• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis – jenis Pola Asuh

LANDASAN TEORI

B. Pola Asuh

B.4. Jenis – jenis Pola Asuh

Jenis-jenis pola asuh terdiri dari authoritative, authoritarian, permissive, dan uninvolved (Baumrind, Maccoby & Martin dalam Papalia, 2008). Kategorisasi setiap jenis pola asuh berdasarkan tinggi atau rendahnya aspek pola asuh. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui tabel berikut :

Tabel 1. Kategorisasi jenis pola asuh Aspek Pola Asuh Warm Tinggi Rendah Control Tinggi Rendah Communication Tinggi Rendah Authoritative √ √ √ Authoritarian √ √ √ Permissive √ √ √ Uninvolved √ √ √

Menurut Baumrind (dalam Papalia, 2008) terdapat 3 jenis pola asuh, yaitu: a. Pola asuh authoritharian

Gaya yang membatasi, menghukum, memandang pentingnya kontrol dan kepatuhan tanpa syarat. Orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Menerapkan batas dan kendali yang tegas kepada anak dan meminimalisir perdebatan verbal serta memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan menunjukkan amarah kepada anak (Santrock, 2003). Cenderung tidak bersikap hangat kepada anak. Anak dari orang tua otoriter seringkali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktifitas, memiliki kemampuan komunikasi yang lemah (Papalia, 2008).

b. Pola asuh authorithative

Pola asuh authorithative adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Mendorong anak untuk mandiri namun menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka (Santrock, 2003). Orang tua memiliki keyakinan diri akan kemampuan membimbing anak-anak mereka, tetapi juga orang tua menghormati independensi keputusan, pendapat, dan kepribadian anak. Mereka mencintai dan menerima, tetapi juga menuntut

perilaku yang baik, dan memiliki keinginan untuk menjatuhkan hukuman yang bijaksana dan terbatas ketika hal tersebut dibutuhkan. Tindakan verbal memberi dan menerima, orang tua bersikap hangat dan penyayang kepada anak. Menunjukkan dukungan dan kesenangan kepada anak. Anak-anak merasa aman ketika mengetahui bahwa mereka dicintai dan dibimbing secara hangat (Papalia, 2008). Serta orang tua mengajarkan disiplin kepada anak agar anak dapat mengeksplorasi lingkungan dan memperoleh kemampuan interpersonal. Anak yang memiliki orang tua yang otoritatif bersifat ceria, bisa mengendalikan diri, berorientasi pada prestasi, mempertahankan hubungan dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dapat mengatasi stres dengan baik (Parke & Gauvain, 2009).

c. Pola asuh permissive

Gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol. Membiarkan anak melakukan apa yang mereka inginkan. Anak menerima sedikit bimbingan dari orang tua, sehingga anak sulit dalam membedakan perilaku yang benar atau tidak. Serta orang tua menerapkan disiplin yang tidak konsisten sehingga menyebabkan anak berperilaku agresif. Anak yang memiliki orang tua permissive kesulitan untuk mengendalikan perilakunya, kesulitan berhubungan dengan teman sebaya, kurang mandiri dan kurang eksplorasi ( Parke & Gauvain, 2009).

Kemudian Aleanor dan John Martin (dalam papalia, 2008) menambahkan satu jenis pola pengasuhan yaitu:

d. Pola asuh Uninvolved

Gaya pengasuhan dimana orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak mereka. Lebih mementingkan akan kebutuhan mereka sendiri dibandingkan dengan kebutuhan anak. Anak dari orang tua yang mengasuh dengan cara

uninvolved maka memiliki keterampilan sosial yang rendah, kemandirian yang kurang baik, dan tidak termotivasi untuk berprestasi (Parke & Gauvain, 2009). C.Kanak-kanak Akhir

Masa kanak-kanak akhir dikenal dengan anak usia sekolah yang berada pada rentang usia 6 hingga 12 tahun. Masa ini ditandai dengan kondisi untuk menyesuaikan diri maupun sosial terhadap lingkungan (Hurlock, 1980). Terdapat beberapa label yang biasa digunakan untuk anak usia sekolah. Label yang sering dipergunakan orangtua, yaitu usia yang menyulitkan, usia tidak rapi, dan usia bertengkar. Label yang dipergunakan para pendidik, yaitu usia sekolah dasar dimana anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang penting untuk kehidupannya kelak. Sedangkan, para ahli psikologi menyebut masa ini dengan sebutan usia berkelompok, usia penyesuaian diri, usia kreatif, dan usia bermain (Hurlock, 1980). Anak usia sekolah memiliki beberapa fase perkembangan yaitu perkembangan intelektual, bahasa, sosial, emosi, moral, dan motorik (Yusuf, 2004).

C.1 . Fase Perkembangan Kanak-kanak Akhir a. Perkembangan Intelektual

Anak sudah mampu dalam menanggapi rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual dan kognitif seperti membaca, menulis, dan menghitung. Kemampuan intelektual ditandai dengan adanya perkembangan pola pikir dan daya nalar. Daya nalar anak dapat dikembangkan dengan melatih anak untuk mengungkapkan pendapatnya baik yang dialaminya atau yang terjadi pada lingkungan (Yusuf, 2004).

Pada masa ini daya pikir anak kearah konkrit operasional, yang ditandai dengan berkembangnya kemampuan baru, yaitu kemampuan mengklasifikasi, menyusun dan mengasosiasikan dan anak sudah mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang sederhana (Yusuf, 2004).

b. Perkembangan Bahasa

Usia sekolah dasar ini merupakan masa berkembangnya kemampuan untuk mengenal dan menguasai perbendaharaan kata. Pada awal masa ini , anak sudah menguasai 2.500 kata, dan pada masa kanak-kanak akhir anak mampu menguasai 50.000 kata. Pada kemampuan berpikir anak sudah mengalami perkembangan, dimana anak sudah memahami mengenai sebab akibat dan waktu (Yusuf, 2004).

c. Perkembangan Sosial

Perkembangan pada anak usia sekolah dasar ditandai dengan berkembangnya hubungan, disamping dengan keluarga juga memulai dengan adanya ikatan baru

dengan teman sebaya. Pada masa ini anak bersikap egosentris. Memiliki keinginan yang kuat untuk bergabung dalam sebuah kelompok (Yusuf, 2004).

Kemampuan sosial ini membuat anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan dalam kemampuan sosial ini dapat digunakan dalam memberikan tugas-tugas kelompok. Tugas-tugas kelompok ini memberikan kesempatan kepada anak untuk menunjukkan prestasinya (Yusuf, 2004).

d. Perkembangan Emosi

Pada masa ini, anak sudah menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidak dapat diterima oleh masyarakat. Oleh sebab itu, anak mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosi. Kemampuan mengontrol diperoleh anak melalui latihan. Emosi merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku individu, termasuk dalam perilaku belajar. Emosi yang positif akan mengarahkan anak untuk berkonsentrasi terhadap aktifitas belajarnya (Yusuf, 2004).

e. Perkembangan Moral

Anak mulai mempelajari konsep moral pertama kali pada lingkungan keluarga. Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mematuhi tuntutan dari orang tua atau lingkungannya. Pada akhir usia ini, anak sudah dapat memahami alasan yang mendasari suatu peraturan dan juga anak sudah mampu mengasosiasikan bentuk perilaku dengan konsep benar dan salah atau baik dan buruk (Yusuf, 2004).

f. Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik anak sudah dapat berkoordinasi dengan baik. Setiap gerakannya sudah selaras dengan kebutuhan atau minatnya. Pada masa ini ditandai dengan kelebihan gerak. Oleh sebab itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk belajar keterampilan yang berkaitan dengan motorik, seperti menulis, main bola, menggambar, dan melukis (Yusuf, 2004).

Perkembangan fisik yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar, baik dibidang pengetahuan maupun keterampilan. Oleh sebab itu, perkembangan motorik sangat menunjang keberhasilan belajar. Pada masa ini, anak sudah menerima beberapa pelajaran keterampilan (Yusuf, 2004).

D.Tionghoa dan Non-Tionghoa D.1. Tionghoa

a. Praktik Pengasuhan Orang tua Tionghoa

Orang tua Tionghoa memberikan beberapa tanggung jawab terhadap anaknya. Di mana dalam hal ini orang tua meminta anak untuk terus mengembangkan diri dan introspektif diri. Untuk mencapai karakter yang terintegrasi moral, seseorang harus bersikap sederhana. Untuk mengetahui tujuan, maka seseorang terus mencari pengetahuan, dengan cara memupuk rasa keuletan untuk mencapai tujuan yang dilaksanakan. Anak dari keluarga Tionghoa dituntut untuk memiliki harapan atau cita-cita yang tinggi ( Xu Xin, 2010 ).

Orang tua Tionghoa mengajarkan cara agar anak disiplin, moral, serta kebajikan. Orang tua merasa bahwa tanpa ada disiplin yang ketat dan standar

moral, seorang anak tidak akan menjadi apa-apa. Tanpa mengetahui apa artinya menghormati kepada kedua orang tua, seorang anak akan tumbuh menjadi seseorang yang tidak menghormati siapapun. Seperti seorang anak yang tumbuh dalam kebajikan ( Xu Xin, 2010 ).

Pendidikan dinilai penting pada keluarga Tionghoa sehingga anak Tionghoa dituntut untuk memahami potensi yang ia miliki. Orang tua membiasakan anak untuk menjadi pribadi yang cerdas, ulet dan mendukung serta mengarahkan anak dalam pendidikannya. Ditambah lagi dengan orang tua yang mendidik anaknya untuk bekerja keras dalam pendidikan, dengan hal ini anak mampu untuk mengembangkan diri dan memperoleh prestasi akademik yang baik di sekolah (Maloedyn, 2010).

Dokumen terkait