• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

D. Macam-Macam Jual Beli

Jumhur Fuqaha’ membagi jual beli kepada Shahih dan Bathil, (Zuhaili, 1994: 446-447) yaitu:

1. Jual beli shahih, yaitu jual beli yang disyariatkan menurut asal dan sifat-sifatnya terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya tidak terkait dengan hak orang dan tidak ada hak khiyar didalamnya. Jual beli shahih menimbulkan implikasi hukum, yaitu berpindahnya kepemilikan, yaitu barang berpindah miliknya menjadi milik pembeli dan harga berpindah miliknya menjadi milik pembeli.

2. Jual beli ghairu shahih yaitu jual beli yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya dan tidak mempunyai implikasi hukum terhadap objek akad, yang masuk dalam kategori ini adalah jual beli bathil dan jual beli fasid, yaitu: a. Jual beli bathil, yaitu jual beli yang tidak disyariatkan menurut asal dan

sifatnya kurang salah satu rukun dan syaratnya. Misalnya jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum, seperti gila atau jual beli terhadap mal ghairu mutaqawwin (benda yang tidak dibenarkan memanfaatkannya secara syar’i) seperti bangkai dan narkoba. Akad jual beli bathil ini tidak mempunyai implikasi hukum berupa perpindahan milik karena ia dipandang tidak pernah ada.

Jual beli bathil ada beberapa macam, yakni:

1) Jual beli ma’dum (tidak ada bendanya), yakni jual beli yang dilakukan terhadap sesuatu yang tidak atau belum ada ketika akad, misalnya memperjualbelikan buah-buahan yang masih dalam putik atau belum jelas buahnya serta anak hewan yang masih dalam perut induknya. Jual beli ini termasuk jual beli yang bathil berdasar hadis

مَلَسَو ِهْيَلَع ل ا َىلَص ِلا لْو سَر َنآ : اَم هْبنَع لا َيِض َر َرَم ع نْبِا ِلا دْبَع ْنَع

ِةَلَببَحلا ِلَبَح ِعْيَبب ْنَع ىَهَبن

.

Dari Abdullah ibn Umar r.a. sesungguhnya Rasulullah Saw melarang jual beli anak binatang yang masih dalam perut induknya.

ادوجوم عيبملا نوكي نا مزلي

“barang yang diperjual belikan harus ada”

2) Jual beli sesuatu yang tidak dapat diserah terimakan

Para ulama baik dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan syafi’iyah berpendapat tidak sah melakukan sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan, seperti jual beli terhadap burung yang sedang terbang keudara dan ikan dilautan. Bentuk jual beli ini termasuk jual beli yang bathil. Hal ini berdasarkan pada hadist Nabi saw:

ِعْيَببَو ِةاَصَحْلا عْيَبب ْنَع ىَهَبن َمَلَسَو ِهْيَلَع لا َىلَص ِلا َلو سَر رنآ َةَرْبي َر ه ىِبآ ْنِع

ِرَرَغْلا

.

Dari Abu hurairah, sesungguhnya rasulullah saw melarang jual beli dengan lemparan dan jual beli yang mengandung tipuan.

Begitu juga pada hadist lain dinyatakan:

َكمَسَلا او رَبتْشَت َل :لاق َمَلَسَو ِهْيَلَع لا َىلَص لا َلْولسَرلا َنآ د عْسَم نْبِا ْنَع

دمحا هاور .ِراَرَغ هَنِإَف ءاَمْلا ىِف

Dari Ibn Mas’ud sesungguhnya Rasulullah saw berkata “janganlah kamu menjual ikan yang masih dalam air karena jual beli itu termasuk gharar”.

Terhadap persoalan ini golongan Hanafiyah merumuskan kaidah:

مْيِلْسَتلا لرْو دْقَم عْيِب مْلا َنْو كَي ْنَا مَزْلَبي

“barang yang diperjual belikan harus dapat diserahterimakan”. (Zuhaily, 1994: 446-447)

3) Jual beli gharar, yakni jual beli yang mengandung tipuan. Misalnya, jual beli buah-buahan yang diongok atau ditumpuk. Diatas onggokan tersebut buahnya kelihatan baik. Namun, didalam onggokan tersebut terdapat buah yang rusak. Termasuk kedalam jual beli gharar adalah: a) Jual beli muzabanah, yakni jual beli buah-buahan yang masih dalam

َمَلَس َو ِهْيَلَع لا َىلَص ِلا َلْو سَر َنآ : اَهْبنَع لا َيِضَر َرَم ع ِنْب ِلا دْبَع ْنَع

ِم ْرَكْلاِب ِبِبْيِب َزلا ِعْيَبب َو ,للْيَك ِرَمَتل اِب ِرَمَثلا عْيَبب ِةَنَبب اَز مْلاَو ,ِةَنَبب اَز مْلا ِنَع ىَهَبن

للْيَك

.

Dari abdullah bin umar ra. Sesungguhnya rasulullah saw. Jual beli muzabanah . muzabanah adalah menjual buah yang masih di pelepahnya dengan takaran dan jual beli angguar yang masih di tangkainya dengan takara”.

Jenis jual beli ini dinamakan oleh masyarakat dengan jual beli

“batongkong” yakni jual beli tanaman yang masih rumpun dilakukan secara borongan. Misalnya tanaman yang ada dipohon seperti manggis, mangga, durian dijual belikan per batang. Tanaman yang ada disawah seperti bawang. Kentang di perjual belikan per kalang. Jual beli seperti ini termasuk jual beli gharar karena tidak jelas kualitas dan kuantitasnya. Pada umumnya jual beli yang di tawarkan kepada petani tidak sebanding dengan jumlah barang yang di peroleh oleh pembeli (toke). Padahal aturan dalam fiqih muamalah untuk benda makilat (benda-benda yang disukat), seperti gandum, beras, padi, dan sebagainya jual belinya dilakukan dengan cara disukat. Terhadap benda mauzunat (benda-benda yang ditimbang), seperti bawang, kentang, mangis, mangga, beras dan sebagainya jual belinya dilakukan dengan cara ditimbang. Begitu pula benda addiyat (benda-benda yang dihitung), seperti buah kelapa, telur, durian, dan sebagainya jual belinya dilakukan dengan cara dihitung.

b) Jual beli mulamasah (jual beli dengan menyentuh barang) dan

munabazah ( jual beli dengan melempar barang). Jual beli ini terlarang berdasarkan hadist:

ِنَع ىَهَبن َمَلَس َو ِهْيَلَع لا ىَلَص لا َلْو سَر َنآ , هْنَع لا َيِضَر َةَرْبيَر ه ىِبَا ْنَع

ِةَذَباَن مْلاو ِةَسَم َل مْلا

.

Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw melarang jual beli dengan cara menyentuh dan melempar.

Mulamasah atau menyentuh pada hadist ini di maksutkan adalah jual beli dengan cara menyentuh barang di tempat gelap tanpa bisa melihat jenis, bentu, dan kualiatas barang atau menyentuh barang yang ada dalam karung tanpa melihat jenis kualitas maupun bentuk barangnya. Apa yang tersentuh itulah hak pembeli. Munabazah atau melempar pada hadis ini adalah jual beli dengan cara melempar barang yang akan di beli mana barang yang terlempar itulah hak pembeli. Jika tak satupun barang yang terkena lempar pembeli tidak mendapat apa-apa.

Pada masa sekarang bentuk jual beli jahiliyah ini muncul kembali dalam bentuk lain. Cara-cara seperti ini, dikemas dalam bentuk permainan atau game. Misalnya, “game/ permainan lempar bola”, dengan membayar sejumlah uang, permainan dapat melemparkan bola kepada obyek permainan misalnya boneka, topi, gelang, dan lain sebagainya. Benda yang terlempar itulah hak pemain. Kemudian, dikemas dengan cara permainan lain yang menggunakan mesin, seperti yang terdapat pada beberapa swalayan, atau

“gamezone” dengan membayar sejumlah uang pemain akan mendapat koin. Lalu, koin itu dimasukkan ke lubang power. Pemain harus menoperasikan mesin pencakar boneka dan memasukkan

boneka tersebut ke bak yang disediakan, boneka itu akan keluar dan menjadi milik pemain. Namun, bila pemain tidak berhasil menyelesaikan permainan dengan baik ia tidak mendapatkan apa-apa.

c) Jual beli thalaqi al-ruqban dan jual beli hadhir libad, yaitu jual beli yang dilakukan dengan cara menghadang pedagang dari desa yang belum tahu harga pasaran. Juaal beli ini terlarang berdasar hadist:

ِهْيَلَع ِلا ىَلَص ِلا َلْو سَر رنآ هْنَع ِلا َلْو سَر َنآ هْنَع لا َىِضَر َةَرْبيَر ه ىِبَا ْنَع

اَنَبت َل َو ٍضْعَبب ِحْيَبب ىَلع ْم ك ضْعَبب حيِبَي َل َو ,َن اَبْكررلا ا وَقَلَبت َل َلاَق َمَلَسَو

ٍداَبِل رِض اح عيِبَي َلَو او شَج

.

Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Saw berkata “janganlah kamu menghadang pedagang dari desa, jangan sebagian kamu terhadap yang lainnya melakukan an-najasi (jual beli dengan tujuan merusak dagangan orang lain, menawarkan barang untuk menjerumuskan orang lain), dan janganlah orang kota menjualkan dagangan orang desa”.

d) Jual beli An-Najasy, yakni jual beli yang dilakukan dengan cara meemuji-muji barang atau menaikkan harga (penawaran) secara berlebihan terhadap barang dagangan (tidak bermaksud untuk menjual atau membeli), tetapi hanya untuk tujuan mengelabui orang lain. Praktik An-Najasy (menaikkan harga barang) dilakukan adalah dalam rangka menipu orang lain agar ia membeli dengan harga yang dinaikkan tersebut. Jual beli jahiliyah ini muncul kembali di zaman modern sekarang yaitu dilakukan oleh beberapa pedagang kaki lima di pasar tradisiaonal yang menjual beberapa peralatan rumah tangga seperti rantang, jam, setrika, perhiasan emas imitasi, dan lain-lain.

Pedagang menawarkan barang seharga Rp.10.000,00 ketida ada calon pembeli tertarik dengan barang tersebut, datang calon pembeli lain (yang sebetulnya masih anggota penjual) menawar barang itu dengan harga yang lebih tinggi misalnya Rp.25.000,00 targetnya menaikkan harga tersebut hanya dengan mengelabui calon pembeli sehingga ia membeli dengan harga yang dinaikkan tersebut, modus ini terlarang berdasarkan pada hadist Nabi Saw.:

حِبَي َل لْو قَبي َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص ِلا َلْو سَر تبْعِمَس ضلاَق َةَرْبيَر ه اَبآ َنآ

ِحْيَبب ىَلَع ل جَرلا دِزَي َلَو او شَجانَت َلَو ٍداَبِل رِضاَح حيِبَي َلَو ِهيِخآ ِحْيَبب ىَلَع ل جَرلا

اهئاَنآ يِفاَم ئِفَتْكَتِل ىَرخ لْا َقَلَط ةآ ْرَمْلا ْلآْسَت َلَو ِهيِخَا

.

Sesungguhnya Abu hurairah mengatakan saya mendengar Rasulullah Saw. Berkata: “janganlah seseorang membeli atas pembelian saudaranya, janganlah orang kota menjualkan barang orang desa, janganlah kamu melakukan jual beli An-Najasy, janganlah seseorang melebihkan atas pembelian saudaranya, janganlah seseorang perempuan minta ditalak untuk memenuhi keinginan perutnya”.

4) Jual beli najis dan banda-benda najis

Para ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, berpendapat tidak sah melakukan jual beli khamar, babi, bangkai, darah, dan sperma karena semua itu menurut asalnya tidak dianggap mal (harta). Hal ini berdasar pada hadis Nabi:

ِهْيَلَع لا ىَلَص ِلا َلْو سَر َعِمَس هَنَأ : اَم هْبنَع لا َيِضَر لاَدْبَع نْب َرَبباَج ْنَع

َو ِةَتْيَمْلاَو ِرْمَحْلا َحْيَبب َمَرَح هلوسرو لا َنإ ةكمب وهو حتفلا ماع لْو قَبي َمَلَسَو

اهب ىلطي اهنإف ةتيملا م وحش تيأرأ لا لوسر اي ليقف م اَنْص ْلاو ِرْيِزْنِخْلا

مث .(مارحوه ل ) لاقف ؟ سانلا اهب حبصتسيو دولجلا اهب نه دي و نفسلا

لا نإ د وهيلا لا لت اق ) كلذ دنع ملسو هيلع لا ىلص لا لوسر لاق

(هنمث اولكأف هوع اب مث هولمج اهم وحش مرحامل

Dari Jabir Ibn Abdullah r.a. sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Saw. Berkata pada tahun penaklukan Makkah “sesungguhnya Allah dan Rasulnya mengharamkan jual beli khamar, babi, bangkai, dan berhala.”Lalu Rsul ditanya orang: “ya Rasulullah bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai yang dijadikan sebai pendompol perahu, penyamak kulit, dan penerangan bagi manusia?” Nabi menjawab: tidak, itu haram. Kemudian Rasul melanjutkan: “Allah telah memerangi umat Yahudi, karena Allah telah mengharamkan bagi mereka lemak bangkai, mereka mengolah lemak itu, kemudian menjualnya dan memakan harganya”.

Pada hadist lain Nabi Saw, telah menjelaskan:

بْسَع ْنَع َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص َيِبَنلاىَهَبن : لاق ام هْبنَع لا َيِضَر َرَم ع نْبِا ْنَع

لحفلا

.

“Dari Ibn Umar r.a. ia berkata Nabi Saw telah melarang jual beli sperma kuda jantan”.

Mengawinkan kuda jantan dengan kuda betina kemudian mendapatkan jasa dari perbuatan itu dilarang dalam islam. Sperma kuda jantan menurut ulama fiqih tidak termasuk mal mutaqawwin

secara jelas. Cara yang dapat dibenarkan adalah dengan menyewa kuda jantan dalam jangka waktu tertentu. Jas yang diterima adalah dari akad sewa menyewa kuda.

Namun, golongan Hanafiyah memandang sah jual beli hewan-hewan yang bertaring, seperti anjing, singa, kucing dan sejenisnya karena bagi mereka jenis hewan-hewan bertaring ini seperti anjing tergolong harta dan mendatangkan manfaat bagi manusia. Memanfaatkannya dibolehkan secara syar’i, seperti untuk keamanan dan berburu, jual belinya juga sah. Alasan yang dipakai adalah hadis Nabi:

ِدْيَصلا َبْلَك َلِإ ِبْلَكْلا ِنَمَس ْنَع ىَهَبن َلاَق َةَرْبيَر ه ىِبَا ْنَع

.

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. Melarang memanfaatkan uang hasil jual beli anjing pemburu dan penjaga”.

Begitu pula, tidak sah melakukan jual beli dan memanfaatkan benda-benda najis yang bukan untuk dimakan, seperti kotoran ternak (Wahbah Az-Zuhaily, 1994:446). Dalam masalah jual beli anjing dan memakan harganya, ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak sah melakukan jual beli anjingpemburu maupun anjing penjaga. Dalam hadis Rasul telah ditetapkan:

ِنَمَث ْنَع ىَهَبن َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص لا َلْو سَر رنأ ّضى راَصْن َلا ٍدْو عْسَم ىِبَأ ْنَع

ِنِه اَكْلا ِنا َوْل حَو رىِغَبْلا ِرْهَمَو ِبْلَكْلا

.

“dari Ibn Mas’ud al-Anshari sesungguhnya Rasulullah Saw. Melarang memanfaatkan uang hasil jual beli anjing, prostitusi dan upah tenung” (Abdurrahman Al-Jaziry, 1970: 232).

5) Jual beli urbun (porsekot), yaitu jual beli yang dilakukan dengan perjanjian pembeli menyerahkan uang seharga barang jika ia setuju jual beli dilaksanakan. Akan tetapi, jika ia membatalkan jual beli uang yang telah dibayarkan menjadi hibah bagi penjual. Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat jual beli dengan cara ini terlarang dan

tidak sah. Sementara menurut Hanafiyah, jual beli ini fasid. Ulama ini menyatakan jual beli ini bathil berdasarkan hadist Nabi:

ْر عْلا عْيَبب ْنَع ىَهَبن َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص رىِبرنلا رنأ ه دَج ْنَع ِبْيَع ش نْبَوَرَملع ْنَع

ِناَب

.

Dari Amru Ibn Syu’aib diterima dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Nabi Saw. Melarang jual beli urbun (persekot)”.

6) Jual beli air

Salah satu syarat jual beli adalah benda yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri. Tidak sah melakukan jual beli terhadap benda-benda yang dimiliki secara bersama oleh seluruh manusia, seperti air, udara dan tanah. Seluruh benda, seperti air laut, sungai, dan sumur umum tidak boleh diperjual belikan karena tergolong mal mubah, hal ini berdasarkan pada hadis Nabi:

ِهْيَلَع لا ىَلَص ب ىبرلا ِباَحْصِأ ْنِم َل جَر نعٍشادخ ىِبَأ ْنَع َناَمْث ع نْب زيرح ْنَع

ٍثلَث ىف ء اك َر ش ن و مِلْس مْلا ) ب َمَلَسَو َهْيَلَع لا ىَلَص ب ِلا َلْو سَر َلاَق ب ِمَلَسَو

(ِر اَنلا َو ِلَكْلاَو ِءاَمْلا ىِف

Dari Haris Ibn Usman, dari Abu khidasy, dari seorang laki-laki sahabat Nabi Saw. Berkata: “kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, rumput dan api”.

7) Jual beli Mulaqih

Jual beli mulaqih adalah jual beli barang yang menjadi objeknya adalah hewan yang masih dalam bibit jantan sebelum bersetubuhnya dengan betina. Yang menjadi larangan jual beli ini adalah hadis dari Nabi dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al Bazzar:

ِحْيِقَلملاَو َنْيِم اَضملا ِعْيَبب ْنَع ىَهَبن َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص ِلا َلْو سَر َنَا

.

“sesungguhnya nabi telah melarang jual beli mudhamin dan mulaqih”.

Alasan pelarangan jual beli ini adalah karena objek yang diperjual belikam tidak berada ditempat akad dan tidak dapat pula dijelaskan kualitas dan kuantitasnya. Ketika jelasan ini menimbulkan ketidak relaan pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli (Dewi, 2005: 117).

8) Jual beli hushah atau lemparan batu

Jual beli hushah mempunyai beberapa arti. Diantaranya adalah jual beli suatu barang yang terkena lemparan batu yang disediakan dengan harga tertentu. Arti lain dari jual beli ini adalah jual beli tanah dengan harga yang sudah ditentukan yang luasnya sejauh yang dapat dikenai oleh batu yang dilemparkan. Hukum jual beli seperti ini adalah haram. Dasar penetapan terhadap jual beli ini adalah hadist dari Nabi muhammad dari abu hurairah menurut riwayat Muslim:

ِر َرَغْلا ِعْيَبب ْنَعَو ِةاَصَحلا ِحْيَبب ْنَع َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص ِلا َلْو سَر ىَهَبن

.

“Nabi Muhammad Saw melarang jual beli Huushah dan jual beli gharar”

9) Jual beli mukhabarah

Jual beli mukhabarah adalah muamalah dalam penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang akan dihasilkan oleh tanah tersebut. Alasan haramnya jual beli ini adalah ketidak jelasan dalam membayar, sebab waktua akad berlangsung harga dan nilainya belum jelas.

10) Jual beli tsunayya

Jual beli tsunayya adalah jual beli dengan harga tetentu sedangkan barang yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian tidak jelas. Alasan haramnya jual beli inii adalah ketidakjelasan objek jual beli yang dapat membawa pada ketidak relaan pelaku transaksi.

Jual beli asb’ al fahl adalah jual beli memperjualbelikan bibit pejantan hewan untuk dibiarkan dalam rahim hewan betina untuk mendapatkan anak. Kadang disebut juga sewa pejantan, alasan pelarangan disini adalah karena ketidakjelasan proses transaksi. Karena sukar ditentukan seberapa banyak bibit yang disalurkan kedalam rahim betina. Jual beli dalam bentuk ini tidak sah. Sebagian ulam melihatnya dari sisi lain yaitu kebutuhan umum akan transaksi seperti ini bagi pengembang biakan ternak. Oleh karena itu, memasukkannya kepada bisnis sewa pembiakan ternak.

b. Jual beli Fasid, yaitu jual beli yang disyari’atkan menurut asalnya. Namun, sifatnya tidak, misalnya jual beli itu dilakukan oleh orang yang pantas (ahliyah) atau jual beli benda yang dibolehkan memanfaatkannya. Namun terdapat hal atau sifat yang tidak disyariatkan pada jual beli tersebut yang mengakibatkan jual beli tersebut menjadi rusak (Abdurrahman Al-Jaziry, 1970: 225).

Menurut ulama Hanafi yang dikutip dari buku perikatan islam di Indonesia bahwa jual beli fasid dan jual beli batal itu berbeda. Apabila kerusakan-kerusakan dalam jual beli terkait dengan barang yang diperjual belikan maka hukumnya batal, misalnya jual beli benda-benda haram. Apabila kerusakan-kerusakan itu pada jual beli yang menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli dinamakan fasid.

Namun jumhur ulama tidak membedakan antara kedua jenis jual beli tersebut (Dewi, 2005: 108).

Sedangkan fasid menurut jumhur ulama fasid merupakan sinonim dario batal yaitu tidak cukup dan syarat suatu perbuatan. Hal ini berlaku pada bidang ibadah dan muamalah. Sedangkan menurut ulama madzhab Hanafi yang dikutip dari buku Hukum Perikatan Islam di Indonesia

bahwa fasid dalam ibadah dan muamalah itu berbeda. Dalam bidang muamalah fasid diartikan sebagai tidak cukup syarat pada perbuatan. Menurut madzhab Syafi’i fasid berarti tidak dianggap dan tidak diperhitungkan suatu perbuatan sebagaimana mestinya sebagai akibat dari kekurangan (cacat) padanya (Dewi, 2005: 109). Menurut Imam Hanafi bahwa muamalah yang fasid pada hakikatnya tetap dianggap sah. Sedangkan yang dirusak atau tidak dianggap sah adalah sifatnya.

Jual beli fasid terdiri dari beberapa bentuk: (Zuhaily, 1994: 454-471). 1) Jual beli majhul (tidak jelasnya barang yang diperjualbelikan).

Misalnya, menjual salah satu rumah dari beberapa rumah tanpa menjelaskan mana rumah yang dimaksud. Jual beli ini menimbulkan implikasi hukum terhadap para pihak apabila pemilik rumah menjelaskan dan mengindentifikasi rumah yang akan dijualnya. 2) Jual beli yang digantungkan kepada syarat dan jual beli yang

digantungkan pada masa yang akan datang. Misalnya seseorang berkata “saya akan menjual rumah ini jika anak saya pulang dari perjalanan” akan tetapi, pelaksanaan akadnya saat ia berbicara, contoh jual beli yang disandarkan kepada masa yang akan datang, “saya akan jual mobil ini dibulan depan” namun, pelaksanaan akadnya bulan ini. Para ulama sepakat menyatakan jual beli yang digantungkan pada syarat hukumnya tidak sah. Jumhur ulama menyatakan jual beli seperti ini bathil. Namun, kalangan Hanafiyah menyatakan jual beli ini fasid, karena ada syarat yang tidak terpenuhi. Jika syarat terpenuhi maka jual beli menjadi sah.

3) Jual beli barang yang ghoib atau tidak terlihat ketika akad

Menurut Hanafiyah, jual beli bisa menjadi sah biala barang terlihat dan bagi pembeli ada hak Khiyar Ru’yah. Jual beli yang dilakukan oleh orang buta. Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah berpendapat

sah jual beli yang dilakukan oleh orang buta, begitu juga dengan

Ijarah, rahn dan hibah yang mereka lakukan, bagi mereka ada hak

Khiyar. Sementara itu Syafi’iyah menyatakan tidak sah jual beli yang dilakukan oleh orang buta kecuali ia melihat sebelum buta.

4) Menjual dengan pembayaran yang ditunda dan mrmbeli dengan harga tunai (bai’ ajal). Misalnya tuan A menjual mobil pada tuan B dengan harga 200 juta rupiah dengan pembayaran cicil selama satu tahun. Kemudian tuan A membeli mobil itu kembali dari tuan B dengan harga 150 juta rupiah secara tunai. Jual beli ini menurut Ulama Malikiyah dinamakan dengan bai’ ajal, edangkan sebagian ulama menamakan dengan bai’ ‘inah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zahiriyah jual beli ini sah karena terpenuhi rukun dan syaratnya. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat jual beli ini bathil. Sementara itu, Abu hanifah menyatakan jual beli ini fasid. Menurutnya jual beli seperti ini dipandang sebagai hilah dari riba (Zuhaily, 1994: 466).

Praktik jual beli ‘inah adalah jika seorang penjual menjual barang dagangannya dengan suatu harga yang dibayar dengan tempo tertentu, kemudian penjual itu membeli lagi barang dagangan itu dari pembeli (sebelum pembeli membayar harganya) dengan harga yang lebih murah. Bai’ ‘inah merupakan hilah terhadap riba, karena dalam jual beli jenis ini seseorang menjual sesuatu dengan harga yang dibayar sampai waktu tertentu. Kemudian membelinya kembali secara tunai dengan harga yang lebih murah. Perbedaan harga yang pertama dengan harga kedua dipandang sebagai riba (Zuhaily, 1994: 467). Misalnya tuan A menjual notebook kepada tuan B dengan harga

3 juta rupiah dengan pembayaran tangguh selama satu bulan. Kemudian tuan A membeli notebook itu kembali dari tuan B seharga 2,5 juta rupiah, baik setelah atau sebelum serah terima terlaksana. Sehingga tuan B berutang 500 ribu rupiah pada tuan A dari transaksi tersebut. Praktik ini dipandang sebagai hilah atas riba melalui dua jual beli sekaligus.

Hadist Rasulullah Saw:

ب ىنْعَبي ب اَذِإ لْو قَبي ب َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص ب ِلا َلْو سَر تْعِمَس َلاَق َرَم ع نْبِا ْنَع

ْو ك رَتَو ِرَقَببْلا َباَن ْذَأاو عَببَبتاَو ِنْيَعْلاِب او عَبي اَبَبت َو ِمَه ْر ّدلاَو ِراَني ّدل اِب ساَنلا َنَض

او عِجاَر بي ىرتح ْم هْبنَع هْعَبف ْرَبي ملف لءَلَب مِهِب لا َل َزْبنأ لا ِلْيِبَس ىِفَد اَهِجْلا

ْم هَبنْبيِد

)

Dari Ibn Umar ia berkata, saya mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: “apabila seorang manusia bakhil (untuk mendermakan) uang dinar dan dirhamnya, kemudian dia melangsungkan bai’ ‘inah dan ia mengikutu ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan pada mereka, dan dia tidak akan menghentikannya hingga mereka kembali (mengamalkan) agamanya”.

5) Jual beli anggur untuk membuat khamar ataupun jual beli pedang dengan tujuan untuk membunuh orang. Menurut Abu Hanifah dan Ulama’ Syafi’iyah jual beli ini secara zahirnya sah. Namun, menjadi makruh karena anggur yang diperjualbelikan ditujukan untuk membuat khamar. Ulam Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan jual beli ini bathil. Ulama ini menggunakan kaidah sad az-zari’ah, yaitu:

مارح وهف م ارح ىلا لص وتي ام

“sesuatu yang membawa kepada perbuatan haram maka ia menjadi haram.”

َ

لَو َيۡد َهۡلٱ لَو َماَر ََ لٱ َرۡه َشلٱ ۡ لَو َلٱ َر ئك َع َش َ َاو ٱل ُت َل َاو ُنَماَء َني َلٱ اَهٱيَأك َي

ۡم ُتۡلَلَح اَذو اٗنَٰو ۡض رَو ۡم ه ْبَر ن ْم ٗل ۡضَف َنوُغَتۡبَي َماَرَۡلٱ َتۡيَ ۡلٱ َي ْمَاَء َ َلَو َد ئك َلَقۡلٱ

نَأ ماَر َلٱ د ج ۡسَمۡ ۡلٱ ن َع ۡمُكوٱد َص نَأ رمۡو َق ُناَا َن َش ۡمُكَنَم رۡ َي َلَو َاوُداَطۡصٱَف

َن إ َۖ َلٱ َاوُقَتٱَو نَٰوۡدُعۡلٱَو مۡث ۡلٱ َ َع َاوُنَواَعَت َلَو ٰۖىَوۡقَلٱَو ْ بۡلٱ َ َع َاوُنَواَعَتَو عَاوُدَتۡعَت

باَق عۡلٱ ُدي دَش َ َلٱ

٢

Yang artinya: Wahai orang-orang Yang beriman, janganlah kamu ingat halal membuat sesuka hati mengenai syiar-syiar ugama Allah, dan mengenai bulan-bulan Yang dihormati, dan mengenai binatang-binatang Yang dihadiahkan (ke Makkah untuk korban), dan mengenai kalong-kalong binatang hadiah itu, dan mengenai orang-orang Yang menuju ke Baitullah Al-Haraam, Yang bertujuan mencari limpah kurnia dari Tuhan mereka (dengan jalan perniagaan) dan mencari keredaanNya (dengan mengerjakan Ibadat Haji di tanah Suci); dan apabila kamu telah selesai dari ihram maka bolehlah kamu berburu. dan jangan sekali-kali kebencian kamu kepada suatu kaum kerana mereka pernah menghalangi kamu dari Masjid AlHaraam itu -mendorong kamu menceroboh. dan hendaklah kamu bertolong-tolongan untuk membuat kebajikan dan bertaqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan pada melakukan dosa (maksiat) dan pencerobohan. dan bertaqwalah kepada Allah, kerana Sesungguhnya Allah Maha berat azab seksaNya (bagi sesiapa Yang melanggar

perintahNya)

6) Melakukan dua akad jual beli sekaligus dalam satua akad atau ada dua syarat dalam satu akad jual beli. Mislanya, seseorang berkata “saya jual rumah saya kepada kamu kemuadian kamu jual pula kepadamu kepada saya” atau dengan ungkapan lain: saya beli barang ini 2 ribu rupiah, seribu saya bayar tunai dan seribu lagi saya bayar tangguh”. Menurul ulama Syafi’iyah jual beli ini bathil, sedangkan menurut Hanafiyah jual beli ini fasid.

Dokumen terkait