• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Kota Sungai Penuh pada tanggal 21 Mei 1988 sebagai anak ketiga dari pasangan Syahruddin Hasibuan dan Estelita. Penulis merupakan anak ketiga dari 4 bersaudara yang terdiri atas Moh. Sanjiva Redi Hasibuan (Kakak), Reni Sabrina (Kakak), dan Anggianauli Hasibuan (Adik). Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2012, penulis diterima di Program Studi Arsitektur Lanskap pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Penulis pernah bekerja sebagai Landscape Inspector pada proyek lanskap di Kota Cirebon pada tahun 2010 hingga 2011. Selain itu, penulis juga pernah bekerja sebagai landscape designer di sebuah konsultan lanskap di Kota Bogor pada tahun 2011 hingga 2012. Saat ini penulis juga aktif bekerja sebagai freelance

untuk beberapa pekerjaan perencanaan dan desain lanskap.

Selama mengikuti program S-1, penulis aktif menjadi anggota sekaligus pengurus Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) dan Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA) periode 2008 hingga 2009. Penulis juga pernah meraih penghargaan dalam Sayembara Desain Taman Topi Kota Bogor sebagai juara kedua tahun 2010 dan Sayembara Desain Taman Dalam Museum Fatahillah Jakarta sebagai juara pertama pada tahun 2011. Pada 2010 penulis menjadi salah satu pemrasaran pada Simposium Ilmiah Nasional Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI). Saat mengikuti program S-2, penulis juga meraih penghargaan sebagai 5 besar terbaik dalam Sayembara Desain Penataan Alun- Alun Kota Malang tahun 2013. Kemudian, penulis pernah mengikuti program TWINCLE pertukaran mahasiswa Indonesia – Jepang antara IPB dan Chiba University pada tahun 2013. Dalam bidang Fotografi, penulis pernah meraih juara pertama Lomba Foto Agroforestri tingkat nasional yang diselenggarakan oleh World Agroforestry Centre (ICRAF) tahun 2014.

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumah Larik adalah rumah tradisional masyarakat suku Kerinci yang terdapat di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi (Gambar 1). Menurut Hasibuan (2010), Rumah Larik memiliki pola berjejer memanjang (linear) dari arah Timur ke Barat yang saling terhubung antara satu rumah dengan rumah lainnya sehingga membentuk sebuah larik atau laheik. Oleh Masyarakat Kerinci, istilah Rumah Larik selain untuk menyebut rumah juga digunakan untuk menyebut permukiman tradisional tempat mereka tinggal. Masyarakat suku Kerinci umumnya hidup dan tinggal berkelompok dalam sebuah lurah. Setiap lurah (luhah) terdiri atas dua buah larik atau lebih. Satu larik didiami oleh beberapa keluarga (pintu) yang masih memiliki satu garis keturunan (Zakaria 1973). Permukiman ini merupakan cikal bakal dari perkembangan daerah Kerinci menjadi Kabupaten dan Kota.

Terdapat 3 permukiman Rumah Larik yang menjadi pusat perkembangan Kota Sungai Penuh yaitu Rumah Larik Enam Luhah, Rumah Larik Pondok Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru. Ketiga Rumah Larik ini memiliki sejarah dan karakteristiknya masing-masing. Jika dilihat dari luas kawasannya, maka Rumah Larik Enam Luhah merupakan permukiman yang memiliki area paling luas diikuti oleh Rumah Larik Pondok Tinggi dan Rumah Larik Dusun Baru. Pola spasial suatu permukiman tidak hanya ditentukan dan diatur oleh kebutuhan sehari-hari manusia, tetapi juga oleh norma sosial dan tatanan budaya (Nunta dan Sahachaisaeree 2012). Sebagai sebuah hasil kebudayaan yang tangible, Rumah Larik juga memiliki keterkaitan dengan lanskap di sekitarnya yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat seperti sawah, ladang, sungai, mata air, pemakaman dan hutan. Lanskap budaya Rumah Larik terbentuk oleh pengaruh sosial budaya masyarakat, filosofi kehidupan yang berorientasi pada alam, adat istiadat dan kepercayaan (Hasibuan 2010).

Secara umum, lanskap budaya dibagi menjadi 3 kategori oleh UNESCO (2005), yaitu designed landscape, organically evolved landscape, dan associative

landscape. Lanskap budaya Rumah Larik dapat dikategorikan ke dalam

Sumber: Dok. Pribadi (2014)

2

organically evolved landscape dan associative landscape karena merupakan lanskap yang terbentuk dan berkembang secara organik serta memiliki asosiasi dengan budaya masyarakat dan elemen-elemen yang ada di alam. Menurut von Droste et al. (1995) dalam Mitchell dan Buggey (2000), lanskap budaya merupakan pertemuan antara alam dan budaya yang merepresentasikan interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang membentuk muka bumi ini. Seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi yang cepat, lanskap budaya menjadi situs yang paling rapuh dan terancam di bumi ini.

Dalam perkembangannya, lanskap budaya Rumah Larik ini telah mengalami degradasi baik secara biofisik maupun sosial budaya. Hal ini disebabkan oleh faktor internal seperti kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga warisan sejarah dan budaya serta semakin lemahnya peraturan atau adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Sementara dari faktor eksternal disebabkan oleh pengaruh urbanisasi dan globalisasi yang sangat kuat, kurangnya perhatian dan pengelolaan dari pemerintah, serta faktor alam seperti cuaca dan bencana alam. Degradasi lanskap yang terjadi pada Rumah Larik ini antara lain, semakin berkurangnya jumlah Rumah Larik yang memiliki arsitektur asli, bilik- bilik padi sudah hilang, sawah dan ladang banyak yang mulai beralih fungsi menjadi area terbangun, elemen-elemen bernilai sejarah dalam permukiman mengalami kerusakan karena tidak dirawat dengan baik, bangunan komersil mulai dibangun di area permukiman, berkurangnya integritas lanskap dari aspek estetika dan arsitektural, dan sebagainya. Menurut McClean (2007), masalah pengelolaan bisa bervariasi untuk setiap tempat atau area. Umumnya masalah yang terjadi pada tempat atau area yang bernilai sejarah: kerusakan terhadap benda, struktur, atau tempat bersejarah; hilangnya susunan atau tatanan struktur, tempat, dan tapak bersejarah; ketidaksuaian pengembangan di sekitar maupun di dalam permukiman tradisional; masalah akses terhadap tempat, tapak, dan struktur milik privat; kerusakan yang disebabkan oleh vandalisme; pemasangan iklan, reklame, dan

signage yang tidak tepat; serta hilangnya koridor visual dan viewing point.

Sebagai suatu lanskap budaya, Rumah Larik memiliki nilai penting atau signifikansi bagi masyarakat dan identitas budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Budaya dan identitas tidak hanya sebuah hubungan sosial tetapi juga hubungan spasial. Jika tidak dilakukan penilaian (assessment) terhadap lanskap budaya Rumah Larik, maka dikhawatirkan nilai-nilai penting serta karakter lanskap akan menghilang seiring berjalannya waktu dan ancaman (threat) yang terus datang. Signifikansi budaya adalah nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial, dan spiritual untuk generasi dahulu, kini atau masa yang akan datang. Signifikansi budaya tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan obyek- obyek terkait (Australia ICOMOS 1999). Menurut Antrop (2005) dalam Stephenson (2008), pengembangan lanskap yang tidak sesuai akan dapat merubah atau menghilangkan karakteristik lokal yang khusus dan makna budaya, membuat pemisah antara masyarakat dan masa lalunya. Lanskap budaya Rumah Larik dengan segala elemen pembentuknya merupakan rekaman sejarah kehidupan masa lalu dan mencerminkan keragaman salah satu suku/masyarakat yang ada di Indonesia. Keberadaan lanskap budaya ini merupakan aset bangsa yang sangat berharga dan harus dilestarikan.

3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian maka dapat dirumuskan tiga permasa- lahan penelitian antara lain:

1. bagaimana karakter lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh? 2. seberapa pentingkah lanskap budaya Rumah Larik ini?

3. apa tindakan pelestarian yang tepat untuk melestarikan karakter serta nilai-nilai penting yang dimilikinya?

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. mengidentifikasi karakter lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh, 2. menganalisis nilai penting lanskap budaya Rumah Larik, dan

3. memberi rekomendasi tindakan pelestarian yang sesuai untuk keberlanjutan lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai evaluasi dan dasar pengelolaan bagi masyarakat adat serta pemerintah Kota Sungai Penuh dalam upaya melestarikan unsur-unsur dan wujud kebudayaan yang dimilikinya dalam lanskap budaya Rumah Larik baik yang bersifat fisik (tangible) maupun non-fisik (intangible). Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan masyarakat khususnya bagi para generasi muda tentang nilai dan arti penting lanskap budaya Rumah Larik sebagai identitas kebudayaan suku Kerinci dan masyarakat Kota Sungai Penuh.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah lanskap budaya di Kota Sungai Penuh yang mencakup tiga kawasan permukiman yaitu Rumah Larik Enam Luhah, Rumah Larik Pondok Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru. Pengamatan dan analisis tidak hanya dilakukan terhadap permukiman Rumah Larik saja, tetapi juga dilakukan pada lanskap di sekitar yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan dan budaya masyarakat yang tinggal di Rumah Larik ini seperti sungai, lahan pertanian, hutan, dan sebagainya. Adapun batasan lanskap budaya Rumah Larik ini adalah mencakup wilayah adat Depati nan Bertujuh, Kota Sungai Penuh. Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini tidak hanya bersumber dari hasil studi pustaka dan survei lapang saja, tetapi juga dikumpulkan melalui sumber-sumber lain yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan seperti wawancara dan data dari dinas-dinas yang terkait. Narasumber untuk wawancara dilakukan terhadap ketua adat, Depati dan Ninik Mamak, ahli sejarah dan kebudayaan Kerinci, pejabat pemerintahan, serta masyarakat lokal.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada metode untuk penilaian karakter dan signifikansi lanskap. Metode diadopsi dari metode penilaian karakter lanskap menurut Swanwick (2002) dan penilaian karakter

4

estetika menggunakan metode Semantic Differential serta penilaian signifikansi lanskap budaya menurut Australia ICOMOS (1999). Metode ini lalu dimodifikasi serta disesuaikan untuk kasus lanskap budaya Rumah Larik di Kota Sungai Penuh. Keluaran yang dihasilkan dari penelitian ini adalah karakter lanskap, nilai signifikansi lanskap, dan rekomendasi pelestarian.

Kerangka Pikir

Pelestarian lanskap budaya Rumah Larik beserta nilai-nilai penting yang dimilikinya dapat dilakukan dengan mengetahui karakter dan nilai pentingnya melalui penilaian (assessment). Perubahan karakter akibat degradasi lanskap akan mempengaruhi nilai penting dan bentuk tindakan pelestarian yang akan dilakukan. Proses penilaian lanskap budaya ini mengacu pada UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Piagam Burra Australia (Gambar 2).

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Budaya

Menurut UU No.11 tahun 2010, kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khusus. Smith (2004) menyatakan bahwa lanskap budaya adalah suatu susunan gagasan atau ide dan praktik yang tertanam di suatu tempat. Sedangkan menurut UNESCO (2005), lanskap budaya adalah representasi dari kombinasi kerja antara alam dan manusia, ilustrasi dari perkembangan umat manusia dan permukiman dari waktu ke waktu, dibawah pengaruh tantangan fisik dan/atau kesempatan yang diberikan oleh lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan budaya, baik eksternal maupun internal. Lanskap budaya adalah suatu area fisik yang memiliki fitur alami dan elemen-elemen buatan akibat aktivitas manusia yang menghasilkan pola-pola dalam lanskap, yang memberikan karakter khusus, mencerminkan hubungan antara manusia terhadap lanskap (Lennon dan Mathews 1996).

Lanskap atau bentang alam memiliki sifat yang dinamis karena selalu berubah dari waktu ke waktu. Perubahan lanskap ini bisa menuju ke arah yang lebih baik namun juga bisa menuju ke arah perubahan yang lebih buruk. Perubahan lanskap ke arah yang lebih buruk sering dikenal dengan istilah degradasi lanskap. Degradasi lanskap ini biasanya disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Pada masa modern seperti saat ini, manusia menjadi pengaruh dominan yang menyebabkan terjadinya degradasi lanskap. Seperti pernyataan Golley (1990) dalam Naveh (1995), manusia merupakan organisme yang tidak hanya melihat dan merasakan lanskap tetapi juga berinteraksi dengannya dalam proses transaksional yang dinamis. Mengolah dan merawat alam hingga alam tersebut sesuai bagi tempat hidup manusia bukan berarti bahwa alam takluk oleh dominansi manusia (Ahrendt dalam Naveh 1995).

Landscape Character Assessment (LCA)

Karakter adalah suatu pola dari elemen-elemen lanskap yang berbeda, konsisten dan dapat dikenali yang membuat satu lanskap berbeda dengan yang lainnya. Karakteristik adalah elemen-elemen atau kombinasi elemen yang memberi kontribusi terhadap perbedaan karakter. Elemen adalah komponen- komponen individu yang menghiasi lanskap seperti pohon, bangunan, dan sebagainya. Karakterisasi adalah proses mengidentifikasi area-area yang memiliki kesamaan karakter, mengklasifikasi dan memetakannya serta mendeskripsikan karakternya.

Karakter lanskap adalah keseluruhan visual dan impresi budaya dari atribut- atribut lanskap atau penampilan fisik dan konteks budaya dari sebuah lanskap yang memberikan suatu identitas dan sense of place. Karakter lanskap memberikan image budaya dan visual pada suatu area geografis dan terdiri atas kombinasi atribut fisik, biologi, dan budaya yang membuat setiap lanskap dapat dikenali dan unik (USDA 1995).

6

Landscape Character Assessment (LCA) adalah suatu alat yang dapat membuat kontribusi yang signifikan terhadap tujuan yang berhubungan dengan perlindungan lingkungan dan penggunaan sumber daya secara bijaksana sebagai pilar pembangunan berkelanjutan (Swanwick 2002). Dalam penilaian karakter suatu lanskap, aspek estetika dan persepsi menjadi salah satu bagian yang penting untuk dinilai. Estetika merupakan hal yang berkaitan erat dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek. Estetika lingkungan atau lanskap sebenarnya bukan merupakan hal yang baru karena sudah dikenal sejak abad ke-18. Namun, estetika terhadap lingkungan maupun lanskap ini masih kurang mendapatkan perhatian di Indonesia. Banyak kebijakan-kebijakan pemerintah melalui peraturan daerahnya belum memasukkan aspek estetika lingkungan sebagai aspek yang harus diperhatikan dan dilindungi. Nilai-nilai yang terdapat dalam estetika lingkungan sangat mempengaruhi suatu bangsa, budaya, dan individu. Estetika terhadap lanskap budaya di Indonesia belum mendapatkan apresiasi baik dari masyarakat itu sendiri maupun dari pemerintah. Menurut Carlson (2009), nilai estetika suatu lanskap budaya tidak hanya dilihat dari fisik luarnya saja (estetika formal) tetapi juga memiliki nilai estetika yang tersirat di dalamnya (estetika ekspresif) seperti makna, simbol, mistik, dan sebagainya.

Sejak tahun 1960, kepedulian dan perhatian terhadap isu-isu lingkungan meningkat termasuk peraturan daerah di Amerika Serikat menyebabkan munculnya kebutuhan akan metode untuk mengevaluasi keindahan atau estetika lanskap. Para profesional arsitek lanskap berupaya menemukan berbagai macam model untuk melakukan penilaian terhadap lingkungan (Gorski 2007). Menurut Daniel (2001) dalam Kivanc (2013), kualitas visual lanskap adalah produk bersama dari proses psikologi para pengamat (persepsi, kognisi, emosi) dalam interaksinya dengan karakteristik visual lanskap yang terlihat jelas. Kivanc (2013) menyatakan ada 3 pendekatan yang dapat digunakan dalam menilai kualitas visual suatu lanskap. Pertama, pendekatan evaluasi yang berdasarkan pada opini ahli (expert) dalam hal ini yaitu para ahli yang memahami nilai-nilai estetika lingkungan. Pendekatan ini biasanya diaplikasikan pada pengelolaan lingkungan. Pengalaman mempengaruhi respon, apresiasi, dan penilaian seseorang terhadap estetika suatu lanskap (Brook 2013). Kedua, pendekatan evaluasi berdasarkan pada persepsi user. Pendekatan ini biasanya digunakan dalam proyek penelitian, kegiatan akademik, dan sebagainya. Ketiga, pendekatan evaluasi dengan mengkombinasikan atau mengintegrasikan preferensi user dan opini para ahli. Pendekatan ini bisa digunakan dalam proyek, studi, atau manajemen lingkungan.

Teknik Semantic Differential (SD) adalah metode yang sesuai digunakan untuk mengukur nilai emosional terhadap suatu produk. Metode ini sudah dikembangkan dalam variasi konsep yang luas. SD sudah digunakan sebagai instrumen dalam menilai desain furnitur jalan, kursi kantor, mobil, telepon genggam, maskot dalam olahraga, dan juga terhadap arsitektur, desain lingkungan, ergonomik dan desain produk untuk komersil. SD juga banyak digunakan untuk menilai persepsi seseorang maupun suatu populasi terhadap sebuah produk (Mondragon et al. 2005). Teknik SD ini pun juga dapat digunakan untuk menilai persepsi seseorang atau populasi terhadap suatu lanskap.

7 Signifikansi Budaya

Menurut Australia ICOMOS (1999) dalam piagam Burra, signifikansi budaya artinya nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual yang penting untuk generasi dahulu, kini atau masa yang akan datang. Signifikansi estetis tidak hanya dibatasi pada visual saja tetapi juga estetika yang bisa dirasakan oleh panca indera lainnya seperti suara dan aroma. Signifikansi historis berhubungan dengan nilai dari suatu tempat yang memiliki keterkaitan dengan suatu kejadian penting di masa lalu. Signifikansi sosial yaitu terkait dengan nilai-nilai atau tempat-tempat yang memiliki nilai penting bagi suatu masyarakat. Selain itu juga berhubungan dengan aktivitas, budaya, serta norma yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan signifikansi ilmiah terkait dengan potensi yang dimiliki oleh lanskap atau tempat tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Signifikansi budaya itu tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan obyek-obyek terkait. Tempat- tempat bersignifikansi budaya harus dilestarikan untuk generasi kini dan yang akan datang.

Menurut UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, nilai penting yang dimiliki oleh suatu cagar budaya yaitu nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Namun, belum ada penjelasan dan penjabaran secara rinci dalam peraturan pemerintah mengenai nilai-nilai penting tersebut. Menurut Tanudirjo (2004) dalam Supriadi (2010), sebuah cagar budaya memiliki nilai penting sejarah apabila cagar budaya tersebut menjadi bukti yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah, berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan penting dalam bidang tertentu. Sementara memiliki nilai penting ilmu pengetahuan apabila cagar budaya tersebut berpotensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah dalam berbagai bidang seperti arkeologi, antropologi, arsitektur, dan bidang ilmu lainnya. Nilai penting kebudayaan apabila cagar budaya tersebut dapat mewakili hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau menjadi jati diri bangsa atau komunitas tertentu.

Pearson dan Sullivan (1995) dalam Awat (2011) menyatakan 5 nilai penting yang dimiliki oleh suatu sumberdaya budaya atau cagar budaya yaitu nilai penting estetika, arsitektural, sejarah, ilmu pengetahuan, dan sosial. Nilai penting estetika didasarkan pada kemampuan untuk menyajikan pemandangan yang mengesankan, membangkitkan perasaan khusus dan makna tertentu bagi masyarakat, rasa ketertarikan, dan paduan serasi antara alam dan budaya manusia. Nilai penting arsitektural didasarkan pada kemampuan untuk mencerminkan keindahan seni rancang bangun yang khas, penggunaan bahan, gaya rancang bangun, serta teknologi. Nilai penting ilmu pengetahuan berdasarkan pada ketersediaan data atau informasi untuk melakukan penelitian sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Sementara nilai penting sosial meliputi kemampuan untuk menumbuhkan perasaan rohaniah (spiritual dan kebanggaan) dan perasaan budaya lainnya bagi kelompok tertentu.

Berdasarkan berbagai definisi dan pengelompokan nilai penting di atas, maka dapat diketahui bahwa nilai penting menurut Piagam Burra sudah mencakup semua nilai penting yaitu terdiri atas nilai penting estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai signifikansi

8

suatu lanskap budaya adalah metode Cultural Heritage Landscape Assessment

yang mengacu pada metode penilaian Heritage Victoria Landscape Assessment.

Metode ini digunakan untuk menilai signifikansi lanskap budaya yang ada di Victoria, Australia. Metode ini juga mengacu pada piagam Burra yang ditetapkan pada tahun 1999 di Burra, Australia. Hasil dari penilaian signifikansi ini dapat bermanfaat untuk proses registrasi warisan budaya (cultural heritage), kegiatan perencanaan, rencana pengelolaan, dan penilaian warisan budaya lainnya.

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi lanskap budaya Rumah Larik Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi yaitu Rumah Larik Enam Luhah, Rumah Larik Pondok Tinggi, dan Rumah Larik Dusun Baru (Gambar 3). Kegiatan penelitian dilakukan selama 9 bulan mulai dari bulan Oktober 2013 hingga Juni 2014.

Jenis dan Sumber Data

Data-data yang dibutuhkan terkait dengan penelitian ini untuk menilai karakter lanskap, karakter estetika, dan nilai penting lanskap yaitu data kesejarahan, data biofisik, data sosial, budaya, ekonomi, dan data pengelolaan. Data-data tersebut diperoleh melalui studi pustaka, observasi lapang, dan wawancara terhadap beberapa narasumber yang terpercaya (Tabel 1).

9 Tabel 1 Jenis dan sumber data yang diperlukan

No. Jenis Data Sumber

1 Data Kesejarahan:

- sejarah Kerinci

- sejarah Rumah Larik

- sejarah lanskap/elemen lanskap

- sejarah budaya dan masyarakat Kerinci

- Dinas Pariwisata - Studi pustaka - Ahli sejarah - Ketua/lembaga adat - Tokoh masyarakat 2 Data Bio-Fisik:

- peta administrasi Kota Sungai Penuh

- peta landuse dan sejarah landuse

- peta landform, geologi, landcover, dsb.

- peta sejarah kota/kawasan

- citra satelit

- geologi, tanah, landform, hidrologi/drainase, vegetasi

- sistem sirkulasi

- kondisi fisik lanskap budaya Rumah Larik

- elemen-elemen lanskap budaya

- visual - BAPPEDA - BPN - Kantor Kelurahan - Pengamatan - Masyarakat lokal - Internet - Studi pustaka

3 Data Sosial, Budaya, Ekonomi:

- kependudukan - suku bangsa - aktivitas budaya/tradisi/seni - adat istiadat - Kantor Kecamatan - Dinas Kependudukan - Dinas Pariwisata - Masyarakat lokal - Pengamatan - Studi pustaka 4 Data Pengelolaan: - status kepemilikan - pengelola - sistem/teknis pengelolaan - kebijakan/peraturan pemerintah - rencana pemerintah, RTRW/RTRK - Ketua/lembaga adat - Dinas Pariwisata - Masyarakat lokal - Studi pustaka

Prosedur Analisis Data

Ada 3 jenis metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode Landscape Character Assessment (LCA), Semantic Differential (SD), dan

Cultural Heritage Landscape Assessment (CHLA). Prosedur analisis dari masing- masing metode ini dijelaskan sebagai berikut:

Landscape Character Assessment (LCA)

Penilaian karakter lanskap budaya Rumah Larik dilakukan dengan metode LCA (Swanwick 2002). Pada metode ini dilakukan beberapa modifikasi dalam

Dokumen terkait