• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

4.6. Ibu yang Mengalami BBLR dan KJDK Berdasarkan Antropometri

5.1.3. Jenis Pekerjaan Ibu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas ibu yang mengalami BBLR (84,8%) dan KJDK (89,4%) memiliki jenis pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, sementara yang paling sedikit adalah PNS. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ginting,

C, (2003) di RSU Dr. Pirngadi Medan, bahwa pada umumnya ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR memiliki pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (67,3%), sedangkan yang terendah adalah ibu yang mempunyai pekerjaan sebagai wiraswasta (4,2%). Hal yang sama juga diperoleh Nisa, (2001) di RS Haji Medan yang melaporkan bahwa umumnya ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR mempunyai pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (59,18%), dan hasil ini juga tidak jauh beda dengan penelitian Sembiring, S., (2002) di RS Ibu dan Anak Sri Ratu Medan yang melaporkan bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR umumnya sebagai Ibu Rumah Tangga (68,8%).

Menurut penelitian Zubaidah, (2005) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan kejadian bayi dengan BBLR. Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan hanya penyebab yang tidak langsung terhadap kejadian bayi dengan BBLR dan KJDK.

5.2. Ibu yang Mengalami BBLR dan KJDK Berdasarkan Keadaan Biomedis 5.2.1. Paritas

Kehamilan yang paling optimal adalah kehamilan kedua sampai keempat. Kehamilan pertama dan setelah kehamilan keempat mempunyai risiko tinggi. Kehamilan risiko tinggi sering disertai penyulit seperti kelainan letak, perdarahan ante partus, perdarahan post partum, dan lain-lain (Martaadisoebrata, 2005). Kehamilan dan persalinan yang mempunyai risiko adalah anak pertama dan anak keempat atau lebih. Pada kehamilan dan persalinan pertama ada kekakuan dari otot

sedangkan pada anak keempat atau lebih adanya kemunduran daya lentur jaringan yang sudah berulang kali diregangkan oleh pada waktu hamil (Tjipta, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (75,2%) ibu yang mengalami BBLR memiliki jumlah persalinan atau paritas 0, sementara yang paling sedikit (6,8%) pada paritas 1. Sedangkan ibu yang mengalami KJDK, paling banyak (44,4%) pada paritas 2 dan 3, dan yang paling sedikit (7,4%) pada paritas 1. Hasil yang sama juga diperoleh Ginting, C, (2003) di RSU Dr. Pirngadi Medan, bahwa umumnya ibu yang melahirkan bayi BBLR mempunyai paritas 0 (76,3%), kemudian disusul paritas 2-4, yaitu (9,1%), sedangkan pada paritas 1 dan paritas > 4 masing-masing (6,1%) dan (8,5%). Hasil yang sama juga diperoleh Sembiring, S.,(2002) yang melaporkan bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR umumnya mempunyai paritas 0 tahun (51,9%), pada paritas 1-5 (46,2%), hal ini juga didukung oleh penelitian Sulaiman (1986) di daerah Bogor yang menyimpulkan bahwa tingkat kejadian BBLR pada paritas pertama lebih tinggi.

Pada umumnya berat badan lahir meningkat dengan semakin tingginya paritas. Bayi kedua (paritas 1) sekitar 100 gr lebih berat apabila dibandingkan dengan bayi yang lahir pada kehamilan pertama (paritas 0). Bayi yang lahir pada kehamilan pertama cenderung mempunyai resiko BBLR lebih tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor umur, biologis, dan fisiologis (Srimastuti, 1987).

5.2.2. Umur Kehamilan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah BBLR (73,5%) dan KJDK (82,2%) paling banyak pada usia kehamilan < 37 minggu, sedangkan BBLR (7,3%) paling sedikit pada usia kehamilan 42 minggu, dan pada usia kehamilan ≥42 minggu tersebut tidak ditemukan adanya ibu yang mengalami KJDK. Hal ini sesuai dengan hasil Ginting, C, (2003) di RSU Dr. Pirngadi Medan yang menyatakan bahwa ibu yang melahirkan bayi BBLR mempunyai umur kehamilan antara 28-37 minggu (73,3%), kemudian disusul umur kehamilan 37-42 minggu (20,6%), sedangkan yang mempunyai umur kehamilan > 42 minggu sebesar 6,1%. Hasil penelitian Setyowati, dkk, (1996) yang menggunakan data SDKI 1994 juga melaporkan bahwa 21,2% bayi BBLR dilahirkan premature atau kurang bulan (< 37 minggu). Umur kehamilan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kejadian bayi BBLR dimana jika umur kehamilan ibu tidak mencukupi maka dengan sendirinya pertumbuhan janin tidak sempurna.

Menurut Lin (1986), menyatakan bahwa berat badan bayi bertambah sesuai dengan usia kehamilan. Faktor umur kehamilan merupakan kejadian bayi dengan BBLR, karena semakin pendek usia kehamilan, maka semakin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat tubuhnya sehingga akan turut mempengaruhi berat badan waktu lahir. Sehingga dapat dikatakan bahwa umur kehamilan merupakan faktor yang mempenagruhi kejadian BBLR yang tidak dapat dihindari.

5.2.3. Jarak Kelahiran

Hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar ibu yang melahirkan bayi BBLR (68,7%) dan ibu yang mengalami KJDK (65,4%) memiliki jarak kehamilan < 2 tahun, sementara BBLR yang paling sedikit (14,4%) pada jarak kelahiran 2-4 tahun, dan ibu yang mengalami KJDK yang paling sedikit (10,5%) pada jarak kelahiran > 4 tahun.

Menurut Saraswati (1998) menjelaskan bahwa jarak antara dua kelahiran yang pendek dapat mengakibatkan hasil kehamilan yang kurang menguntungkan bagi ibu maupun janin yang dikandungnya, karena semakin kecil jarak antara dua kelahiran semakin besar resiko melahirkan bayi dengan BBLR dan KJDK, hal ini disebabkan oleh komplikasi pendarahan ante natum, partus premature dan anemia berat.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Prameswari (2007), semakin lebar jarak antar kelahiran maka semakin kecil risiko BBLR dan kematian janin dalam kandungan. Jarak kelahiran yang terlalu cepat dapat mengakibatkan meningkatnya angka BBLR dan kematian janin dalam kandungan karena kondisi kesehatan ibu belum sepenuhnya pulih akibat persalinan sebelumnya.

Pola pengasuhan ibu pada tahun–tahun pertama anaknya sangatlah penting. Apabila seorang ibu belum pulih sempurna dari kehamilan dan persalinan sebelumnya dan masih ada tugas mengasuh anak kecil lainnya maka kualitas perawatan bayi yang baru dilahirkannya berkurang (Ranuh, 2005).

Menurut Iswarati (2007) yang mengutip pendapat Ruzicka bahwa jarak kehamilan yang pendek mempengaruhi kesehatan ibu dan anak selain memberikan

risiko kematian anak menjadi tinggi, wanita yang melahirkan berturut-turut dalan jangka waktu yang pendek tidak sempat memulihkan kesehatannya serta harus membagi perhatiannya kepada dua anak pada waktu yang sama. Selain itu harus menyapih anak yang besar yang seharusnya harus disusui untuk menyusui anak yang baru lahir.

5.2.4. Kadar Hb

Dari hasil penelitian diperoleh sebagian besar ibu yang melahirkan bayi BBLR (67,7%) dan ibu yang mengalami KJDK (76,8%) memiliki kadar Hb 7-8 gr/dl, sementara BBLR dan KJDK tidak ditemukan pada ibu yang memiliki kadar Hb 11 gr/dl. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sembiring, S (2002) di RSU Sri Ratu Medan yang melaporkan bahwa persentase kejadian BBLR tertinggi terdapat pada ibu dengan kadar Hb< 11 gr/dl (23,9%). Ibu hamil dengan kadar Hb < 11 gr/dl dapat dikatakan anemia, dimana anemia saat hamil akan berakibat buruk terhadap janin dan merupakan ibu dengan resiko tinggi. Hal sama juga diperoleh Hasibuan (1997) di RSU Dr. Pirngadi Medan, melaporkan bahwa bayi BBLR yang dilahirkan oleh ibu yang anemia sebesar 12,02%, dan ibu yang tidak anemia hanya melahirkan bayi BBLR sebesar 8,23%. Maka resiko melahirkan BBLR oleh ibu anemia 1,28 kali lebih besar dari ibu yang tidak anemia. Demikian juga hasil penelitian Jumirah, dkk. (1999) menunjukkan bahwa ada hubungan kadar Hb ibu hamil dengan berat bayi lahir, dimana semakin tinggi kadar Hb ibu semakin tinggi berat badan bayi yang dilahirkan. Sedangkan penelitian Saraswati, dkk, (1998) menemukan bahwa anemia

pada batas 11 gr/dl bukan merupakan resiko untuk melahirkan BBLR. Hal ini mungkin karena belum berpengaruh terhadap fungsi hormon maupun fisiologis ibu. Kadar Hb dapat juga dijadikan salah satu indikator keadaan gizi ibu hamil dapat mengetahui status gizi ibu selama hamil. Bila ternyata ibu menderita anemia, maka ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi sumber zat besi selama hamil rendah, sehingga hal ini akan mengakibatkan pertumbuhan janin dalam kandungan kurang sempurna dan dapat menimbulkan kematian janin dalam kandungan ataupun terjadinya BBLR (Rochjati, et al, 2003).

Kadar Hb ibu sewaktu hamil sebagai ciri tinggi rendahnya konsumsi zat besi dan protein yang mencerminkan tingkat konsumsi makanan ibu sewaktu hamil. Bila ibu menderita anemia dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi makanan ibu sewaktu hamil kurang. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun sel otak. Anemia gizi dapat mengakibatkan kematian janin didalam kandungan, abortus, cacat bawaan, BBLR, anemia pada bayi yang dilahirkan, hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan kematian perinatal secara bermakna lebih tinggi. Pada ibu hamil yang menderita anemia berat dapat meningkatkan resiko morbiditas maupun mortalitas ibu dan bayi, kemungkinan melahirkan bayi BBLR dan prematur juga lebih besar (Lubis, Z, 2003)

Dokumen terkait