• Tidak ada hasil yang ditemukan

drama POLRI, SKANDAL Politik Jokowi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "drama POLRI, SKANDAL Politik Jokowi"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

DR. SOETANTO SOEPIADHY, SH., MH.

DRAMA POLRI

SUTARMAN,

KAPOLRI KORBAN

SKANDAL POLITIK

JOKOWI

(2)
(3)

PENGANTAR PENULIS

EKSPEKTASI dan harapan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-JK sangatlah tinggi dan melambung. Sehingga dukungan kepada pasangan ini menggelora di mana-mana. Terutama dukungan penuh kalangan aktivis, LSM, musisi, buruh dan pekerja, mahasiswa, anak-anak muda kreatif, seniman, budayawan, para pegiat antikorupsi, juga mereka jutaan orang-orang pinggiran yang sederhana, yang semuanya mendambakan negerinya ini bisa cepat berubah menjadi negeri yang bersih dari korupsi, negeri yang sejahtera, makmur dan berkeadilan.

Kepada Jokowi mereka menumpahkan semua harapan melambungnya itu. Mereka bangkit dengan inisiatif sendiri untuk memenangkan Jokowi menjadi RI – 1. Karena Jokowi dinilai bersih, jujur, merakyat dan lebih dari itu ia membawa sebuah model kepemimpinan baru dengan gaya “blusukan”nya. Pesta kemenangan Jokowi pun disambut meriah dan pesta rakyat, sekaligus syukuran atas berhasilnya sang jagoan memenangi Pilpres dan menjadi Presiden, diadakan di seluruh pelosok negeri. Masa bulan madu dengan pendukungnya ini pun berlanjut terus sampai menjelang seratus hari kepemimpinannya. Ini menunjukkan élan semangat rakyat,

(4)

harapan dan kegairahan hidup baru mereka bagi negeri tercinta ini ke depan begitu membuncah. Benar-benar Jokowi mampu membius massa pendukungnya untuk memilih dia menjadi Presiden.

Tetapi ...!

Keadaan menjadi terbalik, bahkan terjun di titik nadir ketika Jokowi menjelang seratus hari pemerintahannya melakukan blunder politik yang oleh kalangan pengamat disebut sebagai skandal politik. Itu terjadi ketika Jokowi terus saja mengajukan nama Komjen Budi Gunawan (BG) ke DPR untuk disetujui menjadi Kapolri. Padahal BG bermasalah karena sudah ditetapkan menjadi tersangka korupsi oleh KPK.

Lantas menjadi tontonan tidak produktif ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan gaya koboi tengik dan tengilnya justru meloloskan fit and proper test-nya BG yang sudah menyandang tersangka itu, bahkan secara cepat pun disetujui menjadi Kapolri. Ada agenda apa DPR kita ini?

Karena dilanda kebimbangan akibat begitu kuatnya tekanan, pada Jumat, 16 Januari 2015, Jokowi lalu mengeluarkan 2 (dua) Keputusan Presiden (Keppres): Keppres yang Pertama tentang Pemberhentian dengan Hormat Jenderal (Pol) Drs. Sutarman sebagai Kapolri. Keppres yang Kedua tentang Penugasan Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti

(5)

Melaksanakan Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Kapolri. Dengan demikian, artinya Sutarman diganti sebelum masa jabatannya selesai di Oktober 2015. Menurut pengamat hukum, di sini Jokowi jelas sudah melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dengan memberhentikan Sutarman tanpa ada alasan kuat. Jokowi dianggap telah melakukan skandal politik. Padahal, menurut Oegroseno, mantan Wakapolri, Sutarman itu didukung seratus persen oleh seluruh anggota Polri. Sayang sekali anggota DPR pun tak ada yang menyatakan simpatinya kepada Sutarman yang jelas-jelas terdzalimi ini.

Akibat skandal politik Jokowi itu, jelas Sutarman jadi korbannya, bahkan lebih jauh dari itu kini di institusi Polri terjadi persaingan tidak sehat dan gesekan antar kolega. Sepeninggal Sutarman, juga muncul lagi perseteruan dan balas dendam antara KPK vs Polri yang amat tajam. Ini akibat Polri tidak memiliki pimpinan sebagai Kapolri definitif. Perang antara KPK vs Polri ini mengundang tanda tanya besar dan kontroversial di masyarakat yang akhirnya berkesimpulan, ini semua karena kepemimpinan Jokowi lemah, tidak tegas dan tidak berani, tidak independen bahkan berada di dalam tekanan dari induk partainya serta Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Semua itu menampilkan lemahnya Jokowi dalam

(6)

semangat pemberantasan korupsi. Jokowi posisinya menjadi berada dalam keterjepitan di antara elit politik PDIP dan KIH karena, ternyata ia tidak bisa tegas dan bahkan terkesan kuat berada di bawah bayang-bayang Megawati Sukarnoputeri.

Blunder-blunder semacam itulah yang membuat pendukung utamanya: kalangan aktivis dan para pegiat antikorupsi, mulai kecewa dan berbalik memusuhinya karena Jokowi tidak tegas dan lemah dalam semangat pemberantasan korupsi dan diragukan keberpihakannya yang nyata terhadap KPK sebagai satu-satunya institusi yang memerangi korupsi, dan yang harus dilindungi dari kriminalisasi serta penghancuran oleh siapapun dan kekuatan dari manapun. Jokowi kurang menunjukkan semangatnya untuk melindungi KPK ketika dikriminalisasi dan dizalimi.

Buku ini: "Sutarman, Kapolri Korban Skandal Politik Jokowi” adalah tentang seorang Kapolri yang menjadi korban skandal politiknya Jokowi, sang Presiden. Sama sekali bukan berniat membela dan mendukung sosok Sutarman dengan memuji-mujinya, tetapi sepenuhnya adalah karena terjadinya peristiwa pencopotan secara tiba-tiba seorang Kapolri dan menggantinya dengan “cuma” seorang pelaksana tugas.

(7)

Peristiwa ini, barulah terjadi kali ini dalam sejarah bangsa Indonesia. Sangat memprihatinkan. Semoga ke depan hal semacam ini tidak akan terulang lagi, karena merupakan sebuah cacat hukum dan sekaligus sebuah skandal politik.

Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua!

Surabaya, 1 Februari 2015 DR. Soetanto Soepiadhy, SH., MH.

(8)
(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... 2

DAFTAR ISI ... 9

BAB I ADA APA DENGAN SUTARMAN?... 11

BAB II JOKOWI MENANG, SUTARMAN TERGUSUR ... 25

BAB III BENARKAH SUTARMAN “ORANGNYA” SBY? ... 39

BAB IV ADA CACAT HUKUM, ADA SKANDAL POLITIK ... 51

BAB V PERANG BINTANG DI POLRI ... 63

BAB VI KPK DALAM ANCAMAN SERIUS... 89

BAB VII “SAVE KPK, SEHATKAN POLRI”... 103

BAB VIII ANTIKLIMAKS... 121

SUMBER BERITA ... 137

(10)
(11)

BAB I

ADA APA DENGAN SUTARMAN?

SAMPAI menjelang akhir Januari 2015, kemelut soal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) masih belum menemui titik terang setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Kepala Lembaga Pendidikan Polri, BG, diusulkan oleh Presiden Joko Widodo menggantikan Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman. Sehari menjelang dilakukan uji kelayakan dan kepatutan –fit and proper test oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), KPK menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Penetapan BG sebagai tersangka inilah yang kemudian memicu reaksi berbagai kalangan.

Apa yang terjadi kemudian? Tragis dan ironis. Tragis, karena baru pertama kalinya dalam sejarah terjadi, DPR yang terhormat secara aklamasi menyetujui seseorang dengan status tersangka sebagai calon Kapolri. Mengapa ini bisa terjadi? Tak lain karena ketidaktegasan Presiden Jokowi yang diharapkan menganulir pencalonan BG, sebab dia berstatus tersangka. Namun, sayangnya langkah itu tak diambil Presiden. Menjadi

(12)

ironis, karena kemudian Presiden membiarkan proses politik DPR berjalan. Dan itu, diyakini sebagai sesuai prosedur di DPR.

Memperhatikan berbagai tekanan kuat yang ditujukan kepadanya, jalan tengah lalu diambil Presiden Jokowi dengan cara menunda pelantikan BG dan menunjuk Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti yang menjalankan tugas dan kewenangan Kapolri, sebagai “pelaksana tugas” (Plt). Namun, tekanan kepada Presiden untuk melantik BG sebagai Kapolri, atau membatalkan pencalonan BG sebagai Kapolri, terus muncul ke permukaan.

Di sini, kita memandang dalam situasi penuh ketidakpastian, kenegarawanan Jokowi diuji. Ia harus mencegah terjadinya konflik institusi yang bisa melemahkan semangat pemberantasan korupsi dan karenanya bisa menguntungkan koruptor. Jalur hukum harus dihormati, tak perlu dicampur aduk dengan langkah politik. Namun demikian, kita apresiasi langkah BG menguji penetapan tersangka melalui jalur praperadilan. Biarlah sidang peradilan yang memutuskannya. Penegakan hukum harus betul-betul dilepaskan dari manuver dan kepentingan politik yang justru dimaksudkan mendelegitimasi lembaga negara.

Masyarakat harus mampu memahami, bahwa apa yang dituduhkan KPK terhadap BG bukanlah tuduhan terhadap

(13)

institusi dan lembaga Polri sebagai penegak hukum. Di sinilah pentingnya kedewasaan bertindak dan bersikap para elit penyelenggara negara kita, mulai dari Presiden Jokowi, Wakil Kepala Polri Badrodin Haiti, dan para menteri terkait, yang seharusnya mendorong anggota Polri yang dipanggil sebagai saksi untuk memenuhi panggilan KPK, agar masalah ini bisa segera selesai.

Sangat disayangkan, tiba-tiba muncul tuduhan PDI-P, bahwa ada pimpinan KPK melanggar etika. Semestinya tuduhan yang provokatif itu tidak diekspos besar-besaran yang berpotensi mengganggu pekerjaaan KPK. Seharusnya pula, KPK didukung untuk menuntaskan tuduhannya ke BG sesegera mungkin, sehingga persoalannya menjadi terang benderang. Karena itu kita berharap, biarlah masalah etika itu diselesaikan melalui mekanisme internal KPK, dan sama sekali tidak boleh mengganggu penyidikan terhadap BG.

Selain ketentuan hukum, semua pihak hendaknya berpegang pada semangat bangsa pasca reformasi yang tecermin dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya mengenai etika politik dan pemerintahan. Dalam bagian itu disebutkan, bahwa setiap pejabat dan elite politik dituntut jujur, sportif, berjiwa besar, memiliki keteladanan, dan siap mundur dari jabatan publik

(14)

apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Maka ketentuan itulah yang semestinya dipegang oleh siapa saja para penyelenggara negara. Jadi biarlah KPK bekerja sesuai dengan hukum yang berlaku.

Berbeda 180 derajat dengan BG yang melakukan perlawanan terhadap KPK dengan melakukan praperadilan – sebuah langkah hukum yang juga harus kita hormati, Jenderal (Pol) Sutarman yang tak lagi menjabat Kapolri karena diberhentikan Presiden yang gagal melantik BG sebagai calon Kapolri baru, ia menerima dengan penuh lapang dada. Ikhlas dan seratus persen loyal kepada Presiden. Meskipun sesungguhnya sangat dimungkinkan Sutarman bisa menggugat Presiden Jokowi, karena memecatnya tanpa alasan masuk akal –seperti yang dikatakan banyak pengamat hukum. Bahkan ketika ia ditawari Presiden untuk menjadi Duta Besar atau Komisaris di perusahaan BUMN, namun dengan halus Sutarman menolaknya dan mengucapkan terima kasih atas tawaran itu.

Pasca pengumuman pemberhentian dengan hormat sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi itu, Jumat, 16 Januari 2015 malam, Sutarman, Alumni Akademi Kepolisian 1981, Rabu pagi, 21 Januari 2015, dengan langkah ringan menghadiri acara pelepasan di Mabes Polri dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian

(15)

(PTIK). Bertempat di Ruang Rapat Utama (Rupatama) Mabes Polri, Sutarman menandatangani penyerahan tugas, jabatan dan tanggungjawab kepada Plt Kapolri Komjen Pol Badrodin Haiti. Ini sungguh sebuah peristiwa amat bersejarah di tubuh kepolisian kita yang baru pertama kalinya terjadi ada pengangkatan Kapolri dengan jabatan Plt.

Meski diberhentikan sebagai Kapolri tanpa alasan yang jelas, pria yang diangkat sebagai Tri Brata 1—sebutan lain Kapolri, sejak 25 Oktober 2014 oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak menampakkan kemarahan dan kekecewaan di wajahnya sedikit pun. Sebaliknya, senyuman khas tetap terpancar dari wajah mantan Kabareskrim Mabes Polri ini. Dia tampak ikhlas melepas jabatan itu kepada wakilnya, Komjen Badrodin Haiti.

Begitu prosesi upacara dan tanda tangan antara Sutarman dan Badrodin usai, mendadak suara di ruang Rupatama itu menjadi haru, tatkala Sutarman menyampaikan pidatonya. "Saya mohon doa restu untuk menikmati sisa-sisa hidup ini di lingkungan masyarakat. Saya janji ke diri saya untuk tidak lagi terjun di kegiatan-kegiatan pemerintahan, politik-politik lain. Saya ingin habiskan sisa hidup saya untuk kepentingan-kepentingan sosial," kata pria kelahiran Sukoharjo, 5 Oktober 1957 itu dengan nada mantab.

(16)

"Peristiwa ini adalah sebuah peristiwa sejarah bangsa Indonesia akan mencatatnya," ungkap Sutarman dengan sorot mata tajam. Dalam forum tersebut Sutarman mengucapkan selamat kepada Badrodin untuk mengemban amanah yang berat dalam melaksanakan tugas-tugas Kapolri. Menurutnya, pergantian ini telah menimbulkan berbagai persoalan di masyarakat. Namun, dia berharap di internal Polri tidak demikian. Dia meminta kepada semua “adik-adiknya” agar tetap kompak dan menjaga marwah korps baju colekat.

Sejak awal, Sutarman mengaku dengan tulus dan ikhlas melepas jabatan Kapolri itu. "Begitu saya duduk jadi Kapolri, saya sudah harus siapkan adik-adik saya untuk menggantikan saya," katanya. “Dan saya berpesan, jangan sampai kesatuan Polri ini diombang-ambing oleh kekuatan-kekuatan politik," tegasnya lagi.

Sutarman menjamin bahwa dirinya loyal seratus persen untuk apapun yang diputuskan oleh Presiden Jokowi. Semua peserta upacara pun seolah terpaku menantikan setiap kata yang meluncur dari mulut jendral yang sudah mengabdikan diri selama kurang lebih 34 tahun di lembaga Polri.

"Bahkan sempat Presiden menawari saya beberapa jabatan. Saya katakan saya akan pensiun, menikmati hidup. Saya bilang ke Presiden, akan bantu bapak saya bertani,"

(17)

katanya. Sutarman kemudian mengucapkan terima kasih kepada personel Polri dan seluruh Bhayangkari di mana pun berada. Selama menjalankan tugas, sambung dia, bisa menampilkan sosok kepolisian seperti yang ada saat ini.

Dalam peristiwa bersejarah itu, jendral berbadan tegap dan proporsional tersebut tak lupa menyampaikan terima kasih atas kerjasama, dukungan, dan dedikasi yang telah diberikan seluruh anggota Polri demi kemajuan institusi. "Ini semua demi pelayanan masyarakat untuk kamtibmas dan penegakan hukum," paparnya. Dia pun sempat meminta maaf kepada seluruh anggota Polri dan masyarakat karena masih banyak terjadi ketidakadilan di dalam dan di luar institusi Polri. Sutarman mengakui selama ini belum bisa berlaku adil terhadap seluruh persoalan dan penyimpangan yang terjadi.

"Selama saya menjadi pemimpin Polri saya belum bisa memberikan keadilan itu seluruhnya. Saya tahu banyak penyimpangan tapi saya belum bisa meluruskan. Karena itu saya minta maaf," kata Sutarman. Tapi ia ingin anggota Polri di mana pun untuk tetap membantu masyarakat yang memerlukan bantuan. "Kita berikan sentuhan lembut tangan kita," ungkap mantan Kapolda Metro Jaya ini.

Sutarman tidak menjelaskan lebih gamblang masalah ketidakadilan seperti apa yang dia maksud masih banyak terjadi

(18)

itu. Namun, Sutarman menyinggung Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian dirinya dengan hormat, sekaligus penunjukan Plt Kapolri kepada Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti.

"Internal Polri sebelum ada Keputusan Presiden kemarin sejuk dan solid, tidak ada masalah. Setelah ada keputusan, ada dampak yang begitu luas di masyarakat dan di institusi Polri," ujar Sutarman. Namun demikian, Sutarman menegaskan, bahwa dirinya menerima Keppres tersebut dengan ikhlas.

Sutarman resmi diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Joko Widodo, Jumat, 16 Januari 2015. Sebagai penggantinya, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Pol) Badrodin Haiti diberikan mandat sementara untuk menjalankan fungsi dan wewenang Kapolri.

Calon pengganti Sutarman sendiri, BG belum dapat dipastikan kapan bakal dilantik. Pasalnya, BG ini tersandung kasus korupsi dan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Kemudian Jokowi memutuskan menunda pelantikan BG, hingga mendapat kejelasan dari persoalan hukum yang membelitnya.

Usai di Mabes Polri, Sutarman lalu menghadiri acara Bhayangkari. Setelah itu, ia dan istri bertolak ke PTIK di Kebayoran Baru, Jaksel. Sekitar pukul 10.35, rombongan

(19)

Sutarman dan istri tiba di PTIK. Di sini, sudah menunggu ratusan anggota Polri. Bahkan, taruna PTIK ikut terjun menyambut kedatangan Sutarman. Para taruna ini berdiri di halaman, sambil bernyanyi menyambut jenderal polisi bintang empat itu. Yang lebih membuat istimewanya lagi, ternyata Sutarman sudah ditunggui oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko, KSAL, KSAU dan Wakasad.

Saat Moeldoko memasuki auditorium, tepuk tangan meriah dipersembahkan oleh para anggota Polri. Selang lima menit kemudian, Sutarman dan istri masuk ruangan upacara. Tepuk tangan sambil berdiri dihadiahkan untuk mantan ajudan Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid ini. Dia pun lantas duduk bersama Moeldoko, Badrodin, KSAL, KSAU dan Wakasad. Satu demi satu mata acara yang dipandu Ferdy Hasan dan seorang Polwan, berlangsung meriah dan mengharukan. Pemberian cenderamata silih berganti dilakukan. Mulai dari Panglima, keluarga besar Polri hingga perwakilan seluruh Kapolda yang diwakilkan kepada Kapolda Papua.

Suasana damai amat terasa. Sempat pula dipertontonkan selayang pandang perjalanan karir mantan Kapolda Kepulauan Riau itu. Badrodin Haiti yang menggantikan Sutarman, dengan suara bergetar dan nada seolah menahan tangis menyatakan, selama memimpin Polri,

(20)

cukup banyak keberhasilan yang dibuat Sutarman, baik dalam tugas pembinaan mau pun operasional. Yang tak kalah penting tambahnya, adalah kesuksesan Sutarman mengamankan jalannya Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden 2014.

Saat itu, kata Badrodin, hampir semua elemen bangsa terbelah menjadi pendukung calon pasangan capres-cawapres. Menurut dia, tidak hanya media, juga politikus, ulama, tokoh masyarakat, sampai purnawirawan TNI dan Polri terbelah menjadi dua dan harus “berhadap-hadapan”. Prediksi kala itu, ujar Badrodin, akan terjadi chaosdan kerusuhan di mana-mana. "Tapi, ternyata, kepolisian di bawah pimpinan Jenderal Sutarman mampu menjalankan tugasnya dengan sukses. Ini jadi satu kenangan bagi kami semua dengan hati bangga. Kami akan melanjutkan tugas ini ke depan," ujar jenderal bintang tiga ini.

Mewakili jajaran Polri, Badrodin Haiti mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas kepemimpinan Sutarman di Polri. "Ini patut kita teladani dan lanjutkan," katanya. Badrodin mengakui, tantangan Polri ke depan semakin berat dalam menghadapi turbulensi yang terjadi di Korps Bhayangkara seperti saat ini. Karenanya, Badrodin meminta doa restu untuk bisa bersama-sama melewati masa-masa kritis ini dengan baik. Tak cuma itu, Badrodin pun masih

(21)

meminta bimbingan Jenderal Sutarman, dalam menghadapi masa-masa berat ini.

"Kami juga mohon, masih terus memohon bimbingan kepada Pak Jenderal Sutarman. Apa yang kita hadapi ke depan ini cukup berat," kata Badrodin. Dia meminta, internal Polri harus solid menghadapi tugas berat ini. "Kita perlu solid," tegas Plt Kapolri yang alumnus Akademi Kepolisian 1982 itu.

Mewakili keluarga besar Polri, terakhir Badrodin mengucapkan terima kasih atas bimbingan Ibu Elly Sutarman sebagai ibu asuh Polisi Wanita yang telah membimbing Bhayangkari. "Terima kasih atas dharma bhaktinya," kata Badrodin.

Saat meninggalkan ruangan, Sutarman terlihat tenang. Senyum terus terpancar. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju mobil Toyota Kijang Innova warna hitam nomor B 8080 AB yang sudah menunggunya. Namun, sebelumnya dia sempat berhenti sejenak menerima persembahan sebuah lagu dari grup band PTIK. Dalam lagu itu terdengar bait "Selamat Jalan Jenderal Sutarman, Terima Kasih atas Pengabdianmu."

Sutarman pun terus melangkah dengan mata yang kini terlihat berkaca-kaca seolah menahan tangis haru. "Polri harus satu, harus bersama. Tidak boleh terpecah oleh kekuatan siapapun. Selamat berjuang," kata Sutarman.

(22)

Yang menarik dan perlu kita cermati, dalam berbagai ucapan mantan Kapolri itu, terselip ungkapan-ungkapan yang mewakili kegalauan dan kegundahan yang ada di dalam hatinya. Seperti kalimat: “Sejarah akan mencatat peristiwa pergantian Kapolri ini”; “Pergantian ini telah menimbulkan berbagai persoalan di masyarakat”; “Memicu perseteruan KPK vs Polri”; “Sebelum ada Keputusan Presiden kemarin sejuk dan solid, tidak ada masalah. Setelah ada keputusan, ada dampak yang begitu luas di masyarakat dan di institusi Polri”.

Tentu saja ungkapan-ungkapan yang disampaikan Sutarman itu menjadi menarik dan mengambil perhatian kita, sehingga kita patut bertanya: “Ada apa dengan Sutarman?”

Tetapi yang pasti, pria asal Solo yang pada Oktober 2015 berusia 58 ini, akan mengisi hari-hari pensiunnya ke depan dengan bertani. Dia ingin membantu orangtuanya yang memang seorang petani.

"Hidup saya akan saya habiskan untuk membantu masyarakat yang masih membutuhkan bantuan," jelas Sutarman suatu saat di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta. "Masih banyak rakyat yang perlu bantuan dan sentuhan lembut tangan kita. Itulah yang akan saya lakukan," tambahnya.

"Saya sudah terima kasih, saya sudah bekeja di pemerintah hampir 34 tahun sejak 1981 lalu. Sehingga sisa

(23)

hidup saya akan saya serahkan ke masyarakat yang masih butuh. Dan, sekali lagi, saya akan bantu bapak saya bertani. Dengan bertani sama saja membantu Presiden untuk menyiapkan ketersediaan pangan kita. Karena pangan sangat rawan untuk masa mendatang," jelasnya.

Apakah Anda sedih saat tiba-tiba diberhentikan Presiden dari posisi Kapolri, padahal masa tugas Anda masih 9 bulan? "Saya malah senang, bahagia!" aku Sutarman, mantan ajudan Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu.

Mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman ini sempat berpesan supaya institusi Polri tidak mudah terpecah belah. Sutarman berharap Polri menjadi institusi yang kuat dan berkontribusi pada penegakan hukum di negeri.

"Polri harus satu, harus bersama, enggak boleh terpecah belah. Siapa pun pemimpin negara ini, harus didukung dan harus bisa memberikan kontribusi dari aspek Polri," ujar Sutarman di Kompleks PTIK, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (21/1/2015).

Selanjutnya Sutarman mengatakan, ke depan, institusi Polri dihadapkan pada banyak tantangan. Tantangan yang pertama ialah kondisi politik di Indonesia yang berpotensi memecah persatuan dan kesatuan, bahkan bagi institusi sebesar Polri. Tantangan selanjutnya, ujar Sutarman, ialah dimensi

(24)

kejahatan yang kian berkembang, mulai dari kejahatan transnasional hingga kejahatan konvensional. "Oleh sebab itu, kita perlu soliditas, integritas, dan profesionalitas organisasi, sehingga Polri betul-betul bisa menjadi institusi yang kuat untuk mengawal penegakan hukum di negeri ini," pungkas Sutarman. (*)

(25)

BAB II

JOKOWI MENANG, SUTARMAN TERGUSUR

RUPANYA kemenangan Jokowi-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2015-2019, memicu spekulasi di tubuh Polri. Spekulasi itu terkait kemungkinan adanya pergantian posisi Kapolri yang dipegang Sutarman sebelum waktunya pensiun. Rasan-rasan untuk mengganti Sutarman ternyata memang sudah terdengar jauh sekitar Agustus 2014 lalu. Yang jelas, rasan-rasan itu adalah: Kemungkian Sutarman akan diganti Jenderal Budi Gunawan, yang menjabat Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian yang dikenal dekat dengan Megawati Soekarnoputri. Lalu, mengapa Sutarman harus diganti? Banyak alasan disebutkan terutama oleh para pemerhati kepolisian. Yang pasti, alasan yang biasa disampaikan, karena masa jabatan Sutarman yang berakhir pada Oktober 2015 akan dipercepat.

Terkait spekulasi ini, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) saat itu belum dapat memastikan pergeserannya sebelum masa jabatan Sutarman berakhir. Mereka menyerahkan soal itu kepada presiden terpilih, Jokowi. Bagi Kompolnas,

(26)

ungkap Edi Hasibuan, salah satu anggotanya, hal paling penting bagi calon pengganti Kapolri adalah tokoh yang memenuhi syarat dan bisa memberikan perubahan. “Sebab sampai saat ini secara obyektif, belum banyak yang berubah di Kepolisian kita,” kata Hasibuan.

Sepanjang tahun 2014 ini tercatat beberapa kasus yang membelit oknum di internal Kepolisian. Misalnya, kasus pembukaan rekening milik bandar judi online di Jawa Barat. "Jadi ini membuktikan ada konspirasi antara aparat dengan pelaku kejahatan," ujar Juru Bicara Indonesia Police Watch (IPW), Sogi Sasmita, dalam acara diskusi dengan tema "Police Outlook 2015, Evaluasi dan Proyeksi Kinerja Polri" yang digelar IPW di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (21/12/’14).

Selain itu, sambung Sogi, keteladanan pimpinan Polri hilang, sehingga muncul bentrokan di Batam antara oknum kepolisian dan tentara. Lebih memprihatinkan lagi, adalah kriminalisasi terhadap anggota Kompolnas. "Dengan bukti itu semua, aspek integritas, keteladanan, dan kemitraan antara polisi dan pengawas (kepolisian) tidak berjalan dengan baik," kritik dia.

IPW menilai, Kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tahun 2014 lalu, sangat tidak memuaskan masyarakat. Reformasi di internal Kepolisian juga jalan di tempat. Padahal

(27)

Polri memiliki 420.275 personel disertai anggaran Rp 44,5 triliun tahun 2014 itu. Makanya, IPW memberikan rapor merah kepada lembaga penegak hukum pimpinan Sutarman ini. "Kinerja Polri masih merah, karena integritas, keteladanan, profesionalisme dan kemitraan sangat lemah. Tidak ada kemajuan sama sekali selama tahun 2014," tegasnya. Dengan mendapat rapor merah, Sogi menilai Kapolri Sutarman gagal dalam memimpin lembaga kepolisian. "Presiden harus mengganti Kapolri demi untuk menata kembali institusi kepolisian lebih baik ke depannya," tegas dia. Karena dengan mengganti pucuk pimpinan di tubuh kepolisian, secara otomatis satuan tingkat kerja yang ada di bawahnya juga akan diganti dengan calon yang lebih segar dan baik.

Dalam paparan “Police Outlook 2015” ini telah dimatrikulasi evaluasi kinerja satuan kerja. Yang dapat rapor merah adalah Bareskrim, Intelkam, Irwasum, Korlantas, Polda Sumut, Polda Sulsel, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Barat, Polda Kalimantan Timur, Polda Kepri. Selain itu, Polda Sumatera Barat, Polda Jambi, Polda Bengkulu, Polda Lampung, Polda Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Tengah, Polda NTT, Polda NTB, Polda Sulawesi Utara dan Polda Gorontalo. Yang mendapat rapor merah juga adalah Polda Sulawesi Tenggara, Polda Maluku, Polda Maluku Utara, Polda Aceh, Polda

(28)

Sumatera Selatan, dan Polda Papua. "Adapun variabel ukuran memberikan rapor merah adalah faktor integritas, keteladanan, profesionalisme, dan kemitraan," tandas Sogi Sasmita.

Seiring berjalannya waktu, rumor mempercepat penggantian Sutarman itu terus bermunculan. Teka-teki siapa calon Kapolri baru mulai ramai diperbincangkan. Karena pengganti Jenderal Sutarman itu sangat penting bagi masa depan Polri dan stabilitas nasional, katanya. Seperti yang diungkapkan Koordinator Persaudaraan kader HMI se-Indonesia Timur, Syahrul Ramadhan, Sabtu, 20/12. (www.rmol.co. Read/2014/12/20/184086).

Menurut Syahrul, banyaknya isu mulai dari korupsi dan konflik anggota Polri dengan anggota TNI di Kepulauan Riau yang menyita perhatian publik terjadi karena faktor kepemimpinan. "Lemahnya kepemimpinan dua institusi ini menjadi pemicu bahwa keduanya sulit dikendalikan secara hirarkis pasukannya sampai ke bawah, belum lagi ancaman disintegrasi yang di lancarkan oleh kelompok ekstremis, seperti OPM di Papua, dan lain-lain," kata Syahrul.

Beberapa figur yang sudah diwacanakan bakal diusulkan untuk menjadi Kapolri di antaranya Wakapolri Komjen Badrodin Haiti, Kabareskrim Komjen Suhardi Alius, dan Kepala Lemdikpol Komjen Budi Gunawan. Namun demikian, Syahrul

(29)

meyakini, bahwa sosok yang tepat diberi kepercayaan tersebut adalah BG.

"Saya menilai figur intelektual dan leader yang mumpuni adalah Komjen Budi Gunawan untuk jadi Kapolri. Beliau sangat pas memimpin institusi Polri. Presiden perlu mempertimbangkan siapa yang bakal menjadi Kapolri. Ini menyangkut trust publik," jelasnya. Ia berharap, agar Presiden Jokowi tidak salah dalam memilih Kapolri karena akan berimplikasi terhadap jaminan keamanan dan pelayanan masyarakat.

"Saya sebagai Ketua Persaudaraan Kader HMI se-Sulawesi, mendukung Komjen Budi Gunawan, seorang sederhana dan mampu mengembalikan kejayaan Polri yang pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat."

BG selama ini dikenal dekat dengan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Karena dia pernah menjadi ajudan saat putri Bung Karno tersebut menjadi Presiden RI. Bahkan, BG disebut-sebut ikut menyokong Jokowi saat Pilpres 2014. Meski hal itu dibantah.

Mendengar begitu kerasnya suara-suara untuk mempercepat penggantian dirinya sebagai Kapolri, yang mestinya berakhir pada Oktober 2015, Jendral Sutarman menyatakan siap diberhentikan oleh Presiden Joko Widodo.

(30)

Pemberhentian Kapolri, menurut Sutarman, adalah hak prerogatif Presiden sepenuhnya. "Mau diganti sekarang atau besok, kami (Kapolri) siap. Kami siap melaksanakan apa yang jadi perintah Presiden," kata Sutarman di Lapangan Bhayangkara, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu, 14 Januari 2015. (tempo.co/read/news/2015/01/14/078634812)

Begitulah kemudian yang terjadi, dengan gerak cepat, sebelum masa tugas Sutarman berakhir, Presiden Jokowi sudah menunjuk BG sebagai calon tunggal pengganti Sutarman. Jokowi juga telah mengirim surat penunjukan BG ke DPR. Namun, secara tiba-tiba pula, sehari setelah surat Jokowi ke DPR, KPK menetapkan BG sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. KPK mengaku telah menyelidiki kasus BG sejak Juli 2014. Penyelidikan tersebut didasarkan pada informasi transaksi dari Indonesia Corruption Watch (ICW).

Menghadapi kenyataan adanya anggota korps Kepolisian yang menjadi tersangka ini, Sutarman mengatakan, Kepolisian akan menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. Kepolisian juga akan memberikan bantuan hukum kepada BG. "Tentu Polri melakukan pembelaan melalui divisi hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku," ujar Sutarman.

(31)

Kemudian perkembangan selanjutnya yang terjadi adalah, banyaknya hujatan ditujukan ke Presiden Jokowi. Ia diduga melangggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian), terutama pada soal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Dalam penjelasan yang diuraikan mantan Menteri Kehakiman, Yusril Ihza Mahendra, ditegaskan bahwa, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket, bukan terpisah. Seperti diketahui, yang terjadi sekarang, Kapolri lama sudah diberhentikan tanpa ada pengangkatan Kapolri baru.

"Saya ingat betul perdebatan perumusan pasal ini di DPR ketika saya mewakili Pemerintah membahas RUU Kepolisian. Mestinya Presiden dan DPR tahu, bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket bukan dipisah," tulis Yusril dalam twitternya @Yusrilihza_Mhd. Baik pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri, keduanya harus dengan persetujuan DPR. Permintaan pengangkatan dan pemberhentian itu pun wajib disertai alasan-alasannya.

"Jadi kalau Sutarman (Kapolri lama) mau diberhentikan, Presiden ajukan permintaan persetujuan ke DPR, dengan alasan-alasannya. Begitu juga calon pengganti Sutarman, harus

(32)

diajukan permintaan persetujuan DPR disertai alasan mengapa dia dicalonkan," ujar Yusril.

Ditegaskannya, Presiden tidak bisa memberhentikan Kapolri tanpa meminta persetujuan DPR seperti yang dilakukan terhadap Jenderal Sutarman saat ini. Hal itu terkecuali bila ada alasan mendesak. Dengan alasan mendesak itulah Presiden dapat memberhentikan Kapolri tanpa minta persetujuan DPR. Namun diingatkannya, alasan mendesak itu hanya dua, yakni jika Kapolri melanggar sumpah jabatan, atau membahayakan keamanan negara. Pertanyaannya, "Apakah Sutarman melakukan pelanggaran sumpah jabatan atau melakukan makar sebelum diberhentikan Presiden?".

Masih diatur dalam UU Kepolisian, hanya dalam keadaan mendesak seperti di atas Presiden dapat memberhentikan Kapolri dan menunjuk Plt tanpa persetujuan DPR. Namun sesudah itu, presiden harus menjelaskan alasan pemberhentian Kapolri dengan alasan mendesak itu. Pada saat bersamaan, Presiden harus meminta persetujuan DPR tentang pengangkatan Plt tadi. Selanjutnya Presiden harus segera mengusulkan calon Kapolri defenitif untuk mendapat persetujuan DPR. Calonnya bisa pelaksana tugas atau calon lain. "Demikianlah tertib bernegara dalam proses pengangkatan dan pemberhentian Kapolri ini telah diatur

(33)

dalam undang-undang agar berjalan baik. Saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM serta Menhan Mathori Abd Jalil mewakili pemerintah saat itu mengajukan dan membahas RUU ini dengan DPR sampai tuntas," kenang Yusril.

"Saya berharap penerus kami di pemerintahan akan memahami dan menjalankan UU yang kami buat dahulu agar negara berjalan tertib dan baik," pungkas Yusril. (politik.rmol.co/read//2015/01/17/187323).

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo memberhentikan dengan hormat Jenderal (Pol) Sutarman dari jabatannya sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Sebagai penggantinya, jabatan Kapolri dipegang oleh Plt Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti.

Pengumuman pemberhentian itu disampaikan Presiden dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jumat (16/1/2015). Sebagai payung hukumnya, Jokowi mengeluarkan dua Keppres. "Saya menandatangani dua Keppres. Pertama tentang pemberhentian dengan hormat Jenderal (Pol) Drs Sutarman sebagai Kapolri. Keppres yang kedua tentang penugasan Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri," kata Jokowi.

Pernyataan senada dengan Yusril di atas, disampaikan pula oleh mantan Wakil Kepala Polri Komjen (Purn) Oegroseno.

(34)

Ia tidak yakin, bahwa mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman memiliki kesalahan fatal yang menciptakan situasi mendesak hingga ia harus diberhentikan dari jabatannya.

Memangnya Pak Sutarman ini salah apa, kok buru-buru diberhentikan? Menjawab ini, Oegroseno mengatakan, hanya Presiden Joko Widodo yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Ia mengatakan, DPR dapat menanyakan hal itu kepada Presiden Jokowi mestinya.

Namun, Oegroseno menyoroti alasan keadaan mendesak untuk memberhentikan Kapolri sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian. UU tersebut menyebutkan, bahwa dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan DPR. Namun, kata Oegroseno, unsur-unsur keadaan mendesak itu tidak terlihat pada kondisi sekarang.

"Apakah permintaan sendiri? Tidak ada. Apakah memasuki pensiun? Kan, masih 9 bulan lagi. Apakah tidak mampu? Dia (Sutarman) segar bugar. Apakah pidana? Beliau tidak tersangka," kata Oegroseno.

Apakah mungkin adanya unsur ketidakpatuhan Sutarman? Menjawab ini, lagi-lagi Oegroseno yakin, bahwa Sutarman tidak melakukan pelanggaran yang dimaksud. "Saya

(35)

tidak menemukan indikasi itu. Seratus persen saja, saya yakin itu tidak ada. Saya tidak tahu kalau ada intervensi," ujarnya. (nasional.kompas.com/read/2015/01/19/19553851).

Lho, ada intervensi? Ya, itu tidak bisa diragukan dan tak terbantahkan lagi. Banyak kekuatan di belakang Jokowi yang mengintervensinya dalam “memaksakan kehendak” untuk mengganti Kapolri Sutarman dan menjadikan BG sebagai Kapolri. Terbukti Jokowi ditekan oleh empat penjuru kekuatan. Yaitu, kekuatan Istana, DPR, Kuningan, dan Teuku Umar. Ini menyebabkan Jokowi menghadapi posisi sulit.

Pengamat politik dari Populi Center, Nico Harjanto menilai posisi Presiden terjepit di antara empat penjuru kekuatan. "Istana, DPR, Kuningan, dan Teuku Umar," kata Nico dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu, 17 Januari 2015.

Posisi paling kuat dalam intervensi persoalan Kapolri, menurut dia, adalah Teuku Umar. Di sana, bercokol para pimpinan partai politik yang dikomandani oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. "Itu Sekretariat Bersama Koalisi Indonesia Hebat. Karena setiap pertemuan penting ada di situ," ujarnya. Kondisi yang dihadapi Jokowi amat berbeda dengan Soeharto atau SBY di masa lalu.

(36)

"Soeharto bukan Ketua Umum Golkar, tapi ketua Dewan Pembina. Dia bisa mengendalikan. Konteks politik kita mensyaratkan begitu. Bahkan, SBY merasa harus jadi ketua umum di masa-masa terakhir," tutur Nico Haryanto.

Sementara ICW menduga, Presiden Joko Widodo tidak mampu keluar dari tekanan politik di sekitarnya. Bahkan, "Memberhentikan Sutarman dengan alasan yang tidak jelas, membuat publik curiga, jangan-jangan ada kepentingan tertentu," kata aktivis ICW, Emerson Yunto di kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Jakarta, Senin 12 Januari 2015.

Karena itu, benar apa yang dikatakan Oegroseno, kemungkinan adanya intervensi kepada Jokowi untuk segera mempercepat penggantian Sutarman dengan Komjen BG. Tapi kemudian karena KPK menjadikan BG sebagai tersangka, lalu Jokowi menunda pelantikannya. KPK menjerat BG dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP. Ancaman hukumannya 20 tahun.

Pengamat Kepolisian dari PTIK, Bambang Widodo Umar menyatakan, alasan Presiden Jokowi mencopot Jenderal

(37)

Sutarman sebagai Kapolri tidak tepat. Seperti diketahui Presiden Jokowi mencopot Sutarman sebagai Kapolri, padahal masa pensiun Jenderal kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah masih Oktober 2015.

"Kalau melihat Pasal 11 UU Kepolisian syarat mempercepat itu ada. Tetapi menurut hemat saya, dengan Pasal 11 tidak cukup memberhentikan Sutarman," kata Bambang Widodo Umar. Menurutnya, tak ada alasan mendesak untuk memberhentikan Sutarman. Apalagi alasan Presiden Jokowi katanya untuk melakukan penyegaran di tubuh Polri. Itu tak masuk akal.

Sebab, "Masa jabatan sudah berakhir juga belum, atas permintaan sendiri juga tidak, memasuki usia pensiun belum, berhalangan juga tidak, dan dijatuhi pidana juga tidak. Iya, harus diungkap jangan mencari-cari alasan," terang Widodo lagi. Jadi menurutnya, pencopotan Sutarman jelas sangat menyalahi UU Kepolisian.

Menurut pakar komunikasi politik, Tjipta Lesmana, pencopotan Sutarman sebagai orang nomor satu di Korps Bhayangkara itu karena Presiden Jokowi benci kepada Sutarman. Kebencian itu, menurut Tjipta, karena Sutarman dinilai tak becus menuntaskan kasus majalah Obor Rakyat yang menuding Presiden Jokowi sebagai “Capres Boneka”.

(38)

"Dosa Sutarman ya karena tidak bisa menuntaskan kasus Obor Rakyat. Jokowi benci sekali," kata Tjipta dalam diskusi bertajuk 'Jokowi, Kok Gitu', Jakarta, Sabtu, 17 Januari 2015. Jadi ternyata, kalau benar dugaan Tjipta Lesmana itu, maka cuma gara-gara Obor Rakyat, Jenderal Sutarman dipecat Jokowi. Sehingga benar banyak orang bilang tentang nasib Sutarman yang Kapolri ini: kalau Jokowi menang, Sutarman tergusur. Dan ... terbukti!(*)

(39)

BAB III

SUTARMAN “ORANGNYA” SBY?

AKIBAT pencopotan Jenderal (Pol) Sutarman dari posisi Kapolri yang dipercepat, sekaligus bersama dengan Komjen (Pol) Suhardi Alius sebagai Kabareskrim Polri, memunculkan banyak spekulasi. Langkah pencopotan ini, dituding sebagai strategi Presiden Jokowi yang secara perlahan untuk mulai mempreteli loyalis mantan Presiden SBY dalam institusi kepolisian.

Yang pasti, indikasi kuatnya dapat dilihat dari pemberhentian Sutarman yang lebih cepat 10 bulan dari masa pensiun yang mestinya jatuh pada Oktober 2015. Begitu pula dengan Suhardi Alius yang tiba-tiba saja juga dimutasikan ke Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Penuh tanda tanya.

“Dosa Sutarman itu, karena tidak mampu menuntaskan kasus Obor Rakyat. Jokowi benci sekali. Kenapa kasus begitu jelas penghinaannya sejak awal, tidak bisa dituntaskan dengan cepat,” kata pengamat komunikasi politik UI, Tjipta Lesmana.

Padahal, imbuhnya, kasus Obor Rakyat sudah berlangsung pada masa kampanye Pilpres. Kemungkinan

(40)

Sutarman yang tidak memproses kasus tersebut dengan cepat, karena ada intervensi SBY yang ketika itu masih menjabat sebagai Presiden.

Meski demikian, Tjipta tidak mengungkapkan secara eksplisit dugaannya itu. Tetapi dia hanya sekedar mengisyaratkan. “Artinya, Kapolri tidak menjalankan tugas dengan baik. Itu sudah jelas unsur fitnah, tapi tidak bisa selesai dengan cepat. Hal ini juga kemungkinan terkait dengan Suhardi Alius yang menjabat Kabareskrim Polri,” kata Tjipta.

Kemudian politisi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, mengingatkan Presiden Jokowi melakukan pencopotan Sutarman dan Suhardi Alius itu tidak dihubung-hubungkan karena kedekatan mereka dengan mantan Presiden SBY. “Selama ini, mereka telah bekerja dengan baik, tentu harus didukung,” ujarnya. Tapi Didi juga menyadari kalau Presiden memiliki hak prerogatif untuk menentukan siapa yang dipilihnya menduduki kursi Kapolri. Hanya Didi lebih mengkritisi pencopotan atas Suhardi Alius sebagai Kabareskrim. Katanya: “Suhardi Alius itu cukup baik dalam melakukan tugas-tugasnya. Tapi memang Presiden Jokowi punya hak menentukan posisi jabatan lain di Kepolisian,” tandasnya. (porosberita.com/2015/01/17/)

(41)

Sementara itu, keinginan kuat Presiden Jokowi menjadikan BG sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman yang belum habis masa jabatannya, berbuntut panjang. Namun, para pengamat politik meyakini, bahwa kebijakan itu dilakukan lebih karena adanya perseteruan kekuasaan antara Megawati Soekarnoputri dan SBY.

Kedua tokoh ini mencoba memainkan perannya untuk mencari celah, bagaimana menyelamatkan seluruh aset kekuasaan dan kebijakannya dulu agar tidak terjerat masalah hukum. “Saya melihat, ini persaingan para jenderal polisi untuk eksistensi kelompok atau faksi mereka. Penetapan tersangka oleh KPK terhadap Budi Gunawan, jelas menguntungkan kelompok pesaing Budi Gunawan,” ujar pengamat politik muda Yasin Muhammad, menanggapi polemik yang makin meruncing soal BG.

Secara terang-terangan pula Yasin menyebut, kasus BG merupakan contoh perseteruan antara Mega yang kini memimpin PDIP, dengan SBY yang memimpin Partai Demokrat. "Persaingan Presiden kelima Megawati dengan Presiden keenam SBY, bertemu di pencalonan Kapolri ini," katanya.

Dalam posisinya sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Survei Independen Nusantara (LSIN), Yasin lebih jauh menjelaskan, setiap menjelang pergantian Kapolri, aura

(42)

persaingan antarjenderal selalu sangat tinggi. Dengan keputusan KPK menetapkan BG sebagai tersangka, maka dinamika persaingan internal di tubuh Polri makin tinggi dan menguat. Dimana lawan BG diuntungkan dengan keputusan KPK ini, dan pasti mereka menggalang dan memperluas dukungan ke pihak lain lagi untuk menjegal BG. Demikian pula dengan pencopotan Sutarman dan mendudukkan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti menjadi Plt Kapolri.

Yang pasti, menurut Yasin, kasus Budi dan Sutarman itu jelas sangat merugikan masyarakat, karena memberikan pendidikan politik yang buruk. “Karena Kepolisian merupakan institusi yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat. Tetapi ketika akan ada pergantian pucuk pimpinan tertingginya, para jenderal memperlihatkan persaingan tak sehat”.

Alumnus pascasarjana Universitas Paramadina ini menilai, posisi Kapolri sangat strategis bagi elite dan juga partai politik. Seharusnya, kata dia, Presiden Jokowi mampu mengambil keputusan untuk menjaga agar situasi politik dan kenegaraan Indonesia tetap stabil. (teropongsenayan.com/5188).

Yang menarik, SBY sendiri masih kuat perseteruan antara dirinya dengan Ketua Umum PDIP Megawati. Dan itu,

(43)

belakangan ini terlihat dalam akun facebook-nya SBY dalam pusaran kemelut di tubuh Polri saat ini.

"Ada pula pengamat yang mengatakan kemelut di tubuh Polri ini tidak terlepas dari perseteruan antara Ibu Megawati dengan SBY. Jenderal Polisi Sutarman dipersepsikan sebagai orangnya SBY, dan Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai orangnya Ibu Megawati," kata SBY yang dikutip dari akun

facebook-nya, Selasa (20/1/2015). SBY mengungkapkan, bahwa kedua jenderal polisi itu memiliki kedekatan hubungan secara personal. Namun, dirinya menampik bila Jenderal Sutarman dekat dengannya.

"Untuk diingat, kalau Pak Budi Gunawan dinilai dekat dengan Ibu Megawati karena mantan ADC (ajudan)-nya, maka Pak Sutarman adalah mantan ADC Gus Dur. Bukan mantan ADC SBY," tegas SBY masih dalam akunfacebook-nya.

Lebih lanjut, SBY pun mengungkap, bahwa pada era pemerintahannya, perjalanan karir Komjen Polisi Budi Gunawan berjalan baik dan lancar. Mantan Kapolda Bali itu mengalami 3 kali promosi jabatan, serta kenaikan pangkat dari Brigjen ke Irjen, dan kemudian ke Komjen.

Sebelumnya, SBY juga mengaku kaget mendengar adanya isu provokatif yang bisa merusak hubungannya dengan

(44)

Presiden Joko Widodo. Dalam isu tersebut disebutkan adanya pembersihan “orang-orang SBY”.

"Diisukan, bahwa yang tengah dilakukan sekarang ini adalah pembersihan 'orang-orang SBY', baik di jajaran TNI, Polri maupun aparatur Pemerintahan," tulis SBY di facebook -nya, Selasa (20/1/2015).

Menurut SBY, ia tidak membantah dan bahkan wajar serta masuk akal dikatakan “orang-orang SBY” jika orang tersebut memiliki posisi politik dan masuk dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu. Namun, ia keberatan jika para perwira TNI dan Polri profesional atau para eselon satu jajaran pemerintahan yang statusnya adalah abdi negara itu diistilahkan sebagai 'orang-orang SBY', maka menjadi tidak masuk akal. (news.liputan6.com /read/2163542).

Selanjutnya SBY justru mempertanyakan, "Jika setiap pejabat tinggi yang bertugas di era SBY harus segera diganti alias dibersihkan, karena dianggap sebagai orang-orang SBY alangkah malangnya mereka. Apa salah dan dosa mereka?". Namun begitu, SBY meyakini Presiden Jokowi tak akan memiliki keinginan seperti itu. Karena menurutnya, bila terjadi ini akan terus ada di saat-saat pergantian pemerintahan.

"Saya tidak yakin Presiden Jokowi punya pikiran dan kehendak untuk melakukan pembersihan semacam itu. Kalau

(45)

hal itu terjadi, bagaimana pula nanti jika Presiden baru pengganti Pak Jokowi juga melakukan 'pembersihan' yang sama."

Presiden Jokowi dinilai SBY memiliki kewenangan penuh untuk mengangkat dan memberhentikan seseorang sesuai dengan urgensi dan kebutuhannya. "Beliau yang akan menggunakan. Beliau tentu ingin sukses memimpin kita semua 5 tahun mendatang ini. Tentu semuanya dilakukan sesuai dengan norma, aturan, dan etika yang berlaku," tukas SBY. (news.liputan6.com/read/2163510).

Bak gayung bersambut, Presiden Jokowi tidak tinggal diam atas sindiran SBY itu. Tak mau dikatakan melakukan bersih-bersih di pemerintahannya dari orang-orangnya SBY itu, Presiden Joko Widodo menegaskan, pemerintahannya tidak sedang melakukan "pembersihan" terhadap "orang-orang Susilo Bambang Yudhoyono". Hal itu disampaikan Jokowi melalui akun facebook-nya, Selasa (20/1/2015).

"Tidak ada itu istilah "Pembersihan orang-orang Bapak SBY". Kita tidak sedang mengalami "Patahan Politik", juga tidak sedang dalam pertempuran antar generasi, justru sekarang ini perjalanan tatanan pemerintahan dilakukan secara gradual dan juga memperhatikan benang merah segala kebijakan," tulis Jokowi difacebook-nya.

(46)

Isu bahwa Jokowi melakukan "pembersihan" terhadap para pejabat "peninggalan" pemerintahan SBY muncul setelah ia melakukan pergantian Kepala Polri. Jokowi memberhentikan Kapolri Jenderal Sutarman dan menunjuk pelaksana tugas Komjen Badrodin Haiti untuk menggantikan, karena Kapolri terpilih BG ditunda pelantikannya. BG kini berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang tengah ditangani KPK.

Jokowi mengatakan, kebijakan yang kurang baik dari pemerintahan sebelumnya akan diperbaiki. Sementara, yang baik akan ditingkatkan. "Kalau pun ada pergantian-pergantian pejabat di tubuh pemerintahan, itu hanya sirkulasi manajemen pejabat publik, dan itu hal yang biasa untuk penyegaran manajemen tata kelola kebijakan publik," tulis Jokowi.

Ia menekankan, Indonesia saat ini tengah melakukan pembangunan secara masif. Ia ingin mempertemukan dua hal, yaitu meneruskan gagasan besar Presiden Soekarno tentang Indonesia yang kuat dengan kerapian infrastruktur; dan manajemen birokrasi pada masa Presiden Soeharto.

"Disamping itu kita perkuat ideologi: "Kedaulatan di segala lini". Presiden Sukarno menanamkan kesadaran pada bangsa Indonesia untuk melakukan semua kebijakan dengan landasan pikiran "Kita adalah Negara Besar" sehingga apa yang kita lakukan adalah persoalan-persoalan besar, bukan urusan

(47)

remeh temeh. Sementara Presiden Suharto mengajarkan, bahwa manajemen pemerintahan yang rapi akan membawa eksekusi keputusan birokrasi yang efektif. Bila hal itu tercapai, maka kita bisa memiliki landasan modal yang kuat untuk membangun Indonesia,"tulisnya lagi.

Jokowi juga menyatakan keyakinannya, bahwa dalam era pembangunan yang masif dengan ideologi kedaulatan di segala lini, Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat dan mampu bertahan serta memenangkan kompetisi di dunia Internasional. “Itu visi besar saya soal Indonesia Raya". Kata Jokowi. (nasional.kompas.com/read/2015/01/07244721).

Untuk lebih menegasi dan lebih menjamin tidak adanya upaya bersih-bersih terhadap orangnya SBY, Luhut Binsar Panjaitan, Kepala Staf Kepresidenan menegaskan, tak ada upaya pemerintahan saat ini untuk "membersihkan" orang-orang kepercayaan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Luhut, Jokowi sudah cukup direpotkan untuk mengurus masalah ekonomi sehingga tidak mungkin memikirkan cara itu. "Kalau soal itu, Pak Jokowi enggak pernah terpikir yang begitu. Boro-boro mikir begitu, ngurus ekonomi saja beliau sudah pusing," kata Luhut saat ditemui di Istana Kepresidenan, Rabu (21/1/2015).

(48)

Mantan Duta Besar RI di Singapura itu menilai, upaya "pembersihan" itu hanya akan membuang banyak waktu Jokowi, sehingga dia meyakini Jokowi tidak akan pernah memiliki pemikiran seperti itu. "Pak Jokowi ndak ada pikir ke situ. Saya pikir Pak Jokowi itu fokus untuk penyelesaian tugas pokok dia sebagai presiden," ucap Luhut.

Sementara SBY mengaku menerima informasi kuat adanya upaya pembersihan orang-orang kepercayaannya di pemerintahan Jokowi, terutama di lingkungan TNI/Polri. Pernyataan SBY ini keluar setelah Presiden Jokowi memberhentikan secara tiba-tiba dan diangggap menyalahi UU Kepolisian terhadap Jenderal (Pol) Sutarman sebagai Kapolri. Namun, Presiden Joko Widodo membantah pernyataan SBY dalam akunfacebook-nya.

"Tidak ada itu istilah 'Pembersihan orang-orang Bapak SBY'. Kita tidak sedang mengalami 'Patahan Politik', juga tidak sedang dalam pertempuran antar generasi. Justru sekarang ini perjalanan tatanan pemerintahan dilakukan secara gradual dan juga memperhatikan benang merah segala kebijakan," tulis Jokowi.

Bahkan Jokowi menggaransi, kebijakan yang kurang baik dari pemerintahan sebelumnya justru akan diperbaiki, sementara yang baik akan terus ditingkatkan. "Kalau pun ada

(49)

pergantian-pergantian pejabat di tubuh pemerintahan, itu hanya sirkulasi manajemen pejabat publik, dan itu hal yang biasa untuk penyegaran manajemen tata kelola kebijakan publik," tegas Jokowi. (nasional.kompas.com/read/2015/01/21/20022891) (*)

(50)
(51)

BAB IV

ADA CACAT HUKUM, ADA SKANDAL POLITIK

PENGANGKATAN Wakil Kepala Polri, Komjen Badrodin Haiti, sebagai Plt Kapolri oleh Presiden Jokowi dinilai “cacat hukum” dan melanggar UU Kepolisian. Pengangkatan Plt ini karena calon tunggal Kapolri yang sudah disetujui DPR, yaitu BG, sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Sementara Presiden Jokowi tetap memberhentikan Kapolri Jenderal Sutarman. Sehingga di Kepolisian tak ada Kapolri definitif. Ironis!

"Pertanyaannya, jika terjadi kerusuhan massal di Indonesia saat ini, siapa yang bertanggung jawab? Tentu Presiden Jokowi yang harus bertanggung jawab, karena membiarkan Polri dalam kondisi status quo tanpa kepemimpinan yang jelas," tegas Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S. Pane, dalam keterangan persnya (Sabtu, 17/1) .

IPW sudah mengingatkan Presiden Jokowi, bahwa mengangkat Plt Kapolri tidak bisa ujug-ujug, tapi harus mengacu ke UU Kepolisian. Dalam Pasal 11 ayat (5) UU

(52)

Kepolisan, Presiden harus meminta persetujuan DPR sebelum mengangkat Plt. Ironisnya, Jokowi tidak meminta persetujuan DPR.

"Jika DPR tidak menyetujui pengangkatan Plt Kapolri, Presiden wajib melantik Kapolri yang sudah mendapat persetujuan DPR yaitu Komjen Budi Gunawan," terang Neta.

IPW prihatin dengan sikap bingung Presiden Jokowi dalam menyikapi proses suksesi di Polri. Ketika calon Kapolri yang diusulkannya sudah disetujui DPR, Jokowi malah tidak melantiknya dan cenderung mengabaikan persetujuan DPR sebagai legitimasi suara rakyat. Tragisnya, Jokowi larut dalam suara segelintir orang, hingga menunda pelantikan BG sebagai Kapolri, yang dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. Sikap tidak jelas dari Presiden ini hanya menghancurkan supremasi hukum. (keamanan.rmol.co/read/2015/01/17/187319).

Sementara itu, mantan Wakil Kepala Polri, Komjen (Purn) Drs. Oegroseno, mengatakan, jika saja sebelumnya Presiden Jokowi mau meminta pertimbangan internal kepolisian dalam proses pergantian Kapolri, maka polemik terkait pencalonan BG tak akan terjadi. Sebab, "Yang memahami polisi adalah internal polisi, jadi pertimbangan dari internal Polri ini sebetulnya menjadi penting," tegas Oegroseno.

(53)

Dan, ia juga mengecam banyaknya kepentingan dan tekanan politik yang membuat Presiden Jokowi jadi terjepit.

Pemberhentian Jenderal Sutarman sebagai Kapolri dan penunjukan BG untuk menggantikannya lantas banyak menuai polemik. Bahkan, pengamat hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra ikut mengkritik cara Jokowi melakukan reorganisasi di Korps Bhayangkara ini.

Yusril, senada dengan Oegroseno, juga menyatakan, proses pemberhentian yang dilakukan Jokowi terhadap Sutarman bertentangan dengan undang-undang, sebab pemberhentiannya tidak melalui persetujuan DPR terlebih dahulu.

"Saya ingat betul perdebatan perumusan pasal ini di DPR ketika saya mewakili Pemerintah membahas RUU Kepolisian. Mestinya Presiden dan DPR tahu, bahwa pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket, bukan dipisah," tulis Yusril dalam akun @Yusrilihza_Mhd, Sabtu (17/1). Pernyataan yang disampaikan Yusril ini merujuk pada UU Kepolisian. Di mana dalam Pasal 11 ayat (2) menentukan: "Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai alasannya."

Berdasarkan alasan itu, maka Presiden Jokowi tidak bisa seenaknya saja memberhentikan Sutarman dari jabatannya.

(54)

Pengajuan pemberhentian pun harus disertakan dalam pengajuan calon Kapolri baru yang ditujukan kepada DPR. "Presiden tidak bisa memberhentikan Kapolri tanpa meminta persetujuan DPR seperti yang sekarang dilakukan terhadap Sutarman. Kecuali karena alasan mendesak, presiden dapat memberhentikan Kapolri tanpa minta persetujuan DPR," tegas dia.

Selanjutnya, Yusril menambahkan, dalam mengajukan pemberhentian harus memenuhi salah satu syarat sesuai yang tercantum dalam undang-undang, yakni melanggar sumpah jabatan atau dianggap membahayakan keamanan negara. Jika itu terpenuhi, maka Jokowi bisa memberhentikan Kapolri dan menunjuk Plt tanpa harus melalui persetujuan DPR.

"Apakah Sutarman melakukan pelanggaran sumpah jabatan atau melakukan makar sebelum diberhentikan presiden?” Tidak! Tak hanya soal pemberhentian, berdasarkan undang-undang tersebut pula, pengangkatan Plt Kapolri juga harus melalui persetujuan dewan. "Pada saat yang bersamaan, Presiden semestinya harus meminta persetujuan DPR tentang pengangkatan Plt tadi," ungkap Yusril. (merdeka.com/politik/yusril ...)

Pengamat politik Boni Hargens, di seputar kemelut dalam tubuh Polri saat ini, rupanya mempunyai penilaian

(55)

sendiri. Katanya, penetapan tersangka oleh KPK terhadap calon tunggal Kapolri Komjen (Pol) Budi Gunawan, bukan berarti Presiden Joko Widodo kecolongan. Tidak. Pasalnya, menurut Boni, BG diusulkan sebagai calon Kapolri atas dorongan orang dekat Jokowi saat ini. Jadi bukan inisiatifnya Jokowi. Dan pernyataan ini ternyata sama seperti yang disampaikan oleh Syafii Ma’arif dalam posisinya sebagai Ketua Tim Independen beranggotakan sembilan tokoh bentukan Jokowi untuk penyelesaian ketegangan KPK vs Polri, bahwa pengajuan nama BG itu bukan inisiatifnya Jokowi. Tetapi orang lain. Kata Syafii Ma’arif, siapa itu? Ah, bukan rahasia umum lagi. “Semua orang sudah tahu, kok.”

Selanjutnya kata Boni, “Mereka itu ingin menjebak Jokowi, maka mereka harus segera disingkirkan. Penetapan BG jadi tersangka oleh KPK adalah blessing in disguise, berkah terselubung,” ujar Boni Hargens, Selasa (13/1).

Jadi menurut Boni, penetapan BG tersangka adalah sebuah berkah, karena akhirnya publik bisa melihat dengan jelas, bahwa ternyata ada "pembisik" di sekitar Jokowi yang ingin menyesatkannya.

“Pelajaran ini mahal. Jokowi harus berani mengatakan tidak pada orang-orang kuat di sekitarnya yang memberikan masukan keliru,” katanya. Boni juga memberikan apresiasi

(56)

setinggi-tingginya pada KPK dan PPATK. Karena telah memperlihatkan komitmen nyata memberi dukungan pada cita-cita revolusi mental pemerintahan Jokowi.

Baginya, “Dua lembaga ini telah mewakili kehendak publik dalam menjamin pemerintahan bersih dan demokratis. Kita berharap ke depan Jokowi tetap bergandengan tangan dengan lembaga-lembaga ini, supaya bisa secara sama-sama memerangi segala bentuk banditisme dalam politik dan dalam sektor lain seperti ekonomi dan hukum,” katanya. (jpnn.com/read/2014/12/01/273038).

Ternyata pula, Boni Hargens ini memang jauh-jauh hari sudah meyakini, bahwa pengajuan nama BG bukanlah inisiatif murni Jokowi. Itu nama titipan dari para pembisik yang sangat dipatuhi Jokowi. Susah agaknya bagi Jokowi untuk menolaknya memang. Akhirnya sangat merugikan Jokowi sendiri dan berakibat permasalahannya terus berbuntut panjang. Apalagi sampai membuat seorang Kapolri harus mendadak diberhentikan 10 bulan sebelum masa tugasnya selesai tanpa ada alasan kuat dan mendesak. Banyak pengamat mengatakan, di sini Jokowi jelas-jelas melakukan “skandal politik”, karena membuat institusi Polri di internnya lantas jadi karut marut, sehingga muncul istilah ada pengkhianat, yang kemudian dari sini menciptakan konflik dan ketegangan semakin tajam antara

(57)

Polri vs KPK. Yang pasti, kebijakan Presiden Jokowi mencopot Jenderal (Pol) Sutarman sebagai Kapolri dan mengangkat BG sebagai gantinya, dan kemudian jadi tersangka itu, telah menuai kritikan tajam dari sebagian besar masyarakat. (tempo.co/read/news/2015/01/11/078634113).

Tak hanya mereka yang beroposisi dengan Jokowi, kritikan lebih keras juga dilakukan sebagian besar pendukung Jokowi sendiri. Sampai kemudian Jokowi membentuk Tim Sembilan untuk menyelesaikan konflik tajam antara Polri vs KPK.

Boni mengatakan, kasus pergantian calon Kapolri di awal pemerintahan Jokowi ini berbeda dengan zaman pemerintahan Presiden SBY dan sebelum-sebelumnya. Di zaman para pendahulu Jokowi, masukan dan pertimbangan dari internal Polri selalu diminta sebelum dilakukan pergantian calon Kapolri.

"Yang perlu digarisabawahi, pergantian Kapolri itu sebetulnya bukan hal yang sangat luar biasa. Seperti dulu-dulu, bicarakan, ini kan etika. Setelah itu pasti (nama calon) diajukan dan bulat. Kalau ini ditempuh, saya yakin situasi tak akan seperti saat ini," ujar Boni.

Sementara Oegroseno, mantan Wakapolri ini, mengaku simpati kepada Jenderal Sutarman yang diberhentikan Presiden

(58)

dari jabatan Kapolri, padahal masa aktifnya di kepolisian masih cukup panjang. Apalagi, seperti sudah dijelaskan di muka, Sutarman tidak diajak bicara oleh Presiden tentang rencana pergantian Kapolri ini.

Tapi Sutarman berjiwa besar, meski tak diajak bicara Presiden, ia mengaku tetap loyal seratus persen kepada Presiden dan ikhlas melepaskan jabatan sebagai Kepala Polri. "Keikhlasan dan ketulusan saya menyerahkan institusi Polri pada siapa pun yang ditunjuk oleh Presiden," kata Sutarman.

"Saya tegaskan, saya loyal seratus persen pada Bapak Presiden," lanjut dia. Sutarman mengaku mengetahui banyak apa yang terjadi di dalam tubuh Polri, secara khusus terkait pencopotannya dari pucuk pimpinan Polri. Namun, dia memilih tidak berbicara apa pun soal itu. Perwira angkatan 1981 tersebut memastikan dirinya akan mundur dari pemerintahan dan memilih untuk terjun di dunia sosial. “Saya akan mengikuti jejak ayah saya, yakni bertani.”

Pergantian pimpinan Polri dari Jenderal Sutarman ke Komjen Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri, agaknya masih terus menuai polemik. Terbukti, beberapa anggota polisi di tingkat bawah yang memperhatikan kasus ini menduga ada rekayasa di balik keputusan Presiden Jokowi memberhentikan Jenderal bintang empat Sutarman.

(59)

Salah satu anggota polisi yang berdinas di wilayah Jakarta menduga kisruh ini kental sekali nuansa politis yang dilakukan segelintir orang pemerintahan yang memanfaatkan situasi kisruh di Mabes Polri.

"Indonesia kan banyak orang yang jago merekayasa. Semua ini saya yakin ada yang merekayasa, dari mulai pencalonan Kapolri, terus jadi tersangka, pemberhentian Kapolri, ini semua sudah di rekayasa," kata seorang polisi yang enggan disebutkan namanya, saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (20/1).

Polisi berpangkat Iptu ini melanjutkan, keputusan Presiden Jokowi untuk memberhentikan Kapolri Jendral Sutarman menurutnya telah melalui pertimbangan yang sulit. Dirinya menduga, proses pencopotan Kapolri tidak lepas dari hasutan pihak luar di mana hak prerogatif Presiden dijadikan tameng.

"Kalau Pak Jokowi saya yakin gak tega berbuat seperti itu. Tapi pasti ada desakan pihak luar yang memaksa untuk mempercepat pemberhentian Pak Sutarman," imbuhnya. Dia berharap, ke depan masalah pengangkatan Kapolri tak sepelik ini. Untuk kondisi yang terjadi saat ini, dia berharap segera selesai. Supaya anggota polisi yang di lapangan bisa menjalankan tugasnya dengan baik.

(60)

"Sebenarnya di kita yang bawahan ini gak ada masalah. Itu kan urusan para Jenderal. Yah tapi sebagai polisi kami berharap ini cepat selesai dengan adanya Kapolri baru," tandasnya. (merdeka.com/peristiwa/polisi-bawahan-tuding).

Sampai akhir Januar 2015 berlalu, mantan Kapolri Jenderal Sutarman mengaku sudah tak punya beban usai dicopot sebagai pimpinan Polri oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan dirinya menganggap pencopotannya sebagai Kapolri kemarin itu merupakan sejarah bagi Korps Bhayangkara.

"Saya sudah menikmati kehidupan kebebasan. Karena saya sudah tidak mendengar, membaca media, koran apapun. Seluruh tugas sudah beralih ke Pak Badrodin," itu seperti yang diucapkan Sutarman dalam sambutan di acara penyerahan tugas wewenang dan tanggung jawab kepada Wakapolri di Ruang Rapat Utama, Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (21/1).

Sayangnya, mantan Kapolri ini belum menjelaskan secara rinci maksud ucapannya itu. Terkesan ia tidak mau memperpanjang masalahnya, lalu ia alihkan dengan memberikan selamat kepada Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti yang kini dipercaya mengemban tugas untuk sementara waktu menggantikan dirinya sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri.

(61)

Sutarman mengatakan jika institusi Polri kini tengah mengalami masalah yang berat. Sejarah akan mencatatnya. "Sejarah akan mencatatnya. Karena itu saya ucapkan selamat kepada Pak Badrodin mengemban tugas yang berat sebagai Kapolri. Di saat yang seperti ini," imbuh jenderal bintang empat ini. (merdeka.com/peristiwa/sutarman-) (*)

(62)
(63)

BAB V

PERANG BINTANG DI POLRI

DI BULAN Januari 2015 rupanya menjadi bulan di mana Korps Bhayangkara banyak dirundung masalah. Di internal kepolisian itu terjadi mutasi jabatan para perwira tinggi secara tiba-tiba. Dimulai dari Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian (Kalemdikpol) Komjen Budi Gunawan menjadi calon kapolri tunggal pilihan Presiden Jokowi. Lalu Kapolri Jenderal Sutarman dinonaktifkan sebelum masa pensiunnya habis, Oktober 2015. Sampai pada Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Komjen Suhardi Alius yang diganti secara diam-diam oleh Sespimti Irjen Budi Waseso dengan alasan yang tak jelas pula.

Konflik senyap di internal kepolisian itu agaknya akan bergulir cukup lama. Banyak kabar beredar, bahwa di Mabes Polri terjadi jegal-menjegal antar perwira tinggi. Ada yang tak suka dengan pencalonan si ini dan si itu, dan ada pula yang menuding, bahwa di dalam tubuh Mabes Polri ada sosok pengkhianat.

(64)

Rupanya konflik di dalam Korps Bhayangkara tak cuma terjadi kali ini saja. Sejak era Kapolri pertama Soekanto Tjokrodiatmodjo, sudah ada perseteruan besar dan persaingan tidak sehat di dalamnya.

Dikutip dari buku 'Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan', diceritakan pada zaman Kapolri pertama, sudah banyak para perwira-perwira tinggi polisi yang ingin melengserkan Kapolri Soekanto Tjokrodiatmodjo. Hoegeng bercerita bahwa Soekarno Djojonegoro mengajak perwira-perwira lain mendesak Presiden Soekarno agar Soekanto diberhentikan dari jabatan Kapolri karena dianggap cuma asyik dengan ilmu kebatinan.

Selain masalah kebatinan, rupanya para perwira pada saat itu tak setuju dengan rencana Soekanto yang ingin melakukan retooling (pembersihan) di dalam internal kepolisian agar kinerjanya dianggap lebih efisien dan semakin produktif.

Dikutip dari buku 'Konflik dan Integritas TNI AD', kemudian pada 14 Desember 1959, Kapolri Soekanto mengecam perlawanan dari anak-anak buahnya itu. Soekanto menganggap pembangkangan itu sebagai bentuk penyelewengan dan justru akan memecah tubuh Polri. Namun, ternyata Presiden Soekarno malah menyalahkan cara berpikir

(65)

dan langkah-langkah yang sudah diambil Kapolri Soekanto. Akhirnya, pada 17 Desember 1959 Soekanto diberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Kapolri.

Kemudian pada tahun 1962 resolusi para perwira polisi itu diterima. Presiden Soekarno pun menunjuk Soekarno Djojonegoro menjadi Kapolri kedua (pada saat itu bernama Kepala Kepolisian Negara). Soekarno Djojonegoro sekaligus diresmikan jabatannya menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Men Pangak).

Kemudian pada era Kapolri sekarang, banyak pihak yang berspekulasi, bahwa penunjukan calon Kapolri BG karena adanya banyak intervensi kepada Presiden Jokowi. Padahal BG sudah ditetapkan tersangka kasus gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (merdeka.com/peristiwa/).

Walau begitu, para elite di Senayan tetap memproses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pada BG beberapa waktu lalu. Hasilnya, Komisi III DPR menyetujui BG diangkat menjadi Kapolri baru pilihan Presiden Jokowi. Kini tinggal bagaimana Presiden Jokowi segera menentukan Kapolri definitifnya agar tak berlarut-larut menggantung yang dikhawatirkan menjadi semakin panas nuansa politiknya.

Tak kurang mantan Kapolri Jenderal (Purn) Chaerudin Ismail menduga adanya permainan politik internal Polri dalam

(66)

perebutan kursi Kapolri. Pasalnya calon tunggal Kapolri BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sebelum menjalani uji kelayakan di DPR. Dan ia sangat memprihatinkan kalau terjadi persaingan tidak sehat di internal Polri. "Tetapi kalau terjadi persaingan tidak sehat apalagi mempengaruhi politik, ini yang berbahaya," ujar Chaerudin di Jakarta, Selasa (13/1/2015) malam.

Menurutnya, dalam proses penjaringan calon Kapolri oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sudah sesuai dengan prosedur dimana perwira yang diajukan adalah para jenderal bintang tiga. (nasional.inilah.com/read/detail/2169949) Harus diakui, memanasnya hubungan KPK dan Polri yang terjadi itu dipicu karena terjadinya perseteruan atau seperti kata Chaeruddin Ismail, adanya persaingan tidak sehat di internal Mabes Polri. Khususnya dari sejumlah jenderal yang mengincar kursi Kapolri.

Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane, ada tiga faksi yang mengiringi terjadinya permasalahan antara KPK dengan Polri. "Pertama, pendukung Kapolri incumbent yang tak rela dicopot. Kedua, kubu yang merasa pantas menjadi Kapolri dibanding BG dan merasa punya akses kuat ke PDIP. Ketiga, kelompok yang sengaja bikin

(67)

kekacauan dengan harapan bisa terpilih menjadi Kapolri,” papar Neta kepada Inilah.com di Jakarta, Selasa (27/1/2015).

Lebih jauh Neta mengakui, adanya perang bintang atau pertarungan kelompok di internal Polri, sudah bukan rahasia lagi. Tentu saja, kondisi ini tidaklah menguntungkan pemerintah maupun masyarakat.

"Kalau mau diselesaikan, Presiden harus berani tegas, jalankan konstitusi dengan melantik BG. Apakah seminggu kemudian presiden mau gunakan hak prerogatifnya, silahkan saja. Sekalian melakukan penataan di tubuh Polri,” tuturnya.

Ya, pandangan Neta bisa jadi benar. Sebelumnya, Kompolnas mengajukan tiga jenderal bintang tiga sebagai kandidat Kapolri. Mereka adalah Kalemdikpol Komjen Budi Gunawan, Irwasum Komjen Dwi Prayitno dan Kabareskim Suhardi Alius. Namun, Presiden Joko Widodo dengan hak prerogatifnya menetapkan satu nama yakni Komjen Budi Gunawan atau sering disapa BG. Masalahnya timbul ketika tiba-tiba BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap dan gratifikasi. Diduga, status tersangka untuk BG tak datang dari langit. Namun ada yang bermanuver, termasuk menyeret petinggi Bareskrim yang membawahi ekonomi dan perbankan. (nasional.inilah. com/read/detail/2173658).

(68)

Tetapi informasi lain datang dari Komjen Oegroseno, mantan Wakapolri yang sempat mengeluarkan kritik keras terhadap BG dan Kabareskrim Irjen Budi Waseso. Ia kaget atas pencopotan Komjen Suhardi Alius sebagai Kabareskrim, dan meminta mutasi jabatan di tubuh kepolisian harus berdasarkan aturan dan asas kepatutan. "Jangan sampai seperti zaman PKI dulu. Dicap ini, dicap itu, terus diambil, dibunuh," kata Oegroseno di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu 17 Januari 2015.

Apabila ketidakjelasan itu terus berlanjut, Oegro memastikan institusi Polri akan goyah. Karena, akan membahayakan soliditas mereka dalam menjalankan tugas. "Saya tetap jaga integritas Polri. Integritas perorangan saya tidak punya hak jaga mereka. Hanya hubungan kedekatan dengan junior saya masih ada," ujar Oegroseno. Ia juga kaget dengan pernyataan Irjen Budi Waseso yang menyebut pengkhianat tidak boleh ada di lingkungan Polri. "Siapa ini pengkhianat? Jangan munculkan masalah baru," Oegro menegaskan. Jika Irjen Budi Waseso ditunjuk dan mendapat jabatan Kabareskrim, Oegro meminta jangan mengeluarkan pernyataan, bahwa ada misi pembersihan. Dia menegaskan semua polisi baik.

"Kalau Suhardi diganti tidak ada masalah. Propam jalan dulu dong. Karena Kadiv Humas saja mengatakan asas praduga

(69)

tak bersalah. Kenapa masih ada praduga bersalah? Jangan pakai dua kutub. Nanti jadi awan cumulusnimbus. Bahaya," Oegro mengingatkan. "Saya tahu nggak ada masalah. Kalaupun ada masalah setelah saya tinggalkan, buktikan melalui Propam. Supaya masyarakat bisa menilai kepolisian betul-betul menggunakan asas praduga tak bersalah," tegasnya. (news.viva.co.id/news/read/579153).

Oegro menambahkan, dirinya tak khawatir apabila mendapat ancaman ataupun teror, karena pernyataannya itu. Sebagai orang dalam dan sebagai mantan Wakapolri, tentu saja Komjen Oegroseno sangat mengetahui apa yang terjadi di internal Polri, yaitu terjadinya persaingan tajam antar jenderal. Ia langsung saja mengatakan Budi Gunawan dan Budi Waseso (dua Budi ini) merupakan 'biang masalah' di tubuh Polri saat ini. Dan terkait kritik pedasnya yang disampaikan ini, Oegroseno mengaku tidak takut dengan segala resiko yang harus dihadapi. "Memang resiko bernegara ya gitu. Jangan takut," katanya di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Selasa (27/1/2015). (nasional.inilah.com/read/detail/2173646).

Mantan Wakapolri ini, ternyata juga cukup keras menanggapi peristiwa penangkapan Bambang Widjojanto, Wakil ketua KPK, yang ditangkap di halaman Sekolah Nurul

Referensi

Dokumen terkait

Belantikan Raya Belanja Alat Tulis Kantor Biaya pemberlian pelobang kertas kenko Belanja Barang/ Jasa Barang 157.100,00 4 Buah Bayat APBD 01/ 01/ 2013 31/ 12/ 2013 01/ 01/ 2013 31/

Thermometer Digital Berbantu Komputer adalah modul target yang terdiri dari bagian sensor yang berupa komponen analog yang dapat mengukur suhu, yang kemudian akan ditampilkan

mengubah semua titik latar yang bertetangga dengan titik batas menjadi titik obyek (set setiap titik yang tetangganya adalah titik obyek menjadi titik obyek). mengubah semua titik

Pertemuan- pertemuan ini merupakan hal yang sudah rutin dilakukan sekolah.Pada pertemuan ini kepala satuan pendidikan atau wakilnya serta guru kelas atau wali

Peralatan yang digunakan terdiri dari Tong, pengaduk, pompa aerasi, dan saringan dari pasir. Kegunaan dari masing-masing peralatan adalah sebagai berikut:.. Drum tersebut

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah belum optimalnya peran suami dalam dalam pelaksanaan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, sehingga laki-laki dan perempuan

yang memiliki muatan sumbu terberat (MST) maksimal 8 ( Delapan) Ton. Parameter yang dianalisa berupa data volume lalu lintas, hambatan samping serta geometrik jalan pada ruas