• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOKOWI MENANG, SUTARMAN TERGUSUR

Dalam dokumen drama POLRI, SKANDAL Politik Jokowi (Halaman 25-39)

JOKOWI MENANG, SUTARMAN TERGUSUR

RUPANYA kemenangan Jokowi-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2015-2019, memicu spekulasi di tubuh Polri. Spekulasi itu terkait kemungkinan adanya pergantian posisi Kapolri yang dipegang Sutarman sebelum waktunya pensiun. Rasan-rasan untuk mengganti Sutarman ternyata memang sudah terdengar jauh sekitar Agustus 2014 lalu. Yang jelas, rasan-rasan itu adalah: Kemungkian Sutarman akan diganti Jenderal Budi Gunawan, yang menjabat Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian yang dikenal dekat dengan Megawati Soekarnoputri. Lalu, mengapa Sutarman harus diganti? Banyak alasan disebutkan terutama oleh para pemerhati kepolisian. Yang pasti, alasan yang biasa disampaikan, karena masa jabatan Sutarman yang berakhir pada Oktober 2015 akan dipercepat.

Terkait spekulasi ini, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) saat itu belum dapat memastikan pergeserannya sebelum masa jabatan Sutarman berakhir. Mereka menyerahkan soal itu kepada presiden terpilih, Jokowi. Bagi Kompolnas,

ungkap Edi Hasibuan, salah satu anggotanya, hal paling penting bagi calon pengganti Kapolri adalah tokoh yang memenuhi syarat dan bisa memberikan perubahan. “Sebab sampai saat ini secara obyektif, belum banyak yang berubah di Kepolisian kita,” kata Hasibuan.

Sepanjang tahun 2014 ini tercatat beberapa kasus yang membelit oknum di internal Kepolisian. Misalnya, kasus pembukaan rekening milik bandar judi online di Jawa Barat. "Jadi ini membuktikan ada konspirasi antara aparat dengan pelaku kejahatan," ujar Juru Bicara Indonesia Police Watch (IPW), Sogi Sasmita, dalam acara diskusi dengan tema "Police Outlook 2015, Evaluasi dan Proyeksi Kinerja Polri" yang digelar IPW di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (21/12/’14).

Selain itu, sambung Sogi, keteladanan pimpinan Polri hilang, sehingga muncul bentrokan di Batam antara oknum kepolisian dan tentara. Lebih memprihatinkan lagi, adalah kriminalisasi terhadap anggota Kompolnas. "Dengan bukti itu semua, aspek integritas, keteladanan, dan kemitraan antara polisi dan pengawas (kepolisian) tidak berjalan dengan baik," kritik dia.

IPW menilai, Kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tahun 2014 lalu, sangat tidak memuaskan masyarakat. Reformasi di internal Kepolisian juga jalan di tempat. Padahal

Polri memiliki 420.275 personel disertai anggaran Rp 44,5 triliun tahun 2014 itu. Makanya, IPW memberikan rapor merah kepada lembaga penegak hukum pimpinan Sutarman ini. "Kinerja Polri masih merah, karena integritas, keteladanan, profesionalisme dan kemitraan sangat lemah. Tidak ada kemajuan sama sekali selama tahun 2014," tegasnya. Dengan mendapat rapor merah, Sogi menilai Kapolri Sutarman gagal dalam memimpin lembaga kepolisian. "Presiden harus mengganti Kapolri demi untuk menata kembali institusi kepolisian lebih baik ke depannya," tegas dia. Karena dengan mengganti pucuk pimpinan di tubuh kepolisian, secara otomatis satuan tingkat kerja yang ada di bawahnya juga akan diganti dengan calon yang lebih segar dan baik.

Dalam paparan “Police Outlook 2015” ini telah dimatrikulasi evaluasi kinerja satuan kerja. Yang dapat rapor merah adalah Bareskrim, Intelkam, Irwasum, Korlantas, Polda Sumut, Polda Sulsel, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Barat, Polda Kalimantan Timur, Polda Kepri. Selain itu, Polda Sumatera Barat, Polda Jambi, Polda Bengkulu, Polda Lampung, Polda Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Tengah, Polda NTT, Polda NTB, Polda Sulawesi Utara dan Polda Gorontalo. Yang mendapat rapor merah juga adalah Polda Sulawesi Tenggara, Polda Maluku, Polda Maluku Utara, Polda Aceh, Polda

Sumatera Selatan, dan Polda Papua. "Adapun variabel ukuran memberikan rapor merah adalah faktor integritas, keteladanan, profesionalisme, dan kemitraan," tandas Sogi Sasmita.

Seiring berjalannya waktu, rumor mempercepat penggantian Sutarman itu terus bermunculan. Teka-teki siapa calon Kapolri baru mulai ramai diperbincangkan. Karena pengganti Jenderal Sutarman itu sangat penting bagi masa depan Polri dan stabilitas nasional, katanya. Seperti yang diungkapkan Koordinator Persaudaraan kader HMI se-Indonesia Timur, Syahrul Ramadhan, Sabtu, 20/12. (www.rmol.co. Read/2014/12/20/184086).

Menurut Syahrul, banyaknya isu mulai dari korupsi dan konflik anggota Polri dengan anggota TNI di Kepulauan Riau yang menyita perhatian publik terjadi karena faktor kepemimpinan. "Lemahnya kepemimpinan dua institusi ini menjadi pemicu bahwa keduanya sulit dikendalikan secara hirarkis pasukannya sampai ke bawah, belum lagi ancaman disintegrasi yang di lancarkan oleh kelompok ekstremis, seperti OPM di Papua, dan lain-lain," kata Syahrul.

Beberapa figur yang sudah diwacanakan bakal diusulkan untuk menjadi Kapolri di antaranya Wakapolri Komjen Badrodin Haiti, Kabareskrim Komjen Suhardi Alius, dan Kepala Lemdikpol Komjen Budi Gunawan. Namun demikian, Syahrul

meyakini, bahwa sosok yang tepat diberi kepercayaan tersebut adalah BG.

"Saya menilai figur intelektual dan leader yang mumpuni adalah Komjen Budi Gunawan untuk jadi Kapolri. Beliau sangat pas memimpin institusi Polri. Presiden perlu mempertimbangkan siapa yang bakal menjadi Kapolri. Ini menyangkut trust publik," jelasnya. Ia berharap, agar Presiden Jokowi tidak salah dalam memilih Kapolri karena akan berimplikasi terhadap jaminan keamanan dan pelayanan masyarakat.

"Saya sebagai Ketua Persaudaraan Kader HMI se-Sulawesi, mendukung Komjen Budi Gunawan, seorang sederhana dan mampu mengembalikan kejayaan Polri yang pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat."

BG selama ini dikenal dekat dengan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Karena dia pernah menjadi ajudan saat putri Bung Karno tersebut menjadi Presiden RI. Bahkan, BG disebut-sebut ikut menyokong Jokowi saat Pilpres 2014. Meski hal itu dibantah.

Mendengar begitu kerasnya suara-suara untuk mempercepat penggantian dirinya sebagai Kapolri, yang mestinya berakhir pada Oktober 2015, Jendral Sutarman menyatakan siap diberhentikan oleh Presiden Joko Widodo.

Pemberhentian Kapolri, menurut Sutarman, adalah hak prerogatif Presiden sepenuhnya. "Mau diganti sekarang atau besok, kami (Kapolri) siap. Kami siap melaksanakan apa yang jadi perintah Presiden," kata Sutarman di Lapangan Bhayangkara, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu, 14 Januari 2015. (tempo.co/read/news/2015/01/14/078634812)

Begitulah kemudian yang terjadi, dengan gerak cepat, sebelum masa tugas Sutarman berakhir, Presiden Jokowi sudah menunjuk BG sebagai calon tunggal pengganti Sutarman. Jokowi juga telah mengirim surat penunjukan BG ke DPR. Namun, secara tiba-tiba pula, sehari setelah surat Jokowi ke DPR, KPK menetapkan BG sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. KPK mengaku telah menyelidiki kasus BG sejak Juli 2014. Penyelidikan tersebut didasarkan pada informasi transaksi dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

Menghadapi kenyataan adanya anggota korps Kepolisian yang menjadi tersangka ini, Sutarman mengatakan, Kepolisian akan menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. Kepolisian juga akan memberikan bantuan hukum kepada BG. "Tentu Polri melakukan pembelaan melalui divisi hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku," ujar Sutarman.

Kemudian perkembangan selanjutnya yang terjadi adalah, banyaknya hujatan ditujukan ke Presiden Jokowi. Ia diduga melangggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian), terutama pada soal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Dalam penjelasan yang diuraikan mantan Menteri Kehakiman, Yusril Ihza Mahendra, ditegaskan bahwa, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket, bukan terpisah. Seperti diketahui, yang terjadi sekarang, Kapolri lama sudah diberhentikan tanpa ada pengangkatan Kapolri baru.

"Saya ingat betul perdebatan perumusan pasal ini di DPR ketika saya mewakili Pemerintah membahas RUU Kepolisian. Mestinya Presiden dan DPR tahu, bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket bukan dipisah," tulis Yusril dalam twitternya @Yusrilihza_Mhd. Baik pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri, keduanya harus dengan persetujuan DPR. Permintaan pengangkatan dan pemberhentian itu pun wajib disertai alasan-alasannya.

"Jadi kalau Sutarman (Kapolri lama) mau diberhentikan, Presiden ajukan permintaan persetujuan ke DPR, dengan alasan-alasannya. Begitu juga calon pengganti Sutarman, harus

diajukan permintaan persetujuan DPR disertai alasan mengapa dia dicalonkan," ujar Yusril.

Ditegaskannya, Presiden tidak bisa memberhentikan Kapolri tanpa meminta persetujuan DPR seperti yang dilakukan terhadap Jenderal Sutarman saat ini. Hal itu terkecuali bila ada alasan mendesak. Dengan alasan mendesak itulah Presiden dapat memberhentikan Kapolri tanpa minta persetujuan DPR. Namun diingatkannya, alasan mendesak itu hanya dua, yakni jika Kapolri melanggar sumpah jabatan, atau membahayakan keamanan negara. Pertanyaannya, "Apakah Sutarman melakukan pelanggaran sumpah jabatan atau melakukan makar sebelum diberhentikan Presiden?".

Masih diatur dalam UU Kepolisian, hanya dalam keadaan mendesak seperti di atas Presiden dapat memberhentikan Kapolri dan menunjuk Plt tanpa persetujuan DPR. Namun sesudah itu, presiden harus menjelaskan alasan pemberhentian Kapolri dengan alasan mendesak itu. Pada saat bersamaan, Presiden harus meminta persetujuan DPR tentang pengangkatan Plt tadi. Selanjutnya Presiden harus segera mengusulkan calon Kapolri defenitif untuk mendapat persetujuan DPR. Calonnya bisa pelaksana tugas atau calon lain. "Demikianlah tertib bernegara dalam proses pengangkatan dan pemberhentian Kapolri ini telah diatur

dalam undang-undang agar berjalan baik. Saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM serta Menhan Mathori Abd Jalil mewakili pemerintah saat itu mengajukan dan membahas RUU ini dengan DPR sampai tuntas," kenang Yusril.

"Saya berharap penerus kami di pemerintahan akan memahami dan menjalankan UU yang kami buat dahulu agar negara berjalan tertib dan baik," pungkas Yusril. (politik.rmol.co/read//2015/01/17/187323).

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo memberhentikan dengan hormat Jenderal (Pol) Sutarman dari jabatannya sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Sebagai penggantinya, jabatan Kapolri dipegang oleh Plt Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti.

Pengumuman pemberhentian itu disampaikan Presiden dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jumat (16/1/2015). Sebagai payung hukumnya, Jokowi mengeluarkan dua Keppres. "Saya menandatangani dua Keppres. Pertama tentang pemberhentian dengan hormat Jenderal (Pol) Drs Sutarman sebagai Kapolri. Keppres yang kedua tentang penugasan Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri," kata Jokowi.

Pernyataan senada dengan Yusril di atas, disampaikan pula oleh mantan Wakil Kepala Polri Komjen (Purn) Oegroseno.

Ia tidak yakin, bahwa mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman memiliki kesalahan fatal yang menciptakan situasi mendesak hingga ia harus diberhentikan dari jabatannya.

Memangnya Pak Sutarman ini salah apa, kok buru-buru diberhentikan? Menjawab ini, Oegroseno mengatakan, hanya Presiden Joko Widodo yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Ia mengatakan, DPR dapat menanyakan hal itu kepada Presiden Jokowi mestinya.

Namun, Oegroseno menyoroti alasan keadaan mendesak untuk memberhentikan Kapolri sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian. UU tersebut menyebutkan, bahwa dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan DPR. Namun, kata Oegroseno, unsur-unsur keadaan mendesak itu tidak terlihat pada kondisi sekarang.

"Apakah permintaan sendiri? Tidak ada. Apakah memasuki pensiun? Kan, masih 9 bulan lagi. Apakah tidak mampu? Dia (Sutarman) segar bugar. Apakah pidana? Beliau tidak tersangka," kata Oegroseno.

Apakah mungkin adanya unsur ketidakpatuhan Sutarman? Menjawab ini, lagi-lagi Oegroseno yakin, bahwa Sutarman tidak melakukan pelanggaran yang dimaksud. "Saya

tidak menemukan indikasi itu. Seratus persen saja, saya yakin itu tidak ada. Saya tidak tahu kalau ada intervensi," ujarnya. (nasional.kompas.com/read/2015/01/19/19553851).

Lho, ada intervensi? Ya, itu tidak bisa diragukan dan tak terbantahkan lagi. Banyak kekuatan di belakang Jokowi yang mengintervensinya dalam “memaksakan kehendak” untuk mengganti Kapolri Sutarman dan menjadikan BG sebagai Kapolri. Terbukti Jokowi ditekan oleh empat penjuru kekuatan. Yaitu, kekuatan Istana, DPR, Kuningan, dan Teuku Umar. Ini menyebabkan Jokowi menghadapi posisi sulit.

Pengamat politik dari Populi Center, Nico Harjanto menilai posisi Presiden terjepit di antara empat penjuru kekuatan. "Istana, DPR, Kuningan, dan Teuku Umar," kata Nico dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu, 17 Januari 2015.

Posisi paling kuat dalam intervensi persoalan Kapolri, menurut dia, adalah Teuku Umar. Di sana, bercokol para pimpinan partai politik yang dikomandani oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. "Itu Sekretariat Bersama Koalisi Indonesia Hebat. Karena setiap pertemuan penting ada di situ," ujarnya. Kondisi yang dihadapi Jokowi amat berbeda dengan Soeharto atau SBY di masa lalu.

"Soeharto bukan Ketua Umum Golkar, tapi ketua Dewan Pembina. Dia bisa mengendalikan. Konteks politik kita mensyaratkan begitu. Bahkan, SBY merasa harus jadi ketua umum di masa-masa terakhir," tutur Nico Haryanto.

Sementara ICW menduga, Presiden Joko Widodo tidak mampu keluar dari tekanan politik di sekitarnya. Bahkan, "Memberhentikan Sutarman dengan alasan yang tidak jelas, membuat publik curiga, jangan-jangan ada kepentingan tertentu," kata aktivis ICW, Emerson Yunto di kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Jakarta, Senin 12 Januari 2015.

Karena itu, benar apa yang dikatakan Oegroseno, kemungkinan adanya intervensi kepada Jokowi untuk segera mempercepat penggantian Sutarman dengan Komjen BG. Tapi kemudian karena KPK menjadikan BG sebagai tersangka, lalu Jokowi menunda pelantikannya. KPK menjerat BG dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP. Ancaman hukumannya 20 tahun.

Pengamat Kepolisian dari PTIK, Bambang Widodo Umar menyatakan, alasan Presiden Jokowi mencopot Jenderal

Sutarman sebagai Kapolri tidak tepat. Seperti diketahui Presiden Jokowi mencopot Sutarman sebagai Kapolri, padahal masa pensiun Jenderal kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah masih Oktober 2015.

"Kalau melihat Pasal 11 UU Kepolisian syarat mempercepat itu ada. Tetapi menurut hemat saya, dengan Pasal 11 tidak cukup memberhentikan Sutarman," kata Bambang Widodo Umar. Menurutnya, tak ada alasan mendesak untuk memberhentikan Sutarman. Apalagi alasan Presiden Jokowi katanya untuk melakukan penyegaran di tubuh Polri. Itu tak masuk akal.

Sebab, "Masa jabatan sudah berakhir juga belum, atas permintaan sendiri juga tidak, memasuki usia pensiun belum, berhalangan juga tidak, dan dijatuhi pidana juga tidak. Iya, harus diungkap jangan mencari-cari alasan," terang Widodo lagi. Jadi menurutnya, pencopotan Sutarman jelas sangat menyalahi UU Kepolisian.

Menurut pakar komunikasi politik, Tjipta Lesmana, pencopotan Sutarman sebagai orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu karena Presiden Jokowi benci kepada Sutarman. Kebencian itu, menurut Tjipta, karena Sutarman dinilai tak becus menuntaskan kasus majalah Obor Rakyat yang menuding Presiden Jokowi sebagai “Capres Boneka”.

"Dosa Sutarman ya karena tidak bisa menuntaskan kasus Obor Rakyat. Jokowi benci sekali," kata Tjipta dalam diskusi bertajuk 'Jokowi, Kok Gitu', Jakarta, Sabtu, 17 Januari 2015. Jadi ternyata, kalau benar dugaan Tjipta Lesmana itu, maka cuma gara-gara Obor Rakyat, Jenderal Sutarman dipecat Jokowi. Sehingga benar banyak orang bilang tentang nasib Sutarman yang Kapolri ini: kalau Jokowi menang, Sutarman tergusur. Dan ... terbukti!(*)

Dalam dokumen drama POLRI, SKANDAL Politik Jokowi (Halaman 25-39)

Dokumen terkait