• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku Tidak Aman

2.2. Jenis Perilaku Tidak Aman

Perilaku tidak aman merupakan penyebab langsung terjadinya kecelakaan. Menurut Frank E. Bird dalam teori Loss Causation Model ( Sklet, 2002) dalam penelitian Helliyanti P. (2009), menyatakan bahwa jenis-jenis perilaku tidak aman, yaitu :

 Melakukan pekerjaan tanpa wewenang

 Gagal dalam memberi peringatan

 Gagal dalam mengamankan

 Bekerja dengan kecepatan berbahaya

 Membuat alat pengaman tidak berfungsi

 Menghilangkan alat pengaman

 Menggunakan peralatan yang rusak

 Menggunakan peralatan yang tidak sesuai

 Pengisian yang tidak sesuai

 Penempatan yang tidak tepat

 Cara mengangkat yang salah

 Posisi atau sikap tubuh yang salah

 Memperbaiki peralatan yang sedang beroperasi

 Bersenda gurau

 Bekerja dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.

Kurt Lewin (1970) yang penelitiannya dikutip oleh Notoatmodjo (2003), berpendapat perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan

(restining forces). Perilaku itu dapat berubah bila terjadi ketidakseimbangan

antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang. Kekuatan pendorong meningkat, hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan perilaku. Kekuatan-kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun, dengan keadaan ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku.

Sedangkan menurut Notoatmodjo (2003), dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku manusia terdapat faktor-faktor yang berpengaruh, diantaranya faktor dari dalam (internal) seperti susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, proses belajar, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang berasal dari luar (eksternal) seperti lingkungan fisik/non fisik, iklim, sosial, dan ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.

2.3. Jenis dan Penjabaran Perilaku Tidak Aman 1. Melakukan pekerjaan tanpa wewenang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak, membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Melakukan pekerjaan tanpa wewenang adalah bekerja tanpa memiliki prosedur dan pelatihan yang sesuai dalam melakukan pekerjaan.

Penempatan pekerja yang sesuai dengan bidang keahliannya di mesin atau alat produksi yang sesuai sangat penting agar tidak terjadi kecelakaan karena kurang pengetahuan akan mesin yang digunakannya. Karyawan yang kurang pengetahuan atau keterampilan untuk bekerja dengan cara yang aman akan cenderung mengerjakan sesuatu dengan cara mencoba dan cenderung mudah panik, sehingga sangat diperlukan pelatihan atau pengarahan.

2. Gagal dalam memberi peringatan.

Gagal dalam memberi peringatan adalah kegagalan sesama pekerja dalam memberi teguran kepada pekerja lain yang melakukan kesalahan dalam bekerja. Sebuah peringatan biasanya diberikan kepada pekerja yang telah melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Peringatan dapat berupa himbauan ataupun teguran yang berguna untuk mengingatkan pekerja agar pekerja tidak melakukan tindakan yang barbahaya atau pekerja tidak akan mengulangi kesalahannya dalam bekerja. Peringatan adalah suatu bentuk tindakan tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja guna menunjang kedisiplinan pekerja (Nitisemo, 1984 dalam Sudrajat, 2008).

3. Gagal dalam mengamankan.

Gagal dalam mengamankan adalah kegagalan memberikan alat pengaman atau tanda yang bersifat pengumuman yang mudah dibaca dengan ditempelkan pada mesin/peralatan serta melakukan perawatan secara teratur pada mesin/peralatan. Setiap petugas yang mengetahui setiap terjadinya kerusakan mesin saat operasi harus segera mematikan tenaga penggerak. Mesin tersebut harus diberi alat pengaman atau tanda yang bersifat pengumuman yang mudah dibaca dengan ditempelkan pada mesin tersebut dan melarang penggunaannya sampai perbaikan yang diperlukan telah dilakukan dan mesin tersebut dalam keadaan baik (Suhulman, 2008).

4. Bekerja dengan kecepatan berbahaya.

Bekerja dengan kecepatan berbahaya adalah bekerja dengan kecepatan yang tidak aman atau melebihi batas kecepatan yang disarankan sehingga membahayakan keselamatan pekerja. Salah satu alasan paling lazim untuk mengambil resiko dalam bekerja adalah menghemat waktu agar bisa mendapatkan waktu santai atau waktu untuk menghasilkan uang lebih banyak atau sekedar menghemat waktu dengan mempercepat menyelesaikan pekerjaan. Oleh karena itu tidak aneh apabila keinginan menghemat waktu ini menyebabkan perilaku tidak aman (International

Labour Office, 1989)

5. Membuat alat pengaman tidak berfungsi.

Membuat alat pengaman tidak berfungsi adalah membuat alat dan sistem pengaman tidak beroperasi dengan cara yang benar sesuai dengan metode yang ditentukan. Pada beberapa kasus, alat pengaman yang dapat menghambat efisiensi

produksi dan menyebabkan ketidaknyamanan dalam bekerja, dapat mendorong pekerja untuk menyingkirkan atau merusak alat pengaman tersebut. Membuat alat pengaman menjadi tidak berfungsi sangat berbahaya, karena kegunaannya sebagai pengaman pun akan hilang sehingga dapat menimbulkan resiko terjadinya kontak antara pekerja dengan alat berbahaya (International Labour Office, 1989).

6. Menghilangkan alat pengaman.

Tujuan alat pengaman ( Safety Device) dipasang pada fasilitas kerja atau mesin yang berbahaya adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan untuk menjamin keselamatan para pekerja. Peralatan pengaman merupakan peralatan keselamatan kerja yang dipasang pada tempat-tempat tertentu dan berfungsi untuk memberi keamanan tambahan bagi para pekerja (O’Brien, 1974 dalam Helliyanti P., 2009). Menghilangkan alat pengaman adalah melenyapkan atau membuat supaya hilang peralatan keamanan tambahan bagi para pekerja yang dipasang pada tempat-tempat tertentu.

7. Menggunakan peralatan yang rusak.

Menggunakan peralatan yang rusak adalah mengoperasikan peralatan kerja yang tidak berfungsi dengan baik dan tidak dalam kondisi layak pakai. Menggunakan peralatan kerja yang sudah tidak layak pakai dapat membahayakan keselamatan pekerja. Oleh karena itu, semua peralatan harus dirawat menurut kondisi dari peralatan tersebut dan bukan waktu pemakaian. Tanpa perawatan yang teratur, keadaan peralatan berubah menjadi salah satu faktor bahaya. Jadi, perawatan yang tidak teratur adalah perbuatan yang berbahaya karena dapat menimbulkan keadaan berbahaya (Silalahi, 1985).

8. Menggunakan peralatan yang tidak sesuai.

Menggunakan peralatan yang tidak sesuai adalah mengerjakan pekerjaan dengan memakai peralatan kerja yang tidak cocok dengan jenis pekerjaan yang sedang dilakukan tersebut. Menurut Silalahi (1985), menggunakan peralatan kerja yang tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan dan peraturan yang telah ditetapkan dapat menyebabkan kesalahan dalam melakukan pekerjaan. Hal ini merupakan tindakan yang berbahaya karena dapat berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja.

9. Tidak menggunakan APD dengan benar.

Tidak menggunakan APD dengan benar adalah tidak menggunakan alat pelindung diri sebagaimana yang diharuskan, tidak memelihara alat tersebut, atau tidak menggunakannya dengan cara yang benar. Pada waktu melaksanakan pekerjaan, badan kita harus bebar-benar terlindungi dari kemungkinan terjadinya kecelakaan. Untuk melindungi diri dari risiko yang ditimbulkan akibat kecelakaan maka badan kita perlu menggunakan alat-alat pelindung ketika melaksanakan pekerjaan. Alat Pelindung Diri (APD) merupakan alat yang digunakan untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang ditimbulkan oleh adanya kontak dengan bahaya (hazard) di tempat kerja baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik, mekanik, dan lainnya (Rijanto, 2011).

10.Pengisian yang tidak sesuai.

Penyebab lain terjadinya kecelakaan kerja adalah akibat beban yang berlebihan sehingga melebihi kemampuan tubuh dalam menyangga (over load). Pengisian yang tidak sesuai adalah membawa atau mengangkat beban yang terlalu

berat, terlalu besar, atau sulit untuk dipegang ketika sedang bekerja. Pekerjaan yang membutuhkan aktivitas mengangkat beban berlebihan dan berulang-ulang sehingga membutuhkan peran yang sangat besar dari otot-otot punggung dan tulang belakang. Membawa atau mengangkat beban yang terlalu berat, terlalu besar dan sulit untuk dipegang akan membahayakan diri kita. Akan jauh lebih aman apabila meminta bantuan orang lain atau menggunakan alat bantu saat menemui barang-barang tersebut dalam bekerja (Hendarta, 2012).

11.Penempatan yang tidak tepat

Penempatan yang tidak tepat adalah menyusun atau menempatkan barang dan peralatan kerja secara tidak aman atau tidak berada di tempat yang ditentukan. Lingkungan kerja yang teratur seperti penempatan peralatan kerja, peralatan safety, material, dan lain-lain dapat memudahkan pekerja untuk bekerja dan tidak asal-asalan menaruh peralatan. Penempatan perlengkapan dan peralatan kerja sesuai dengan lingkungan kerja yang akan dikerjakannya memudahkannya untuk mengambilnya dan menciptakan kondisi kerja yang menarik.

12.Cara mengangkat yang salah.

Menurut Nurmianto (1996), pekerjaan mengangkat barang sering kali menyebabkan cedera pada punggung bawah. Pekerjaan mengangkat barang adalah pekerjaan yang beresiko terjadinya cedera kesakitan pada punggung. Penggunaan otot-otot punggung dan tulang belakang yang berlebihan dan kesalahan dalam aktifitas mengangkat sangat memungkinkan pekerja pengangkat barang akan mengalami gangguan nyeri punggung bawah.

Menurut Silalahi (1985), sewaktu mengangkat dan membawa, bagian tubuh yang paling berpengaruh dan dapat cedera adalah tulang punggung. Ketegangan yang diderita tulang punggung semakin berat (diukur dalam kilogram gaya) jika beban semakin berat. Cara mengangkat yang salah adalah teknik mengangkat yang kurang tepat dimana beban maksimum masih tergantung pada tulang belakang, bukan pada otot tubuh. Teknik mengangkat dan membawa yang tepat akan memungkinkan beban maksimum karena beban tersebut tidak lagi tergantung pada tulang punggung melainkan pada otot tubuh. Teknik ini hanya dapat diterapkan melalui latihan. Beberapa pokok penting yang harus diperhatikan adalah :

a. Kapasitas fisik karyawan b. Sifat beban

c. Keadaan lingkungan

d. Latihan mengangkat/membawa yang dijalani karyawan 13.Posisi atau sikap tubuh yang salah.

Posisi atau sikap tubuh yang salah adalah suatu kondisi kerja dimana pekerja selalu dipaksa berada pada posisi atau sikap kerja yang tidak nyaman atau cenderung tidak mengenakkan dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Sikap atau posisi tubuh saat bekerja memiliki hubungan yang positif dengan timbulnya kelelahan kerja. Tidak peduli apakah pekerja harus berdiri, duduk atau dalam posisi kerja yang lain, dimana pertimbangan-pertimbangan ergonomik yang berkaitan dengan sikap/posisi kerja akan sangat penting (Suma’mur, 1999).

Beberapa jenis pekerjaan memerlukan sikap dan posisi tertentu yang kadang-kadang cenderung untuk tidak mengenakkan. Kondisi kerja seperti ini memaksa pekerja selalu berada pada sikap dan posisi kerja yang tidak nyaman dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini tentu saja mengakibatkan pekerja cepat lelah, melakukan banyak kesalahan dan menderita cacat tubuh. Postur yang baik merupakan bagian yang penting dalam pemeliharaan diri.

14.Memperbaiki peralatan yang sedang beroperasi

Memperbaiki peralatan yang sedang beroperasi adalah mengubah aturan pengoperasian mesin/peralatan ketika sedang bekerja, atau melakukan sesuatu terhadap mesin produksi ketika mesin sedang beroperasi tanpa mematikan mesin/peralatan terlebih dahulu. Selalu matikan mesin dan tunggu sampai mesin benar-benar berhenti sebelum anda menyentuh bagian dar i mesin tersebut.

Pada saat memperbaiki peralatan kerja yang menggunakan aliran listrik, pekerja diharuskan untuk mematikan terlebih dahulu aliran listrik pada alat tersebut agar aman untuk kerja ketika memperbaikinya. Memperbaiki peralatan yang sedang beroperasi atau memperbaiki peralatan tanpa mematikan terlebih dahulu aliran listriknya merupakan suatu tindakan yang sangat berbahaya yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Sebagai contoh, ada seorang pekerja yang sedang memperbaiki suatu mesin atau peralatan, tiba-tiba tanpa disengaja mesinnya menyala dan akhirnya membahayakan pekerja tersebut (Suhulman, 2008).

15.Bersenda Gurau

Bersenda gurau adalah bercanda dengan sesama rekan kerja pada saat melakukan pekerjaan. Bersenda gurau di tempat kerja adalah berbahaya, karena menyebabkan karyawan kehilangan konsentrasi dan tidak memperhatikan keadaan yang tidak aman di sekitarnya. Bersenda gurau pada saat bekerja merupakan suatu perilaku yang harus dihilangkan karena dapat mengakibatkan kejadian yang sangat fatal sehingga tidak hanya menyebabkan kerugian material tetapi juga dapat menyebabkan kerugian nonmaterial. Misalnya ketika para pekerja melakukan bercanda atau bermain di sekitar mesin yang sedang beroperasi atau dekat bahaya lain.

16.Bekerja dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.

Bekerja dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan adalah melakukan pekerjaan setelah mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan terlebih dahulu. Menurut Tanjung (2005), alkohol dan obat-obatan masuk dalam kategori NAPZA. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan zat adiktif lainnya), adalah bahan/zat/obat yang apabila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan fungsi sosial lainnya karena terjadi kebiasaan/ketagihan (adiksi) secara ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu konsentrasi, penilaian, penglihatan dan koordinasi pada orang yang mengkonsumsinya.

Kombinasi alkohol dengan obat-obatan lain sangat berbahaya karena hal ini meningkatkan efek dan pengaruh negatif yang tidak dapat diperkirakan,

termasuk kerusakan serius yang menetap. Karena efek negatif yang ditimbulkan oleh alkohol dan obat-obatan tersebut, maka seorang pekerja tidak boleh di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan pada saat bekerja karena dapat menimbulkan kecelakaan kerja.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27, Ayat (2) menyatakan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Dengan demikian, kesempatan kerja merupakan masalah yang amat mendasar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Setiap upaya pembangunan harus diarahkan pada penciptaan lapangan kerja sehingga setiap warga negara dapat memperoleh pekerjaan dan menempuh kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi adalah dokumen perencanaan pembangunan bidang ketenagakerjaan dan transmigrasi dalam bentuk visi, misi dan arah pembangunan di bidang tersebut, selama kurun waktu 15 (lima belas) tahun, mulai dari tahun 2010 hingga 2025. Dokumen ini merupakan penjabaran dari amanah pembangunan bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang selanjutnya disebut RPJP-Nakertrans, ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh unit kerja di dalam struktur Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan di bidang ketenagakerjaan dan ketransmigrasian yang sesuai dengan visi, misi dan arah pembangunan dalam kurun waktu

2010-2025.

Keselamatan kerja para pekerja sangat penting nilainya bagi suatu industri, karena hal tersebut merupakan kunci keberhasilan perusahaan dalam meningkatkan nama baik industri dalam bidang K3, namun seperti yang kita lihat sekarang, masih banyak kecelakaan kerja yang terjadi di suatu industri. Kita ketahui, bahwa keselamatan kerja para pekerja termasuk dalam Undang-Undang Republik Indonesia. UU No. 13 Tahun 2003 menegaskan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (pasal 86, ayat 1). Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja (pasal 86, ayat 2) (Kepnakertrans, 2012).

Menurut Sialagan (2008) yang mengutip hasil penelitian Bird (1990), kecelakaan merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan dapat membahayakan orang, menyebabkan kerusakan pada properti atau kerugian pada proses. Kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang terjadi dapat menganggu operasi perusahaan. Kerugian yang dialami perusahaan dapat berupa kerugian ekonomi dan non ekonomi.

Kerugian ekonomi adalah segala kerugian yang bisa dinilai dengan uang, seperti rusaknya bangunan, peralatan, mesin, dan bahan, biaya untuk pengobatan, perawatan, dan santunan bagi tenaga kerja yang cedera/sakit, serta hari kerja yang hilang karena operasi perusahaan yang terhenti sementara. Kerugian non ekonomi

antara lain yaitu rusaknya citra perusahaan, bahkan jika kejadian itu menimbulkan kematian pada tenaga kerja (Sahab, 1997).

Berdasarkan Riset yang dilakukan badan dunia International Labour

Organization (ILO) (1989) yang penelitiannya dikutip oleh Suma’mur (1999)

memberikan kesimpulan bahwa setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal, hal ini setara dengan 1 orang setiap 15 menit atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit dan kecelakaan kerja yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Jumlah pria yang meninggal dua kali lebih banyak dibanding wanita, karena mereka lebih mungkin melakukan pekerjaan berbahaya. Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja telah menewaskan 350.000 orang. Sisanya meninggal karena sakit yang diderita dalam pekerjaan seperti terkena zat kimia beracun.

Di Indonesia, berdasarkan data Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), angka kecelakaan kerja lima tahun terakhir cenderung naik. Pada 2012 terdapat 99.491 kasus atau rata-rata 414 kasus kecelakaan kerja per hari, sedangkan tahun 2011 terdapat 98.711 kasus kecelakaan kerja, 2010 terdapat 96.314 kasus, 2009 terdapat 94.736 kasus, dan 2008 terdapat 83.714 kasus.

Sebenarnya setiap kecelakaan itu dapat diramalkan atau diduga dari semula jika perbuatan dan tindakan yang tidak aman atau tidak memenuhi persyaratan. Statistik mengungkapkan bahwa 80% kecelakaan disebabkan oleh perbuatan yang tidak aman ( Unsafe act), dan hanya 20% oleh kondisi yang tidak aman (Unsafe Condition) (Silalahi, 1985).

Beberapa pendekatan dilakukan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya cidera akibat kecelakaaan dan berdasarkan hasil komparasi yang

dilakukan oleh Stephen Guastello (1993) yang penelitiannya dikutip oleh Geller (2001) terhadap beberapa pendekatan untuk mengurangi cidera di tempat kerja menunjukan bahwa pendekatan terhadap perilaku mencapai hasil yang paling berhasil untuk mengurangi cidera di tempat kerja yaitu sebesar 59,6% diikuti dengan pendekatan ergonomi sebesar 51,6%, dan pendekatan engineering control sebesar 29%. Selain itu, Geller (2001) menggambarkan pentingnya pendekatan perilaku yang didasari keselamatan (behavior based safety) dalam upaya meningkatkan keselamatan kerja baik yang bersikap reaktif atau proaktif. Perspektif reaktif upaya keselamatan ditelusuri dari perilaku berisiko atau tidak aman (at risk behavior) yang berakibat pada kerugian. Hal ini dapat diartikan bahwa upaya reaktif menunggu terjadinya tidak aman dulu. Sedangkan dalam perspektif proaktif upaya keselamatan kerja ditelusuri dari perilaku aman (safe

behavior) yang menghasilkan suatu kesuksesan pencegahan kecelakaan kerja.

Geller (2001) juga menyebutkan agar pencapaian behavior based safety berhasil adalah lebih baik dengan menggunakan pendekatan yang berupaya mendorong terjadinya peningkatan perilaku aman. Upaya ini berujung pada usaha pencegahan terjadinya kecelakaan di tempat kerja atau hal ini dapat dikatakan juga berupa pendekatan yang bersifat proaktif dalam manajemen keselamatan.

Proses pembentukan dan perubahan perilaku manusia terdapat faktor-faktor yang berpengaruh, diantaranya faktor-faktor dari dalam (internal) seperti susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, proses belajar, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang berasal dari luar (eksternal) seperti lingkungan fisik/non fisik, iklim, manusia sosial, dan ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya (Notoadmodjo, 2003).

Semakin baik peran supervisor dalam K3 maka akan sangat mempengaruhi perilaku aman pekerja di tempat tersebut. Adapun peran

supervisor pada hakikatnya adalah kepemimpinan yang merupakan refleksi sistem

manajemen yang ada. Jadi, supervisor (pengawas) yang baik akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang pada akhirnya akan membentuk perilaku kerja yang aman (Karyani, 2005).

Seperti yang telah kita ketahui bahwa unsafe act dan unsafe condition mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan. Kehati-hatian dan perilaku pekerja yang aman sangat dibutuhkan untuk menghindari terjadinya kecelakaan akibat unsafe act karena pendekatan terhadap pekerjalah yang dapat dilakukan apabila mesin sulit dikendalikan. Selain itu, Heinrich (1980) memperkirakan 85% kecelakaan adalah hasil kontribusi perilaku kerja yang tidak aman (unsafe act). Meningkatnya keselamatan kerja maka dapat meningkatkan produktivitas pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan. Selain itu, manusia merupakan salah satu aset terbesar dalam mencapai keberhasilan perusahaan.

Rotan adalah sekelompok palma dari puak (tribus) Calameae yang memiliki habitus memanjat, terutama Calamus, Daemonorops, dan Oncocalamus.

Batang rotan biasanya langsing dengan diameter 2-5cm, beruas-ruas panjang, tidak berongga, dan banyak yang dilindungi duri-duri panjang, keras, dan tajam. Suatu batang rotan dapat mencapai panjang ratusan meter. Sebagian besar rotan berasal dari hutan di Malesia, seperti Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Indonesia memasok 70% kebutuhan rotan dunia.

Toko Mulia Rattan merupakan salah satu industri informal yang memproduksi berbagai perabot rumah tangga dengan bahan dasar rotan. Setiap hari memproduksi berbagai macam perabot sesuai dengan pesanan para pembeli. Toko Mulia Rattan berdiri sejak tahun 2001 yang beralamat di Jalan Gatot Subroto No. 350, Medan. Karyawan yang bekerja di Toko Mulia Rattan sebanyak 7 orang. Masing-masing karyawan mempunyai keahlian dalam pekerjaannya.

Proses pembuatan perabot rumah tangga dengan bahan dasar rotan yaitu: 1. Mendesain gambar

Setiap perabot yang hendak dibuat, terlebih dahulu ditentukan desain gambar dengan skala tertentu. Adapun hal yang harus sangat diperhatikan dalam proses ini yaitu ukuran, bentuk dan gaya yang diinginkan oleh pembeli.

2. Persiapan bahan baku kerangka perabot

Dalam proses ini, terlebih dahulu harus dilakukan pemilihan bahan baku rotan yang dalam kondisi baik, kuat dan tidak ada retak atau pembusukan. Selanjutnya, bahan baku rotan diukur dan dipilih berdasarkan panjang dan diameter sesuai dengan skala pada desain gambar yang telah dibuat sebelumnya. 3. Pembengkokan

Bahan baku kerangka yang telah dipilih tadi kemudian dilakukan pembengkokan dengan cara dipanaskan dengan api (setengah dibakar) sampai agak lunak sehingga dapat dibentuk sesuai dengan besar atau bentuk sudut yang diinginkan seperti pada desain gambar. Agar bentuk sudutnya tetap terjaga setelah dibengkokkan, diusahakan bagian sudut tersebut diikat dengan kulit rotan yang

lebih kecil. Hal ini dilakukan kepada setiap kerangka-kerangka perabot untuk sementara waktu sebelum memasuki proses berikutnya.

4. Perakitan

Proses perakitan adalah merangkai setiap kerangka-kerangka yang telah dibentuk ukuran panjang dan sudutnya tadi menjadi satu kesatuan utuh. Kerangka- kerangka tersebut dirangkai dengan paku atau diikat dengan kulit rotan.

5. Penganyaman

Penganyaman dilakukan dengan menganyam sisi-sisi dari kerangka rotan yang telah dibentuk tadi dengan menggunakan kulit rotan ataupun rotan kecil yang sudah dipilih dan dihaluskan terlebih dahulu. Penganyaman pada perabot rumah tangga ini ada beragam macam teknik dan disesuaikan dengan desain

Dokumen terkait