• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lanskap budaya Rumah Larik Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru berada di sekitar pusat Kota Sungai Penuh. Secara umum, tata guna lahan (landuse) di kota ini terdiri dari hutan, kebun campuran, sawah, ladang, dan permukiman (Gambar 9). Hutan merupakan area yang paling dominan dalam lanskap ini. Area yang lainnya terdiri atas kebun campuran, pertanian lahan kering (ladang), dan sawah.

Masyarakat suku Kerinci umumnya dikenal hidup melalui bertani yang sudah dilakukan secara turun-temurun sampai dengan saat ini. Berbagai jenis

28

komoditi pertanian yang ditanam di ladang seperti kopi (Coffea arabica), cengkeh

(Syzygium aromaticum), kayu manis (Cinnamomum zeylanicum), kakao

(Theobroma cacao), kemiri (Aleurites moluccana), dan tebu (Saccharum officinale) untuk kebun campuran. Kemudian sayur-sayuran seperti kentang (Solanum tuberosum), bayam (Amaranthus tricolor), bawang merah (Allium ascalonicum), cabai (Capsicum annum), serta buah-buahan seperti pisang (Musa sp.), jeruk (Citrus sp.), sirsak (Annona muricata), durian (Durio zibethinus), alpukat (Persea americana), dan sebagainya. Sementara untuk sawah jenis komoditi yang ditanam secara umum adalah jenis padi sawah (BPS 2013). Faktor iklim, tanah yang subur, dan ketersediaan air yang berlimpah menjadi faktor penting dominannya lahan pertanian di kota ini.

Budaya bertani yang dimiliki masyarakat secara turun-temurun ini sudah dilakukan jauh sebelum masa penjajahan Belanda. Setelah kedatangan Belanda pada tahun 1903, sektor pertanian semakin dikembangkan karena produk-produk pertanian yang menjadi daya tarik bagi Belanda pada masa itu untuk menjajah Kerinci. Sejak saat itu mulai banyak area-area baru dibuka untuk pertanian dan juga akses jalan untuk mobilisasi. Selain pertanian, area permukiman juga semakin berkembang karena terbukanya akses jalan. Permukiman tersebut tidak lagi berupa permukiman tradisional seperti Rumah Larik melainkan rumah-rumah biasa dan juga bangunan-bangunan tempat tinggal dan kantor pemerintahan Belanda.

Lanskap budaya Rumah Larik sendiri memiliki tata guna lahan yang sama antara Dusun Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru. Rumah Larik ini dibangun dekat dengan sumber air baik berupa sungai, anak sungai, maupun mata air. Di dalam permukiman Rumah Larik dapat ditemui banyak bilik padi milik masyarakat yang digunakan untuk menyimpan hasil pertanian terutama padi. Bilik-bilik padi ini tidak hanya berada di dalam lingkungan parit bersudut empat tetapi juga terdapat di luar batas permukiman yang letaknya menyebar. Di luar lingkungan parit bersudut empat untuk permukiman terdapat ladang (plak) yang berjarak hingga sekitar 500 m dari permukiman. Ladang ini merupakan tempat untuk menanam berbagai tanaman kebutuhan sehari-hari seperti tanaman bumbu dan buah-buahan. Salah satu yang mencirikan area ladang atau plak ini adalah banyaknya pohon kelapa yang tumbuh menyebar pada waktu itu. Selain itu juga dapat ditemui beberapa rumpun bambu di dalam plak dan biasanya area di sekitar rumpun bambu ini dijadikan sebagai tempat pemakaman keluarga.

Area setelah plak adalah sawah yang membentang sangat luas. Masyarakat jika hendak menuju sawah dari rumah harus melewati jalan tanah atau jalan setapak melewati plak terlebih dahulu. Jalan setapak inilah yang menjadi akses sehari-hari masyarakat menuju sawah pada pagi hari dan kembali ke rumah pada sore hari. Adapun jenis padi yang ditanam oleh masyarakat pada waktu itu tidak sama dengan jenis yang banyak ditanam saat ini seperti Padi Sarendah, Padi

Payo, Padi Silang, Padi Silangrami, dan Padi Pulut Sutro. Hanya Padi Payo yang masih dapat dijumpai dan ditanam oleh masyarakat saat ini. Padi-padi ini rata-rata berumur 6-8 bulan sehingga dalam waktu 1 tahun hanya bisa satu kali panen. Di tengah-tengah sawah biasanya juga terdapat dataran seperti pulau-pulau kecil yang dijadikan ladang oleh masyarakat serta ditumbuhi oleh pohon-pohon kelapa. Sistem irigasi atau pengairan sawah yang digunakan oleh masyarakat adalah

29 sistem manual memanfaatkan air dari sungai maupun saluran air yang dibuat sendiri oleh mereka.

Setelah sawah, penggunaan lahan berikutnya adalah ladang. Ladang ini lebih mirip dengan kebun campuran yang berada di kaki bukit, lereng bukit, hingga ke puncaknya. Area ladang ini berada di sebelah Selatan kota yang berjarak 1-5 km dari permukiman Rumah Larik. Ladang ini awalnya adalah hutan rimba atau hutan sekunder yang dibuka oleh masyarakat. Jenis-jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat di ladang antara lain seperti pisang, kopi, kayu manis, cengkeh, dan sebagainya. Masyarakat di 3 dusun yaitu Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru secara adat tidak memiliki hutan adat ataupun hutan larangan. Akan tetapi mereka memiliki hutan yang berada di dalam wilayah adat mereka seperti hutan-hutan yang terdapat di perbukitan. Hutan tersebut statusnya bukanlah hutan adat namun tetap dijaga dan dilindungi oleh masyarakat dan pemerintah.

Karakter landuse lanskap budaya Rumah Larik ini juga dapat diketahui melalui sumber foto yang pernah didokumentasikan sekitar tahun 1900-an setelah kedatangan bangsa Belanda ke Kerinci. Foto ini memperlihatkan pemandangan secara parsial lanskap Kota Sungai Penuh yang diambil dari ketinggian di sebelah Barat kota yaitu dari bukit Setiong. Pada foto ini terlihat Rumah Larik Pondok Tinggi dan lanskap di sekitarnya yang terdiri atas permukiman, ladang, sungai, dan sawah (Gambar 10).

Berdasarkan gambar lanskap di atas, dapat diketahui bahwa pada tahun 1900-an setelah kedatangan bangsa Belanda tipe lanskap budaya Rumah Larik yang ada di Kota Sungai Penuh masih berbasis pada pertanian yaitu sawah dan ladang. Namun mulai terjadi perkembangan dan perubahan penggunaan lahan yang disebabkan oleh pembangunan jalan yang dilakukan oleh bangsa Belanda. Jalan ini memiliki lebar sekitar 2 – 4 m yang digunakan untuk mobilisasi tentara Belanda dan juga distribusi produk-produk hasil pertanian. Terbukanya akses Gambar 10 Rumah Larik Pondok Tinggi dan lanskap di sekitarnya tahun 1900-an

30

jalan ini mengakibatkan lahan yang berada di sempadan jalan sebagian berubah fungsi dari ladang atau sawah menjadi tempat tinggal dan bangunan pemerintahan Belanda.

Perkembangan dan perubahan tata guna lahan lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh juga dapat diidentifikasi dari peta landuse tahun 1923-1924 buatan Belanda (Gambar 11). Pada peta ini dapat diketahui bahwa area permukiman penduduk semakin berkembang dan menyebar di sekitar permukiman Rumah Larik yaitu di sekitar Dusun Sungai Penuh atau Enam Luhah, Pondok Tinggi, dan Dusun Baru yang ditunjukkan oleh warna hijau.

Area sawah luasannya relatif tidak banyak mengalami perubahan penggunaan. Hal ini disebabkan karena produksi padi masih menjadi komoditi utama yang menjadi andalan dari daerah Kerinci secara umum. Akses jalan beraspal yang ditunjukkan oleh warna merah merupakan jalan yang dibuka oleh Belanda pada masa itu menyebar ke segala arah. Akses ke Utara menuju daerah Semurup dan Perkebunan Teh Kayu Aro, ke Timur menuju daerah Hamparan Rawang, ke Selatan menuju daerah Kumun Debai dan Danau Kerinci, serta ke Barat menuju perbukitan hingga perbatasan Sumatera Barat.

Dokumen terkait