• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI IKAN DENGAN SISTEM PANCINGAN DI DESA LOSARI KEC. SUMOWONO KAB. SEMARANG - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI IKAN DENGAN SISTEM PANCINGAN DI DESA LOSARI KEC. SUMOWONO KAB. SEMARANG - Test Repository"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI IKAN

DENGAN SISTEM PANCINGAN DI DESA LOSARI

KEC. SUMOWONO KAB. SEMARANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

PUJI DWI JAYANTI

NIM 21412001

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

(6)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini kepada:

Suamiku Ahmad Setyo Aji Joyo Saputro yang selalu mendukung dan memotivasi dan menyemangatiku dalam setiap waktu.

Anakku Aisyah Melati Adji Saputri yang selalu menjadi dorongan semangatku. Ayahanda Budiyono dan Ibunda Sunarni

Yang tidak henti-hentinya selalu mendo’akan, membimbing dan mendukungku. Untuk bapak ibu dosen fakultas syariah iain salatiga

Terimakasih juga Untuk Syamsul Arifin, Yuhdi Ainun Nafi yang Banyak Membantuku dalam Megerjakan skripsi ini

Keluarga Besarku Yang Selalu Mendukungku

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil`alamin, segala puji bagi Allah yang telah memberikan segala kenikmatan kepada mahluknya yang ada di alam semesta ini. Berkat qudrat iradatnya serta izinNyalah penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul Perspektif Hukum Islam Terhadap Jual Beli Ikan Dengan Sistem Pancingan Di Desa Losari Kec. Sumowono Kab. Semarang

Sholawat serta salam mudah-mudahan dilimpahkan kepada khotamul anbiya, Nabi Muhammad SAW, yang telah menyelamatkan ummat manusia dari gelap kejahiliyaan kepada cahaya illahiyah yang terang benderang.

Banyak pihak yang telah banyak memberikan konstribusi dalam penyelesaian karya ini. Kami menghaturkan terima kasih yang tulus kepada mereka semua yang telah berjasa untuk ini semua:

1. Allah SWT yang telah memberikan ilmu untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Suamiku Ahmad Setyo Aji Joyo Saputro yang selalu mendukung dalam

menyelesaikan skripsi ini dan Anakku Aisyah Melati Adji Saputri yang selalu menjadi dorongan semangat dalam situasi dan kondisi apapun.

3. Bapak Budiyono, Ibu Sunarni tercinta dan keluarga besar saya yang telah mengorbankan segalanya dengan tulus dan ikhlas dan kebesaran jiwa

4. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

5. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

6. Ibu Evi Ariyani, M.H selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES), yang telah mengizinkan penulis untuk membahas judul skripsi ini.

7. Ibu Heni Satar Nurhaida S.H.,M.Si., selaku pembimbing yang selalu memberikan saran dan masukan kepada penulis.

8. Para staf administrasi yang begitu sabar mengurusi segala macam kepentingan dalam skripsi ini.

9. Bapak Agung Hari Supriyanto, Bapak Suroso, Bapak Alim Nur Rohim dan Bapak Pujiyanto selaku pemilik pemancingan.

(8)

Walaupun jauh dari kesempurnaan tapi semoga mendekati pada kebenaran. Semoga Allah SWT ridha dengan apa yang kita lakukan. Amin.

قيرطلا موقأ ىلِإ قفومـلا او

Salatiga 17 September 2017 Penulis

PUJI DWI JAYANTI NIM. 214-12-001

ABSTRAK

(9)

Skripsi. Progam Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si

Kata Kunci : Jual Beli, Pemancingan Ikan, hukum islam

Praktek jual beli dimasyarakat kadang tidak mengindahkan hukum syara’ yang berlaku, sehingga dapat merugikan satu dengan yang lainnya. kerugian tersebut ada kalanya berhubungan dengan obyek maupun harga yang ditentukan, hal itu terjadi karena ketidaktahuan masyarakat dalam hukum jual beli. Kegiatan jual beli ikan di Desa Losari Kec. Sumowono juga mengandung unsur kesamaran atau ketidakketahuan antara penjual dan pembeli mengenai objek yang akan diperoleh antara keduanya sesuai dengan akad yang sudah ditentukan keduanya, yaitu Jual Beli Ikan dengan sistem pancingan di Desa Losari Kec. Sumowono. Kegiatan jual beli ikan dengan sistem pancingan didesa losari ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat sehingga sudah menjadi hal yang wajar dan bisa diterima oleh masyarakat umum juga penjual dan pembeli.

Berdasarkan permasalahan diatas, telah dilakaukan penelitian di pemancingan desa losari kecamatan sumowono kabupaten semarang dengan rumusan masalah bagaimana praktek jual beli ikan dengan sistem pancingan di pemancingan Desa Losari dan bagaimana perspektif hukum islam terhadap jual beli ikan dengan sistem pancingan dipemancingan Desa Losari.

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif sosiologis, pendekatan normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan perpustakaan yang merupakan data sekunder yang juga disebut sebagai penemuan hukum perpustakaan dan dengan cara terjun langsung kelapangan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan Jual beli ikan dengan sistem pancingan yang dipraktekkan di Losari tidak sah karena jual beli ini termasuk jual beli bathil dan didalamnya ada unsur gharar. Termasuk jual beli bathil karena ikan yang diperoleh pada saat memancing tidak pasti, dan itu merugikan bagi para pembeli, sedangkan penjual sudah untung/ tidak akan rugi karena transaksi pembelian ikan dilakukan diawal, bukan saat setelah memancing.

.

(10)

SAMPUL...i

B. Praktek Jual Beli Ikan Dengan Sistem Pancingan di Desa Losari..73

(11)

B. Perspektif Hukum islam Terhadap Jual Beli Ikan Dengan Sistem Pancingan Di Desa Losari, Kec. Sumowono, Kab. Semarang...84

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...88 B. Saran ...89

DAFTAR PUSTAKA...91

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

BAB I PENDAHULUAN

(12)

Dalam kehidupan sehari hari masyarakat tidak akan lepas dari hal perekonomian diantaranya yaitu transaksi jual beli. Kegiatan jual beli merupakan aktivitas yang menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari diantaranya untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan, pangan.

Momentum terjadinya Jual beli secara tegas telah diatur dalam pasal KUH Perdata yang bunyinya “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang orang itu mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan belum diserahkan dan harganya belum dibayar” (Aryani, 2013: 30). Dalam kehidupan sehari hari manusia sebagai mahluk sosial yaitu mahluk yang memiliki kodrat hidup bermasyarakat maka sudah semestinya jika mereka akan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya guna mencukupi segala kebutuhannya.

Islam telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan jual beli, dalam jual beli haruslah transparan dan sesuai dengan hukum syara’. Syari’at juga mengatur larangan memperoleh harta dengan jalan bathil seperti perjudian, penipuan, gharar dan mengharamkan riba. Batasan antara perkara yang halal dan yang haram sangatlah jelas yang dijelaskan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 275

ُنٰ َطۡي َشلٱ ُه ُطَبَخَتَي ي َلٱ ُموُقَي اَمَك َل إ َنوُموُقَي َل َاٰوَب ْرلٱ َنوُلُك

ۡ

أَي َني

لٱ

َ

(13)

ۖ َلٱ

ل إ َۥُهُرۡم

َ

َ

أَو َفَلَس اَم ۥُهَلَف ٰ َهَتنٱَف ۦ ه ْبَر ن ْم ةَظ عۡوَم ۥُهَءَاَج نَمَف َاٰوَب ْرلٱ

َنوُ لٰ َخ اَهي ف ۡمُه راَلٱ ُبٰ َح ۡص

َ

أ َك ئك

َلَوُأَف َدَع ۡنَمَو

٢

Yang artinya: orang-orang Yang memakan (mengambil) riba itu tidak dapat

berdiri betul melainkan seperti berdirinya orang Yang dirasuk Syaitan Dengan

terhuyung-hayang kerana sentuhan (Syaitan) itu. Yang demikian ialah

disebabkan mereka mengatakan: "Bahawa Sesungguhnya berniaga itu sama

sahaja seperti riba". padahal Allah telah menghalalkan berjual-beli (berniaga)

dan mengharamkan riba. oleh itu sesiapa Yang telah sampai kepadanya

peringatan (larangan) dari Tuhannya lalu ia berhenti (dari mengambil riba),

maka apa Yang telah diambilnya dahulu (sebelum pengharaman itu) adalah

menjadi haknya, dan perkaranya terserahlah kepada Allah. dan sesiapa Yang

mengulangi lagi (perbuatan mengambil riba itu) maka itulah ahli neraka,

mereka kekal di dalamnya

.

Dalam ayat diatas diterangkan jelas Allah telah mengharamkan yang bathil. Dan diantara keduanya adalah subhat dimana seseorang tidak mengetahui kebenarannya. Sedangakan dalam jual beli harus bersifat transparan dan jelas.

(14)

Praktek jual beli dimasyarakat kadang tidak mengindahkan hukum syara’ yang berlaku, sehingga dapat merugikan satu dengan yang lainnya. kerugian tersebut ada kalanya berhubungan dengan obyek maupun harga yang ditentukan, hal itu terjadi karena ketidaktahuan masyarakat dalam hukum jual beli. Kegiatan jual beli ikan di Desa Losari Kec. Sumowono juga mengandung unsur kesamaran atau ketidak ketahuan antara penjual dan pembeli mengenai objek yang akan diperoleh antara keduanya sesuai dengan akad yang sudah ditentukan keduanya, yaitu Jual Beli Ikan dengan sistem pancingan di Desa Losari Kec. Sumowono. Kegiatan jual beli ikan dengan sistem pancingan didesa losari ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat sehingga sudah menjadi hal yang wajar dan bisa diterima oleh masyarakat umum juga penjual dan pembeli. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang bagaimana pelaksanaan jual beli ikan dipemancingan Desa Losari Kec. Sumowono menurut tinjauan hukum islam.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas dapat disimpulkan pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana praktek jual beli ikan dengan sistem pancingan di pemancingan Desa Losari?

2. Bagaimana perspektif hukum islam terhadap jual beli ikan dengan sistem pancingan dipemancingan Desa Losari?

C. Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan bagaimana praktek jual beli ikan dengan sistem pancingan dipemancingan Desa Losari.

(15)

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis

a. Sebagai sumbangan pemikiran ilmu dalam bidang muamalah khususnya dalam bidang jual beli ikan dipemancingan Desa Losari Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang.

b. Untuk memperluas wawasan pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi masyarakat umumnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan jual beli ikan dipemancingan Desa Losari Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang. khususnya bagi masyarakat yang ingin mengetahui permasalahan jual beli ikan dipemancingan serta sebagai reverensi bagi masyarakat yang ingin membuka usaha pemancingan serta para konsumen.

E. Penegasan Istilah

Agar tidak menimbulkan masalah dalam pemahaman terhadap judul skripsi ini maka perlu kiranya peneliti untuk menegaskan istilah sebagai berikut: 1. Jual beli

(16)

2. Pancingan

pancingan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah yang dipakai untuk memancing, memikat, menarik dan sebagainya. Dalam penelitian ini maksud dari kata pancingan adalah kegiatan memancing ikan didalam kolam ikan.

3. Hukum islam

Hukum islam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah hukum islam berasal dari dua kata yaitu ‘hukum dan ‘islam. Kata hukum diartikan dengan: 1) peraturan atau adat ayang secara resmi dianggap mengikat, 2) undang-undang, peraturan dan sebagainyauntuk mengatur pergaulan, hidup masyarakat; 3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu; 4) keputusan (pertimbangan)yang ditetapkan oleh hakim dipengadilan atau vonis (2001: 410). Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat ataupun peraturan yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakan oleh penguasa (Muhammad, 1996: 38).

Adapun kata yang kedua yaitu ‘Islam’ oleh mahmud syaltout islam didefinisikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada nabi Muhammad saw untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya untuk disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan didunia maupun diahirat (Syaltout, 1966: 9).

(17)

peraturan yang bersumber dari Allah SWT dan Nabi Muhammad saw untuk mengatur tingkah laku manusia ditengah-tengah masyarakatnya, lebih singkat hukum islam diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran agama.

Desa Losari adalah sebuah desa di Kecamatan Sumowono yang terletak dilereng gunung ungaran dengan penduduk cukup padat. Desa ini dekat dengan desa Kemawi yang merupakan perbatasan antara Kabupaten Kendal dengan Semarang.

Dari penegasaan istilah diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian jual beli ikan dengan sistem pancingan dipemancingan merupakan penelitian yang akan meninjau latar belakang adanya jual beli ikan dipemancingan Desa Losari serta peran masyarakat dalam menangani masalah tersebut.

F. Tinjauan Pustaka

Sejauh ini pembahasan mengenai perspektif hukum islam tentang jual beli ikan sudah banyak dibahas oleh beberapa peneliti. Namun penelitian yang peneliti lakukan di Desa Losari tentulah sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti peneliti terdahulu. Beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah jual beli ikan antara lain:

Skripsi yang disusun oleh Muhamat Yudianto (2015) dengan judul

Tinjauan hukum islam terhadap praktek akad jual beli ikan nelayan, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Agama Islam dengan rumusan masalah sebagai berikut:

(18)

2. Bagaiman pandangan hukum islam tentang praktek akad jual beli ikan Nelayan di Desa Pangkalan Kecamatan Sluke Kabupaten Rembang?

Dari rumusan masalah diatas mendapat hasil penelitian ijab kabul dalam praktek jual beli ini menggunakan sighat akad secara lisan berdasarkan sistem kepercayaan. Begitu pula mengenai penentuan harga juga didasari dengan kesepakatan. Dalam hal pelaksanaan pembayaran dan penyerahan dilakukan oleh tengkulak dan nelayan secara kontan ditempat penimbangan ikan serta disaksikan oleh pendego dan karyawan tengkulak. Transaksi tersebut terlihat sah karena berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, proses tersebut dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan sesuai dengan rukun jual beli. Akan tetapi setelah dikaji lebih dalam ada beberapa syarat yang belum terpenuhi yaitu dalam penetapan harga hanya sepihak dilakukan oleh tengkulak sehingga menimbulkan unsur keterpaksaan pada pihak nelayan. Nelayan merasa dirugikan dalam transaksi karena ada kecurangan ketika tengkulak melakukan penimbangan ikan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka praktek jual beli ikan nelayan di Desa Pngkalan Kecamatan Sluke Kabupaten Rembang hukumnya tidak sah dalam hukum islam.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Irfatun Na’imah (2012) mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum dengan judul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Jual Beli Ikan Dengan Sistem Tebasan Di Desa Sekaran Kecamatan Sekaran

(19)
(20)

Syarifudin Firdaus (2008) mahasiswa Universitas Islam Negeri Fakultas Syari’ah dalam skripsinya “Tinjauan hukum islam terhadap jual beli ikan dalam perahu (study kasus di Desa Angin-Angin Kec.Wedang Kab. Demak)” menjelaskan praktek jual beli ikan tidak dilaksanakan ditempat penimbunan ikan (TPI) yang telah disediakan sesuai dengan mekanisme pasar yang telah diatur, namun dilaksanakan diatas perahu sebelum hasil perolehan ikan saampai ke TPI. Dengan cara mencegat penjual sebelum tiba dipasar, dengan alasan kondisi masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan.

Hanis Widyasari (2005) mahasiswa universitas islam negeri sunan kalijaga Fakultas Syariah dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Ikan dengan Sistim Borongan didesa Banyubiru Kec. Dukuh Kab. Magelang” dijelaskan dalam jual beli ini pembeli langsung menawar ikan yang masih ada dikolam sesaat setelah melihatnya. Ironisnya sipenjual langsung langsung menyetujuinya, jelas pembeli tidak dapat mengetahui secara pasti obyek ikan yang akan dibelinya.

(21)

G. Metode penelitian

Metode penelitian adalah tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan (Hasan, 2002: 21). Pengertian lain dari metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya, seperti wawancara, observasi, tes, maupun dokumentasi (Arikunto, 2002: 136). 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian kualitatif karena penelitian kualitatif bersifat membangun mengembangkan dan menemukan teori-teori sosial (Moleong, 2010:80). Tujuan dari metode penelitian kualitatif menurut sulistyo-Basuki (2010: 78) ialah bertujuan untuk memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti yang semuanya tidak dapat diukur dengan angka-angka.

Peneliti juga menggunakan pendekatan normatif sosiologis, pendekatan normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan perpustakaan yang merupakan data sekunder yang juga disebut sebagai penemuan hukum perpustakaan, sedangkan metode penelitian hukum sosiologis/empiris dilakukan dengan meneliti data primer yang diperoleh secara langsung dalam masyarakat. Penelitian ini juga termasuk dalam kategori penelitian lapangan (Field Research) yaitu mencari data dengan langsung terjun kelapangan.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan peneliti adalah data primer dan sekunder, pengertiannya sebagai berikut:

a. Data Primer

(22)

dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian. Data primer didapat dari sumber informan yaitu individu atau perorangan seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti. Data primer ini antara lain, Catatan hasil wawancara, hasil observasi lapangan, data-data mengenai informan.

1) Informan

Informan adalah orang dalam latar penelitian, fungsinya sebagai orang yang dimanfatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Manfaat informan bagi penelitian adalah agar dalam waktu yang relatif singkat banyak informasi yang benar-benar terjangkau (Basrowi, 2008: 68). Sedangkan menurut (Moleong, 2009:80) Informan adalah seorang yang dapat memeberi informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah penjual ikan dipemancingan, dan konsumen.

2) Dokumen

Menurut (sugiyono, 2013: 234) Dokumen adalah metode pengumpulan data yang tidak ditunjukan secara langsung kepada subjek penelitian. Studi dokumen adalah jenis pengumpulan data yang meneliti berbagai macam dokumen yang berguna untuk bahan analisis, dokumen dibedakan menjadi dua yaitu:

(23)

primer yang telah diperoleh yaitu dari bahan pustaka, literatur, penelitian terdahulu, buku, dan lain sebagainya.

3. Tehnik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi obsevasi, wawancara (interview), dan dokumentasi. Adapaun pengertiannya sebagai berikut:

a. Observasi, merupakan pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek yang diteliti dan dimungkinkan untuk memberi penelitian pada objek yang diteliti (Azwar, 2004: 19). Dalam penelitian ini peneliti akan mendatangi pemancingan yang ada di Desa Losari.

b. Wawancara (interview), adalah tehnik mengumpulkan data yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan dengan cara bercakap-cakap dan berhadapan untuk memberikan keterangan pada sipeneliti (Azwar, 2004:48). Wawancara ini penyusun lakukan pada pemilik, penjual dan pembeli ikan dipemancingan Desa Losari Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang.

c. Dokumentasi, adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel menegenai foto, catatan, buku, surat kabar dan lainnya sebagai acuan bagi peneliti untuk mempermudah penelitian (Margono, 2010:158). Dalam hal ini dokumen yang digunakan adalah foto-foto penjual ikan serta para konsumen dipemancingan Desa Losari.

4. Analisis Data

(24)

Peneliti mengumpulkan informasi dari penjual ikan serta konsumen dipemancingan Desa Losari.

5. Tahap-tahap penelitian

a. Melakukan survey dipemancingan Desa Losari. b. Membuat proposal penelitian.

c. Melakukan penelitian dipemancingan Desa Losari.

d. Melakukan wawancara dengan pemilik pemancingan dan konsumen. e. Menyusun hasil laporan tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberi gambaran utuh serta kemudahan untuk memahami skripsi ini maka penulis memberi sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Mengidentifikasi pendahuluan yang berisi Latar Belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode peenelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: berisikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan penelitian yang meliputi: pengertian jual beli, dasar dasar hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, macam-macam jual beli, pengertian akad, dan resiko dalam jual beli.

(25)

dipemancingan Desa Losari Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang.

BAB IV: Berisi faktor yang mendorong penjual dan pembeli untuk melaksanakan jual beli ikan dengan sistem pancingan dan analisis tentang praktek jual beli ikan dengan sistem pancingan dipemancingan Desa Losari menurut perspektif hukum islam.

BAB V: Penutup berisi kesimpulan dan saran.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi Jual Beli

Jual beli secara bahasa (al-bay’) artinya memindahkan hak milik terhadap benda dengan saling mengganti. Dalam kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah pasal 20 ayat 1 Bay’ adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran benda dengan uang, secara terminologi jual beli diartikan dengan tukar menukar harta secara suka sama suka atau peralihan pemilikan dengan cara penggantian menurut bentuk yang dibolehkan (syarifuddin, 2013: 192-193). Jual beli menurut bahasa yaitu mutlaq al-mubadalah yang berarti tukar menukar secara mutlaq (Sabiq, 1980: 124). Atau dengan ungkapan lain

muqabalah syai’ bi syai’ berarti tukar menukar sesuatu dengan sesuatu (Zuhaily, 1994: 344). Menurut Jalaluddin Al-Mahali (1956: 151) pengertian jual beli secara bahasa adalah tukar menukar sesuatu dengan adanya ganti rugi atau imbalan.

(26)

Sayyid Sabiq (1980: 124) dalam hal ini berpendapat saling menukar harta dengan harta lain berdasarkan suka sama suka. Abdul Hamid Hakim (1956: 6) menjelaskan saling menukar harta dengan harta lain berdasarkan suka sama suka.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas jual beli adalah transaksi tukar menukar uang dengan barang berdasarkan suka sama suka menurut cara yang ditentukan syari’at, baik dengan ijab kabul yang jelas, atau dengan cara saling memberikan barang atau uang tanpa mengucapkan ijab dan kabul seperti yang berlaku pada pasar swalayan (Rozalinda, 2017: 64)

Menurut pengertian syari’at, jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang sah (Lubis, 1994:33). Menurut H. Sulaiman Rasyid (1994: 278) jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu (akad).

Ulama’ Sayyid Sabiq (1987: 44-45) mendefinisikan bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Yang dimaksut harta dari definisi diatas adalah segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak manfaat. Yang dimaksut dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan agar dapat dibedakan dengan jual beli yang dilarang.

(27)

dengan didasarkan saling rela. Ada pula yang mendefinisikan jual beli sebagai kepemilikan terhadap harta atau manfaat untuk selamanya dengan bayaran harta. Menurut Azam (2010: 23) jual beli merupakan tukar menukar suatu barang dengan barang lain yang berbeda dengan cara tertentu (aqad).

Jual beli menurut syara’ memiliki beberapa pengertian menurut imam madzhab, antara lain:

1. Menurut Hanafiyah, jual beli adalah tukar menukar harta menurut cara yang khusus, harta mencakup dzat dan uang.

2. Menurut syafi’iyah, jual beli adalah suatu akad yang mengandung tukar menukar harta dengan harta dengan syarat yang akana diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya. 3. Menurut malikiyah, jual beli adalah akad muawadhah atau timbal balik atas

selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan.

4. Menurut hambali jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta atau tukar menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, bukan riba atau bukan utang.

Jual beli secara tegas telah diatur dalam KUH Perdata yang bunyinya “jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah orang itu mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan belum diserahkan dan harganya belum dibayar” (Aryani, 2013: 30).

(28)

pengertian bahwa pihak yang satu “verkoop” (menjual) sedang yang lainnya

“koopt” (membeli) (subekti, 2001: 2). Jual beli adalah suatu perjanjian

konsensuil artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok (essentiali) yaitu barang dan harga, biarpun jual beli itu mengenai barang yang tidak bergerak, sifat konsensuil jual beli ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum disepakati (Subekti, 1987: 20).

Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan uang sesuai kesepakatan bersama yang dilakukan dengan saling ridha antara penjual dan pembeli sesuai perjanjian atau ketentuan yang disepakati sesuai hukum syara’.

Allah Swt. Mensyariatkan jual beli sebagai suatu kemudahan untuk manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hiduonya. Manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda. Adakalanya sesuatu yang kita butuhkan itu ada pada orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan itu seseorang tidak mungkin memberinya tanpa ada imbalan. Untuk itu, diperlukan hubungan interaksi dengan sesama manusia. Salah satu sarananya adalah dengan melakukan jual beli. Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia yang mempunyai landasan kuat dalam al-Qur’an dan Assunnah nabi Muhammad saw. Ayat Al-Qur’an yang membahas tentang jual beli anta lain:

(29)

َنوُكَت نَأ َ َل إ ل طَٰبۡلٱ ب مُكَنۡيَب مُكَلَٰوۡم

َ

أ َاَوُلُك

ۡ

أَت

ل َاوُنَماَء َني

َ

لٱ اَهٱي

َ

أك َي

َ

ا ٗمي حَر ۡم ُك ب َن

َك َ َلٱ َن إ ۡمُكَسُفنَأ َاَوُلُتۡقَت َلَو ۡمُكن ْم كضاَرَت نَع تةَرٰ َج ت

٢

Yang artinya: Wahai orang-orang Yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta kamu sesama kamu Dengan jalan Yang salah (tipu, judi dan sebagainya), kecuali Dengan jalan perniagaan Yang dilakukan secara suka sama suka di antara kamu, dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani kamu

.

QS Al-Baqarah: 275

ي

لٱ ُمو ُقَي ا َمَك

َ

ل إ َنو ُموُقَي

َ

ل َاٰو َب ْرلٱ َنو

َ

ُلُكۡأ َي َني َلٱ

ُلۡث م ُعۡيَ ۡلٱ اَمَن إ َاَوُلاَق ۡمُهَنَأ ب َك لَٰذ ْسَمۡلٱ َن م ُنٰ َطۡيَشلٱ ُهُطَبَخَتَي

ن ْم ة َظ عۡوَم ۥُهَءَاَج نَمَف

َاٰوَب ْرلٱ َمَرَحَو َعۡيَ ۡلٱ ُ َلٱ َلَحَأَو حَاٰوَب ْرلٱ

َد َع ۡن َمَو ۖ َلٱ َل إ َۥ ُهُرۡمَأَو َفَل َس ا َم ۥ ُهَلَف ٰ َهَتنٱَف ۦ ه ْبَر

َنوُ لٰ َخ اَهي ف ۡمُه راَلٱ ُبٰ َح ۡص

َ

أ َك ئك

َلَوُأَف

٢

Yang artinya: orang-orang Yang memakan (mengambil) riba itu tidak dapat berdiri

(30)

terhuyung-hayang kerana sentuhan (Syaitan) itu. Yang demikian ialah disebabkan mereka

mengatakan: "Bahawa Sesungguhnya berniaga itu sama sahaja seperti riba". padahal

Allah telah menghalalkan berjual-beli (berniaga) dan mengharamkan riba. oleh itu

sesiapa Yang telah sampai kepadanya peringatan (larangan) dari Tuhannya lalu ia

berhenti (dari mengambil riba), maka apa Yang telah diambilnya dahulu (sebelum

pengharaman itu) adalah menjadi haknya, dan perkaranya terserahlah kepada Allah.

dan sesiapa Yang mengulangi lagi (perbuatan mengambil riba itu) maka itulah ahli

neraka, mereka kekal di dalamny

Pada ayat ini orang-orang diperintahkan Allah swt. untuk memelihara dan berlindung dari siksa api neraka dengan berusaha melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah untuk melaksanakan jual beli dan meninggalkan riba.

Riba adalah haram dan jual beli adalah halal. Jadi tidak semua akad jkual beli adalah haram sebagaimana yang disangkakan sebagian orang berdasarkan ayat diatas, dalam ayat diatas juga diterangkan Allah mengharamkan yang bathil dan diantaranya adalah subhat dimana orang tidak mengetahui kebenarannya. Supaya usaha jual beli itu berlangsung menurut cara yang dihalalkan, maka harus mengikuti ketentuan yang telah ditentukan, ketentuan tersebut disebut dalam rukun dan syarat jual beli.

(31)

B. Hukum Jual Beli

Dasar hukum jual beli adalah mubah (boleh). Akan tetapi pada saat situasi tertentu, kondisi atau keadaan berbeda, jual beli bisa menjadi wajib dan juga bisa berhukum haram. Jual beli menjadi wajib ketika terjadi praktek ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Menurut pakar fiqh Maliki pihak pemerintah boleh memaksa pedagang itu menjual barangnya sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal kasus semacam itu, pedagang itu wajib menjual barang miliknya penentuan harga sesuai dengan ketentuan pemerintah. Akan tetapi jual beli bisa menjadi makruh bahkan pada tingkatan haram, misalnya jual beli barang yang tidak bermanfaat, seperti rokok, itu dikatakan sebagai jual beli yang makruh dan ada pula ulama yang mengatakan haram hukumnya (Syaikh Muhammad bin Jamil dan Syaikh Khalid Syayi’, 2009:39).

Hukum jual-beli itu bisa sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, antara lain :

a. Mubah, ialah hukum asal jual-beli akan tetapi masih dalam catatan yakni rukun dan syarat jual-beli, barulah dianggap sah menurut syara’.

b. Sunnah, seperti jual-beli kepada sahabat atau famili dikasihi dan kepada orang yang sangat berhajat kepada barang itu.

c. Wajib, seperti wali menjual barang anak yatim apabila terpaksa, begitu juga dengan qadhi menjual harta muflis (orang yang lebih banyak hutangnya daripada hartanya).

d. Makruh, jual beli pada waktu datangnya panggilan adzan shalat Jum'at (Khallaf, 1994: 74)

e. Haram, apabila tidak memenuhi syarat dan rukun jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.

(32)

1) Haram lidatihi merupakan sesuatu yang diharamkan dzatnya yang disebut secara jelas oleh nash tanpa bisa ditafsiri lain (dalam ilmu ushul fiqh disebut qat'i at-tsubut dan qat'i al-dalalah), misal haramnya daging babi sebagaimana disebut dalam QS. Al-Baqarah: 173: QS. al-Maidah: 3, QS. Al-An'am: 145, dan QS. An-Nahl: 115. Keharaman daging babi ini sudah jelas disebutkan (mansush) dalam ayat-ayat tersebut, karenanya ia disebut haram lidatihi. Rekayasa teknologi seperti apapun terhadap daging babi ini tetap saja dihukumi haram (kita sering menyebutnya "turunan babi", sedang fiqh menyebutnya "wama yatawalladu minhu", artinya kurang lebih sama yaitu "turunan babi").

2) Haram lighairihi bukan disebabkan oleh barang dzatnya yang haram, tapi keharamannya disebabkan oleh adanya penyebab lain. Sebenarnya awalnya ia termasuk yang halal tapi karena ada penyebab lain ia menjadi haram. Misalnya jual beli ikan laut dari hasil curian, dzat ikannya halal tetapi cara mendapatkan ikan tersebut dengan cara mencuri. Hal ini diharamkan tapi keharamannya bukan karena dzatnya, melainkan penyebab yang lain yaitu hasil curian. Dalam hukum Islam disebut "haram lighairihi". Jadi, harus dibedakan antara haram karena dzatnya dan haram karena penyebab lain. f. Sah tapi haram, jual beli ini sebenarnya menurut syara’ sah-sah saja, hanya saja

tidak diijinkan oleh agama yang menjadi pokok larangannya adalah karena menyakiti penjual atau pembeli atau kepada yang lain, menyempitkan gerakan pasaran dan merusak ketentraman umum. Antara lain :

1) Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa Khiyar (Hamid, 1997:274)

(33)

kamu menghambat orang-orang yang akan kepasar di jalan sebelum mereka sampai di pasar‛. (Hamid, 1997: 274). Hal semacam ini dapat merugikan penjual (orang desa yang mau datang ke kota) dan mengecewakan pula terhadap gerakan pasaran, karena barang tidak sampai di pasar.

3) Jual beli mengicuh, berarti dalam hal urusan jual beli ada unsur kicuhan baik dari pihak pembeli maupun dari pihak penjual, dalam hal kualitas barang maupun ukurannya.

4) Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar sedang dia tidak ingin kepada orang itu, tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu.

5) Menjual barang dengan cara najasy, adalah seorang pedagang menyuruh orang agar memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik dan merasa tidak mahal kemudian ikut membeli.

6) Menjual suatu barang yang berguna untuk menjadi alat ma’siat kepada yang membelinya. Misalnya membeli atau menjual senjata tajam untuk menganiaya orang lain.

7) Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedang masyarakat umum berhajat kepada barang itu (menimbun 1970:155). Sementara itu yang menjadi rukun jual beli dikalangan Jumhur ada empat, yaitu ba’i’ waal-musytari (penjual dan pembeli), tsaman wa mabi’ (harga dan barang), sighat (ijab dan kabul) (Rozalinda, 2017:65).

Adapun yang menjadi syarat jual beli adalah:

(34)

Jual beli tidak dipandang sah apabila dilakukan oleh orang gila, dan anak kecil yang tidak berakal. Ulama’ dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah berpendapat transaksi jual beli yang dilakukan anak-anak kecil yang telah Mumazis adalah sah selama ada izin walinya. Dalam hal ini, golongan Hanafiyah tidak mensyaratkan baligh dalam jual beli. Ini berarti transaksi yang dilakukan anak kecil yang telah mumazis adalah sah. Mumazis dimaksudkan mengerti dengan jual beli yang dilakukannya. Oleh karena itu, jual beli yang dilakukan oleh anak-anak yang belum mumazis dan orang gila adalah tidak sah (Jaziri, 1970:160). Ulama’ syafi’iyah berpendapat jual beli yang dilakukan anak kecil tidak sah karena tidak ada ahliyah (kepantasan/kemampuan). Dalam hal ini ulama Syafi’iyah memandang aqid (pihak yang berakad) disyaratkan cerdas, yaitu telah baligh, dan mempunyai ahliyah dalam persoalan agama dan harta (Zuhaily, 1994:359).

Seiring dengan perkembangan zaman, anak-anak yang lahir dizaman modern ini perkembangan otak dan pemikirannya (aspek kognitif) sangat cepat walaupun belum baligh. Kalau dipersyaratkan baligh sebagai syarat sahnya sebuah akad tentu akan menimbulkan kesulitan bagi kehidupan manusia. Bagia nak-anak yang sudah mengerti dan dapat mebedakan yang baik dan buruk serta mengerti objek yang dibelinya, boleh saja melakukan jual beli. Namun, jual beli yang diizinkan adalah terhadap barang-barang kecil dan murah, seperti makanan, mainan, buku, pensil dan sebagainya. Sementara itu terhadap jual beli benda-benda yang besar seperti pakaian, sepatu yang membutuhkan biaya besar dan kemampuan menentukan kualitas barang tidak dibolehkan bagi anak-anak (Rozalinda, 2017:66).

(35)

Jual beli yang dilakukan dengan paksaan atau intimidasi pihak ketiga tidak sah karena salah satu prinsip jual beli adalah suka sama suka sesuai dengan QS An-Nisa [4: 29] diatas dan hadits Nabi Saw:

ٍدْيِعَس اَبَأ ُتْعِمَس َلاَق ِهْيِبَأ ْنَع ّىِنَدَمْلا ٍحِلاَص ِنْب َدُواَد ْنَع

ّىِرْدُخْلا

ُعْيَبْلا َامّنِإ ملسو هيلع ا ىلص ِا ُلوُسَر َلاَق ُلْوُقَي

ٍضاَرَت ْنَع

.

Diriwayatkan dari Daud ibn shalih al-Madani, diterima dari bapaknya

ia berkata, saya mendengar Abu Said Al-Khudri mengatakan Rosulullah

Saw. Berkata: “sesungguhnya jual beli itu dilakukan atas dasar suka

sama suka”.

Kecuali pemaksaan itu suatu hal yang mesti dilakukan karena menjaga hak orang, seperti menjual barang gadai karena keinginan untuk melunasi hutang.

a. Bukan pemboros dan pailit

Terhadap orang ini tidak dibenarkan melakukan jual beli karena mereka

hajru (larangan melakukan transaksi terhadap harta). Bagi pemboros dilarang melakukan jual beli adalah untuk menjaga hartanya dari kesia-siaan. Bagi orang pailit dilarang melakukan jual beli karena menjaga hak orang lain (Rozalinda, 2017: 67).

2. Mabi’ wa tsaman (benda dan uang) disyaratkan: a. Milik sendiri

Barang yang bukan milik sendiri tidak boleh diperjual belikan kecuali ada mandat yang diberikan oleh pemilik seperti akad wikalah

(36)

هيلع لا ىلص لا لوسر لاق : لاق هدج نع هيبأ نع بيعش نب و رمع نع

َسْيَل اَم َعْيَبب َل َو نمضي ملام حبرلو عيب يف ناطرش لو عيبو فلس لحيل : ملسو

َكَدْنِع

.

Diriwayatkan dari Amru ibn syuib diterima dari bapaknya dari

kakaknya ia berkata: Rosulullah Saw bersabda: “tidak halal melakukan

jual beli salam dan jual beli biasa (sekaligus), tidaka boleh ada dua

syarat dalam jual beli, tidak boleh mengambil untung yang tidak ada

jaminannya, dan tidak halal jual beli sesuatu yang tidaka ada padamu”.

b. Benda yang diperjual belikan itu ada dalam arti yang sesungguhnya, jelas sifat, ukuran, dan jenisnya.

Jual beli yang dilakukan terhadap sesuatu yang belum berwujud atau tidak jelas wujudnya tidak sah, seperti jual beli buah-buahan yang masih berada dipohon, jual beli hewan yang masih didalam perut induknya, jual beli susu yang masih belum diperas, hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw:

ملسو هيلع لا ىَلَص ِلا َل ْو س َر َنَأ : امهنع لا يض ر رمع نبا لا دبع نع

َع اَتْب مْلا َو َعِئ اَبْلا ىَهَبن اَه ح َلَص َوَدْبَبي ىَتَح ِراَمَثلا ِعْيَبب ْنَع ىَهَبن

.

Dari Abdullah ibn Umar r.a. “sesungguhnya Rasulullah Saw melarang

jual beli buah-buahan sebelum jelas baiknya, Rasulullah juga melarang

terhhadap penjual dan pembelinya. (hadis ke-2082: 766)

Akan tetapi menurut sebagian ulama Hanafiyah, beberapa jenis akad dikecualikan untuk persyaratn ini, seperti akad salam dan istishna (Zuhaily, 1994: 357)

c. Benda yang diperjual belikan dapat diserahterimakan ketika akad secara langsung maupun tidak langsung. Ini berarti tidak sah jual beli terhadap sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan, misalnya burung yang terbang ke udara dan ikan dilautan (Jaziri, 1970: 166).

(37)

Mal mutaqawwin merupakan benda yang dibolehkan oleh syariat untuk memanfaatkannya. Oleh karena itu, tidak sah melakukan jual beli terhadap benda yang tidak dibolehkan syariat untuk memanfaatkannya, seperyi bangkai babi, minuman keras dan lain sebagainya, sesuai dengan QS Al-Maidah [5:3]

ۦ ه ب َلٱ ۡيَغ ل

َل هُأ َاَمَو ري ن ۡلٱ ُمَۡلَو ُمَلٱَو ُةَتۡيَمۡلٱ ُمُكۡيَلَع ۡتَم ْرُح

ا َم

ل إ ُعُب َسلٱ َلَك

َ

َ

أ َاَمَو ُةَحي طَلٱَو ُةَي ْدَ َتُم

ۡ

لٱَو ُةَذوُقۡوَم

ۡ

لٱَو ُةَق نَخۡنُم

ۡ

لٱَو

ح ۗق ۡس ف ۡمُك لَٰذ مٰ

َلۡزَ ۡلٱ ب َاوُم سۡقَتۡسَت نَأَو ب ُصٱلٱ َ َع َح بُذ اَمَو ۡمُتۡيَكَذ

َمۡوَ ۡلٱ نۡوَشۡخٱَو ۡمُهۡوَشۡ َت َلَف ۡمُك ني د ن م َاوُرَفَك َني َلٱ َس ئَي َمۡوَ ۡلٱ

ُم ُكَل ُتي ضَرَو تَمۡع ن ۡمُكۡيَلَع ُتۡمَمۡت

أَو ۡمُكَني د ۡمُكَل ُتۡلَمۡك

َ

َ

أ

َ َلٱ َن إ َف كمۡث ْل كف ناَجَتُم َ ۡيَغ رة َصَمۡ َم ف َر ُط ۡضٱ نَمَف اٗني د َمَٰلۡس ۡلٱ

مي حَر روُفَغ

٣

Yang artinya: diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang

Yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging

babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang Yang disembelih

kerana Yang lain dari Allah, dan Yang mati tercekik, dan Yang mati

dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi, dan Yang mati

(38)

kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), dan Yang disembelih atas

nama berhala; dan (diharamkan juga) kamu merenung nasib Dengan undi

batang-batang anak panah

.

Berkaitan dengan ini, benda-benda yang diperjual belikan harus suci. Oleh karena itu, tidak sah melakukan jual beli terhadap najis dan benda-benda yang mengandung najis (mutanajis).

3. Sighat ijab dan kabul, jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilaksanakan sebab ijab dan kabul menunjukan kerelaan antara penjual dan pembeli. Pada dasarnya ijab dan qabul dilaksanakan dengan lisan, tetapi kalu tidak mungkin misal bisu atau yang lainnya boleh dilakukan dengan ijab qabul surat menyurat yang mengandung arti ijab dan qabul (Suhendi, 2008: 70). Menurut Sayyid Sabiq dalam buku fiqh sunnah ijab merupakan ungkapan awal yang yang diucapkan oleh salah satu dari dua pihak yang melakukan akad dan qabul adalah pihak kedua (Sabiq, 2006: 121). Para ulama sepakat untuk mengecualikan kewajiban ijab qabul itu terhadap objek jual beli yang bernilai kecil yang biasa berlangsung dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti jual beli sebotol minuman, cara seperti ini disebut mu’atah, misalnya membeli minuman kaleng dimesin otomatis dimana sipembeli telah memasukkan uang koinnya kedalam lubang yang disediakan oleh penjual melalui mesinnya telah menyodorkan minuman kaleng tersebut sesuai dengan pesanannya yaitu dengan mesin otomatis (Syarifuddin, 2003: 195). Sighat ijab dan qabul disyaratkan:

a. Ijab dan kabul diucapkan oleh orang yang mampu (ahliyah).

(39)

b. Kabul berkesesuaian dengan ijab, misalnya seseorang berkata “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Kemuadian dijawab dengan “saya beli” atau “saya terima” atau sesuai makna dengan kalimat tersebut sesuai dengan kebiasaan misal terima kasih.

c. Menyatunya majelis (tempat) akad

Ijab dan kabul berada dalam satu tempat, dalam pengertian masing-masing pihak yang berakad hadir bersamaan atau pada tempat lain yang diketahui pihak lain. Apabila salah satu pihak mengucapkan ijab jual beli, sementara pihak lain berada pada tempat lain yang berbeda tempatnya maka akad jual belinya tidak dapat dilaksanakan (Rozalinda, 2017: 70).

Secara konvensional saat terjadinya jual beli unsur unsur pokok jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata “sepakat” mengenai barang dan harga, begitu kedua belah pihak setuju maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah (Subekti, 1995:2). Sifat konsensual jual beli tersebut dijelaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.

(40)

Jumhur Fuqaha’ membagi jual beli kepada Shahih dan Bathil, (Zuhaili, 1994: 446-447) yaitu:

1. Jual beli shahih, yaitu jual beli yang disyariatkan menurut asal dan sifat-sifatnya terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya tidak terkait dengan hak orang dan tidak ada hak khiyar didalamnya. Jual beli shahih menimbulkan implikasi hukum, yaitu berpindahnya kepemilikan, yaitu barang berpindah miliknya menjadi milik pembeli dan harga berpindah miliknya menjadi milik pembeli.

2. Jual beli ghairu shahih yaitu jual beli yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya dan tidak mempunyai implikasi hukum terhadap objek akad, yang masuk dalam kategori ini adalah jual beli bathil dan jual beli fasid, yaitu: a. Jual beli bathil, yaitu jual beli yang tidak disyariatkan menurut asal dan

sifatnya kurang salah satu rukun dan syaratnya. Misalnya jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum, seperti gila atau jual beli terhadap mal ghairu mutaqawwin (benda yang tidak dibenarkan memanfaatkannya secara syar’i) seperti bangkai dan narkoba. Akad jual beli bathil ini tidak mempunyai implikasi hukum berupa perpindahan milik karena ia dipandang tidak pernah ada.

Jual beli bathil ada beberapa macam, yakni:

1) Jual beli ma’dum (tidak ada bendanya), yakni jual beli yang dilakukan terhadap sesuatu yang tidak atau belum ada ketika akad, misalnya memperjualbelikan buah-buahan yang masih dalam putik atau belum jelas buahnya serta anak hewan yang masih dalam perut induknya. Jual beli ini termasuk jual beli yang bathil berdasar hadis

مَلَسَو ِهْيَلَع ل ا َىلَص ِلا لْو سَر َنآ : اَم هْبنَع لا َيِض َر َرَم ع نْبِا ِلا دْبَع ْنَع

ِةَلَببَحلا ِلَبَح ِعْيَبب ْنَع ىَهَبن

.

Dari Abdullah ibn Umar r.a. sesungguhnya Rasulullah Saw

melarang jual beli anak binatang yang masih dalam perut induknya.

(41)

ادوجوم عيبملا نوكي نا مزلي

“barang yang diperjual belikan harus ada”

2) Jual beli sesuatu yang tidak dapat diserah terimakan

Para ulama baik dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan syafi’iyah berpendapat tidak sah melakukan sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan, seperti jual beli terhadap burung yang sedang terbang keudara dan ikan dilautan. Bentuk jual beli ini termasuk jual beli yang bathil. Hal ini berdasarkan pada hadist Nabi saw:

ِعْيَببَو ِةاَصَحْلا عْيَبب ْنَع ىَهَبن َمَلَسَو ِهْيَلَع لا َىلَص ِلا َلو سَر رنآ َةَرْبي َر ه ىِبآ ْنِع

ِرَرَغْلا

.

Dari Abu hurairah, sesungguhnya rasulullah saw melarang jual beli dengan lemparan dan jual beli yang mengandung tipuan.

Begitu juga pada hadist lain dinyatakan:

َكمَسَلا او رَبتْشَت َل :لاق َمَلَسَو ِهْيَلَع لا َىلَص لا َلْولسَرلا َنآ د عْسَم نْبِا ْنَع

دمحا هاور .ِراَرَغ هَنِإَف ءاَمْلا ىِف

Dari Ibn Mas’ud sesungguhnya Rasulullah saw berkata “janganlah kamu menjual ikan yang masih dalam air karena jual beli itu termasuk gharar”.

Terhadap persoalan ini golongan Hanafiyah merumuskan kaidah:

مْيِلْسَتلا لرْو دْقَم عْيِب مْلا َنْو كَي ْنَا مَزْلَبي

“barang yang diperjual belikan harus dapat diserahterimakan”. (Zuhaily, 1994: 446-447)

3) Jual beli gharar, yakni jual beli yang mengandung tipuan. Misalnya, jual beli buah-buahan yang diongok atau ditumpuk. Diatas onggokan tersebut buahnya kelihatan baik. Namun, didalam onggokan tersebut terdapat buah yang rusak. Termasuk kedalam jual beli gharar adalah: a) Jual beli muzabanah, yakni jual beli buah-buahan yang masih dalam

(42)

َمَلَس َو ِهْيَلَع لا َىلَص ِلا َلْو سَر َنآ : اَهْبنَع لا َيِضَر َرَم ع ِنْب ِلا دْبَع ْنَع

ِم ْرَكْلاِب ِبِبْيِب َزلا ِعْيَبب َو ,للْيَك ِرَمَتل اِب ِرَمَثلا عْيَبب ِةَنَبب اَز مْلاَو ,ِةَنَبب اَز مْلا ِنَع ىَهَبن

للْيَك

.

Dari abdullah bin umar ra. Sesungguhnya rasulullah saw. Jual beli muzabanah . muzabanah adalah menjual buah yang masih di pelepahnya dengan takaran dan jual beli angguar yang masih di tangkainya dengan takara”.

Jenis jual beli ini dinamakan oleh masyarakat dengan jual beli

(43)

b) Jual beli mulamasah (jual beli dengan menyentuh barang) dan

munabazah ( jual beli dengan melempar barang). Jual beli ini terlarang berdasarkan hadist:

ِنَع ىَهَبن َمَلَس َو ِهْيَلَع لا ىَلَص لا َلْو سَر َنآ , هْنَع لا َيِضَر َةَرْبيَر ه ىِبَا ْنَع

ِةَذَباَن مْلاو ِةَسَم َل مْلا

.

Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw melarang

jual beli dengan cara menyentuh dan melempar.

Mulamasah atau menyentuh pada hadist ini di maksutkan adalah jual beli dengan cara menyentuh barang di tempat gelap tanpa bisa melihat jenis, bentu, dan kualiatas barang atau menyentuh barang yang ada dalam karung tanpa melihat jenis kualitas maupun bentuk barangnya. Apa yang tersentuh itulah hak pembeli. Munabazah atau melempar pada hadis ini adalah jual beli dengan cara melempar barang yang akan di beli mana barang yang terlempar itulah hak pembeli. Jika tak satupun barang yang terkena lempar pembeli tidak mendapat apa-apa.

Pada masa sekarang bentuk jual beli jahiliyah ini muncul kembali dalam bentuk lain. Cara-cara seperti ini, dikemas dalam bentuk permainan atau game. Misalnya, “game/ permainan lempar bola”, dengan membayar sejumlah uang, permainan dapat melemparkan bola kepada obyek permainan misalnya boneka, topi, gelang, dan lain sebagainya. Benda yang terlempar itulah hak pemain. Kemudian, dikemas dengan cara permainan lain yang menggunakan mesin, seperti yang terdapat pada beberapa swalayan, atau

(44)

boneka tersebut ke bak yang disediakan, boneka itu akan keluar dan menjadi milik pemain. Namun, bila pemain tidak berhasil menyelesaikan permainan dengan baik ia tidak mendapatkan apa-apa.

c) Jual beli thalaqi al-ruqban dan jual beli hadhir libad, yaitu jual beli yang dilakukan dengan cara menghadang pedagang dari desa yang belum tahu harga pasaran. Juaal beli ini terlarang berdasar hadist:

ِهْيَلَع ِلا ىَلَص ِلا َلْو سَر رنآ هْنَع ِلا َلْو سَر َنآ هْنَع لا َىِضَر َةَرْبيَر ه ىِبَا ْنَع

اَنَبت َل َو ٍضْعَبب ِحْيَبب ىَلع ْم ك ضْعَبب حيِبَي َل َو ,َن اَبْكررلا ا وَقَلَبت َل َلاَق َمَلَسَو

ٍداَبِل رِض اح عيِبَي َلَو او شَج

.

Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya ia mendengar

Rasulullah Saw berkata “janganlah kamu menghadang pedagang

dari desa, jangan sebagian kamu terhadap yang lainnya melakukan

an-najasi (jual beli dengan tujuan merusak dagangan orang lain,

menawarkan barang untuk menjerumuskan orang lain), dan

janganlah orang kota menjualkan dagangan orang desa”.

(45)

Pedagang menawarkan barang seharga Rp.10.000,00 ketida ada calon pembeli tertarik dengan barang tersebut, datang calon pembeli lain (yang sebetulnya masih anggota penjual) menawar barang itu dengan harga yang lebih tinggi misalnya Rp.25.000,00 targetnya menaikkan harga tersebut hanya dengan mengelabui calon pembeli sehingga ia membeli dengan harga yang dinaikkan tersebut, modus ini terlarang berdasarkan pada hadist Nabi Saw.:

حِبَي َل لْو قَبي َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص ِلا َلْو سَر تبْعِمَس ضلاَق َةَرْبيَر ه اَبآ َنآ

ِحْيَبب ىَلَع ل جَرلا دِزَي َلَو او شَجانَت َلَو ٍداَبِل رِضاَح حيِبَي َلَو ِهيِخآ ِحْيَبب ىَلَع ل جَرلا

اهئاَنآ يِفاَم ئِفَتْكَتِل ىَرخ لْا َقَلَط ةآ ْرَمْلا ْلآْسَت َلَو ِهيِخَا

.

Sesungguhnya Abu hurairah mengatakan saya mendengar

Rasulullah Saw. Berkata: “janganlah seseorang membeli atas

pembelian saudaranya, janganlah orang kota menjualkan barang

orang desa, janganlah kamu melakukan jual beli An-Najasy,

janganlah seseorang melebihkan atas pembelian saudaranya,

janganlah seseorang perempuan minta ditalak untuk memenuhi

keinginan perutnya”.

4) Jual beli najis dan banda-benda najis

(46)

ِهْيَلَع لا ىَلَص ِلا َلْو سَر َعِمَس هَنَأ : اَم هْبنَع لا َيِضَر لاَدْبَع نْب َرَبباَج ْنَع

َو ِةَتْيَمْلاَو ِرْمَحْلا َحْيَبب َمَرَح هلوسرو لا َنإ ةكمب وهو حتفلا ماع لْو قَبي َمَلَسَو

اهب ىلطي اهنإف ةتيملا م وحش تيأرأ لا لوسر اي ليقف م اَنْص ْلاو ِرْيِزْنِخْلا

مث .(مارحوه ل ) لاقف ؟ سانلا اهب حبصتسيو دولجلا اهب نه دي و نفسلا

لا نإ د وهيلا لا لت اق ) كلذ دنع ملسو هيلع لا ىلص لا لوسر لاق

(هنمث اولكأف هوع اب مث هولمج اهم وحش مرحامل

Dari Jabir Ibn Abdullah r.a. sesungguhnya ia mendengar Rasulullah

Saw. Berkata pada tahun penaklukan Makkah “sesungguhnya Allah

dan Rasulnya mengharamkan jual beli khamar, babi, bangkai, dan

berhala.”Lalu Rsul ditanya orang: “ya Rasulullah bagaimana

pendapat engkau tentang lemak bangkai yang dijadikan sebai

pendompol perahu, penyamak kulit, dan penerangan bagi

manusia?” Nabi menjawab: tidak, itu haram. Kemudian Rasul

melanjutkan: “Allah telah memerangi umat Yahudi, karena Allah

telah mengharamkan bagi mereka lemak bangkai, mereka mengolah

lemak itu, kemudian menjualnya dan memakan harganya”.

Pada hadist lain Nabi Saw, telah menjelaskan:

بْسَع ْنَع َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص َيِبَنلاىَهَبن : لاق ام هْبنَع لا َيِضَر َرَم ع نْبِا ْنَع

لحفلا

.

“Dari Ibn Umar r.a. ia berkata Nabi Saw telah melarang jual beli

sperma kuda jantan”.

Mengawinkan kuda jantan dengan kuda betina kemudian mendapatkan jasa dari perbuatan itu dilarang dalam islam. Sperma kuda jantan menurut ulama fiqih tidak termasuk mal mutaqawwin

(47)

secara jelas. Cara yang dapat dibenarkan adalah dengan menyewa kuda jantan dalam jangka waktu tertentu. Jas yang diterima adalah dari akad sewa menyewa kuda.

Namun, golongan Hanafiyah memandang sah jual beli hewan-hewan yang bertaring, seperti anjing, singa, kucing dan sejenisnya karena bagi mereka jenis hewan-hewan bertaring ini seperti anjing tergolong harta dan mendatangkan manfaat bagi manusia. Memanfaatkannya dibolehkan secara syar’i, seperti untuk keamanan dan berburu, jual belinya juga sah. Alasan yang dipakai adalah hadis Nabi:

ِدْيَصلا َبْلَك َلِإ ِبْلَكْلا ِنَمَس ْنَع ىَهَبن َلاَق َةَرْبيَر ه ىِبَا ْنَع

.

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. Melarang

memanfaatkan uang hasil jual beli anjing pemburu dan penjaga”.

Begitu pula, tidak sah melakukan jual beli dan memanfaatkan benda-benda najis yang bukan untuk dimakan, seperti kotoran ternak (Wahbah Az-Zuhaily, 1994:446). Dalam masalah jual beli anjing dan memakan harganya, ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak sah melakukan jual beli anjingpemburu maupun anjing penjaga. Dalam hadis Rasul telah ditetapkan:

ِنَمَث ْنَع ىَهَبن َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص لا َلْو سَر رنأ ّضى راَصْن َلا ٍدْو عْسَم ىِبَأ ْنَع

ِنِه اَكْلا ِنا َوْل حَو رىِغَبْلا ِرْهَمَو ِبْلَكْلا

.

“dari Ibn Mas’ud al-Anshari sesungguhnya Rasulullah Saw.

Melarang memanfaatkan uang hasil jual beli anjing, prostitusi dan

upah tenung” (Abdurrahman Al-Jaziry, 1970: 232).

(48)

tidak sah. Sementara menurut Hanafiyah, jual beli ini fasid. Ulama ini menyatakan jual beli ini bathil berdasarkan hadist Nabi:

ْر عْلا عْيَبب ْنَع ىَهَبن َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص رىِبرنلا رنأ ه دَج ْنَع ِبْيَع ش نْبَوَرَملع ْنَع

ِناَب

.

Dari Amru Ibn Syu’aib diterima dari bapaknya dari kakeknya,

sesungguhnya Nabi Saw. Melarang jual beli urbun (persekot)”.

6) Jual beli air

Salah satu syarat jual beli adalah benda yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri. Tidak sah melakukan jual beli terhadap benda-benda yang dimiliki secara bersama oleh seluruh manusia, seperti air, udara dan tanah. Seluruh benda, seperti air laut, sungai, dan sumur umum tidak boleh diperjual belikan karena tergolong mal mubah, hal ini berdasarkan pada hadis Nabi:

ِهْيَلَع لا ىَلَص ب ىبرلا ِباَحْصِأ ْنِم َل جَر نعٍشادخ ىِبَأ ْنَع َناَمْث ع نْب زيرح ْنَع

ٍثلَث ىف ء اك َر ش ن و مِلْس مْلا ) ب َمَلَسَو َهْيَلَع لا ىَلَص ب ِلا َلْو سَر َلاَق ب ِمَلَسَو

(ِر اَنلا َو ِلَكْلاَو ِءاَمْلا ىِف

Dari Haris Ibn Usman, dari Abu khidasy, dari seorang laki-laki

sahabat Nabi Saw. Berkata: “kaum muslimin berserikat dalam tiga

hal yaitu air, rumput dan api”.

7) Jual beli Mulaqih

Jual beli mulaqih adalah jual beli barang yang menjadi objeknya adalah hewan yang masih dalam bibit jantan sebelum bersetubuhnya dengan betina. Yang menjadi larangan jual beli ini adalah hadis dari Nabi dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al Bazzar:

ِحْيِقَلملاَو َنْيِم اَضملا ِعْيَبب ْنَع ىَهَبن َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص ِلا َلْو سَر َنَا

.

“sesungguhnya nabi telah melarang jual beli mudhamin dan

(49)

Alasan pelarangan jual beli ini adalah karena objek yang diperjual belikam tidak berada ditempat akad dan tidak dapat pula dijelaskan kualitas dan kuantitasnya. Ketika jelasan ini menimbulkan ketidak relaan pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli (Dewi, 2005: 117).

8) Jual beli hushah atau lemparan batu

Jual beli hushah mempunyai beberapa arti. Diantaranya adalah jual beli suatu barang yang terkena lemparan batu yang disediakan dengan harga tertentu. Arti lain dari jual beli ini adalah jual beli tanah dengan harga yang sudah ditentukan yang luasnya sejauh yang dapat dikenai oleh batu yang dilemparkan. Hukum jual beli seperti ini adalah haram. Dasar penetapan terhadap jual beli ini adalah hadist dari Nabi muhammad dari abu hurairah menurut riwayat Muslim:

ِر َرَغْلا ِعْيَبب ْنَعَو ِةاَصَحلا ِحْيَبب ْنَع َمَلَسَو ِهْيَلَع لا ىَلَص ِلا َلْو سَر ىَهَبن

.

“Nabi Muhammad Saw melarang jual beli Huushah dan jual beli

gharar”

9) Jual beli mukhabarah

Jual beli mukhabarah adalah muamalah dalam penggunaan tanah dengan imbalan bagian dari apa yang akan dihasilkan oleh tanah tersebut. Alasan haramnya jual beli ini adalah ketidak jelasan dalam membayar, sebab waktua akad berlangsung harga dan nilainya belum jelas.

10) Jual beli tsunayya

Jual beli tsunayya adalah jual beli dengan harga tetentu sedangkan barang yang menjadi objek jual beli adalah sejumlah barang dengan pengecualian tidak jelas. Alasan haramnya jual beli inii adalah ketidakjelasan objek jual beli yang dapat membawa pada ketidak relaan pelaku transaksi.

(50)

Jual beli asb’ al fahl adalah jual beli memperjualbelikan bibit pejantan hewan untuk dibiarkan dalam rahim hewan betina untuk mendapatkan anak. Kadang disebut juga sewa pejantan, alasan pelarangan disini adalah karena ketidakjelasan proses transaksi. Karena sukar ditentukan seberapa banyak bibit yang disalurkan kedalam rahim betina. Jual beli dalam bentuk ini tidak sah. Sebagian ulam melihatnya dari sisi lain yaitu kebutuhan umum akan transaksi seperti ini bagi pengembang biakan ternak. Oleh karena itu, memasukkannya kepada bisnis sewa pembiakan ternak.

b. Jual beli Fasid, yaitu jual beli yang disyari’atkan menurut asalnya. Namun, sifatnya tidak, misalnya jual beli itu dilakukan oleh orang yang pantas (ahliyah) atau jual beli benda yang dibolehkan memanfaatkannya. Namun terdapat hal atau sifat yang tidak disyariatkan pada jual beli tersebut yang mengakibatkan jual beli tersebut menjadi rusak (Abdurrahman Al-Jaziry, 1970: 225).

Menurut ulama Hanafi yang dikutip dari buku perikatan islam di Indonesia bahwa jual beli fasid dan jual beli batal itu berbeda. Apabila kerusakan-kerusakan dalam jual beli terkait dengan barang yang diperjual belikan maka hukumnya batal, misalnya jual beli benda-benda haram. Apabila kerusakan-kerusakan itu pada jual beli yang menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli dinamakan fasid.

Namun jumhur ulama tidak membedakan antara kedua jenis jual beli tersebut (Dewi, 2005: 108).

(51)

bahwa fasid dalam ibadah dan muamalah itu berbeda. Dalam bidang muamalah fasid diartikan sebagai tidak cukup syarat pada perbuatan. Menurut madzhab Syafi’i fasid berarti tidak dianggap dan tidak diperhitungkan suatu perbuatan sebagaimana mestinya sebagai akibat dari kekurangan (cacat) padanya (Dewi, 2005: 109). Menurut Imam Hanafi bahwa muamalah yang fasid pada hakikatnya tetap dianggap sah. Sedangkan yang dirusak atau tidak dianggap sah adalah sifatnya.

Jual beli fasid terdiri dari beberapa bentuk: (Zuhaily, 1994: 454-471). 1) Jual beli majhul (tidak jelasnya barang yang diperjualbelikan).

Misalnya, menjual salah satu rumah dari beberapa rumah tanpa menjelaskan mana rumah yang dimaksud. Jual beli ini menimbulkan implikasi hukum terhadap para pihak apabila pemilik rumah menjelaskan dan mengindentifikasi rumah yang akan dijualnya. 2) Jual beli yang digantungkan kepada syarat dan jual beli yang

digantungkan pada masa yang akan datang. Misalnya seseorang berkata “saya akan menjual rumah ini jika anak saya pulang dari perjalanan” akan tetapi, pelaksanaan akadnya saat ia berbicara, contoh jual beli yang disandarkan kepada masa yang akan datang, “saya akan jual mobil ini dibulan depan” namun, pelaksanaan akadnya bulan ini. Para ulama sepakat menyatakan jual beli yang digantungkan pada syarat hukumnya tidak sah. Jumhur ulama menyatakan jual beli seperti ini bathil. Namun, kalangan Hanafiyah menyatakan jual beli ini fasid, karena ada syarat yang tidak terpenuhi. Jika syarat terpenuhi maka jual beli menjadi sah.

3) Jual beli barang yang ghoib atau tidak terlihat ketika akad

(52)

sah jual beli yang dilakukan oleh orang buta, begitu juga dengan

Ijarah, rahn dan hibah yang mereka lakukan, bagi mereka ada hak

Khiyar. Sementara itu Syafi’iyah menyatakan tidak sah jual beli yang dilakukan oleh orang buta kecuali ia melihat sebelum buta.

4) Menjual dengan pembayaran yang ditunda dan mrmbeli dengan harga tunai (bai’ ajal). Misalnya tuan A menjual mobil pada tuan B dengan harga 200 juta rupiah dengan pembayaran cicil selama satu tahun. Kemudian tuan A membeli mobil itu kembali dari tuan B dengan harga 150 juta rupiah secara tunai. Jual beli ini menurut Ulama Malikiyah dinamakan dengan bai’ ajal, edangkan sebagian ulama menamakan dengan bai’ ‘inah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zahiriyah jual beli ini sah karena terpenuhi rukun dan syaratnya. Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat jual beli ini bathil. Sementara itu, Abu hanifah menyatakan jual beli ini fasid. Menurutnya jual beli seperti ini dipandang sebagai hilah dari riba (Zuhaily, 1994: 466).

Gambar

Tabel daftar kolam pemancingan di Desa Losari

Referensi

Dokumen terkait

suasana kegiatan yang kondusif, membangun interaksi yang aktif dan positif anta peserta didik dengan guru, sesama peserta didik, dalam kegiatan bersama di

Dengan demikian, hipotesis yang diterima adalah hipotesis Ha, yaitu terdapat interaksi antara pemanfaatan CD komputer BSE (klasikal dan kelompok kecil) dengan motivasi

Keywords : Fly Slab, Comparative Study, Reduction of Concrete, Reduction of Reinforcement, Reaction of Vertical Structure. Fly slab merupakan salah satu pengembangan

Pada tabel 3, didapatkan pengetahuan baik terbanyak tergolong dalam kelompok pekerjaan PNS yaitu 100%, sedangkan pengetahuan tidak baik terbanyak tergolong Jika dibandingkan

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran adalah ketepatgunaan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan dan

Adapun saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: (1) Guru diharapkan semakin meningkatkan kreatifitasnya dalam menciptakan suatu situasi yang mampu

1. Kemajuan teknologi di era globalisasi berpengaruh dengan pendidikan Indonesia baik dampak positif dan negatif pada peserta didik. Dampak negatif peserta didik

Dari hasil tersebut didapatkan kesimpulan Kandungan gizi ikan belanak (Mugil sp) ukuran 12 cm dan 25 cm berpengaruh terhadap nilai kandungan protein dan kandungan