• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUCTURE COMMUNITY Abstract

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Jenis Collembola yang Ditemukan

Jenis Collembola yang ditemukan di tiap plot pada tipe agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan hanya ada 3 jenis Collembola yang ditemukan pada tipe agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik. Jenis Collembola yang ditemukan pada kedua agroekosistem apel adalah sama, yaitu Homidia cingula Börner, Isotomurus palustris Muller, dan Pseudachorutes javanicus Handschin. Homidia cingula Börner termasuk dalam suku Entomobryidae, Isotomurus palustris Muller termasuk dalam suku Isotomidae, dan Pseudachorutes javanicus termasuk dalam suku Neanuridae.

147

Jenis Collembola Semiorganik Agroekosistem apel Nonorganik

Homidia cingula Börner Ada Ada

Isotomurus palustris Muller Ada Ada

Pseudachorutes javanicus Handschin Ada Ada

Suku Isotomidae seringkali terdapat dalam jumlah banyak, di hutan basah baik di tanah maupun di serasah dan di rawa-rawa dan suku Entomobryidae merupakan suku yang dominan ditemukan (Noerdjito, 2010). Kondisi lingkungan yang cocok dan didukung oleh kemampuan beradaptasi dengan baik menyebabkan suku Entomobryidae mampu beradaptasi, sehingga mampu mempertahankan kehidupan (Ganjari, 2012; Elisa et al., 2013). Entomobryidae memiliki perilaku sebagai pemakan jamur, lichenes, bakteri, pollen, kotoran binatang, dan serasah (Indriyati dan Wibowo, 2008). Entomobryidae sering ditemukan dalam populasi tinggi, sebagai dekomposer efektif, dan membantu siklus nutrien tanah (Meyer, 2009).

Distribusi Collembola di suatu tempat juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, pemangsaan, dan kompetisi. Tekanan dan perubahan lingkungan dapat mempengaruhi jumlah jenis dan perbedaan pada struktur (Suwondo, 2002). Faktor biotik juga berpengaruh terhadap keberadaan Collembola. Vegetasi penutup merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan karena dapat mempengaruhi sifat dan keadaan tanah. Keanekaragaman vegetasi mempengaruhi keanekaragaman Collembola (Rahmadi et al., 2004). Berdasarkan jumlah jenis Collembola yang ditemukan maka dapat dikatakan bahwa agroekosistem apel semiorganik relatif tidak memberikan kondisi yang cocok bagi kehadiran Collembola. Hal ini berarti bahwa agroekosistem apel semiorganik masih tidak ramah lingkungan dan menghambat kehadiran Collembola sebagai dekomposer, sama seperti agroekosistem apel nonorganik. Menurut Suwantoro (2008) pertanian semiorganik masih menggunakan pupuk dan pestisida sintesis selain menggunakan pupuk dan pestisida organik. Pertanian semiorganik tidak sepenuhnya ramah lingkungan, meskipun sedikit mengurangi input negatif terhadap tanah.

148

3.2. Keanekaragaman Collembola

Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Collembola pada agroekosistem apel semiorganik sebesar 0,89 dan agroekosistem apel nonorganik sebesar 0,78. Hal ini berarti tidak ada perbedaan secara deskriptif keanekaragaman Collembola pada agroekosistem apel semiorganik dan nonorganik. Keanekaragaman jenis Collembola pada kedua agroekosistem apel tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Batang Indeks Keanekaragaman Collembola Meskipun Gambar 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis Collembola pada agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik berbeda, namun apabila merujuk pada Odum (1998) dan Maharadatunkamsi (2011), maka keanekaragaman jenis pada kedua agroekosistem apel termasuk dalam kategori rendah. Dengan demikian tidak ada perbedaan secara deskriptif keanekaragaman jenis Collembola tanah pada kedua tipe agroekosistem tersebut. Dharmawan et al. (2005) menjelaskan bahwa keanekaragaman cenderung akan rendah pada ekosistem yang secara fisik terkendali atau mendapatkan tekanan lingkungan. Variasi vegetasi dan penetrasi cahaya matahari juga dapat menyebabkan keanekaragaman berbeda, artinya semakin seragam vegetasi maka keanekaragamannya rendah.

Habitat pertanian bisa jadi akan cocok bagi kehidupan Collembola asalkan berbagai faktor yang mendukung kehidupan Collembola tetap diperhatikan dalam sistem pengelolaan habitat pertanian. Menurut Ponce et al. (2011) bahan organik berkontribusi terhadap keanekaragaman yang dapat meminimalisir pengaruh negatif dari intensifikasi pertanian, juga untuk meningkatkan kualitas habitat

0,89 0,78 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 Semiorganik Nonorganik N ilai In d e ks K e an e kar ag am an

149 orthropoda tanah. Selain itu, menurut Bardgett dan Cook (1998) dengan keanekaragaman yang tinggi menunjukkan ketersediaan sumber makanan baik hewan tanah. Samudra et al. (2013) mengungkapkan hal tersebut melalui penelitian terkait kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda tanah di lahan sayuran organik urban farming. Keanekaragaman dipengaruhi oleh spesies tanaman, keanekaragaman atau komposisi tanaman, dimana pada urban farming dalam satu green house terdapat 4-5 jenis tanaman. Modifikasi lahan menjadi pertanian organik akan mendukung terjadinya peningkatan keanekaragaman dan kestabilan ekosistem sebagai manfaat dari fungsi ekosistem.

Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Indahwati et al. (2012) di mana indeks keanekaragaman dari lahan pertanian apel yang tidak diberi pupuk organik dan yang diberi pupuk organik berkisar antara 1,56-2,04 yang termasuk kriteria rendah-sedang. Nilai tersebut menunjukan kondisi lahan apel dalam keadaan baik. Hal ini disebabkan oleh bahan organik yang tersedia sebagai substrat hidup dan sumber nutrisi bagi hewan tanah termasuk arthropoda tanah. Arthropoda tanah akan melimpah jika kondisi lingkungan mendukung, seperti suplai makanan, kandungan oksigen, faktor fisika kimia mendukung, dan terdapat tempat berlindung dari gangguan maupun predator.

Keanekaragaman juga dipergunakan untuk mengetahui pengaruhi faktor lingkungan abiotik terhadap komunitas (Fachrul, 2012). Oleh karena itu, tidak ada perbedaan indeks keanekaragaman antara agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (fisika-kimia) di kedua tempat itu. Dapat dikatakan bahwa kondisi fisika-kimia pada agroekosistem apel semiorganik relatif sama dengan agroeksositem apel nonorganik sehingga menghambat keanekaragaman jenis Collembola. 3.3. Kemerataan Collembola Tanah

Nilai indeks kemerataan Collembola tanah pada agroekosistem apel semiorganik sebesar 0,81 dan agroekosistem apel non organik sebesar 0,71. Hal ini berarti, tidak ada perbedaan secara deskriptif kemerataan Collembola pada kedua tipe agroekosistem apel. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.

150

Gambar 2. Diagram Batang Indeks Kemerataan Collembola

Gambar 2 menunjukkan tidak ada perbedaan secara deskriptif kemerataan Collembola pada kedua tipe agroekosistem apel. Meskipun kemerataan Collembola pada tipe agroekosistem apel semiorganik sedikit lebih tinggi dibandingkan kemerataan Collembola pada agroekosistem apel nonorganik, namun apabila merujuk pada kategori Krebs (1989) kedua agroekosistem apel memiliki kemerataan tinggi. Berdasarkan kategori tersebut, berarti semua habitat memiliki distribusi jenis yang merata dan tidak ada dominasi jenis tertentu. Kemerataan menggambarkan tingkat sebaran individu antara jenis-jenis (Leksono, 2011). Indeks kemerataan yang tinggi mengindikasikan kelimpahan jenis yang hampir sama atau merata, sementara indeks kemerataan yang rendah menunjukkan adanya kecenderungan dominasi jenis tertentu di suatu habitat (Priyono dan Abdullah, 2013). Apabila jumlah populasi suatu suku tidak mendominasi populasi suku lainnya maka nilai kemerataan akan cenderung tinggi (Khasanah, 2004). Menurut Fachrul (2012), komponen lingkungan akan mempengaruhi kemerataan biota pada suatu tempat, sehingga kemerataan jenis yang tinggi dapat dipakai untuk menilai kualitas suatu habitat.

Indeks kemerataan Collembola yang tinggi disebabkan hewan ini memiliki kemampuan hampir sama dalam memanfaatkan berbagai kondisi lingkungan untuk mempertahankan kehidupan. Menurut McNaughton dan Wolf (1998) bisa jadi ada 2 jenis atau lebih yang dapat hidup bersama di alam karena memiliki kebutuhan sumber makanan yang berbeda ataupun karena memiliki sumber makanan identik tetapi dibatasi beberapa faktor sehingga kompetisi tak terjadi. Habitat sesuai juga memungkinkan Collembola untuk hadir dengan kemerataan tinggi.

0,81 0,71 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 Semiorganik Nonorganik N ilai Inde ks Ke me rat aa n

151 Penelitian ini menunjukkan indeks kemerataan jenis pada kedua agroekosistem apel tidak memiliki perbedaan berarti. Menurut Kamal et al. (2011) hal ini dapat dipengaruhi oleh rantai makanan. Kemerataan jenis cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan keragaman struktur habitat. Perbedaan struktur habitat yang penyusun masing-masing tipe habitat juga turut mempengaruhi kemerataan jenis. Apabila kita membandingkan nilai indeks kemerataan maka dapat dikatakan bahwa kondisi serta pola rantai makanan dan struktur habitat pada kedua agroekosistem tersebut sama atau seragam. Hal ini sejalan dengan penelitian Fountain et al. (2007) yang menunjukkan bahwa aplikasi pestisida sintesis dan berbagai aktivitas manusia akan mempengaruhi kemerataan jenis Collembola yang dijumpai.

4. KESIMPULAN

Jenis Collembola yang ditemukan pada pada tipe agroekosistem apel semiorganik dan agroekosistem apel nonorganik adalah sama dan hanya berjumlah 3, yaitu Homidia cingula Börner, Isotomurus palustris Muller, dan Pseudachorutes javanicus Handschin. Keanekaragaman jenis pada agroekosistem apel semiorganik dan nonorganik adalah sama dan termasuk kategori rendah. Kemerataan Collembola pada tipe agroekosistem apel semiorganik dan nonorganik adalah sama dan termasuk memiliki kemerataan tinggi. Berdasarkan itu maka kualitas tanah di kedua agroekosistem apel relatif sama yaitu berkualitas rendah (kurang sehat) dan cenderung menghambat kehidupan Collembola. 5. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Tim Pelaksana Hibah Penelitian DIA-BERMUTU DIKTI Batch III tahun anggaran 2013-2014 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang yang telah mendanai penelitian ini. Terima kasih kepada Tim Kerja Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan UMM yang telah mereview artikel ini dan meminjamkan referensi terkait. Terima kasih pula kepada Bapak Dr. Suputa dari Laboratorium Entomologi Dasar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada yang telah membantu identifikasi dan verifikasi sampel Collembola yang ditemukan.

152

6. DAFTAR PUSTAKA

Agus, C. Wulandari, D. dan Purwanto, B.H. 2014. Peran mikroba starter dalam dekomposisi kotoran ternak dan perbaikan kualitas pupuk kandang. Jurnal Manusia dan Lingkungan 21(2): 179-187.

Anwar, E.K. 2007. Pengambilan contoh untuk penelitian fauna tanah. Dalam R. Saraswati, E. Husen, dan R. D. M. Simanungkalit (Eds). Metode Analisis Biologi Tanah. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembanga Petanian, Departemen Pertanian, Jakarta.

Bardgett, R.D. dan Cook, R. 1998. Functional aspect of soil animal diversity in agricultural grassland. Applied Soil Ecology 10: 263-276.

Borror, D.J. Tiplehorn, C.A. and Johnson, N.F. 1996. Pengenalan pelajaran serangga. Terjemahan oleh Soetiyono Partosoedjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Darwati. 2007. Keragaman dan kelimpahan mesofauna tanah pada beberapa tipe penggunaan lahan di daerah gunung bawang. Tesis. Tidak Dipublikasikan. Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Dharmawan, A. Ibrohim, T.H. Suwono, H. dan Susanto, P. 2005. Ekologi hewan. UM Press, Malang.

Djauhari, S. Mudjiono, G. Himawan, T. dan Sudarto. 2009. Pengujian kualitas tanah untuk lahan pertanian/perkebunan di Kota Batu. Laporan Penelitian. FP UB, Malang.

Elisa, F. Jasmi dan Abizar. 2013. Komposisi serangga tanah pada kebun karet di Nagari Padang XI Punggasan Kecamatan Linggo Saribaganti Kabupaten Pesisir Selatan. Laporan Penelitian. STKIP PGRI Sumatera Barat, Padang.

Fachrul, M.F. 2012. Metode Sampling bioekologi. Edisi 1 Cetakan III. Bumi Aksara, Jakarta.

Fountain, M.T. Brown, V. K. Gange, A.C. Symondson, W.O.C. and Murray, P.J. 2007. The effects of the insecticide chlorpyrifos on spider and collembola communities. Pedobiologia, 51(2): 147-158.

Ganjari, L.E. 2012. Kemelimpahan jenis collembola pada habitat vermikomposting. Widya Warta, 36(1): 131-144.

Hopkin, S.P. 1997. Biology of the springtails (insecta: Collembola). Oxford University Press, Oxford.

153 Indahwati, R. Hendrarto, B. dan Izzati, M. 2012. Keanekaragaman arthropoda tanah di lahan apel Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Semarang, 11 September. Indriyati dan Wibowo, L. 2008. Keragaman dan kemelimpahan

Collembola serta arthropoda tanah di lahan sawah organik dan konvensional pada masa bera. J. HPT Tropika 8 (2): 110 – 116. Janssens, F. 2010. Checklist of Collembola of the world. Diakses dari :

http://www.collembola.org. (10 November 2013).

Leksono, A. S. 2011. Keanekaragaman Hayati. UB Press, Malang.

Lisnawati, Y. Suprijo, H. Poedjirahajoe, E. dan Musyafa. 2014. Hubungan Kedekatan ekologis antara fauna tanah dengan karakteristik tanah gambut yang di drainase untuk HTI Acacia crassicarpa. Jurnal Manusia dan Lingkungan 21(2):170-178.

Kamal, M. Yustian, I. dan Rahayu, S. 2011. Keanekaragaman jenis arthropoda di Gua Putri dan Gua Selabe Kawasan Karst Padang Bindu, OKU Sumatera Selatan. J. Penelitian Sains 14(1):33-37. Khasanah, N. 2004. Struktur komunitas artropoda pada ekosistem

bawang merah tanpa perlakuan insektisida. Jurnal Agroland 11(4):358-364.

Krebs, C.J. 1989. Ecological methodology. Columbia: Harper collins publishers- University of British Columbia.

Meyer, J.R. 2009. Collembola: Springtails. Diakses dari: http://www.cals. ncsu.edu/course/ent425/library/compendium/collembola.html. (3 April 2014).

Maharadatunkamsi. 2011. Profil mamalia kecil Gunung Slamet Jawa Tengah. Jurnal Biologi Indonesia 7(1):171-185.

McGeoch, M.A. van Rensburg, B.J. and Botes, A. 2002. The verification and application of bioindicators: a case study of dung beetles in savanna ecosystem. J Appl Ecol 39: 661-672.

McNaughton, S.J. and Wolf, L.L. 1998. Ekologi umum. Edisi Kedua Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Noerdjito, W.A. 2010. Dampak kegiatan manusia terhadap keanekaragaman dan pola distribusi serangga di Gunung Salak. Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI.

154

Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor.

Odum, E.P. 1998. Dasar-Dasar ekologi. GMU Press, Yogyakarta.

Ponce, C. Carolina, B. de Leon, D.G. Magana, M. and Alonso, J.C. 2011. Effect on organic farming on plant and arthropod communities: a case study in Mediterranean Dryland Cereal. Agricultural, Ecosystems and Environment 141: 193-201.

Pramono dan Siswanto, E. 2007. Budidaya apel organik. Makalah Temu Pakar Pertanian Organik Buah-Buahan, Sumatera Barat.

Pribadi, T. 2009. Keanekaragaman komunitas rayap pada tipe penggunaan lahan yang berbeda sebagai bioindikator kualitas lingkungan. Tesis. Pascasarjana IPB. Bogor.

Priyono, B. dan Abdullah, M. 2013. Keanekaragaman jenis kupu-kupu di Taman Kehati UNNES. Biosaintifika 5(2): 76-81.

Rahmadi, C. Suhardjono, Y.R. dan Andayani, I. 2004. Collembola lantai hutan di kawasan hulu Sungai Tabalong Kalimantan Selatan. Biota, IX:179-185.

Rahmawati, N. 2005. Pemanfaatan Biofertilizer pada pertanian organik. Laporan Penelitian. FP USU, Medan.

Samudra, F.B. Izzati, M. dan Purnaweni, H. 2013. Kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda tanah di lahan sayuran organik “urban farming”. Maka ah disajikan ada eminar Nasiona Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan tahun 2013. Suhardjono, Y.R. Deharveng, L. dan Bedos, A. 2012. Collembola

(Ekorpegas). Vegamedia, Bogor.

Suwantoro, A.A. 2008. Analisis pengembangan pertanian organik di Kabupaten Magelang (studi kasus di Kecamatan Sawangan). Tesis. Pascasarjana UNDIP, Semarang.

Suwondo. 2002. Komposisi dan keanekaragaman mikroorthropoda tanah sebagai bioindikator karakteristik biologi pada tanah gambut. FKIP Universitas Riau, Pekanbaru.

Trimurti, S. 2010. Beberapa Kelompok fauna tanah yang tertangkap pada seresah dan dalam tanah di zona koleksi hutan alam kebun raya Unmul Samarinda. Scientifie 9(1): 107-110.

Utami, S.N.H. dan Handayani, S. 2003. Sifat kimia entisol pada pertanian organik. Jurnal Ilmu Pertanian 10: 63-69.

155 Weissman, L. Fraiber, M. Shine, L. Garty, J. and Hochman, A. 2006. Responses of antioxidants in the lichen ramalina lacera may serve as a warning nearly bioindication systems for detection of water pollution stress. Fems Microbiol Ecol 58: 41-53.

Widiyatno, Soekotjo, Suryatmojo, H. Supriyo, H. Purnomo, S. dan Jatmoko. 2014. Dampak penerapan sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur terhadap kelestarian kesuburan tanah dalam menunjang kelestarian pengelolaan hutan alam. Jurnal Manusia dan Lingkungan 21(1): 50-59.

156

Lingkungan dan Pembangunan

PENGEMBANGAN KOMPOSTER DAN BIOSTARTER

Dokumen terkait