• Tidak ada hasil yang ditemukan

“SAVE KPK, SEHATKAN POLRI”

Dalam dokumen drama POLRI, SKANDAL Politik Jokowi (Halaman 103-121)

“SAVE KPK SEHATKAN POLRI”

SECARA obyektif, menjelang momentum 100 harinya pemerintahan Jokowi-JK, masyarakat umum –atau yang disebut Menkopolhukam Tedjo sebagai rakyat yang tak jelas itu, mendesak Presiden segera menyelesaikan kisruh yang terjadi antara KPK dan Polri. Juga meminta pemberantasan korupsi harus terus dilakukan dan semakin diperkuat. Karena KPK memang lembaga yang memiliki tugas utama untuk memberantas korupsi. Namun, masyarakat juga tetap percaya, bahwa peran Polri dan kejaksaan juga tidak bisa disepelekan. KPK sebagai institusi harus dilindungi, tetapi oknum-oknum di KPK yang memang terbukti melakukan pelanggaran hukum harus tetap diusut sampai tuntas. Begitu juga apabila ada petinggi Polri yang terindikasi korupsi, maka kasusnya juga harus diusut sampai tuntas.

"Kami menentang kriminalisasi dan pelemahan KPK. Kami juga meminta proses hukum bagi pimpinan KPK dan petinggi Polri dilakukan secara wajar sesuai aturan yang berlaku," kata Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi

Strategis BEM FISIP UI Dhuha Ramadhani. Dia meminta, "Save KPK! Sehatkan Polri!; "Batalkan Pelantikan Budi Gunawan"; "Dukung KPK dan Polri yang bersih dan berpihak pada rakyat".

Selain itu masyarakat juga ingin kejelasan apakah Jokowi mendukung 'Save KPK' atau tidak. Masyarakat juga mendorong penghapusan kriminalisasi KPK dan menolak pelantikan BG sebagai Kapolri.

Presiden Jokowi sebelumnya menegasi, bahwa ia akan terus mengawasi dan mengawal proses hukum kasus calon Kepala Polri BG di KPK dan kasus Wakil Ketua KPK BW di Bareskrim Polri

Jokowi mengatakan, semua pihak sepakat agar KPK dan Polri mau pun lembaga penegak hukum lain menjaga wibawa sebagai institusi penegak hukum. Oleh karena itu, kata Jokowi, jangan ada kriminalisasi dalam proses hukum di kedua institusi. Proses hukum juga harus dibuat transparan.

"Agar proses hukum dapat berjalan baik, jangan ada intervensi dari siapa pun. Dan, saya akan tetap mengawasi dan mengawal," kata Jokowi. (kompas.com/read/2015/01/28/13315301).

Sebagai Kepala Negara, Jokowi oleh masyarakat dituntut bersikap tegas dan berpihak pada pemberantasan korupsi. Pengamat politik dari Universitas Islam Syarif

Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, mengatakan ada 4 strategi selama ini yang sudah dilakukan Jokowi dalam menghadapai konflik Polri vs KPK ini.

Pertama adalah mengulur waktu dengan menunda pelantikan BG yang berstatus tersangka sebagai Kapolri, meski sudah disetujui DPR. “Mereka melempar bola panas ke Jokowi, dilema dihadapi Jokowi antara harus ikut ambil keputusan DPR dan menghadapi resistensi masyarakat. Dia akhirnya tunda pelantikan, sebagai exit strategy sementara,” kata Gun Gun kepada wartawan di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (31/1/2015).

Kedua, adalah strategi prakondisi untuk menetralkan beragam pandangan di ruang publik khususnya di media massa. Pada tahap ini, Jokowi memilih 9 orang tokoh menjadi Tim Independen untuk mengalihkan fokus publik yang sebelumnya semata-mata diarahkan kepadanya. “Sehingga akhirnya Jokowi merasa ditamengi Tim 9. Ini menyebabkan opini tersebar, tidak hanya fokus pada Jokowi. Meskipun akhirnya rekomendasi Tim 9 juga jadi polemik tersendiri,” jelasnya.

Strategi ketiga, yakni pemanfaatan media massa. Menurut Gun Gun, sejak kasus ini bergulir banyak media

mainstream yang dilibatkan dan diundang ke istana. Seperti diketahui, selain media yang punya pos liputan tetap di istana, beberapa waktu lalu, Jokowi juga melakukan liputan khusus

bersama media internasional yang menemaninyablusukan sejak pagi hingga petang “Ini tentunya bisa memasok sudut pandang istana ke publik. Dan, ini jadi ruang yang menambah bobot politik di masyarakat menjadi lebih terkanalisasi. Sehingga Jokowi punya kesempatan untuk berdialektika tanpa banyak distorsi,” tutur Gun Gun.

Strategi keempat, yakni zona possible agreement. Menurut Gun Gun, jurus ini biasanya dilakukan saat di bawah tekanan politik luar biasa. Hal ini ditunjukkan Jokowi dengan menemui Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan mantan Presiden Habibie, serta Kompolnas pada Kamis (29/1/2015). Tetapi dari tiga pertemuan ini, fokus panggung utamanya adalah dengan Prabowo Subianto.

“Pernyataan Prabowo yang bilang akan mendukung pemerintahan, menjadi fokus media. Ini yang diinginkan. Jokowi memanfaatkan panggung ini untuk memberikan pesan kepada elit parpol yang ada di sekitar istana yang memberi tekanan ke Jokowi,” ujarnya. Namun, Gun Gun menambahkan, strategi Jokowi tersebut hanya bisa bertahan untuk sementara waktu. Masyarakat menilai, gejolak dan desakan publik ini akan lebih menguat jika sang Kepala Negara tidak bertindak cepat untuk mencari solusi tentang kasus BG yang menjadi hilir

polemik cicak vs buaya. (detik.com/read/2015/01/31/161641/2820048/10/2/).

Masyarakat memang galau dan khawatir, bahwa KPK akan segera habis. Karena satu persatu pimpinannya sudah dilaporkan ke Polisi. Ada 3 Pimpinan KPK, Bambang Widjojanto (BW), Adnan Pandu Praja (APP) dan Zulkarnaen (Z) dilaporkan ke polisi di tengah penetapan tersangka calon tunggal Kapolri Komjen BG. Denny Indrayana, mantan Wamenkumham, melihat hal itu sebagai upaya kriminalisasi KPK.

"Kami tetap melihat ini adalah kriminalisasi. Kalau kriminalisasi begini disetujui, ya sebenarnya akan ada tersangka lagi," kata Denny Indrayana di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (26/1/2015).

Wakil Ketua KPK Z juga dilaporkan ke Mabes Polri oleh mantan ketua DPRD Jatim Fatthorasjid terkait dugaan penerimaan suap dalam kasus korupsi dana Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM). Padahal dalamfit and proper test di 2011 lalu, rekam jejak Z sudah klir. Di tim pansel dan DPR, Z pun lolos.

Peristiwa di atas mengingatkan publik beberapa tahun lalu kasus “Cicak Vs Buaya”, yaitu Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, keduanya Wakil Ketua KPK dijadikan tersangka

oleh Bareskrim Polri, sehingga terjadi perseteruan KPK dan Polri yang mengguncangkan dunia penegakan hukum Indonesia.

Jum’at, 23 Januari 2015 (pagi), kasus Cicak Vs Buaya jilid 2 kembali terjadi. Kali ini yang mengalami nasib seperti yang pernah dialami Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto adalah BW, Wakil Ketua KPK. Tim Bareskrim Polri menangkap BW pada saat mengantar anak ke tempat sekolahnya di Depok, Jawa Barat.

Berita penangkapan BW segera tersiar ke seluruh Indonesia melalui media sosial dan pemberitaan TV, sehingga publik yang diwakili para tokoh dan penggiat anti korupsi memberi dukungan penuh kepada KPK. Mereka berdemo di teras gedung KPK untuk memberi dukungan moral kepada BW dan para pimpinan KPK lainnya. Sementara publik menggunakan media sosial khususnya Twitter untuk memberi dukungan dengan menulis #Save KPK, sehingga #Save KPK menjaditrending topic di seluruh dunia paling teratas sejak sore 23/1/2017 sampai 24/1/2015 pagi.

Gelombang dukungan publik kepada BW dan KPK di media sosial dan demo di KPK para tokoh dan penggiat anti korupsi yang dipublikasikan secara luas dan langsung oleh berbagai stasiun TV, dan pemberitaan mediaonline serta berita koran (24/1/2015) yang menjadikan BW dan KPK sebagai berita

utama (headline), sangat menguntungkan posisi KPK, sebaliknya merugikan dan memojokkan posisi Polri.

Selanjutnya, semua penggiat anti korupsi yang berbicara di media, mengaitkan penangkapan BW dan pimpinan KPK lainnya sebagai upaya Polri melakukan balas dendam terhadap BG, calon Kapolri yang dijadikan tersangka korupsi oleh KPK.

Tindakan yang dilakukan Bareskrim Polri menangkap dan menetapkan BW, juga kemudian APP dan Z, lalu akan disusul AS sebagai tersangka tindak pidana, lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.

Pertama, publik tidak percaya yang disangkakan kepada pimpinan KPK, walau pun Irjen Ronny F Sompie, Kadiv Humas Polri menyampaikan kepada publik, bahwa apa yang dilakukan Polri adalah murni penegakan hukum.

Kedua, publik menganggap Polri melakukan rekayasa kasus untuk melumpuhkan KPK, karena dengan menangkap dan menetapkan pimpinan KPK tersangka tindak pidana, berarti dia harus nonaktif sebagai komisioner KPK sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketiga, publik memberi dukungan yang sangat besar kepada BW, APP, Z dan AS, juga KPK; sebaliknya langsung atau pun tidak langsung memojokkan Polri.

Kita memang memberi dukungan penuh kepada KPK dengan hashtag KPK #Save KPK. Dukungan tersebut diberikan sebagai bentuk komitmen kita yang tinggi dalam pemberantasan korupsi. Walau pun harus diakui, bahwa KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi masih mempunyai kelemahan, tetapi harus diakui bahwa publik masih mempercayai KPK. Kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi, dipandang publik jauh lebih baik ketimbang penegak hukum yang lain. Juga, komisioner KPK masih sangat dipercaya, sehingga kalau ada upaya “kriminalisasi” terhadap mereka, publik segera akan bangkit membela.

Walaupun begitu, kita harus ingat, bahwa kita –dan juga negeri ini, sangat memerlukan keberadaan institusi Polri. Dengan segala kelemahan di tubuh Polri, kita juga tidak boleh melupakan pentingnya menjaga, memelihara dan merawat marwah Polri. Yaitu menyehatkan Polri. Suka tidak suka publik membutuhkan adanya Polri. Apa yang terjadi di tubuh Polri sekarang, memang sangat memprihatinkan kita semua. Semestinya Kompolnas bisa independen dan bekerja lebih profesional dalam mengusulkan nama-nama calon Kapolri ke Presiden, sehingga tidak terjadi kisruh politik dan berujung kisruh KPK Vs Polri. Sekarang semuanya sudah terjadi. Publik menunggu keputusan Presiden Jokowi yang cepat dan tegas

untuk mengakhiri kisruh KPK vs Polri dengan semangat melakukanSave KPK, Sehatkan Polri.

Terkait langkah Presiden Joko Widodo membentuk tim independen beranggotakan sembilan tokoh itu guna menyudahi polemik KPK-Polri, bagi Denny Indrayana, tim itu bisa menjadi verifikator agar kasus yang mencuat menjadi jelas. Namun, tak cukup dengan Tim 9 itu, Presiden juga perlu mempertimbangkan SP3 BW dan wacana imunitas pimpinan KPK. (detik.com/read/2015/01/26/164232/2814335/10).

Lebih jauh tentang Tim 9 yang dibentuk Jokowi (25/1/2015), tiga hari kemudian sudah menyerahkan rekomendasinya kepada Presiden. Tim ini beranggotakan antara lain: Wakapolri Komisaris Jenderal Oegroseno, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar, Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana, Mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, Tumpak Hatorangan, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Mantan Kapolri Jenderal (Purnawirawan) Sutanto, serta Sosiolog Imam Prasodjo.

Dalam rekomendasi penyelesaian kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi vs Polri kepada Presiden Joko Widodo, anggota Tim 9, Imam Prasodjo, mengatakan ada dua

rekomendasi yakni meminta Jokowi tidak melantik BG sebagai Kepala Polri dan melanjutkan kasus BW di Bareskrim Mabes Polri.

"Saya nanti pertimbangkan," ujar Imam menirukan tanggapan Jokowi saat tim sembilan menyampaikan rekomedasi, Rabu, 28 Januari 2015. Tim 9, kata Imam, menyampaikan ke Jokowi akan ada dilema moral bila KPK dan Polri ada yang berstatus tersangka, namun tidak mundur. Karena itu, Tim 9 merekomendasikan Jokowi untuk tidak melantik BG. "Kalau tetap dilantik bisa memberikan sinyal yang kurang baik."

Imam juga mengatakan, Tim 9 mengingatkan Jokowi soal komitmen penegakan hukum dalam kampanyenya dulu. "Karena dalam kemelut ini komitmen Bapak dipertanyakan, jangan-jangan orang bertanya Bapak komitmennya tidak terlalu kuat bila tetap melantik BG." Menurut Imam, rekomendasi Tim 9 ini merupakan serapan dari berbagai pandangan dan analisis bukti-bukti dari banyak orang. (tempo.co/read/news/2015/01/29/078638434/).

Berikut hasil analisis dan rekomendasi dari hasil temuan Tim 9 selama dua hari terakhir yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh Presiden Joko Widodo:

a. Presiden seyogyanya memberi kepastian terhadap siapa pun penegak hukum yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri dari jabatannya atau tidak menduduki jabatan selama berstatus sebagai tersangka demi menjaga marwah institusi penegak hukum baik Polri maupun KPK; b. Presiden seyogyanya tidak melantik calon Kapolri dengan

status tersangka, dan mempertimbangkan kembali untuk mengusulkan calon baru Kapolri agar institusi Polri segera dapat memiliki Kapolri yang definitif;

c. Presiden seyogyanya menghentikan segala upaya yang diduga merupakan kriminalisasi terhadap personel penegak hukum siapapun, baik Polri maupun KPK dan masyarakat pada umumnya;

d. Presiden seyogyanya memerintahkan kepada Polri maupun KPK untuk menegakkan kode etik terhadap pelanggaran etika profesi yang diduga dilakukan oleh personel Polri maupun KPK;

e. Presiden agar menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya sesuai harapan masyarakat luas.

Kita berharap apa yang dikatakan Imam Prasodjo, bahwa Presiden mempertimbangkan rekomendasi Tim 9 itu, kiranya benar-benar akan direspon dengan baik oleh Presiden.

Artinya, Presiden tidak melantik BG sebagai Kapolri. Kalau tetap dilantik, akan memberi sinyal yang kurang baik di masyarakat. Sentimen negatif di masyarakat akan terus meningkat.

Dan yang menarik di sini, ternyata ada analisis dari dunia maya yang menyatakan, bahwa terjadi senja kala Bulan Madu Jokowi - "Netizen". Dikatakan dalam analisis itu bahwa sentimen negatif terhadap Jokowi ternyata terus meningkat di media sosial. Sentimen negatif ini mulai mendominasi sejak bulan ketiga kepemimpinan Jokowi.

Dalam tulisannya di Kompas (30/1/2015) tentang itu, Amir Sodikin mengatakan, bahwa dukungan dari media sosial memang menjadi salah satu kekuatan Joko Widodo saat yang bersangkutan memenangi Pemilu Gubernur DKI Jakarta pada 2012 dan saat Pemilu Presiden 2014. Pada saat yang sama, Jokowi diduga juga meyakini kekuatan media sosial. Kondisi ini membuat perkembangan percakapan tentang Jokowi di media sosial menjadi salah satu bahan analisis menarik lembaga-lembaga pemantau penganalisis media sosial, seperti Awesometrics. Dari kantornya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, analis media sosial Awesometrics, Yustina Tantri, terus memelototi pergerakan kurva yang merekam percakapan terkait Jokowi. Yustina memulai analisis sejak tiga hari sebelum

Jokowi dilantik sebagai presiden hingga kini. Dengan menggunakan pustaka Awesometrics, belakangan ini Yustina tertegun melihat pergerakan grafik percakapan yang dihimpun dari ratusan media massa dan media sosial. Dia melihat, sesuatu yang besar sedang terjadi. Yustina melihat sentimen negatif terhadap Jokowi terus meningkat di media sosial. Sentimen negatif ini mulai mendominasi sejak bulan ketiga kepemimpinan Jokowi.

Lebih tepat lagi, kenaikan sentimen negatif dimulai 8 Januari 2015 dengan 2.784 percakapan, 10 Januari berlipat menjadi 4.868 percakapan, naik lagi pada 13 Januari sebanyak 6.911 percakapan, dan tertinggi 15 Januari sebanyak 9.967 percakapan.

"Sentimen negatif meningkat tajam pada 15 Januari karena ada kabar Jokowi akan melantik BG sebagai kepala Polri, padahal dia sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 13 Januari," kata Yustina.

Total selama 100 hari, sentimen negatif untuk Jokowi mencapai 74.346 percakapan, sentimen positif 71.048 percakapan, dan 627.652 posisi netral. Padahal, pada 17 Oktober–18 November 2014, sentimen negatif hanya 66.526 berbanding 155.212 sentimen positif, dengan sentimen netral 2 juta.

Pendiri Provetic, Iwan Setyawan, juga menemukan hasil serupa. Dia juga menemukan, untuk pertama kali dalam tiga bulan terakhir sentimen negatif Jokowi lebih tinggi daripada yang positif, pada 15 Januari lalu. Sebelum memasuki 15 Januari, rata-rata dalam tiga bulan terakhir sentimen positif selalu lebih tinggi daripada sentimen negatif, berkisar 25 persen berbanding 17 persen.

Topik pembicaraan yang paling menyumbangkan sentimen negatif selama bulan Januari 2015 adalah terkait kepala Polri (22.497) dan disusul topik bahan bakar minyak (8.088). "Perbincangan Jokowi juga dikaitkan dengan KPK (14.756) dan (Ketua Umum PDI-P) Megawati (6.782)," kata Iwan.

Amir Sodikin menulis, bahwa penurunan sentimen positif Jokowi di media sosial sebenarnya tak terjadi tiba-tiba. Jika dilihat selama tiga bulan pertama pemerintahan Jokowi, penurunan reputasi dan popularitas Jokowi di mata netizen

akan terlihat terjadi secara sistematis. Kondisi ini sebenarnya membahayakan Jokowi.

Yustina mencatat, selama tiga bulan pemerintahan, percakapan total tentang Jokowi mencapai 4,1 juta dari berbagai kanal media. Puncak percakapan pada 20 Oktober

2014 saat pelantikannya sebagai presiden menunjukkan harapan baru.

Jika dibagi dalam tiga bulan, pada bulan pertama jumlah percakapan Jokowi tertinggi, mencapai 2,3 juta di berbagai kanal. Penghargaan netizen terhadap Jokowi dengan sentimen positif sebenarnya mudah ditebak dan Jokowi menyadari potensi ini. Misalnya, kata Yustina, tiga hari jelang dilantik, Jokowi mengunjungi Prabowo Subianto pada 17 Oktober 2014 saat ulang tahun Prabowo. "Ini mengundang simpati, termasuk dari pendukung Prabowo dan berdampak positif buat Jokowi. Favorabilitas (sentimen positif lebih tinggi dari negatif) terhadap Jokowi saat itu meningkat di media sosial," kata Yustina. Antusiasme masih meningkat saat pelantikan menteri, 27 Oktober 2014. Namun, sentimen negatif tumbuh ketika dia tetap melantik nama-nama yang mendapat "rapor merah" KPK.

Saat Jokowi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak, 17 November 2014, sentimen negatif menguat. Tagar bersentimen negatif mulai menjadi topik tren Twitter, seperti #SalamGigitJari. "Namun, sentimen masih netral (51 persen), positifnya pun masih lebih tinggi, yakni 26 persen dari negatifnya yang 22 persen," kata Yustina. Pada bulan kedua, periode 17 November hingga 17 Desember 2014, popularitas

Jokowi turun hingga 50 persen dibandingkan dengan bulan pertama. Percakapan tentang Jokowi hanya 1,1 juta di berbagai kanal. Awesometrics mencatat, pada 21 November 2014, Jokowi mengangkat HM Prasetyo, anggota DPR dari Partai Nasdem, sebagai Jaksa Agung.

Pengangkatan Prasetyo memperburuk reputasi Jokowi. Aktivis Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, dalam kicauannya di Twitter menilai, pemilihan Prasetyo merupakan titipan partai sehingga kejaksaan rawan diintervensi.

Itulah awal mengkristalnya kekesalan netizen terhadap Jokowi. Tinggal menunggu momentum buruk, Jokowi bisa kehilangan kepercayaan pada bulan berikutnya. Tepatnya bulan ketiga 17 Desember 2014 sampai 17 Januari 2015, popularitas Jokowi merosot tajam dengan jumlah percakapan hanya 773.046 dari berbagai kanal.

Kebijakan Jokowi yang memilih BG sebagai calon kepala Polri dianggap netizen sebagai pilihan sadar, hingga semakin mengikis reputasi dan sentimen positif atas dirinya di media sosial.Netizen marah kepada Jokowi yang dilampiaskan dengan gerakan #SaveKPK dan juga petisi daring di www.change.org/bebaskanbw.

"Dulu Jokowi adalah kita. Sekarang jika Jokowi tetap melantik tersangka korupsi sebagai Kapolri, maka Jokowi

adalah mereka," kata Denny JA dengan akun @dennyJA_World.

"Ini komitmen kita untuk menarik dukungan setelah pilpres dan membentuk parlemen jalanan," kata Marzuki Mohamad, pemilik akun @killthedj yang dikutip akun @jejakpelamun. Penggiat media sosial Ulin Yusron, Denny JA, dan Marzuki "Kill the DJ" adalah beberapa contoh pendukung Jokowi yang kini mengkritik keras Jokowi.

Abdee Negara, sukarelawan konser "Salam 2 Jari", bersama rekan-rekannya memprotes Jokowi karena pengangkatan BG. Abdee juga mengirimkan tagar #SaveKPK

dari akun @AbdeeNegara. Namun, karena dia masih sakit, gerakan memprotes situasi terakhir belum tampak signifikan dari seorang Abdee "Slank". Rekan Abdee, Melanie Subono, dengan akun @melaniesubono, lebih dulu meluapkan kemarahan. "Menanti seorang presiden bertindak sebagai presiden. Penangkapan (Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Polri) ini adalah upaya mendelegitimasi kewenangan KPK dalam mengusut kasus Budi Gunawan," kata Melanie terkait penangkapan dan penetapan BW sebagai tersangka pada Jumat (23/1/2015) lalu.

Situasi politik saat ini mungkin jauh lebih rumit bagi Jokowi, tulis Amir Sodikin. Namun, bagi para netizen, jauh lebih mudah mengidentifikasi siapa lawan siapa kawan.

Saat pemilu presiden lalu "Jokowi adalah kita" menjadi slogan amat terkenal. Kini, agaknya Jokowi perlu lebih tegas memilih antara "mereka" dan "kita". (kompas.com/read/2015/01/30/22073301)

Dari tulisan Amir Sodikin ini, kita tahu, bahwa masa bulan madu Jokowi dengan para netizen itu mulai meredup, terus menurun. Ini seharusnya menjadi perhatian utama buat Jokowi, agar sentimen negatif itu tidak terus meninggi di masyarakat. Karena itu yang harus dilakukan Jokowi adalah: kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan memperkuat pemberantasan korupsi. (*).

BAB VIII

Dalam dokumen drama POLRI, SKANDAL Politik Jokowi (Halaman 103-121)

Dokumen terkait