• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

C. Syarat dan Rukun Jual Beli

Jual beli akan sah bila terpenuhi rukun dan syaratnya. Yang menjadi rukun jual beli dikalangan ulama Hanafiyah adalah ijab, ini yang ditunjukan oleh saling tukar menukar atau berupa saling memberi (muathah) (Jaziri, 1970:155). Sementara itu yang menjadi rukun jual beli dikalangan Jumhur ada empat, yaitu ba’i’ waal-musytari (penjual dan pembeli), tsaman wa mabi’ (harga dan barang), sighat (ijab dan kabul) (Rozalinda, 2017:65).

Adapun yang menjadi syarat jual beli adalah:

1. Bai’ wa musytari (penjual dan pembeli) disyaratkan: a) Berakal dal arti mumazis

Jual beli tidak dipandang sah apabila dilakukan oleh orang gila, dan anak kecil yang tidak berakal. Ulama’ dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah berpendapat transaksi jual beli yang dilakukan anak-anak kecil yang telah Mumazis adalah sah selama ada izin walinya. Dalam hal ini, golongan Hanafiyah tidak mensyaratkan baligh dalam jual beli. Ini berarti transaksi yang dilakukan anak kecil yang telah mumazis adalah sah. Mumazis dimaksudkan mengerti dengan jual beli yang dilakukannya. Oleh karena itu, jual beli yang dilakukan oleh anak-anak yang belum mumazis dan orang gila adalah tidak sah (Jaziri, 1970:160). Ulama’ syafi’iyah berpendapat jual beli yang dilakukan anak kecil tidak sah karena tidak ada ahliyah (kepantasan/kemampuan). Dalam hal ini ulama Syafi’iyah memandang aqid (pihak yang berakad) disyaratkan cerdas, yaitu telah baligh, dan mempunyai ahliyah dalam persoalan agama dan harta (Zuhaily, 1994:359).

Seiring dengan perkembangan zaman, anak-anak yang lahir dizaman modern ini perkembangan otak dan pemikirannya (aspek kognitif) sangat cepat walaupun belum baligh. Kalau dipersyaratkan baligh sebagai syarat sahnya sebuah akad tentu akan menimbulkan kesulitan bagi kehidupan manusia. Bagia nak-anak yang sudah mengerti dan dapat mebedakan yang baik dan buruk serta mengerti objek yang dibelinya, boleh saja melakukan jual beli. Namun, jual beli yang diizinkan adalah terhadap barang-barang kecil dan murah, seperti makanan, mainan, buku, pensil dan sebagainya. Sementara itu terhadap jual beli benda-benda yang besar seperti pakaian, sepatu yang membutuhkan biaya besar dan kemampuan menentukan kualitas barang tidak dibolehkan bagi anak-anak (Rozalinda, 2017:66).

Jual beli yang dilakukan dengan paksaan atau intimidasi pihak ketiga tidak sah karena salah satu prinsip jual beli adalah suka sama suka sesuai dengan QS An-Nisa [4: 29] diatas dan hadits Nabi Saw:

ٍدْيِعَس اَبَأ ُتْعِمَس َلاَق ِهْيِبَأ ْنَع ّىِنَدَمْلا ٍحِلاَص ِنْب َدُواَد ْنَع

ّىِرْدُخْلا

ُعْيَبْلا َامّنِإ ملسو هيلع ا ىلص ِا ُلوُسَر َلاَق ُلْوُقَي

ٍضاَرَت ْنَع

.

Diriwayatkan dari Daud ibn shalih al-Madani, diterima dari bapaknya ia berkata, saya mendengar Abu Said Al-Khudri mengatakan Rosulullah Saw. Berkata: “sesungguhnya jual beli itu dilakukan atas dasar suka sama suka”.

Kecuali pemaksaan itu suatu hal yang mesti dilakukan karena menjaga hak orang, seperti menjual barang gadai karena keinginan untuk melunasi hutang.

a. Bukan pemboros dan pailit

Terhadap orang ini tidak dibenarkan melakukan jual beli karena mereka

hajru (larangan melakukan transaksi terhadap harta). Bagi pemboros dilarang melakukan jual beli adalah untuk menjaga hartanya dari kesia-siaan. Bagi orang pailit dilarang melakukan jual beli karena menjaga hak orang lain (Rozalinda, 2017: 67).

2. Mabi’ wa tsaman (benda dan uang) disyaratkan: a. Milik sendiri

Barang yang bukan milik sendiri tidak boleh diperjual belikan kecuali ada mandat yang diberikan oleh pemilik seperti akad wikalah

(perwakilan). Akad jual beli mempunyai pengaruh terhadap pemindahan hak milik sendiri sesuai dengan hadis:

هيلع لا ىلص لا لوسر لاق : لاق هدج نع هيبأ نع بيعش نب و رمع نع

َسْيَل اَم َعْيَبب َل َو نمضي ملام حبرلو عيب يف ناطرش لو عيبو فلس لحيل : ملسو

َكَدْنِع

.

Diriwayatkan dari Amru ibn syuib diterima dari bapaknya dari kakaknya ia berkata: Rosulullah Saw bersabda: “tidak halal melakukan jual beli salam dan jual beli biasa (sekaligus), tidaka boleh ada dua syarat dalam jual beli, tidak boleh mengambil untung yang tidak ada jaminannya, dan tidak halal jual beli sesuatu yang tidaka ada padamu”.

b. Benda yang diperjual belikan itu ada dalam arti yang sesungguhnya, jelas sifat, ukuran, dan jenisnya.

Jual beli yang dilakukan terhadap sesuatu yang belum berwujud atau tidak jelas wujudnya tidak sah, seperti jual beli buah-buahan yang masih berada dipohon, jual beli hewan yang masih didalam perut induknya, jual beli susu yang masih belum diperas, hal ini sesuai dengan hadits Nabi Saw:

ملسو هيلع لا ىَلَص ِلا َل ْو س َر َنَأ : امهنع لا يض ر رمع نبا لا دبع نع

َع اَتْب مْلا َو َعِئ اَبْلا ىَهَبن اَه ح َلَص َوَدْبَبي ىَتَح ِراَمَثلا ِعْيَبب ْنَع ىَهَبن

.

Dari Abdullah ibn Umar r.a. “sesungguhnya Rasulullah Saw melarang jual beli buah-buahan sebelum jelas baiknya, Rasulullah juga melarang terhhadap penjual dan pembelinya. (hadis ke-2082: 766)

Akan tetapi menurut sebagian ulama Hanafiyah, beberapa jenis akad dikecualikan untuk persyaratn ini, seperti akad salam dan istishna (Zuhaily, 1994: 357)

c. Benda yang diperjual belikan dapat diserahterimakan ketika akad secara langsung maupun tidak langsung. Ini berarti tidak sah jual beli terhadap sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan, misalnya burung yang terbang ke udara dan ikan dilautan (Jaziri, 1970: 166).

Mal mutaqawwin merupakan benda yang dibolehkan oleh syariat untuk memanfaatkannya. Oleh karena itu, tidak sah melakukan jual beli terhadap benda yang tidak dibolehkan syariat untuk memanfaatkannya, seperyi bangkai babi, minuman keras dan lain sebagainya, sesuai dengan QS Al-Maidah [5:3]

ۦ ه ب َلٱ ۡيَغ ل َل هُأ َاَمَو ري ن ۡلٱ ُمَۡلَو ُمَلٱَو ُةَتۡيَمۡلٱ ُمُكۡيَلَع ۡتَم ْرُح

ا َم ل إ ُعُب َسلٱ َلَكَ َأ َاَمَو ُةَحي طَلٱَو ُةَي ْدَ َتُمۡلٱَو ُةَذوُقۡوَمۡلٱَو ُةَق نَخۡنُمۡلٱَو

ح ۗق ۡس ف ۡمُك لَٰذ مَٰلۡزَ ۡلٱ ب َاوُم سۡقَتۡسَت نَأَو ب ُصٱلٱ َ َع َح بُذ اَمَو ۡمُتۡيَكَذ

َمۡوَ ۡلٱ نۡوَشۡخٱَو ۡمُهۡوَشۡ َت َلَف ۡمُك ني د ن م َاوُرَفَك َني َلٱ َس ئَي َمۡوَ ۡلٱ

ُم ُكَل ُتي ضَرَو تَمۡع ن ۡمُكۡيَلَع ُتۡمَمۡتأَو ۡمُكَني د ۡمُكَل ُتۡلَمۡكَ َأ

َ َلٱ َن إ َف كمۡث ْل كف ناَجَتُم َ ۡيَغ رة َصَمۡ َم ف َر ُط ۡضٱ نَمَف اٗني د َمَٰلۡس ۡلٱ

مي حَر روُفَغ

٣

Yang artinya: diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, dan Yang mati tercekik, dan Yang mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi, dan Yang mati ditanduk, dan Yang mati dimakan binatang buas, kecuali Yang sempat

kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), dan Yang disembelih atas nama berhala; dan (diharamkan juga) kamu merenung nasib Dengan undi

batang-batang anak panah

.

Berkaitan dengan ini, benda-benda yang diperjual belikan harus suci. Oleh karena itu, tidak sah melakukan jual beli terhadap najis dan benda-benda yang mengandung najis (mutanajis).

3. Sighat ijab dan kabul, jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilaksanakan sebab ijab dan kabul menunjukan kerelaan antara penjual dan pembeli. Pada dasarnya ijab dan qabul dilaksanakan dengan lisan, tetapi kalu tidak mungkin misal bisu atau yang lainnya boleh dilakukan dengan ijab qabul surat menyurat yang mengandung arti ijab dan qabul (Suhendi, 2008: 70). Menurut Sayyid Sabiq dalam buku fiqh sunnah ijab merupakan ungkapan awal yang yang diucapkan oleh salah satu dari dua pihak yang melakukan akad dan qabul adalah pihak kedua (Sabiq, 2006: 121). Para ulama sepakat untuk mengecualikan kewajiban ijab qabul itu terhadap objek jual beli yang bernilai kecil yang biasa berlangsung dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti jual beli sebotol minuman, cara seperti ini disebut mu’atah, misalnya membeli minuman kaleng dimesin otomatis dimana sipembeli telah memasukkan uang koinnya kedalam lubang yang disediakan oleh penjual melalui mesinnya telah menyodorkan minuman kaleng tersebut sesuai dengan pesanannya yaitu dengan mesin otomatis (Syarifuddin, 2003: 195). Sighat ijab dan qabul disyaratkan:

a. Ijab dan kabul diucapkan oleh orang yang mampu (ahliyah).

Menurut ulam Hanafiyah yang mengucapkan ijab dan kabul harus orang yang berakal lagi mumazis sebagaimana adipersyaratkan bagi para pihak yang berakad.

b. Kabul berkesesuaian dengan ijab, misalnya seseorang berkata “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Kemuadian dijawab dengan “saya beli” atau “saya terima” atau sesuai makna dengan kalimat tersebut sesuai dengan kebiasaan misal terima kasih.

c. Menyatunya majelis (tempat) akad

Ijab dan kabul berada dalam satu tempat, dalam pengertian masing-masing pihak yang berakad hadir bersamaan atau pada tempat lain yang diketahui pihak lain. Apabila salah satu pihak mengucapkan ijab jual beli, sementara pihak lain berada pada tempat lain yang berbeda tempatnya maka akad jual belinya tidak dapat dilaksanakan (Rozalinda, 2017: 70).

Secara konvensional saat terjadinya jual beli unsur unsur pokok jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata “sepakat” mengenai barang dan harga, begitu kedua belah pihak setuju maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah (Subekti, 1995:2). Sifat konsensual jual beli tersebut dijelaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.

Dokumen terkait