya melalui interpretasi pemaknaan.
Ketika melakukan “pemantauan” sebenarnya Komisi telah menjalankan tugas pengawasan namun tugas pengawasannya bersifat pasif. Artinya komisi melakukan observasi (mengamati dan mencatat) pada aktivitas personil; kondisi struktur dan aspek operasional Kejaksaan. Ketika melakukan “pengawasan” maka Komisi menjalankan tugas pengawasan secara aktif. Artinya tidak hanya sebatas melakukan observasi namun juga dapat melakukan tindakan-tindakan korektif jika diperlukan.
Jika mengacu pada interpretasi pemaknaan diatas maka Pasal 3 ini kurang memperhatikan tata urutan logis pelaksaan tugas komisi. Pasal ini mengurutkan tugas komisi sebagai berikut: (1) pengawasan; (2)
Bunga Rampai Kejaksaan RI Ferdinand T. Andi Lolo
pemantauan; dan (3) penilaian. Seyogyanya tata urutan tugasnya adalah sebagai berikut: (1) pemantauan; (2) penilaian; dan (3) pengawasan. Tugas pertama komisi adalah melakukan pemantauan terhadap Sumber Daya Manusia; struktur dan operasi Kejaksaan. Jika kita analogikan dengan tindakan dalam dunia medis, maka tugas pertama Komisi adalah melakukan diagnosa secara akurat untuk menentukan masalah apa yang ada pada Kejaksaan dan penyebab timbulnya masalah tersebut. Setelah masalah dapat di inventarisir, maka komisi menjalankan tugas keduanya yaitu penilaian. Dalam konteks ini, Komisi memberikan semacam asesmen untuk secara konkrit menentukan tingkat masalah sehingga ada klasiikasi sesuai dengan situasinya. Ada masalah yang dapat dikategorikan sebagai masalah ringan; ada yang dapat dikategorikan sebagai masalah sedang dan ada yang dapat dikategorikan sebagai masalah berat. Dengan adanya klasiikasi masalah-masalah kemudian dapat ditentukan skala prioritas dan akhirnya dapat ditentukan metode penanganannya. Hasil penilaian terkait kondisi aktual lapangan ditindak lanjuti dengan rekomendasi perbaikan kepada Jaksa Agung dan pimpinan Kejaksaan.
Setelah masalah-masalah dapat dinilai (melalui assessment) maka selanjutnya Komisi menjalankan tugas ketiganya yaitu melakukan pengawasan atas tindak lanjut dari Kejaksaan terhadap rekomendasi yang diberikan. Sebagaimana telah disebutkan diatas, pengawasan ini adalah pengamatan aktif artinya komisi menjalankan fungsi kontrol. Ketika ada rekomendasi yang tidak dijalankan atau dijalankan tidak sebagaimana mestinya maka komisi berwenang untuk meminta penjelasan dari unit terkait jika diperlukan. Jika masih belum ada respons yang memadai, maka Komisi dapat meminta penjelasan kepada Jaksa Agung dan bahkan dapat memberikan laporan kepada Presiden jika pada level Jaksa Agung masalah belum dapat terselesaikan.
Pasal 3 memberikan ruang lingkup tugas yang sangat luas kepada Komisi, karena bukan saja harus melakukan pemantauan, penilaian dan pengawasan personil saat menjalankan dinas namun juga saat personil Membangun Sinergi dan Kemitraan Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan
berada di lingkungan masyarakat atau sedang menjalankan fungsi pribadinya. Luasnya tugas komisi berbanding terbalik dengan sumber daya manusia yang dimilikinya. Dengan hanya sembilan komisioner, Komisi praktisi dibebani tugas selama 24 jam memantau, menilai dan mengawasi personil Kejaksaan. Tugas ini semakin berat karena selain keterbatasan sumber daya manusia, komisi juga menghadapi kendala besarnya jumlah personil Kejaksaan dan kendala geograis mengingat luasnya wilayah kerja Kejaksaan yang meliputi seluruh Indonesia.
Untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan tugas pemantauan, penilaian dan pengawasan sebagaimana disebut diatas, maka Komisi dapat menjalankan kemitraan strategis dengan elemen-elemen masyarakat. Kemitraan strategis dapat dilakukan dengan kalangan akademisi maupun dari kalangan lembaga non pemerintah, yang memiliki kapasitas dan kapabilitas serta kepentingan untuk mewujudkan institusi Kejaksaan yang memiliki personil-personil berintegritas dan profesional.
Untuk mewujudkan kemitraan strategis ini diperlukan perluasan jaringan (networking). Jaringan yang ada saat ini, yaitu adanya kemitraan dengan beberapa universitas, masih terlalu kecil dan belum cukup untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Dengan diperluasnya kemitraan strategis maka komisi dapat hadir di lebih banyak wilayah melalui representasi mitra-mitranya. Namun ,perlu diperhatikan juga bahwa dengan keterbatasan anggaran maka pilihan kemitraan menjadi terbatas. Komisi pada saat ini belum mampu menanggung biaya operasional mitra- mitranya sehingga diharapkan mitra dapat membiayai operasinya sendiri. Hal ini tentu mengurangi antusiasme mitra-mitra potensial mengingat anggaran operasi sering menjadi kendala kegiatan.
Pasal 3 tidak hanya berhenti dengan memberikan tugas kepada komisi kejaksaan terkait dengan aspek sumber daya manusia Kejaksaan (lingkup tugas pertama), namun masih menambah tugas-tugas lain, yaitu melakukan pemantauan, penilaian dan pengawasan kondisi organisasi
Bunga Rampai Kejaksaan RI Ferdinand T. Andi Lolo
Kejaksaan (lingkup tugas kedua). Hal ini tidak mudah karena beberapa faktor, selain keterbatasan komisioner, diantaranya adalah rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi Kejaksaan. Hal ini nampak dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian Kompas pada Januari 2015, yang menunjukkan hasil bahwa dari 100 (seratus) responden yang ditanya tingkat kepercayaannya terhadap lembaga-lembaga penegak hukum, hanya 3 (tiga) responden yang percaya pada Kejaksaan. Kepolisian RI yang melakukan banyak tindakan kontroversial di mata masyarakat, seperti adanya dugaan kriminalisasi terhadap pegiat-pegiat anti korupsi, melindungi rekan-rekan satu korps yang diduga menumpuk harta kekayaan secara tidak sah atau lebih dikenal dengan “rekening gendut,” justru lebih banyak mendapat kepercayaan responden,yaitu 12 (dua belas) responden menyatakan masih percaya kepada polisi. Ditempat tertinggi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipercaya 67 (enam puluh tujuh)responden. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat dapat dijadikan salah satu indikator kurang bagusnya kondisi organisasi. Komisi berkewajiban untuk berkoordinasi dengan Jaksa Agung dan pimpinan Kejaksaan untuk mengidentiikasi faktor-faktor yang menyebabkan buruknya kondisi organisasi serta merekomendasikan tindakan-tindakan segera (quick wins), maupun tindakan-tindakan jangka menengah dan jangka panjang untuk menyehatkan organisasi Kejaksaan dan memulihkan kepercayaan masyarakat.
Lingkup tugas komisi berikutnya, adalah melakukan pemantauan, penilaian dan pengawasan terkait operasional Kejaksaan atau disebut sebagai tata kerja (lingkup tugas ketiga). Komisi menghadapi tantangan berbeda dibandingkan dengan tugas-tugas yang lain. Tantangan Komisi disini adalah tantangan internal dan eksternal. Tantangan internal adalah ego sektoral antar unit; adanya kepentingan-kepentingan terselubung (vested interest) para personil atau pengambil keputusan dan kurangnya kapasitas dan kapabilitas para personil2.
2 Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Efendy dalam suatu
Membangun Sinergi dan Kemitraan Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan
Kejaksaan memiliki Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) yang dipimpin oleh seorang pejabat setingkat Jaksa Agung Muda (Eselon I) dan memiliki unit kerja dibawah Jaksa Agung Muda Pembinaan yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan. Kerjasama kedua unit tersebut, seharusnya bisa memetakan kebutuhan-kebutuhan riil Kejaksaan. Sehingga dapat diprogramkan rekrutmen serta pendidikan dan pelatihan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Jaksa dan pegawai kejaksaan dapat direkrut dengan metode-metode tertentu, untuk memenuhi kebutuhan personil yang memiliki kapasitas dan kapabilitas operasi, baik sendiri maupun berkoordinasi dengan unit-unit lain secara internal (antar unit) dan secara eksternal (antar instansi maupun antar yurisdiksi).
Sedangkan, tantangan eksternal adalah kurangnya koordinasi antar lembaga penegak hukum dan instansi-instansi terkait penegakan hukum, sehingga menyulitkan Kejaksaan menjalankan operasinya secara optimal. Tantangan eksternal lainnya, adalah kurangnya jaksa yang memiliki kemampuan dalam melaksanakan operasi-operasi lintas yurisdiksi. Diperlukan jaksa-jaksa dengan kualiikasi khusus untuk melaksanakan tugas-tugas seperti itu namun kapasitas dan kapabilitas jaksa masih terbatas.
Selanjutnya, lingkup tugas Komisi yang terakhir (lingkup tugas
brieing internal dengan satuan khusus anti korupsi yang penulis hadiri selaku jaksa penyi- dik pada Satuan Khusus tersebut mengemukakan satu masalah penanganan perkara ter- kait koordinasi antara Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum. Perkara yang disebut Marwan adalah perkara pemer- iksa keberatan pajak Gayus Tambunan. Pihak Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus berpendapat bahwa perkara Gayus harus ditangani menggunakan jalur pidana khusus karena Gayus adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang menyalah gunakan kewenangannya selaku pemeriksa keberatan pajak (melakukan perbuatan melawan hukum) sehingga men- imbulkan kerugian bagi negara (pajak yang seharusnya diterima oleh negara tidak masuk ke kas negara karena Gayus menerima keberatan wajib pajak tanpa dasar-dasar yang sah).
Pihak Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum menolak melakukan penyerahan perkara kepada pihak Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan memilih menggunak- an skema tindak pidana umum terhadap Gayus yang ancaman hukumannya lebih ringan daripada skema tindak pidana khusus dan juga tidak ada penyitaan harta benda Gayus yang diduga merupakan hasil tindak pidananya.
Bunga Rampai Kejaksaan RI Ferdinand T. Andi Lolo
ke empat) adalah penanganan terkait dengan sarana dan prasarana. Tantangan yang dihadapi Komisi adalah kurang memadainya sarana dan prasarana Kejaksaan, baik untuk kepentingan yustisi operasional maupun untuk kepentingan administrasi. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, sedikit banyak akan mempengaruhi kinerja jaksa dan pegawai kejaksaan, dan pada gilirannya akan berimbas pada efektivitas dan eisiensi operasi personil. Sebagai contoh, adalah penanganan barang bukti. Walaupun disetiap Kejaksaan Negeri terdapat ruang barang bukti dan ada petugas yang bertanggung jawab, namun pada kenyataannya banyak jaksa yang tidak menggunakan ruang barang bukti. Alasannya, karena dinilai tidak praktis dan tidak memadai jika barang buktinya berukuran besar.
Jaksa terbiasa menyimpan barang bukti di ruangannya untuk kemudahan akses, sedangkan petugas barang bukti mengerjakan pekerjaan lain yang tidak terkait tugasnya, misalnya pengawalan tahanan. Sarana penyimpanan barang bukti yang tidak memadai dapat berdampak pada integritas barang bukti itu sendiri, misalnya barang bukti bisa berkurang, rusak, diganti dengan barang lain atau bahkan hilang. Pengangkutan barang bukti ke persidangan juga menjadi kendala, karena jaksa dibebani beban berlipat ganda, bukan hanya harus melakukan manajemen penanganan perkara di pengadilan; mengatur atau mengkoordinasikan kehadiran saksi, ahli dan terdakwa tetapi juga menangani sendiri pergerakan barang bukti dari kantor Kejaksaan ke ruang sidang dan membawanya kembali ke kantor Kejaksaan.
Wewenang Komisi Kejaksaan
Analisis diatas memberikan gambaran betapa luasnya tugas Komisi dan betapa banyaknya lingkup yang harus ditangani beserta kerumitannya masing-masing, namun di sisi lain kewenangan yang diberikan oleh Perpres 18/2011 sangat terbatas. Kewenangan yang diatur didalam Perpres, sebagian besar hanya terkait dengan tugas pengawasan- dan itupun hanya diberikan secara limitative. Komisi tidak dapat melakukan
Membangun Sinergi dan Kemitraan Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan
tindakan tindakan korektif ataupun represif. Komisi sangat terbelenggu dengan pembatasan-pembatasan dalam penugasannya sehingga tidak dapat mencapai hasil optimal jika harus turun ke lapangan. Untuk lebih jelasnya, berikut kutipan dari Pasal 4:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Komisi Kejaksaan berwenang:
a. Menerima dan menindak lanjuti laporan atau pengaduan masyarakat tentang kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
b. Meneruskan laporan atau pengaduan masyarakat kepada Jaksa Agung untuk ditindak lanjuti oleh aparat pengawas internal Kejaksaan;
c. Meminta tindak lanjut pemeriksaan dari Jaksa Agung terkait laporan masyarakat tentang kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan;
d. Melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan atas pemeriksaan yang telah dilakukan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan;
e. Mengambil alih pemeriksaan yang telah dilakukan oleh apparat pengawas internal Kejaksaan; dan
f. Mengusulkan pembentukan Majelis Kode Perilaku Jaksa
Pasal 4 huruf a dan huruf b menunjukkan kontradiksi pelaksanaan wewenang komisi. Pada huruf a, Perpres memberikan wewenang kepada komisi untuk melakukan tindak lanjut atas laporan atau pengaduan masyarakat, namun ternyata yang dimaksud dengan “tindak lanjut,” adalah tidak lebih dari tindakan meneruskan laporan atau pengaduan itu ke aparat pengawasan internal Kejaksaan untuk ditangani. Artinya, wewenang komisi direduksi oleh Perpres hanya menjadi sekadar tempat penampungan laporan atau aduan masyarakat dan tidak dapat mengambil tindakan yang perlu atau menentukan metode atau mekanisme apa yang akan dipakai dalam menindak lanjuti laporan atau pengaduan masyarakat. Jadi secara faktual, Komisi hanya menjadi semacam perpanjangan tangan (ekstensi) atau instrumen pelengkap (suplemen) dari aparat internal Bunga Rampai Kejaksaan RI
Ferdinand T. Andi Lolo
pengawasan.
Hal tersebut, tentu bertentangan dengan hakekat Komisi Kejaksaan sebagai lembaga non struktural yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. Kemandirian komisi tidak terlihat, karena hanya bisa menindaklanjuti laporan atau pengaduan masyarakat dengan cara meneruskannya, dan itupun tidak dapat secara langsung ke aparat internal pengawasan Kejaksaan, karena Perpres mengharuskan laporan atau pengaduan tersebut melalui Jaksa Agung terlebih dahulu. Rantai penyampaian laporan atau pengaduan yang panjang ini, (masyarakat – Komisi Kejaksaan – Jaksa Agung – aparat pengawasan internal Kejaksaan) sangat tidak eisien dan berpotensi untuk menjadi tidak efektif. Sangat tidak eisien, karena Jaksa Agung memiliki beban kerja yang berat dan bukan hanya menangani pengaduan dari masyarakat. Memang bukan Jaksa Agung sendiri atau staf di Kantor Jaksa Agung yang menangani perkara tersebut, namun ada serangkaian proses dan prosedur birokrasi yang harus dilewati, sebelum sampai ditangan aparat pengawasan internal Kejaksaan. Proses dan prosedur tersebut, memakan waktu tidak sedikit, tergantung seberapa cepatnya Jaksa Agung mendisposisi penerusan laporan atau pengaduan ke bidang Pengawasan dan seberapa cepat pula staf Jaksa Agung menyelesaikan proses administrasi penerusan laporannya itu. Mengingat tingkat kesibukan dan skala prioritas bagi seluruh hal yang masuk ke lingkup Jaksa Agung, maka proses dari Kantor Jaksa Agung untuk dikirim ke Bidang Pengawasan akan memakan waktu lama. Akibatnya, pelapor tidak bisa mendapatkan kepastian kapan laporan atau pengaduannya, akan ditangani oleh aparat internal pengawasan Kejaksaan. Rangkaian proses dan prosedur ini membuat penanganan laporan atau pengaduan menjadi tidak eisien.
Rantai pelaporan atau pengaduan masyarakat yang diciptakan Perpres 18/2011 justru melemahkan posisi Komisi, dan bukannya menguatkannya. Masyarakat akan lebih memilih langsung melapor atau mengadu kepada aparat pengawasan internal Kejaksaan daripada ke Komisi Kejaksaan,
Membangun Sinergi dan Kemitraan Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan
karena jika langsung melapor kepada bagian pengawasan, maka laporannya langsung ditangani. Prosesnya lebih singkat karena tidak perlu melalui Komisi Kejaksaan dan tidak perlu melalui Jaksa Agung. Terlebih lagi bagi masyarakat didaerah. Masyarakat didaerah tentunya akan lebih memilih laporan langsung ke bagian pengawasan, karena jika melalui Komisi maka rantainya akan menjadi lebih panjang. Yaitu : pertama laporan atau aduan masuk ke Komisi; kedua, diteruskan ke Jaksa Agung; ketiga, staf Jaksa Agung menangani administrasi penerusan laporan atau pengaduan setelah ada disposisi dari Jaksa Agung; keempat, diteruskan ke Bagian Pengawasan; kelima Bagian Pengawasan akan mempertimbangkan apakah laporan ditangani atau diteruskan lagi ke bagian Pengawasan di Kejaksaan Tinggi didaerah pelapor. Jika diteruskan, berarti ada enam proses (yaitu penerusan perkara ke Kejaksaan Tinggi setempat). Sedangkan jika pelapor daerah melaporkan langsung ke Kejaksaan Tinggi setempat maka laporan atau pengaduan itu dapat segera ditangani. Karena hanya satu rantai yaitu: pelapor-Kejaksaan Tinggi.
Selain panjangnya rantai pelaporan dan dimungkinkannya mekanisme pelaporan langsung dari masyarakat ke aparat internal yang membuat wewenang komisi praktis mubazir, adalah tidak adanya batas waktu penanganan atau penerusan oleh Jaksa Agung. Pasal 5 ayat 2 huruf a membatasi waktu pemeriksaan oleh aparat pengawas internal Kejaksaan yaitu maksimum 3 (tiga) bulan sejak laporan itu ditangani. Namun, tidak ada batas waktu bagi Jaksa Agung untuk meneruskan laporan atau pengaduan yang disampaikan masyarakat melalui komisi. Hal ini menimbulkan dua masalah.
Masalah pertama: Jaksa Agung bisa tidak meneruskan laporan tersebut kepada aparat pengawas internal tanpa adanya sanksi atau konsekuensi apapun. Jika laporan atau pengaduan tersebut tidak ditindak lanjuti (di
peti es kan), wewenang paling jauh yang dimiliki oleh Komisi hanyalah meminta keterangan dari Jaksa Agung atau mendorong tindak lanjut laporan atau pengaduan oleh Jaksa Agung. Seandainya, Jaksa Agung