• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Jumlah akar

Tabel 5. Jumlah Akar Pisang Rajabulu saat Umur 2-8 MST (Minggu Setelah Tanam) Perlakuan 2 MST 3 MST 4 MST 6 MST 8 MST P1(MS+vitamin) 3.07 a 4.90 a 6.20 a 7.23 a 11.90 a P2(MS+ekst. pis. 50g/l) 2.83 a 3.70 a 5.37 a 6.60 a 8.30 b P3(MS+ekst. pis. 100g/l) 1.93 b 2.90 c 3.60 c 6.70 a 7.80 b P4(MS+ekst. pis. 150g/l) 1.93 b 3.33 b 5.17 a 7.37 a 7.37 c

Ket: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata uji BNJ pada taraf 5%

Tunas yang ditanam pada media komposisi antara MS dan ekstrak buah pisang adalah tunas yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang sehingga dapat dihasilkan planlet pisang Rajabulu. Pada saat ditanam belum terdapat tunas yang berakar.

Tunas yang ditanam baru menghasilkan akar rata-rata pada 2 MST. Jumlah akar terus bertambah tiap minggunya. Akan tetapi, pertambahan jumlah akar tidak terlalu signifikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh terhadap jumlah akar. Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak buah pisang tidak sama dengan pemberian vitamin pada media tumbuh tunas pisang Rajabulu secara in vitro, di mana pemberian vitamin menghasilkan jumlah akar yang lebih banyak. Sedangkan penelitian Muawanah (2005) pada tanaman anggrek menunjukkan bahwa komposisi media dengan penggunaan ekstrak buah pisang 300 g/l menghasilkan jumlah akar yang lebih sedikit, penggunaan konsentrasi pisang yang lebih tinggi cenderung menghasilkan jumlah akar yang lebih sedikit. Penelitian Afriani (2006) pada tanaman anggrek pula, menunjukkan bahwa media kombinasi MS + ekstrak pisang 100 g/l menghasilkan planlet dengan jumlah akar terbanyak (pada 24 MST) dibandingkan dengan konsentrasi lebih tinggi. Tetapi hasil penelitian Hadi (2006) pada tanaman yang

sama menunjukkan bahwa media kontrol menghasilkan jumlah akar terbanyak dibandingkan dengan media yang ditambahkan bubur pisang.

Pada saat kultur berumur 6 MST, dari hasil pengamatan terhadap jumlah akar, ekstrak buah pisang pada konsentrasi 50 g/l dapat digunakan untuk menggantikan fungsi vitamin sintetis yang biasa digunakan. Vitamin dan auksin dalam ekstrak buah pisang berperan dalam hal ini. Salah satu fungsi auksin adalah menstimulasi perkembangan akar dalam kultur jaringan (Davies, 1995; Mauseth, 1991; Raven, 1992; Salisbury and Ross, 1992).

Sebenarnya terdapat permasalahan dalam kultur jaringan pisang Rajabulu. Percobaan Kasutjianingati menunjukkan bahwa penggandaan tunas dan kemampuan berakar pisang Rajabulu/AAB lebih rendah dibanding pisang mas/AA, Ambon Kuning/AAA dan Barangan/AAA. Hal ini teratasi dengan adanya ekstrak buah pisang yang mengandung auksin (Arditti dan Ernst, 1992). Auksin dalam kultur jaringan mendorong morfogenesis akar dan tunas (Wattimena et al., 1992).

Dalam ekstrak buah pisang terdapat auksin. Menurut Widiastoety dan Syafril (1993), penambahan auksin atau sitokinin dari luar (eksogen) akan mengubah kadar auksin atau sitokinin dalam sel (endogen). Auksin dalam kultur jaringan berperan dalam pembelahan dan pembesaran sel, pembentukan kalus, dan pembentukan akar. Secara alami beberapa eksplan memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup, tetapi untuk memacu pertumbuhannya membutuhkan tambahan auksin dari luar. Gamborg dan Shyluk (1981) menambahkan bahwa seringkali penambahan auksin dalam jumlah besar cenderung menyebabkan terbentuknya kalus dan menghambat regenerasi pucuk tanaman, sehingga informasi tentang kebutuhan auksin secara optimal perlu diketahui. Menurut Street (1979) konsentrasi auksin yang tinggi diperlukan untuk merangsang pembentukan akar. Wetherell (1982) melaporkan bahwa kadar auksin optimal untuk merangsang pembentukan primordia akar, umumnya lebih tinggi daripada untuk merangsang perpanjangan akar. Oleh karena itu untuk merangsang pertumbuhan akar dan penguatan tanaman, kadar auksin optimal bagi pembentukan akar tidak sesuai.

2 . Panjang akar

Tabel 6. Panjang Akar (cm) Pisang Rajabulu saat Umur 8 MST (Minggu Setelah Tanam) Perlakuan 8 MST P1 (MS+vitamin)/kontrol 12.21 a P2 (MS+ekstrak pisang 50g/l) 8.95 b P3 (MS+ekstrak pisang 100g/l) 4.22 c P4 (MS+ekstrak pisang 150g/l) 4.00 c

Ket: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf 1%

Media perlakuan yang digunakan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata pada peubah panjang akar. Dari tabel 6 diketahui bahwa kontrol berbeda sangat nyata pengaruhnya dibandingkan dengan P2. Hal ini berarti bahwa pemberian ekstrak buah pisang dengan konsentrasi 50 g/l pada media tumbuh in vitro pisang Rajabulu memberikan pengaruh yang tidak sama dengan pemberian vitamin yang umum ditambahkan pada media MS, yang berarti pula bahwa penggunaan ekstrak buah pisang menghasilkan akar yang lebih pendek dibandingkan dengan penggunaan vitamin.

Namun, penggunaan ekstrak buah pisang dengan konsentrasi 50 g/l menghasilkan akar yang lebih panjang jika dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Yang berarti bahwa makin tinggi konsentrasi ekstrak buah pisang Rajabulu, maka akar tunas in vitro pisang Rajabulu makin pendek. Ini diduga konsentrasi ekstrak pisang yang tinggi menghambat pembelahan sel tanaman sehingga pertambahan panjang akar juga terhambat.

P1

P2

P3

P4

Gambar 2. Kultur saat umur 6 MST, tampak bahwa media P1(kontrol) dengan P2 menghasilkan tunas yang tidak berbeda jauh

Ketika berumur 6 MST, tunas yang dihasilkan pada media P1/kontrol dengan P2 (MS+ekstrak pisang 50 g/l) tidak berbeda jauh pertumbuhannya (Gambar 2). Sedangkan tunas yang dihasilkan oleh media P3 (MS+ekstrak pisang 100 g/l) dan P4 (MS+ekstrak pisang 150 g/l) lebih buruk kondisinya. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak buah pisang semakin tidak bagus pertumbuhan tunasnya. Dengan demikian pemberian ekstrak buah pisang dengan konsentrasi tinggi tidak mendukung pertumbuhan tunas menjadi lebih baik, bahkan sebaliknya. Menurut Widiastoety dan Syafril (1993), konsentrasi bahan nabati tambahan pada media kultur in vitro yang sangat tinggi menyebabkan terjadinya kerusakan pada jaringan tanaman seperti pecahnya dinding sel (lisis) dan juga plasmolisis.

Hasil pengamatan saat 8 MST

Tabel 7. Hasil Pengamatan Saat 8 MST (Minggu Setelah Tanam) Parameter/ Perlakuan Jumlah

Tunas Panjang Tunas Jumlah Daun Panjang Daun Jumlah Akar Panjang Akar P1(MS+vitamin)/kontrol 4.03 a 12.09 a 9.80 a 6.60 a 11.90 a 12.21 a P2(MS+ekstrak pisang 50g/l) 3.13 a 11.55 a 6.80 b 5.89 a 8.30 b 8.95 b P3(MS+ekstrak pisang 100g/l) 2.83 a 7.56 b 6.13 c 3.78 b 7.80 b 4.22 c P4(MS+ekstrak pisang 150g/l) 2.43 a 7.64 b 5.83 c 3.95 b 7.37 c 4.00 c

Ket: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 7, diperoleh informasi bahwa untuk parameter jumlah daun, jumlah akar, dan panjang akar, pemberian ekstrak buah pisang pada media kultur tidak mendukung pertumbuhan tunas pisang menjadi lebih baik, tetapi sebaliknya. Ini berbeda dengan hasil penelitian Muawanah (2005) dan Hadi (2006) yang menunjukkan bahwa penambahan ekstrak pisang pada media kultur anggrek Dendrobium canayo mendukung pertumbuhan tunas menjadi lebih baik, di mana konsentrasi yang optimum untuk pertumbuhan tunas adalah 100 g/l. Percobaan Afriani juga menunjukkan bahwa jumlah akar kultur anggrek yang paling banyak diperoleh pada media dengan penambahan ekstrak pisang 100 g/l. Menurut Gunawan (1992) penggunaan bahan organik sebagai bahan tambahan media dapat berbeda pengaruhnya pada tanaman yang berbeda pula. Dalam penelitian ini tanaman yang dikulturkan adalah pisang, sedangkan penelitian Muawanah (2005), Hadi (2006), dan Afriani (2006) menggunakan tanaman anggrek.

Selain perbedaan jenis tanaman yang diuji, jenis buah pisang yang digunakan sebagai bahan tambahan dalam media kultur juga berbeda. Pada penelitian-penelitian sebelumnya (Muawanah, 2005; Hadi, 2006; Afriani, 2006) jenis pisang yang digunakan adalah pisang Ambon Lumut, sedangkan pada penelitian ini jenis pisang yang digunakan adalah pisang Rajabulu. Jenis bahan berbeda yang ditambahkan pada suatu media kultur akan memberikan pengaruh yang berbeda pula.

Menurut pengalaman banyak orang, buah pisang Rajabulu lebih manis rasanya dibandingkan dengan buah pisang Ambon Lumut. Yang berarti kandungan gula buah pisang Rajabulu lebih tinggi dibandingkan dengan buah pisang Ambon Lumut. Dalam penelitian ini, media kultur telah diberikan gula dengan konsentrasi 30 g/l. Jika konsentrasi melebihi batas yang diperlukan tunas maka akan terjadi toksisitas (keracunan) pada kultur. Diduga gula buah dalam ekstrak pisang Rajabulu ini menjadi faktor pengganggu pertumbuhan tunas. Ini dibuktikan dari hasil pengamatan di mana kultur dengan perlakuan ekstrak pisang dengan konsentrasi makin tinggi maka pertumbuhan tunas makin tidak bagus. Karena media dengan konsentrasi ekstrak buah pisang makin tinggi berarti memiliki kandungan bahan pengganggu (toksik) makin tinggi pula. Inilah yang menghambat pertumbuhan tunas.

Akan tetapi, berdasarkan parameter jumlah tunas, panjang tunas, dan panjang daun, dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pada media dengan konsentrasi ekstrak buah pisang 50 g/l jika dibandingkan dengan kontrol tidak berbeda nyata. Berarti pemberian ekstrak pisang dengan konsentrasi 50 g/l memberikan pengaruh yang sama dengan pemberian vitamin sintetis pada umumnya. Ahmadi (1996) melaporkan bahwa ekstrak pisang pada dosis 50 g/l memberikan pengaruh nilai yang tertinggi terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah akar, panjang akar, panjang daun, dan berat basah planlet anggrek dendrobium dibandingkan dengan dosis yang lebih tinggi. Afriani (2006) juga melaporkan bahwa penambahan ekstrak pisang 50 g/l pada media kultur anggrek Dendrobium menghasilkan planlet paling tinggi dan jumlah daun terbanyak dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Dengan demikian, ekstrak buah pisang 50 g/l dapat menggantikan fungsi vitamin sintetis pada media kultur (MS). Sehingga secara ekonomis, biaya produksi untuk perbanyakan tunas dapat diturunkan.

Dokumen terkait