• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dahulu sungai merupakan elemen yang sangat penting karena menjadi jalur transportasi utama. Kedatangan bangsa Proto Melayu dari Tiongkok Selatan pada 4 000 tahun SM ke Kerinci melalui jalur sungai mulai dari Selat Berhala lalu masuk ke Sungai Batanghari hingga Batang Merangin dan sampai ke Danau Kerinci (Zakaria 1973). Demikian juga pada masa pemerintahan Sigindo dan Depati Empat Delapan Helai Kain transportasi yang digunakan adalah menggunakan biduk atau sampan melalui sungai. Setelah kedatangan bangsa Belanda, mulai dibangun jalan-jalan aspal dari berbagai penjuru dengan pusat sirkulasinya di Kota Sungai Penuh. Jalan yang dibangun oleh bangsa Belanda ini selain sebagai jalur pergerakan manusia juga digunakan untuk pergerakan artileri atau kendaraan militer Belanda. Keberadaan akses jalan ini membuat permukiman

37 semakin berkembang dan sungai sebagai jalur transportasi mulai ditinggalkan dan sudah tidak manfaatkan lagi hingga saat ini.

Demikian halnya dengan Sungai Bungkal yang berada di antara Rumah Larik Enam Luhah dan Rumah Larik Dusun Baru. Sungai ini memiliki lebar sekitar 10 – 15 m dan dahulu kondisinya masih sangat alami dan aliran airnya juga baik digunakan untuk transportasi. Namun, kondisinya saat ini sudah jauh berubah disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Pada saat musim hujan, aliran sungai ini menjadi sangat deras dan sering membawa batu-batu besar dari hulu. Sedangkan pada saat musim kemarau, aliran airnya menjadi sangat kecil dan dangkal. Sungai ini juga menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat yang tinggal di Rumah Larik Enam Luhah dan Rumah Larik Dusun Baru. Di sempadan sungai sudah dibangun jalan dengan lebar sekitar 4 m pada kedua sisinya yang menjadi akses sehari-hari bagi masyarakat.

Akses masyarakat yang tinggal di Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru untuk menuju ke plak, ladang, dan sawah dahulu dilakukan dengan berjalan kaki karena pada saat itu belum ada kendaraan bermotor. Untuk mengangkut hasil-hasil pertanian dari ladang maupun sawah pada umumnya masyarakat suku Kerinci menggunakan alat-alat pengangkut berupa gerobak, usoh, pedati, dan bendi. Gerobak ada yang beroda 1 biasanya digunakan untuk mengangkut hasil ladang berupa kayu bakar dan beroda 3 yang digunakan untuk membawa beban yang lebih berat seperti potongan batang pohon. Gerobak ini menggunakan tenaga manusia untuk mendorongnya. Usoh

adalah angkutan yang ditarik oleh seekor sapi dan tidak menggunakan roda. Dua buah kayu dikaitkan pada sapi pada kedua sisinya dan pada bagian belakang dipasang alas yang juga terbuat dari kayu sebagai tempat meletakkan barang bawaan seperti hasil kebun serta kayu dan bambu dari hutan. Usoh merupakan alat pengangkut tertua di Kerinci yang pertama kali digunakan oleh masyarakat (Zakaria 1984). Usoh kemudian berkembang menjadi pedati yang sudah memakai roda. Pedati ini biasanya ditarik oleh sapi atau kerbau. Sementara bendi adalah alat angkut yang ditarik oleh kuda atau juga dikenal dengan delman. Bendi mulai digunakan setelah masa kemerdekaan yang digunakan untuk mengangkut barang dan manusia. Sampai saat ini bendi masih digunakan sebagai alat transportasi oleh masyarakat di Kota Sungai Penuh namun jumlahnya sudah mulai berkurang. 6. Batas Wilayah

Secara mikro, permukiman Rumah Larik di Kota Sungai Penuh maupun di Kerinci pada umumnya dibatasi oleh parit bersudut empat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, parit bersudut empat ini fungsinya adalah sebagai tanda bahwa lahan yang ada di dalam batas tersebut merupakan tanah milik kaum yang hanya digunakan untuk membangun tempat tinggal. Ada 2 bentuk batas parit bersudut empat ini yaitu pertama, batas berupa parit sedalam 2.5 m dan lebar 3 m serta dipagar dengan tumbuhan Sekuang (Pandan duri) atau Aur duri (Lembaga Adat Propinsi Jambi 2003). Kedua, batas berupa susunan batu yang ditumpuk menjadi dinding pembatas atau pagar dengan tinggi sekitar 30 – 50 cm dari permukaan tanah (Sabri A 6 Maret 2014, komunikasi pribadi). Selain sebagai tanda pembatas antara area permukiman dengan area di sekitarnya, parit ini juga berfungsi sebagai pelindung dari serangan binatang buas yang hendak masuk ke permukiman. Saat ini, batas berupa parit bersudut empat ini tidak dapat ditemukan

38

lagi baik di Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, maupun Dusun Baru. Hal ini disebabkan oleh faktor semakin berkembangnya permukiman yang menghapus batas parit sudut empat ini dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat sehingga keberadaan parit dianggap dapat mengganggu kebebasan ruang untuk beraktivitas. Selain itu, area di sekitar permukiman Rumah Larik yang sudah berubah dari ladang atau hutan menjadi area terbangun menyebabkan tidak adanya kekhawatiran lagi terhadap serangan binatang buas.

Selain batas fisik, pada lanskap budaya Rumah Larik juga terdapat batas alam yaitu sungai. Sungai menjadi batas wilayah dalam skala meso yaitu menjadi batas antara luhah maupun dusun. Sungai Bungkal yang mengalir di tengah- tengah Kota Sungai Penuh ini dahulunya menjadi batas pemisah antara Dusun Sungai Penuh yang berada di bagian Timur sungai dengan Dusun Empih, Dusun Bernik, dan Dusun Baru yang berada di bagian Barat sungai. Saat ini, Sungai Bungkal menjadi batas pemisah antara Dusun Enam Luhah dengan Dusun Baru. Sungai ini dimanfaatkan secara bersama oleh masyarakat yang tinggal di dusun- dusun tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, Sungai ini juga menjadi tanda atau pedoman untuk mengetahui daerah kekuasaan pemerintahan adat Depati nan Bertujuh yaitu dari hulu hingga ke hilir Sungai Bungkal. Saat ini, kondisi sungai tidak seperti dahulu lagi yang masih sangat alami dan jauh dari polusi. Berdasarkan pengamatan di lapangan, daerah sempadan Sungai Bungkal sudah terokupasi oleh jalan dan permukiman penduduk serta alirannya menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat sekitar. Namun, fungsi sungai sebagai sumber pengairan untuk lahan-lahan pertanian masyarakat masih berjalan hingga saat ini. Sawah-sawah milik masyarakat adat yang berada di bagian hilir atau sebelah Utara dari Rumah Larik Enam Luhah dan Dusun Baru masih memanfaatkan sungai ini untuk irigasi.

Batas wilayah secara makro didefinisikan sebagai batas yang membedakan atau memisahkan lanskap budaya Rumah Larik yang satu dengan yang lainnya. Dalam kasus ini, lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh yang terdiri atas Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru tidak memiliki batas yang jelas untuk digambarkan. Sama halnya dengan batas wilayah adat Depati nan Bertujuh, batas wilayah masing-masing lanskap budaya Rumah Larik ini tidak memiliki batas secara adat yang jelas. Tidak ditemukan juga bukti-bukti melalui piagam maupun sejarah yang menjelaskan mengenai batas lanskap budaya ini. Hal ini disebabkan karena masyarakat suku Kerinci terutama yang tinggal di dalam wilayah adat Depati nan Bertujuh menerapkan sistem genealogis teritorial yaitu kekerabatan yang lebih erat daripada batas wilayah (Alimin 14 Maret 2014, komunikasi pribadi). Masyarakat suku Kerinci merasa terikat satu sama lain karena merasa masih dalam satu keturunan yang sama. Jika di suatu tempat atau area masih terdapat anggota masyarakatnya yang bermukim dan masih berasal dari satu keturunan yang sama maka daerah tempat tinggalnya tersebut masih dianggap masuk ke dalam teritori atau wilayah adat mereka. Jika dilihat kondisi saat ini, maka batas wilayah antara lanskap budaya Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru akan saling overlap karena masyarakat dari masing-masing dusun ini sudah menyebar dan menetap di berbagai penjuru. Namun, jika dilihat dari karakteristik awal dimana hanya terdapat permukiman Rumah Larik yang menjadi tempat bermukim masyarakat maka yang menjadi batas wilayah dapat berupa ladang, sawah, sungai, dan hutan.

39 7. Vegetasi

Keragaman penggunaan lahan dalam suatu lanskap juga berkaitan dengan jenis vegetasi yang ada di dalamnya. Sawah yang menjadi ciri penggunaan lahan yang dominan pada lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh memiliki jenis vegetasi atau tanaman yang khas pula. Padi Payo adalah jenis padi lokal yang berasal dari Kerinci. Padi ini banyak ditanam oleh masyarakat suku Kerinci sejak dahulu hingga sekarang. Padi jenis ini jika dimasak maka akan menjadi nasi yang sangat pulen dan sangat digemari oleh masyarakat Kerinci. Namun, Padi

Payo memiliki kelemahan yaitu umur tanam hingga panennya yang lama yaitu 7-8 bulan dan tanamannya mudah rebah karena bisa mencapai tinggi 1.5 m. Padi Payo saat ini sudah mulai mengalami penurunan dalam jumlah produksinya. Hanya sedikit masyarakat yang masih melestarikan tanaman padi ini dengan cara menanamnya terus-menerus meskipun pemerintah menganjurkan untuk mengurangi jumlah padi lokal dan beralih menanam padi jenis unggulan seperti PB dan IR yang masa tanamnya lebih singkat. Selain Padi Payo yang masih dipertahankan, jenis padi lainnya yang banyak ditanam oleh masyarakat Kerinci khususnya masyarakat adat Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru seperti Padi Sarendah, Padi Silang, Padi Silangrami, dan Padi Pulut Sutro sekarang sudah tidak ditanami lagi. Secara umum, padi jenis PB dan IR saat ini sudah mendominasi area sawah yang ada di dalam wilayah adat Depati nan Bertujuh.

Jenis vegetasi lainnya yang menjadi ciri penggunaan lahan pada ladang atau

Plak adalah pohon kelapa (Cocos nucifera). Pohon kelapa sangat banyak tumbuh di area plak baik yang berada di sekitar permukiman maupun yang berada di tengah sawah. Masyarakat memanfaatkan pohon kelapa untuk berbagai keperluan seperti untuk bahan baku memasak dan bahan bangunan. Hingga saat ini, meskipun sudah jauh berkurang jumlahnya pohon kelapa masih dapat ditemui di luar permukiman khususnya di area sawah (Gambar 16). Saat ini masyarakat tidak lagi memanfaatkan pohon kelapa yang tumbuh di plak untuk dijadikan bahan baku makanan maupun bangunan karena buah kelapa sudah banyak dijual di pasar dan bangunan rumah tidak lagi menggunakan kayu.

Lanskap Kota Sungai Penuh dahulu memiliki hutan dengan pepohonan besar dan rumpun bambu yang banyak terdapat di daerah perbukitan. Masyarakat

Sumber: Dok. Pribadi (2014)

40

biasanya mengambil kayu dan bambu dari hutan ini yang digunakan sebagai bahan baku untuk membangun rumah. Jenis kayu yang banyak digunakan pada umumnya adalah kayu Medang Jangkat. Tidak diketahui pasti darimana asal dan apa arti dari nama kayu ini. Kayu ini berasal dari pohon Medang (Litsea sp.) yang tergolong kedalam famili Lauraceae. Pohon ini dapat tumbuh hingga berumur ratusan tahun dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis Sumatera. Pada tahun 2013, sebuah pohon Medang berusia sekitar 300 tahun ditemukan pada hutan adat di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Pohon ini memang memiliki sifat yang keras dan kuat sehingga cocok untuk dijadikan sebagai bahan bangunan untuk Rumah Larik. Kayu medang ini biasanya digunakan pada bagian tiang-tiang utama rumah. Saat ini, seiring dengan semakin berkurangnya kawasan hutan di Kota Sungai Penuh maka sangat sulit untuk menemukan pohon jenis ini lagi.

Masyarakat suku Kerinci dikenal memiliki banyak tradisi atau upacara adat yang beberapa diantaranya masih dilakukan hingga saat ini. Berbagai tradisi atau upacara adat tersebut biasanya menggunakan tanaman atau tumbuhan tertentu sebagai pelengkap prosesi upacara. Masyarakat adat di Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru juga masih melakukan upacara adat seperti upacara Kenduri Sko. Menurut Suswita et al. (2013), terdapat 37 jenis (22 famili) tumbuhan yang dimanfaatkan dalam upacara adat kenduri sko. Jenis tumbuhan yang paling banyak digunakan dalam upacara adat ini dan hampir ditemukan dalam setiap prosesi adalah buah pinang (Areca catechu) dan sirih (Piper betle).

Pemanfaatan pinang dan sirih dalam setiap prosesi upacara adat tidak bisa digantikan dengan jenis tumbuhan lain karena tumbuhan tersebut memiliki makna yang kompleks dan sangat penting. Pinang dan sirih pada umumnya ditanam oleh masyarakat di pekarangan rumah dan ladang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013), Kecamatan Sungai Penuh, Pondok Tinggi, dan Sungai Bungkal memiliki luas area tanam pinang seluas 18 ha namun baru 5 ha yang menghasilkan. Jumlah ini sudah cukup memadai karena pinang hanya digunakan pada saat diadakannya upacara adat tertentu saja dan upacara ini tidak rutin dilakukan oleh masyarakat. Gambar 17 menunjukkan aktivitas masyarakat yang sedang menjemur buah pinang di halaman rumah.

Sumber: Dok. Pribadi (2014)

41 8. Bangunan dan Struktur

Bangunan dan struktur yang dapat ditemukan dan memiliki karakteristik yang khas pada lanskap budaya Rumah Larik terdiri atas Rumah Larik, masjid, bilik padi, tabuh larangan, dan makam nenek moyang. Rumah Larik berfungsi sebagai tempat tinggal dan juga tempat kegiatan budaya masyarakat. Menurut Lembaga Adat Propinsi Jambi (2003), rumah tradisional suku Kerinci memiliki dua tipe yaitu pertama, tipe rumah panjang (larik) dan kedua, tipe balairung atau tipe mandiri. Perbedaannya terletak pada bentuk atap rumah. Tipe larik memiliki atap bubung garis lurus dan dari ujung ke ujung larik dibuat kayu ukiran yang disebut gumbak atau puncok. Sedangkan tipe mandiri memiliki atap yang berpucuk dua dengan bubungan atapnya sedikit melengkung ke atas, kedua ujungnya melengkung seperti perahu atau rumah adat minangkabau (Gambar 18).

Rumah Larik secara umum memiliki bagian-bagian rumah yang terdiri atas

tiang tuo yaitu tiang pondasi rumah, alang dan bandul yaitu penghubung antara satu tiang dengan tiang lainnya, pintau atau pintu rumah, pintau suhai dan pintau singok yaitu jendela rumah, palasa yaitu teras atau beranda rumah, atak yaitu atap rumah, tangga rumah, kandang yaitu bagian bawah rumah, pha tempat menyimpan barang dan berbagai peralatan rumah, serta ptaih tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka (Zakaria 1984).

Selain itu, Rumah Larik juga dihiasi dengan ornamen-ornamen hias berupa ukiran berbagai motif pada bagian-bagian tertentu. Ornamen atau ragam hias ini pada umumnya berupa motif tumbuhan. Tidak ditemukan motif binatang atau manusia karena pengaruh agama Islam yang kuat dalam masyarakat. Tidak hanya pada Rumah Larik, ornamen hias berupa ukiran ini juga dibuat pada bangunan masjid, bilik padi, serta tabuh larangan. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat suku Kerinci pada masa itu sudah memiliki keterampilan dan jiwa seni yang tinggi. Namun, menurut Zakaria (1984) semua ukiran-ukiran pada bangunan tersebut tidak ada yang diwarnai karena pada masa itu masyarakat belum mengenal bahan-bahan pewarna untuk kayu. Setiap motif ukiran yang dibuat pada

Gambar 18 Rumah Larik tipe balairung atau tipe mandiri Sumber: hafifulhadi.blogspot.com (2014)

42

Rumah Larik, masjid, bilik padi, dan tabuh memiliki maknanya masing-masing (Tabel 5).

Tabel 5 Jenis ragam hias, makna, dan bentuk motifnya

No. Nama ragam hias Makna Motif

1 Keluk paku kacang belimbing

(ditemukan pada tiang dan alang rumah serta masjid)

Anak dipangku kemenakan

dibimbing. Anak kandung

menjadi tanggungjawab penuh

orang tua, sedangkan

kemenakan juga harus

dibimbing dan dibina. 2 Patah tumbuh hilang

berganti

(terdapat pada alang dan sudut masjid serta tiang Rumah Larik)

Setiap pekerjaan harus

diselesaikan, semangat tidak boleh patah, kerja keras tak kenal lelah, generasi berikutnya harus meneruskan perjuangan dan usaha tersebut.

3 Relung

(terdapat dibawah atap masjid)

Tidak diketahui

4 Ckhorsnat bil hamz. (terdapat pada ujung dan tengah tiang rumah dan masjid)

Tidak diketahui

5 Bunga Teratai (terdapat pada bagian

pangkal tabuh

larangan)

Tidak diketahui

6 Selampit simpea (terdapat pada dinding rumah bagian dalam dan luar)

Dalam mendirikan rumah harus berdasarkan petunjuk Undang yang Empat dan kehidupan masyarakat Kerinci diikat oleh ketentuan beradat berlembaga.

7 Si matoharai (terdapat pada pintu dan dinding rumah bagian luar serta dinding masjid)

Melambangkan bahwa di dalam rumah terang seperti cahaya matahari dan kehidupannya berada dalam kedamaian.

Bangunan lainnya yang terdapat pada lanskap budaya Rumah Larik adalah masjid dan surau. Di Dusun Pondok Tinggi terdapat Masjid Agung yang memiliki

43 nilai sejarah dan budaya serta menjadi cagar budaya yang dilindungi. Masjid ini dibangun pada abad ke-18 tepatnya pada tahun 1874 dan telah berumur sekitar 140 tahun. Masjid ini dibangun secara bergotong royong oleh masyarakat dusun Pondok Tinggi pada masa itu, mulai dari kegiatan meramu dan mengambil kayu di hutan hingga pendirian masjid yang memakan waktu kurang lebih 56 tahun. Pada masa pembangunan itu jumlah masyarakat yang tinggal di dusun Pondok Tinggi baru berjumlah 90 KK. Masjid berbentuk persegi empat berukuran 30 x 30 m dan berdiri di atas lahan seluas 1 225 m2. Bagian lantai terbuat dari ubin dan dindingnya terbuat dari kayu yang penuh dengan ukiran motif khas Kerinci terutama pada bagian luarnya. Kayu yang digunakan diambil dari hutan rimba (imbo) yang banyak tumbuh pada waktu itu seperti kayu Latea, kayu Tuai, dan kayu Medang Jangkat. Bangunan masjid ini ditopang oleh tiang-tiang yang berjumlah 36 buah dengan ukuran panjang yang beragam mulai dari 5.5 m hingga 15 m. Sementara bagian atap memiliki bentuk yang unik yaitu atap bertumpang atau bersusun tiga (Gambar 19). Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid ini juga digunakan oleh masyarakat untuk mengadakan akad nikah serta pengajian. Pada halaman masjid terdapat Tabuh larangan yang memiliki panjang 7.5 m dan tabuh kecil dengan panjang 4.25 m. Saat ini Masjid Agung Pondok Tinggi statusnya sudah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) yang diakui ditingkat nasional serta dilindungi dan dikelola oleh masyarakat dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi.

Pada Rumah Larik Enam Luhah juga terdapat masjid besar yaitu Masjid Raya Sungai Penuh (Gambar 20). Tidak diketahui pasti sejarah mengenai Masjid Raya ini. Namun, menurut masyarakat setempat masjid ini sudah berumur lebih dari 50 tahun. Berbeda dengan Masjid Agung Pondok Tinggi, masjid ini tidak memiliki gaya arsitektur yang unik karena sudah terpengaruh gaya modern yaitu terbuat dari beton dan beratap kubah. Tetapi, menurut masyarakat dahulu pada awal masa pembangunannya masjid ini juga menggunakan material kayu dalam konstruksinya. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa apakah masjid ini memiliki gaya arsitektur tradisional yang unik seperti Masjid Agung Pondok Tinggi atau tidak. Meskipun demikian, masjid ini tetap memiliki fungsi penting

Sumber: Dok. Pribadi (2014)

44

bagi masyarakat, tidak hanya bagi masyarakat adat Enam Luhah tetapi juga masyarakat Kota Sungai Penuh. Pada bagian depan masjid ini terdapat tanah mendapo yang menjadi pusat pelaksanaan upacara adat kenduri sko. Sementara Rumah Larik Dusun Baru tidak memiliki masjid tersendiri karena sejak dahulu masyarakatnya juga menggunakan Masjid Raya ini sebagai tempat untuk beribadah.

Selain masjid, juga terdapat surau atau langgar yang terdapat pada hampir setiap luhah Rumah Larik baik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru. Surau atau langgar ini berfungsi sebagai tempat ibadah namun juga sering menjadi tempat pengajian yang dilakukan pada sore dan malam hari. Hampir di setiap luhah yang ada pada Rumah Larik Enam Luhah memiliki surau di dalamnya. Demikian juga dengan Rumah Larik Pondok Tinggi dan Dusun Baru memiliki beberapa surau di tengah-tengah permukimannya. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat suku Kerinci yang hidup bersama di dalam Rumah Larik memiliki kepercayaan yang kuat terhadap Agama Islam. Surau-surau ini dahulunya merupakan bangunan yang masih terbuat dari kayu namun tidak diketahui bagaimana bentuk gaya arsitekturnya. Namun, saat ini kondisi masyarakat serta pengaruh kemajuan jaman telah mengubah surau-surau ini menjadi bangunan dengan material beton dan tanpa gaya arsitektur yang khas.

Bangunan lainnya yang memiliki karakter khas dan terdapat dalam lanskap budaya Rumah Larik adalah bilik padi. Bilik padi dalam bahasa Kerinci disebut juga dengan bileik padoi. Bilik padi ini terdapat hampir pada setiap lanskap budaya Rumah Larik baik di dalam parit bersudut empat maupun diluarnya. Bangunan bilik ini pada umumnya digunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen berupa padi. Bilik padi memiliki ukuran dimensi yang berbeda-beda namun secara umum berukuran 2.5 x 6 m. Gaya arsitektur bilik padi ini hampir sama dengan bilik padi pada umumnya yaitu memiliki bagian alas atau lantai yang lebih kecil dibandingkan bagian atas sehingga dinding bilik dibuat agak miring. Bilik dibangun tanpa menggunakan paku hanya pasak- pasak kayu yang menghubungkan tiang-tiang utamanya. Semua bagian bilik menggunakan material kayu kecuali atap yang menggunakan ijuk, bambu, atau

Sumber: Dok. Pribadi (2014)

45 lapis sirap. Sementara tiang pondasi bilik padi sama dengan tiang pondasi Rumah Larik yaitu ditegakkan di atas batu sendai tanpa ditanam ke tanah. Sama seperti

Dokumen terkait