• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis-jenis Jawaban

C. Etika Menjawab

3. Jenis-jenis Jawaban

Mencermati redaksi kalimat tanya-jawab yang terdapat pada ayat-ayat yang telah dimemukakan pada bab-bab sebelumya, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa shighat-shighat tanya jawab dalam al-Qur’ân terdiri dari tiga shighat, yaitu;

ﻚﻧﻮﺘﻔﺘﺴﻳ

yang artinya mereka meminta fatwa kepadamu tentang urusan-urusan dunia dan akhirat. Redaksi ini terdeapat pada dua tempat, yakni pada surat an-Nisâ’ ayat 153 dan ayat 176. Sighat

ﻚﻠﺌﺴﻳ

yang berarti “ia bertanya kepadamu” terdapat pada dua tempat, yakni pada surat an-Nisâ’ ayat 153 dan surat al-Ahzâb ayat 63, sementara

ﻚﻧﻮﻠﺌﺴﻳ

, yang berarti “mereka

bertanya kepadamu” terdapat di lima belas tempat, di ntaranya pada surat a- Baqarah ayat 189 dan al-Mâidah ayat 4.

Adapun jawaban-jawaban atas dialog langsung ini secara keseluruhan menggunakan kata “Qul“ sebagai respon langsung yang diberikan Nabi Muhammad atas bimbingan al-Qur’ân. Adapun jenis-jenis jawaban secara umum ditinjau dari aspek generalnya, dapat penulis garis awahi sebagai berikut:

1. Jawaban yang disampaikan bersifat penjelasan, ulasan, atau uraian rinci terhadap objek yang dipertanyakan baik menyangkut dimensi hikmah yang terkandung dalam materi pertanyaan, maupun menyangkut pengaruh ojek yang menjadi bahan pertanyaan dan kuantitas yang dipertanyakan.

2. Jawaban yang lugas dan langsung “to the point” terhadap materi. Abdullah bin Amru bin al-Ash ra. Berkata: “Ada seseorang bertanya kepada Rasul saw: Kelakuan apakah yang terbaik dalam Islam? “Jawab Nabi saw: Memberi makanan pada orang yang kekurangan dan memberi salam pada orang yang kau kenal dan yang belum kau kenal.” (HR. Bukhari dan Muslim)63

3. Jawaban yang disampaikan dengan cara lelucon atau gaya yang di dalamnya

dapat dipetik pelajaran seperti yang diberikan kepada seorang nenek yang bertanya kepada Nabi Muhammed saw. tentang apakah ia kelak akan masuk dalam surga.

63

4. Jawaban yang diberikan dalam bentuk pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban lisan, tetapi cukup direnungi dan dihayati maksudnya. Misalnya, kisah tentang seorang yang datang kepada Nabi Muhammad saw. dan bertanya tentang hukum berzina, Nabi menjawab dengan bentuk pertanyaan,

“Apakah kamu mau hal ini terjadi pada ibumu?”.

5. Jawaban yang disampaikan sama dengan pertanyaan yang diajukan secara berulang-ulang. Misalnya dalam sebuah Hadits Abu Dzar ra. berkata: “Saya datang kepada Nabi saw. sedang beliau tengah tidur berbaju putih, kemudian saya datang kembali dan ia telah bangun, lalu bersabda: “Tiada seorang hamba yang membaca:

ﷲﺍ

ﻻﺍ

ﻪﻟﺍﻻ

kemudian ia mati atas kalimat itu, melainkan pasti masuk surga”. Saya bertanya: “Meskipun ia telah berzina dan mencuri?”. Jawab Nabi saw.: “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri.” Saya bertanya: “Meskipun ia telah berzina dan mencuri?” Jawab Nabi saw.: “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri. “Saya bertanya: “Meskipun ia telah berzina dan mencuri?” Jawab Nabi saw.: “Meskipun ia pernah berzina dan mencuri, meski mengecewakan hidung Abu Dzar (meskipun mengecewakan diri Abu Dzar).64” (HR. Bukhari, Muslim).

6. Jawabanya dikembalikan kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya. Mu’adz bin Jabal ra. Berkata: “Ketika saya sedang mengikuti di belaknag kendaraan Nabi saw. tiada renggang antara aku dengan Nabi saw. kecuali belakang kendaraan

itu, tiba-tiba Nabi saw. memanggil: “Ya Mua’dz! “Jawabku:

ﻚﻳﺪﻌﺳﻭ

ﻚﻴﺒﻟ

”. Kemudian terus berjalan sejenak, lalu memanggil “Ya mua’dz! “Jawabku:

ﻌﺳﻭ

ﻚﻴﺒﻟ

ﻚﻳﺪ

"

Kemudian terus berjalan lalu memanggil “Ya mua’dz!

“Jawabku:

ﻚﻳﺪﻌﺳﻭ

ﻚﻴﺒﻟ

“Lalu bersabda: “Tahukah Anda apakah hak Allah yang diwajibkan atas hamba-Nya? “ Jawab Mu’adz: “Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui. “Maka sabda Nabi saw: “Hak Allah yang diwajibkan atas hamba-Nya, supaya mereka menyembah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan Allah dengan suatu apapun.” Kemudian meneruskan perjalanan, lalu bertanya: “Ya Mua’dz bin Jabal! “Jawabku:

ﻚﻳﺪﻌﺳﻭ

ﻚﻴﺒﻟ

“Lalu ditanya: “Tahukah Anda apakah hak hamba jika mereka telah melaksanakan kewajiban itu? “ Jawab Mu’adz: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. “Maka sabda Nabi saw: “Hak hamba atas Allah bahwa Allah tidak akan menyiksa mereka.”65

7. Jawaban tidak selamanya dinyatakan dalam bentuk lisan, akan tetapi bisa juga dengan diam atau dengan gerakan tubuh, misalnya dengan mengangguk dan menggeleng atau dengan gerakan tangan dan sebagainya. Contoh dari Abi Hurairah, bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda: “Tidak boleh dinikahkan seorang janda melainkan sesudah diajak berembuk, dan tidak boleh dinikahkan seorang perawan melainkan sesudah dimintai izinnya.

65 Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarf al-Nawawy, Terjemah Riyadh al-Shalihin. Ter. H.Salim Bahresy, Jilid 1 ( Bandung : PT.al-Ma’arif, 1986, h. 487

“Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana izinnya?” Sabdanya: “Diamnya”

8. Jawaban yang bertingkat-tingkat sebagaimana jawaban yang diberikan Nabi Muhammad saw. kepada pertanyaan. Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah saw. ditanya: “Apakah amal yang utama?” Jawab Nabi saw.: “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya. “Lalu ditanya: “Kemudian apakah?” Jawabnya: “Jihad berjuang fi sabilillah (untuk menegakkan agama Allah),” Ditanya: “Kemudian apakah?” Jawab Nabi saw: “Haji yang mabrur (diliputi amal kebaikan)”66

9. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban tapi butuh perenungan terhadap

pertanyaan itu. sebagaimana pertanyaan yang terdapat pada surat al- Ghâsyiyah ayat 17-20 seperti berikut:

ﻒﻴﹶﻛ

ﹺﻞﹺﺑﹺﺈﹾﻟﺍ

ﻰﹶﻟﹺﺇ

ﹶﻥﻭﺮﹸﻈﻨﻳ

ﺎﹶﻠﹶﻓﹶﺃ

ﺖﹶﻘﻠﺧ

0

ﺖﻌﻓﺭ

ﻒﻴﹶﻛ

ِﺀﺎﻤﺴﻟﺍ

ﻰﹶﻟﹺﺇﻭ

0

ﻒﻴﹶﻛ

ﹺﻝﺎﺒﹺﺠﹾﻟﺍ

ﻰﹶﻟﹺﺇﻭ

ﺖﺒﺼﻧ

0

ﺖﺤﻄﺳ

ﻒﻴﹶﻛ

ﹺﺽﺭﹶﺄﹾﻟﺍ

ﻰﹶﻟﹺﺇﻭ

Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung- gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia

dihamparkan?”. (QS. al-Ghâsyiyah [88]: 17-20).

Pada masa awal periode Islam, jawaban atas pertanyaan disampaikan secara langsung oleh Nabi Muhammad kepada para sahabat yang menanyakan masalah-masalah yang dihadapi sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab

sebelumnya baik pertanyaan yang bersifat hakiki maupun yang bertendensi menguji ilmu pengetahuan seorang.

Dari penjelasan-penjelasan yang telah penulis kemukakan pada poin-poin di atas, dapat dikatakan bahwa, al-Qur’ân yang berarti bacaan yang sempurna dan dapat disebut sebagai miniatur ayatullah, himpunan firman Allah dan garis besar terjemahan alam semesta, yang bersifat mukjizat ini bukanlah sekedar dokumen histioris atau pedoman hidup dan tuntunan spiritual bagi sekalian manusia, tetapi juga sebagai mitra dialog dan tempat mengadukan dan menghadapkan macam-macam urusan kehidupan yang konkrit, sehingga wajib “diajak” untuk berdiskusi, ditelaah isinya, dinalar sekaligus diamalkan.

Kitab suci, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang lalu disampaikannya kepada kita secara mutawatir dan ditulis dalam sebuah mushaf yang mendengarkan dan membacanya saja mendapatkan pahala.

Sebagai kitab suci yang banyak mengandung nasehat dan pelajaran bagi manusia ini, konsep bertanya yang terdapat dalam banyak ayat memiliki banyak implikasi pendidikan yang positif untuk diimplementasikan dalam dunia belajar- mengajar. Konsep bertanya, bukan saja menjadi instrumen penting dalam rangka mencari dan menggali ilmu pengetahuan tetapi betapa banyak persoalan- persoalan agama, hukum, dan lain sebagainya bisa diketahui setelah adanya pertanyaan ini.

Sebagai salah satu metode mencari ilmu, unsur pertanyaan memainkan peranan konstruktif dalam dunia pendidikan karena dengan bertanya masalah yang dihadapi dapat diselesaikan atau persoalan yang belum diketahui, bisa diketahui melalui pengajuan pertanyaan. Sebagai implementasinya, al-Qur’ân meletakkan dasar pijakan sehubungan dengan persoalan bertanya dan kepada siapa pertanyaan itu hendaknya disampaikan agar memperoleh jawaban yang benar, yaitu bertanya kepada pakar-pakar disiplin ilmu sejalan dengan spesialisasinya masing-masing sehingga tidak terjadi kekeliruan penyampaian ilmu pengetahuan yang ditanyakan baik menyangkut ilmu agama, pengetahuan umum, atau cabang-cabang ilmu lainnya.

Dalam visi qur’âni, pencarian ilmu yang dilakukan dengan cara bertanya tidak terbatas hanya pada ajaran khusus syari’ah, tapi juga berlaku untuk setiap pengetahuan yang dapat menjadi alat dalam membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan. Setiap ilmu, apakah itu teologi atau fisika, adalah alat untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, dan selama ilmu tersebut memainkan peranan ini, maka ia sakral.67

Seruan untuk bertanya kepada ahlinya, mencerminkan ajakan kepada umat Islam untuk mencari dan menimba ilmu pengetahuan dari ahli-ahli yang berkompetensi di bidangnya dalam rangka mendapatkan ilmu dan kearifan,

67

Mahdi Ghuslsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur’ân, (Bandung: Mizan, Nopember 1998), h. 73

karena menurut perspektif qur’ani bahwa orang-orang yang berpengetahuan memiliki kedudukan derajat yang tinggi. Adalah tidak sama derajat kedudukan antara mereka yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui.

000

ﺎﹶﻟ

ﻦﻳﺬﱠﻟﺍﻭﹶﻥﻮﻤﹶﻠﻌﻳﻦﻳﺬﱠﻟﺍﻱﹺﻮﺘﺴﻳ

ﹾﻞﻫ

ﹾﻞﹸﻗ

ﹶﻥﻮﻤﹶﻠﻌﻳ

000

Artinya: “…Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan

orang-orang yang tidak mengetahui…?” (Q.S. al-Zumar [39]: 9).

Karena bertanya merupakan salah salah satu elemen penting dalam proses menimba ilmu pengetahuan, maka Rasulullah saw. pun menghimbau umat Islam agar mencari jawaban-jawaban materi ilmu yang belum diketahuinya sekalipun harus ke negeri luar. Hal ini menunjukkan bahwa mencari ilmu memiliki ketentuan hukum wajib bagi seorang muslim lelaki maupun perempuann, dan ketentuan seperti ini berlaku dari usia kecil hingga tua, sejak lahir hingga meninggal. Demikian penting arti sebuah ilmu, sehingga ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. menitikberatkan pada unsur-unsur pencarian ilmu pengerahuan dengan metode membaca yang merupakan salah satu sarana mencari ilmu pangetahuan. Oleh karenanya, jika suatu cabang ilmu pengetahuan terdapat di luar negeri maka seorang muslim berkewajiban mencari dan mengejarnya.

“Hikmah (kearifan) itu kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja ia mendapatkannya, maka ia lebih berhak memilikinya”.

“Ambillah ilmu dari apa yang dikatakan orang-orang”.68

Terkait dengan masalah ini, Ali bin Abi Thalib mengatakan:

Dianjurkan bagi orang yang berakal untuk menambahkan pendapat

orang bijak lainnya kepada pendapatnya, dan menambahkan ilmu para

bijak kepada ilmunya.69 Juga ilmu adalah harta kekayaan orang mukmin

yang hilang, maka ambillah sekalipun dari tangan-tangan non-muslim”.70

Masalah spesialisasi yang disebut Ahl al-Dzikr oleh al-Qur’ân, telah dikenal pada zaman Nabi Muhammad saw. Di mana untuk pelayanan-pelayanan tertentu semisal al-Qur’ân, tajwid, syari’ah, harus belajar pada guru-guru tertentu yang dianggap cakap dan ahli. Nabi pun mengajarkan olah raga dan keterampilan (memanah, berenang, menunggang kuda, dan sebagainya), astronomi, cara meramu obat-obatan, geneologi, dan fonatika praktis yang diperlukan untuk membaca al-Qur’ân.71 Seruan-seruan untuk bertanya mendapat konsern serius dalam al-Qur’ân sebagaimana terdapat pada surah al-Nahl: 16 ayat 42, surah al- Furqân: 25 ayat 59, dan surah al-Isrâ’: 17 ayat 101, serta surah al-Qolam: 68 ayat 40.

Dalam implikasinya, pertanyaan yang menjadi salah satu metodologi pendidikan telah diimplementasikan dalam dunia pendidikan nyata dewasa ini di

68

Muhammad Bagir Majlisi, Bihar Al-Anwar,(Tt., Tp., Tth.), Jilid 11, h. 105 69

Amidi, Ghurar Al-Hikam Wa Durl Al-Hikam“ (Taheran: Univ, Pres, Tth), Jilid 111, h. 408

70

Ibn Abd Al-Bar, Jami Al-Bayan Al-Ilm, Jilid 1, h. 121 71

mana seorang pengajar setelah menjelaskan pelajaran-pelajaran yang diberikan kepada murid/siswa/mahasiswa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengajukan suatu pertanyaan terkait dengan materi-materi yang disampaikannya dalam kerangka mengetahui tingkat pemahaman dan penerimaan seorang setelah mendapatkan penjelasan-penjelasan yang disampaikan seorang guru. Dalam dunia belajar-mengajar, jawaban-jawaban atas pertanyaan tertulis dalam bentuk ujian akhir tahun merupakan barometer kenaikan seorang didik atau tidaknya pada level yang lebih tinggi lagi.

Kenyataan di atas telah eksis pada masa awal Islam, yaitu ketika Nabi Musa as. sendiri mengajukan pertanyaan kepada Nabi Khidir as. tentang boleh tidaknya menimba ilmu pengetahuan darinya. Proses tanya-jawab dalam peristiwa perjalanan mencari ilmu pengetahuan antara Musa dan Khidir yang didahului dengan permintaan/pertanyaan Musa kepada Khidir dengan bahasa yang penuh dengan kesopansantunan sebagaimana yang dilukiskan al-Qur’ân pada surat al-Kahfi ayat 66 berikut ini:

000

ﺍﺪﺷﺭﺖﻤﱢﻠﻋ

ﺎﻤﻣ

ﹺﻦﻤﻠﻌﺗﱢ

ﹾﻥﹶﺃ

ﻰﹶﻠﻋ

ﻚﻌﹺﺒﺗﹶﺃ

ﹾﻞﻫ

Syeikh Muhammad Ali al-Shabuni mengatakan dalam menafsirkan ayat di atas: “Apakah aku diperbolehkan/diizinkan menemanimu untuk menimba ilmu

pengetahuan darimu yang dapat bermanfaat untuk kehidupanku?” 72

72

Para pakar Tafsir menulis, bahwa redaksi ayat ini menunjukkan suatu percakapan yang penuh dengan sopan santun dari seorang Nabi dan sikap seperti ini hendaknya dicontoh dan diteladani oleh setiap orang yang hendak mencari ilmu pengetahuan dengan gurunya.

Ayat ini menunjukkan bahwa dalam bertanya kepada seorang pendidik hendaknya mempergunakan bahasa yang halus dan sopan dan ketika proses kegiatan belajar-mengajar berlangsung hendaknya seorang peserta didik tidak melakukan interupsi kepada seorang pendidik sebelum selesai menerangkan materi yang disampaikannya, karena selain mengganggu wacana dan ilmu pengetahuan yang sedang disampaikan, ia juga keluar dari batas-batas kesopanan seorang peserta didik terhadap sang guru/pendidik. Metodologi seperti ini telah disinggung al-Qur’ân sebagaimana yang dikatakan Nabi Khidir kepada Nabi

Musa as: “Jika engkau mengikuti, maka jangan sekali-kali menanyakan

kepadaku tentang sesuatu yang aku kerjakan sebelum aku sendiri

menjelaskannya kepadamu”. Larangan interupsi pada saat proses

berlangsungnya belajar-mengajar ini dimaksudkan agar kegiatan pendidikan terarah dan terkonsentrasi sepenuhnya sehingga seorang anak didik dapat menyerap segala ilmu yang disampaikan pendidik. Hal ini dijelaskan al-Qur’ân Surat al-Kahfi: 18 ayat 70 berikut:

ﹶﺙﺪﺣﹸﺃ

ﻰﺘﺣٍﺀﻲﺷ

ﻦﻋ

ﻲﹺﻨﹾﻟﹶﺄﺴﺗ

ﺎﹶﻠﹶﻓ

ﻲﹺﻨﺘﻌﺒﺗﺍ

ﻥﹺﺈﹶﻓ

ﹶﻝﺎﹶﻗ

ﺍﺮﹾﻛﺫ

ﻪﻨﻣ

ﻚﹶﻟ

Demikian penting sistem qur’ani dalam metodologi pendidikan yang melarang seseorang melakukan kegiatan/aktifitas interupsi ketika proses belajar- mengajar berlangsung sehingga bila diimplementasikan dalam dunia pendidikan akan memiliki dampak positif bagi perkembangan ilmu pendidikan dan ilmu pengetahuan, karena materi-materi yang diberikan tidak mengalami distorsi sedikitpun dan menjadi jelas dan tuntas tidak sebagaimana ketika munculnya sebuah interupsi yang menimbulkan kurang maksimalnya materi-materi yang diberikan karena terputus sebelum selesai diberikan.

155

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejalan dengan uraian-uraian pada bab-bab di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Pada dasarnya secara redaksional, pertanyaan-pertanyaan yang

terkandung dalam al-Qur’ân tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik dalam maksud dan tujuannya dengan pertanyaan-pertanyaan lain di luar struktur kalimat bertanya al-Qur’ân, yakni meminta klarifikasi perihal materi-materi yang dipertanyakan sehubungan dengan belum diketahuinya objek-objek yang menjadi bahan pertanyaan oleh pihak penanya. Hal ini dapat ditemukan pada banyak ayat al-Qur’ân antara lain pertanyaan tentang kedudukan dan fungsi bulan sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah: 2: 189, pertanyaan tentang bentuk infak dan kelompok penerimanya seperti terdapat dalam surah yang sama ayat 215. Demikian juga halnya dengan kedudukan bulan haram untuk berperang pada ayat 217, serta dampak mengkosumsi minuman keras/minuman beralkohol dan praktek-praktek perjudian, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Selain pertanyaan yang bertujuan mendapatkan jawaban yang dikehendaki karena ketidaktahuan menyangkut suatu permasalahan yang dipertanyakan, terdapat pula pertanyaan-pertanyaan yang memiliki motivasi lain, yakni ingkari istib’adi yakni suatu pertanyaan yang

diajukan sebagai penolakan atau pengejekan dan bahkan penghinaan baik terhadap kebenaran materi yang dipertanyakan maupun terhadap pribadi Nabi. Pertanyaan seperti ini biasanya menyangkut masalah keimanan terhadap peristiwa terjadinya hari kiamat yang diajukan oleh orang-orang non-muslim sebagaimana pertanyaan tentang hari kiamat yang terdapat pada surah al-A’râf: 7: 187, al-Nâziat: 79: 42. Pertanyaan- pertanyaan tersebut bukan untuk mendapatkan suatu kejelasan dan kebenaran, melainkan hanya penolakan dan bahkan penghinaan terhadap berita kebenaran datangnya hari kiamat. Tujuan lain selain dua motivasi pertanyaan di atas terdapat maksud lain yakni suatu pertanyaan yang memiliki tendensi pengetesan dan pengujian terhadap salah satu penguasaan cabang ilmu pengetahuan sebagaimana pertanyaan tentang masalah ruh yang merupakan salah satu bahasan ilmu filsafat pada surah al-Isrâ’: 17: 85, dan demikian pula halnya pertanyaan tentang ilmu sejarah yang terdapat dalam surah al-Kahfi: 18: 83, serta pertanyaan tentang ilmu geologi pada surah Thâha: 20: 105.

2. Sebagai metode bertanya, al-Qur’ân telah memainkan peran konstruktif

dalam meletakkan metode pendidikan tentang konsep pengajuan

pertanyaan di mana al-Qur’ân menekankan bahwa pertanyaan harus diajukan kepada pakar yang memang memiliki keahlian dalam bidang disiplin ilmu pengetahuan yang menjadi topik permasalahan, bukan kepada seorang pakar atau guru yang tidak menguasai pengetahuan terhadap materi yang ditanyakan untuk menghindari kekeliruan dalam

memberikan informasi dan mengabadikan kebenaran ilmu pengetahuan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, konsep Qur’ani menyangkut pengajuan pertanyaan kepada ahlinya ini diulang-ulang sebanyak 6 kali antara lain dalam surah al-Nahl: 16: 43 dan surah al-Anbiyâ: 21: 7 serta pada surah al-Furqân: 25: 59. Selain masalah tersebut di atas, pertanyaan juga hendaklnya tidak dilakukan secara berlebih-lebihan sehingga menyulitkan penanya itu sendiri ketika mendapat jawaban sebagaimana larangan bertanya secara berlebih-lebihan pada surah al-Mâ’idah: 5: 151, karena hal ini dapat menimbulkan akumulasi permasalahan yang semakin membebani pihak penanya. Pertanyaan yang diajukan harus tetap mengedepankan tata krama kesopanan di hadapan nara sumber/seorang guru dan menjaga etika kesopanan tidak berlebih- lebihan sehingga tidak mengkaburkan esensi pokok permasalahan yang dihadapi dan menyulitkan orang yang ditanya seperti pertanyaan yang pernah diajukan orang-orang bani Israel kepada Nabi Musa as tentang perihal perintah pemotongan seekor sapi betina sebagaimana dielaborasikan al-Qur’ân pada surah al-Baqarah: 2: 67.

3. Signifikansi bertanya sebagai metodologi pendidikan menurut al-Qur’ân

memberikan cerminan kondusif bagi peraihan dan pencarian sains. Seruan-seruan al-Qur’ân terkait dengan konsepsi dunia pendidikan yang termuat dalam beberapa ayat-ayatnya ini, dimaksudkan agar ummat Islam senantiasa mengingat kewajiban menuntut ilmu pengetahuan selama hidupnya tanpa mengenal pembatasan baik usia maupun

geografis. Implementasi nyata terhadap pesan-pesan Qur’âni sehubungan dengan konsepsi pendidikan berupa pencarian dan penimbaan ilmu pengetahuan melalui penerapan prinsip bertanya yang merupakan bagian penting dari proses pendidikan dapat melahirkan kapabilitas handal dalam disiplin ilmu, yang pada gilirannya menghasilkan ilmuwan- ilmuwan muslim baru dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga kejumudan dan stagnasi tidak lagi menghiasi peta-peta dunia keilmuan di negara-negara Islam di satu sisi dan di sisi lain ummat Islam dapat mengejar ketertinggalan dan menjadi umat terbaik dalam dimensi keilmuan dan pengetahuan.

B. Saran-saran

1. Penulis menyarankan kepada para pembaca dan para peneliti agar

kiranya dapat mengimplementasikan konsep tuntunan al-Qur’ân dalam perihal bertanya dengan tetap mengedepankan pertanyaan-pertanyaan yang riil yang memang belum diketahui dan dipahami benar materi- materi permasalahan yang dipertanyakan. Oleh karena esensi pertanyaan yang sebenarnya haruslah bertolak dari apa yang belum diketahui,

bukan didasarkan pada motivasi lain yang tendensius seperti halnya pertanyaan yang memiliki maksud penolakan, pencemoohan, atau bahkan penghinaan dan cercaan yang bukan mencari suatu kebenaran. Kondisi seperti ini bukan tradisi sikap ummat Islam melainkan kebiasaan orang kafir quraisy dan orang-orang Yahudi. Selain saran di atas, penulis juga menyarankan agar konsep metodologi bertanya kepada pakar-pakar

disiplin ilmu pengetahuan terus dikembangkan dalam dunia pendidikan sehingga jawaban-jawaban yang diberikan dapat berperan memberikan solusi bagi masalah-masalah yang tengah dihadapinya baik menyangkut objek-objek ketentuan hukum, tatanan sosial, aturan ekonomi, prinsip- prinsip moralitas, dan norma-norma kehidupan sosial dan individu yang belum mendapatkan kajian para pakar disiplin ilmu. Jawaban-jawaban terhadap objek-objek pertanyaan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi yang progresif bagi wawasan ke-Islaman ummat Islam di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat diajukan kepada lembaga yang berafiliasi dengan Perguruan Tinggi terkait seperti Pusat Kajian Qur’âni atau Institut Pemikiran Islam yang mengkaji tentang al- Qur’ân dan tafsirnya.

2. Menyangkut signifikansi kegunaan konsep bertanya dalam al-Qur’ân, penulis menyarankan agar etika bertanya tentang bagaimana pertanyaan tersebut disampaikan dan jawaban diberikan tetap diupayakan pelaksanaanya dalam dunia pendidikan sehingga memberikan nuansa diferensi antara konsep metodologi yang Islamis dengan yang tidak Islamis. Pendirian lembaga-lembaga kajian Qur’âni menyangkut konsep metodologi pendidikan dan pengembangannya harus tetap diupayakan agar dapat mengungkap hal-hal baru yang dapat memainkan peran dan memberikan kontribusi baru dalam dunia pendidikan.

3. Penulis menyarankan dibentuknya suatu lembaga Pendidikan Qur’ani

dedikasi tinggi dalam bidang ilmu ketafsiran demi terwujudnya pengembangan bidang tafsir, yang ada kaitannya dengan masalah pendidikan atau yang juga disebut Tafsir Tarbawi sehingga hasil kajian-

kajian yang dikeluarkan dapat memberikan peranan dalam

161

‘Abd. al-Baqi, Muhammad Fu’ad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz al-

Qur’ân bi Hasyiyah al-Mushaf al-Syarif, Beirut: Dâr al-Fikr, 1992, Cet. ke-3

‘Abd. Rasul, Ali, al Mabadi al-Iktishodiyah fi al-Islâm, Kairo: Dâr al-Fikr

Dokumen terkait