• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Kabupaten Karanganyar

Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kabupaten Sragen di sebelah utara, Provinsi Jawa Timur di sebelah timur, Kabupaten Wonogiri dan Sukoharjo di sebelah selatan, dan Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali di sebelah barat. Bila dilihat dari garis bujur dan garis lintang, maka Kabupaten Karanganyar terletak antara 7028′ dan

7046′ Lintang Selatan dan antara 110040 dan 110070 Bujur Timur. Ketinggian

rata-rata 511 meter di atas permukaan laut serta beriklim tropis dengan temperatur 220 – 230.

Luas wilayah Kabupaten Karanganyar adalah 77 378.6374 hektar dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 sebesar 840 687 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 416 108 jiwa dan perempuan sebanyak 424 579 jiwa. Kabupaten Karang- anyar terdiri dari 17 kecamatan yang meliputi 177 desa/kelurahan (15 kelurahan dan 162 desa).

Pertanian dengan komoditas bahan makanan merupakan andalan penduduk sebagai produk pemenuhan kebutuhan pokok. Sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Karanganyar cukup berpotensi bagi pengembangan tanaman agro industri. Menurut data Dinas Pertanian, produksi padi sawah selama tahun 2005 di Kabupaten Karanganyar sebanyak 224 381 ton, jagung sebanyak 31 827 ton, ubi kayu sebanyak 5 770 ton, dan kacang tanah sebanyak 6 994 ton. Sebagian tanah di Kabupaten Karanganyar merupakan pegunungan/perbukitan (Jatiyoso, Matesih, Tawangmangu, Ngargoyoso dan Jenawi) yang sangat berpotensi untuk tanaman sayur-sayuran seperti: bawang merah, bawang putih, kobis, sawi, cabe, tomat, buncis dan sebagainya. Tanaman perkebunan rakyat di Kabupaten Karanganyar yang sangat potensial adalah cengkeh yang mencapai luas 2 624.73 hektar dan selama tahun 2005 produksinya mencapai 219 447 ton. Tanaman lain yang juga potensial untuk dikembangkan adalah kelapa, mete, tebu, dan jahe. Untuk tanaman perkebunan besar yang potensial adalah teh dan karet.

Secara umum tata guna lahan di Provinsi Jawa Tengah dan lokasi-lokasi kabupaten terpilih secara rinci dipaparkan pada Tabel 5.1. berikut.

Tabel 5.1. Tata Guna Lahan di Lokasi Kabupaten dan Provinsi Jawa Tengah No. Jenis Penggunaan

Luas (Ha) Kab. Klaten Kab. Grobogan Kab. Karang- anyar Provinsi Jawa Tengah 1. Tanah Sawah 33 494 63 729 22 750 995 972 a. Irigasi Teknis 19 173 18 674 7 508 387 811 b. Irigasi Setengah Teknis 10 455 1 801 7 750 122 346 c. Irigasi Sederhana 2 386 1 669 5.938 133 504

d. Irigasi Desa - 5 506 - 60 680

e. Irigasi Tadah Hujan 1 480 36 079 1 554 288 552 2. Tanah Bukan Sawah 32 062 133 856 54 470 2 258 440 a. Pekarangan/Bangunan 19 920 28 783 20 627 580 976 b. Tegalan/Kebun 6 312 26 266 18 001 752 842 c. Tambak/Kolam 23 d. Padang Rumput - 2 244 2 709 e. Rawa 180 15 - 4 774 f. Hutan Negara 1 450 68 635 9 846 569 926 g. Hutan Rakyat - 2 486 - 69 377 h. Lain-lain 4 179 7 646 2 542 144 773 3. Keseluruhan (1+2) 65 556 197 585 77 220 3 254 412

Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka 2006

Dari Tabel 5.1. di atas, kecuali Kabupaten Klaten umumnya tanah sawah lebih sempit dibandingkan tanah bukan sawah. Proporsi antara tanah sawah dengan tanah bukan sawah ini akan semakin kecil seiring terjadinya konversi tanah sawah menjadi pekarangan atau bangunan lainnya. Pengeringan lahan sawah untuk keperluan lain banyak terjadi di sekitar perkotaan. Kondisi ini kurang meng- untungkan mengingat seringkali lahan yang dikeringkan tersebut merupakan lahan subur dan beririgasi teknis. Kurang efektifnya peraturan daerah ditengarai men- jadi penyebab terjadinya konversi yang kurang mendukung kebijakan di bidang

pertanian. Penurunan luas lahan sawah dibandingkan tahun sebelumnya di Jawa Tengah sebesar 0,02 persen. Penurunan luas lahan sawah ini tentunya akan ber- implikasi pada produksi padi atau tanaman pangan yang lain. Kebijakan pangan nasional mentargetkan sejumlah produksi padi, namun usaha peningkatan produk- tivitas tanaman tersebut mungkin tidak akan mampu menutup kehilangan produk- si akibat konversi lahan.

Kondisi Pertanian

Ketersediaan pangan nasional merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian utama pemerintah pada saat ini. Permintaan bahan pangan se- bagai produk pertanian yang selalu meningkat sejalan dengan pertambahan pen- duduk tidak selalu diimbangi dengan peningkatan produksi secara proporsional. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penyangga pangan nasional terutama beras sehingga produktivitas padi di daerah ini terus dipacu peningkat- annya. Pada tahun 2005 produktivitas padi sawah sekitar 52.29 kuintal per hektar yang mengalami peningkatan 0.48 persen dari tahun sebelumnya. Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman palawija (jagung, kacang kedelai, dan kacang hijau) pada tahun 2005 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Produksi beberapa jenis sayuran (bawang merah, bawang putih, kentang, kubis, cabe, tomat, wortel, kacang panjang, buncis, dan ketimun) selama tahun 2001 – 2005 mengalami fluktuasi. Demikian juga produksi beberapa jenis buah-buahan seper- ti mangga, rambután, duku, kelengkeng, blimbing, durian, pisang, salak, jeruk, nanas, dan pepaya..

Lahan merupakan modal istimewa yang dimiliki oleh petani. Keberadaan lahan pertanian ini dari tahun ke tahun mengalami penurunan luas karena berbagai faktor. Konversi lahan pertanian menjadi kawasan hunian atau tempat tinggal atau untuk industri tidak dapat terhindarkan. Desakan pemenuhan kebutuhan me- nyebabkan petani harus melepaskan asset utamanya (lahan sawah) untuk diguna- kan keperluan yang lain. Berdasarkan Sensus Pertanian Tahun 2003 mengenai banyaknya rumah tangga pertanian dan luas lahan yang dikuasai disajikan pada Tabel 5.2. berikut.

Tabel 5.2. Banyaknya Rumah Tangga Pertanian Menurut Luas Lahan yang Dikuasai dan Lokasi Penelitian

No.

Luas Lahan Pertanian

(Hektar)

Banyaknya Rumah Tangga Kab. Klaten Kab. Grobogan Kab. Karang- anyar Provinsi Jawa Tengah 1. Lahan Sawah a. < 0.50 77 248 164 540 63 220 2 379 895 b. 0.50 – 0.74 9 618 20 542 10 462 275 878 c. 0.75 – 0.99 1 744 3 681 1 645 55 332 d. 1.00 – 1.49 2 013 4 649 529 78 630 e. 1.50 – 1.99 116 1 019 88 16 325 f. > 2.00 94 2 006 337 23 941 g. Tidak Menguasai 43 421 58 210 42 528 1 433 935 h. Jumlah 134 254 254 647 118 809 4 263 936

2. Lahan Bukan Sawah

a. < 0.50 60 167 74 199 56 190 2 177 678 b. 0.50 – 0.74 1 792 5 906 5 463 202 616 c. 0.75 – 0.99 1 060 1 149 3 185 76 196 d. 1.00 – 1.49 460 1 130 3 229 72 655 e. 1.50 – 1.99 86 446 171 20 752 f. > 2.00 24 517 176 25 347 g. Tidak Menguasai 70 665 171 300 50 395 1 688 692 h. Jumlah 134 254 254 647 118 809 4 263 936

Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka 2006

Dalam menjalankan usahanya, petani berada pada resiko dan kondisi ke- tidakpastian yang tinggi. Selain keterbatasan sumberdaya yang dimiliki, petani juga dihadapkan pada kondisi alam yang tidak menentu, serta kondisi lingkungan sosial yang kurang mendukung. Permasalahan muncul apabila kondisi yang di- hadapi tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Petani di lokasi penelitian, seperti halnya petani lain di Indonesia, menghadapi berbagai permasalahan. Per- masalahan pertanian yang secara riil dihadapi petani tergambar melalui wawan-

cara dengan tokoh masyarakat di tiga lokasi penelitian, secara rinci dipaparkan dalam Tabel 5.3.

Tabel 5. 3. Macam dan Prosentase Permasalahan Petani Menurut Lokasi

Permasalahan Lok I (n = 18) Lok II (n = 18) Lok III (n = 18) Kese- luruhan (%) n % n % n %

1. Keterbatasan air irigasi 12 67 8 44 9 50 60 2. Harga pupuk dan

saprotan yang tinggi

8 44 5 28 4 22 35

3. Distribusi pupuk buruk 2 11 8 44 4 22 29 4. Harga jual produk rendah 3 17 7 39 4 22 29

5. SDM Petani rendah 1 6 4 22 4 22 19

6. Modal usaha yg terbatas 1 6 3 17 2 11 13

7. Penyuluh kurang 1 6 1 6 4 22 13

8. Muncul hama tanaman 3 17 1 6 1 6 10

9. Sarana produksi kurang 1 6 - 0 3 17 8

10.Budidaya tan. buruk 1 6 2 11 - 0 6

11.Lahan sempit - 0 1 6 1 6 4

12.Informasi pert. kurang 1 6 1 6 - 0 4

13.Pengolahan produk - 0 0 0 1 6 2

14.Musim tdk menentu - 0 0 0 1 6 2

Keterangan:

- Lokasi I = Kab. Klaten, Lokasi II = Kab. Grobogan, Lokasi III = Kab. Karanganyar

Berdasarkan pada Tabel 5.3. dapat dijelaskan bahwa permasalahan-per- masalahan yang dihadapi petani antar lokasi penelitian berbeda, namun beberapa diantaranya yang relatif menonjol antara lain: masalah air irigasi yang kurang tersedia, harga pupuk yang tinggi dan keberadaannya yang sulit dicari, serta harga jual produk pertanian yang rendah. Permasalahan air irigasi umumnya dirasakan pada saat musim kemarau atau Musim Tanam III. Kondisi ini terjadi karena: ke- terbatasan sumber air, daya dukung waduk dan bendung terlalu rendah dengan areal lahan yang diairi; belum adanya sarana pengairan (lahan tadah hujan). Be- lum efektifnya kelembagaan pengelola irigasi, baik pemerintah maupun petani, menyebabkan timbulnya masalah distribusi air irigasi. Keterbatasan air diatasi oleh petani dengan membuat sumur bor (pantek) dan menggunakan mesin diesel untuk mengairi lahan, di beberapa tempat petani menyesuaikan musim dengan menanam komoditas yang sesuai, seperti: palawija dan hortikultura.

Harga pupuk dan sarana produksi lain, seperti: pestisida, benih, yang relatif mahal dirasakan petani karena tidak sebanding dengan nilai jual produk pertanian yang dihasilkan. Harga ini semakin melambung di saat ketersediaan pupuk di pasaran semakin langka. Pemasaran pupuk kimia pada saat ini menggunakan sistem tertutup, dengan menyalurkan pupuk tersebut melalui jalur pemasaran yang ditunjuk berdasarkan perkiraan kebutuhan petani, yaitu: komoditas dan luas lahan pertanian yang akan ditanami. Sering terjadi kelangkaan pupuk di pasaran atau daerah tertentu. Kondisi ini diduga disebabkan oleh distribusi yang tidak tepat waktu, adanya penyelewengan penyaluran pupuk untuk penggunaan lain atau ke daerah lain, serta kebiasaan penggunaan pupuk secara berlebih (tidak sesuai dosis anjuran). Pendapat skeptis menduga, pupuk banyak diekspor ke luar negeri.

Permasalahan rendahnya sumberdaya petani tercermin dari beberapa hal, yaitu: sempitnya lahan usahatani, kurangnya modal usaha, kurangnya kemampuan mengatasi permasalahan budidaya tanaman, serta keterbatasan akses terhadap in- formasi pertanian yang diperlukan. Kurangnya dukungan kelembagaan pertanian, seperti: kelembagaan keuangan, kelembagaan pemerintah, kelembagaan penyu- luhan, dan kelembagaan petani. Petani masih sulit memperoleh kredit yang berbunga rendah, petani tidak berdaya dalam menghadapi kelangkaan pupuk, harga jual produk yang rendah, petani belum mampu mengembangkan usaha- usaha pertanian (off-farm) selain produksi, dan masih banyak ketidakmampuan petani yang lain.

Upaya pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan pertanian dan menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, tercermin dengan dicanangkannya Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) sejak tanggal 11 Juni 2005. Revitalisasi pertanian ini mempunyai agenda, yaitu: membalik tren penurunan dan mengakselerasi pening- katan produksi dan nilai tambah usaha pertanian; peningkatan dan perluasan kapa- sitas produksi melalui renovasi, penumbuhan dan restrukturisasi sistem agribisnis dan penunjangnya (kelembagaan dan infrastruktur); serta peningkatan dan per- luasan kapasitas produksi, diwujudkan antara lain melalui investasi bisnis maupun investasi infrastruktur. Program Departemen Pertanian 2004 – 2009 terkait Revi- talisasi Pertanian meliputi: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Pro-

gram Pengembangan Agribisnis, dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Strategi pembangunan pertanian yang digunakan adalah Panca Yasa, ya- itu: (1) Pembangunan Infrastruktur, (2) Penguatan Kelembagaan Petani, (3) Pe- nyuluhan, (4) Pembiayaan Pertanian, dan (5) Pemasaran Hasil Pertanian.

Berita Advertorial Media Indonesia 7 Nopember 2008 menyebutkan di tahun 2008 pemerintah mengalokasikan dana PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) sebesar 1,1 triliun rupiah yang disalurkan kepada 11.000 Gapoktan di setiap desa, tersebar di 33 provinsi, 388 kabupaten/kota, dan 1.834 kecamatan. Setiap Gapoktan PUAP mendapatkan dana stimulan 100 juta rupiah per desa. Dana tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan produktif budidaya (on-farm) dan kegiatan non budidaya yang terkait dengan komoditas pertanian (off-farm).

Kelembagaan Kelompok Petani

Kelembagaan kelompok petani yang dimaksud dalam penelitian ini men- liputi: kelompok-kelompok petani, yang dibina oleh Departemen Pertanian dan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang dibina oleh Dinas Pengairan. Pada awalnya keberadaan kelembagaan petani ini merupakan implikasi dari pelaksana- an program-program pembangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kelemba- gaan ini dimaksudkan sebagai alat yang penting untuk menjalankan program- program tersebut. Kelembagaan semacam ini, menurut Syahyuti (2003) merupa- kan kelembagaan yang sengaja diciptakan (enacted institution). Ada pemahaman dari pemerintah bahwa kelembagaan merupakan komponen yang penting dalam masyarakat, dan dapat menjadi agent of change.

Pentingnya kelembagaan petani diakui Pemerintah, yang dituangkan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sis- tem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan pada Bagian Kedua Pasal 19 dengan sebutan ’Kelembagaan Pelaku Utama’. Secara rinci disebutkan bahwa: (1) Kelembagaan pelaku utama beranggotakan petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, serta masyarakat di dalam dan di sekitar hutan yang dibentuk oleh pelaku utama, baik formal maupun nonformal; (2) Kelemba- gaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi sebagai wadah

proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia sarana dan prasarana pro- duksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran, serta unit jasa penunjang; (3) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk kelom- pok, gabungan kelompok, asosiasi, atau korporasi; (4) Kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi dan diberdayakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah agar tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang kuat dan mandiri sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan para anggotanya.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Jawa Tengah pada tahun 2007 menyebutkan keberadaan kelembagaan petani di Provinsi Jawa Tengah, yaitu: 29 522 kelompok tani dengan jumlah anggota 2 006 247 orang, kelompok wanita tani sebanyak 1 359 kelompok, pemuda tani sebanyak 651 kelompok, dan petani kecil sebanyak 8 712 kelompok. Selain itu, terdapat kelompok usaha bersama perikanan sejumlah 902 kelompok, kelompok tani hutan rakyat (KTHR) sebanyak 5 115 kelompok, serta Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sebanyak 1 540 buah.

Data Statistik Pertanian Kabupaten Klaten tahun 2005 mencatat selain jumlah kelompok tani yang 1 008 kelompok juga terdapat 58 kelompok wanita tani. Selain itu, di Kabupaten Klaten terdapat kelompok tani menurut jenis sektor, yaitu: Perkebunan sebanyak 510 kelompok, Peternakan sebanyak 64 kelompok, Perikanan sebanyak 11 kelompok, dan lainnya sebanyak 423 kelompok. Kelom- pok lain-lain ini mempunyai bidang usaha: lumbung pangan, koperasi tani, sarana produksi, pemasaran hasil, pembuatan pupuk organik, pembuatan agensia hayati, simpan pinjam, penangkar benih, dan usaha lainnya. Data Kabupaten Grobogan pada tahun 2006 menyebutkan selain kelompok tani yang disebutkan pada Tabel 5.4., terdapat kelompok usaha yang lain seperti: kelompok wanita tani sebanyak 59 kelompok, kelompok pemuda tani sebanyak 9 kelompok, Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) sebanyak 47 buah, dan kelompok P4K sebanyak 218 kelompok.

Pemerintah selalu mendorong dan memfasilitasi kelompok-kelompok pe- tani melalui program-program pembinaan secara rutin atau program-program pemberdayaan yang mengarah pada terciptanya kelompok tani yang mandiri. Ke- lompok petani dikelompokkan berdasarkan tingkat perkembangannya. Penggo- longan kelompok petani oleh Dinas Pertanian didasarkan pada parameter, seperti:

(a) Kemampuan merencanakan kegiatan, (b) Kemampuan melaksanakan dan mentaati perjanjian, (c) Kemampuan memupuk modal dan memanfaatkan pen- dapatan, (d) Kemampuan meningkatkan hubungan yang melembaga dengan KUD, (e) Kemampuan memanfaatkan teknologi dan informasi. Berdasarkan pa- rameter tersebut ditentukan kelas kelompok tani berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu: pemula (0 – 250), lanjut (251 – 500), madya (501 – 750), dan utama (751 – 1000). Penilaian dilakukan oleh Balai Penyuluhan Pertanian setempat.

Berdasarkan kelas kelompok tani yang dikeluarkan oleh Dinas Pertanian kabupaten setempat maka distribusi kelompok tani di lokasi penelitian dapat dikemukakan pada Tabel 5.4. berikut:

Tabel 5.4. Jumlah Kelompok Tani Menurut Tingkat Perkembangannya dan Kabupaten Lokasi Penelitian

No. Lokasi Jumlah Kelompok Tani Jumlah

Anggota Pemula Lanjut Madya Utama Total

1. Kab. Klateniii) 262 482 236 28 1008 82 613 2. Kab. Groboganii) 588 558 230 52 1428 159 884 3. Kab. Karanganyari) 52 245 281 91 669 42 529

Sumber: iii) Data Base Kelompok Tani Hamparan Kab. Klaten Th 2006

ii) Data Inventarisasi Kelompok Tani Kab. Grobogan Th 2006

i)

Data Inventarisasi Kelompok Tani Kab. Karanganyar Th 2006

Selain kelompok tani hamparan atau domisili, terdapat kelompok petani yang kegiatannya dalam pengelolaan air irigasi, yaitu: Perkumpulan Petani Pe- makai Air (P3A). Kelembagaan petani ini mempunyai peran dalam operasional dan pemeliharaan irigasi. Berbeda dengan kelompok tani hamparan atau domisili yang berada di bawah pembinaan Dinas Pertanian, P3A berada di bawah pembinaan Dinas Pengairan. Penilaian terhadap perkembangan P3A/GP3A/IP3A mengguna- kan instrumen yang didasarkan atas 6 (enam) aspek atau kriteria, yaitu: (1) Organi- sasi, mencakup: keberadaan AD/ART, pemahaman AD/ART, kehadiran anggota pada rapat tahunan, dan frekuensi rapat pengurus; (2) Penggunaan pemanfaatan air, mencakup: keberadaan pola dan rencana tata tanam serta realisasinya, keberadaan rencana pembagian air (RPA) dan realisasinya, dan frekuensi pertemuan rutin antara ulu-ulu, P3A dan Mantri Pengairan; (3) Pemeliharaan jaringan, meliputi:

keberadaan program kerja, pelaksanaan program kerja, dan keberadaan rencana perbaikan dan pengembangan jaringan; (4) Keuangan, meliputi: jumlah iuran yang terkumpul dari jumlah anggota yang membayar, realisasi pengeluaran biaya sesuai AD/ART dan program, administrasi keuangan, dan laporan pertangung-jawaban kepada anggota; (5) Kondisi fisik jaringan, meliputi: kondisi bangunan, kondisi saluran, dan kondisi fasilitas penunjang; serta (6) Pembinaan P3A oleh Pemerintah, mencakup: keberadaan pembinaan teknis, kebutuhan dan pemenuhan bantuan tenis, kebutuhan dan pemenuhan bantuan fisik.

Melihat pentingnya keberadaan kelembagaan petani ini, pemerintah selalu mengupayakan mengembangkan kelembagaan petani sejalan dengan berbagai program-program pembangunan di bidang pertanian. Pada saat ini, program- program pemerintah melalui Departemen Pertanian seperti misalnya: PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan), Prima Tani, dan sebagainya, me- merlukan keberadaan kelembagaan petani yang tangguh. Selain institusi depar- temen atau dinas teknis pertanian, tidak jarang departemen atau dinas maupun organisasi non-pemerintah yang lain memerlukan kelembagaan petani dalam pe- nyaluran bantuan ke masyarakat. Tidak jarang pihak-pihak ini mengambil ini- siatif untuk melakukan pembentukan kelembagaan petani baru untuk pencapaian tujuan program yang dilaksanakan. Kondisi-kondisi semacam ini tentunya me- merlukan perhatian bersama agar usaha-usaha memfasilitasi atau memberdayakan kelembagaan petani yang ada menjadi usaha yang efektif dan bersinergi.

Dengan mengadaptasi variabel-variabel kelembagaan kerjasama (Uphoff, 1986) dibuat deskripsi mengenai kelembagaan kelompok petani. Gambaran umum kelembagaan kelompok petani yang ada di lokasi penelitian dapat dikemukakan pada Tabel 5.5. Dilihat dari fungsinya, kelembagaan kelompok petani mem- perlihatkan aktivitas yang relatif beragam. Kelembagaan kelompok petani ada yang memperlihatkan pelaksanaan fungsi secara optimal, namun ada juga yang tidak menunjukkan tanda-tanda aktivitas yang rutin. Umumnya kegiatan yang di- laksanakan relatif beragam, kegiatan yang dilaksanakan selalu mengkombinasikan kegiatan teknis, kegiatan sosial, bahkan kegiatan ekonomi. Rendahnya kapasitas atau kemampuan kelembagaan seringkali menyebabkan kelembagaan tidak dapat

menjalankan fungsinya dengan baik. Kondisi ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan pertanian di tingkat lokal tidak mampu ditangani secara baik.

Tabel 5.5. Deskripsi Kelembagaan Petani Di Lokasi Penelitian

No. Aspek Keterangan

1. Fungsi (functions)

Kelembagaan kelompok petani mempunyai banyak kegunaan (multi-purpose), antara lain: pemakaian air, tanam serempak, pengendalian hama, penyuluhan, arisan, penyaluran kredit/pupuk, gotong-royong, dan sebagainya 2. Struktur

(structure)

Struktur kelembagaan cenderung formal dengan kepe- ngurusan yang ditunjuk oleh pemerintah atau didasarkan pada pilihan anggota

3. Tujuan (objectives)

Umumnya lembaga kelompok petani selain berorientasi pada tujuan teknis, juga berorientasi pada tujuan sosial dan ekonomi, yaitu memupuk rasa kebersamaan antara anggota dan pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Kelembagaan belum mengarah pada tujuan politik. 4. Keanggotaan

(membership)

Keanggotaan didasarkan pada: hamparan usahatani, domisili anggota, atau kesamaan usaha/komoditas yang dikelola. Jumlah anggota tidak menentu, kadang-kadang terlalu besar untuk satu kelompok

5. Inisiatif (initiative)

Kebanyakan kelembagaan kelompok petani dibentuk oleh pemerintah sebagai upaya untuk mencapai tujuan

pembangunan pertanian, hanya sebagian kecil kelembaga- an kelompok petani muncul dari inisiatif petani sendiri 6. Pertanggungan-

jawab

(accountability)

Kegiatan yang dilakukan dalam kelembagaan kelompok petani seringkali untuk memenuhi kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian

Sumber: Analisa Data Primer

Mendasarkan permasalahan pertanian di lokasi penelitian pada Tabel 5.3. menunjukkan bahwa kelembagaan kelompok petani belum menunjukkan kemam- puannya dalam mengakomodasi permasalahan tersebut. Permasalahan pertanian yang ada dapat dikurangi apabila kelembagaan kelompok petani mampu mengem- bangkan kapasitasnya, dengan syarat adanya dukungan dari pemangku kepenting- an dan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan petani. Masalah keterbatasan air irigasi dapat diatasi dengan penguatan P3A sebagai pengelola irigasi yang di- dukung oleh dinas pengairan dan balai-balai terkait. Ketersediaan sarana produksi

yang kurang termasuk pupuk, dapat diatasi apabila petani dapat mengembangkan kelembagaan kelompok petani yang mampu memproduksi sarana produksi alter- natif. Masalah SDM petani yang rendah, informasi pertanian yang kurang, budi- daya tanaman yang buruk, dapat diatasi dengan mengembangkan kelembagaan kelompok petani sebagai wadah pembelajaran. Masalah harga jual produk yang rendah dapat diatasi apabila kelembagaan kelompok petani mampu menyediakan dana atau melakukan pengolahan produk. Kondisi ini dapat terwujud apabila ke- lembagaan kelompok petani sudah mampu mengembangkan diri menjadi kelem- bagaan yang efektif.

Struktur kelembagaan menunjuk pada tata hubungan antar individu atau unit pembentuknya. Kecenderungan sifat formal atau mem-formalkan kelem- bagaan kelompok tani menunjukkan bahwa selama ini pengembangan kelembaga- an yang dilakukan oleh dinas terkait selalu menggunakan pendekatan struktural. Usaha menjadikan kelembagaan kelompok petani sebagai organisasi modern se- hingga mampu menjalankan berbagai peran dan fungsinya seringkali melupakan aspek kultural dari masyarakat. Beberapa kelembagaan kelompok petani bahkan difasilitasi untuk berbadan hukum, namun kurang dalam pengembangan kapasitas individunya sehingga status yang dimiliki tidak ada artinya.

Pada awalnya kelembagaan kelompok petani dibuat untuk memenuhi ke- pentingan atau tujuan program pembangunan dari dinas-dinas terkait. Dalam per- kembangannya, tujuan tersebut berhasil ditransformasi menjadi tujuan petani meskipun tidak seluruhnya. Kondisi ini terlihat dari adanya kesenjangan antara pemahaman anggota terhadap tujuan-tujuan kelompok. Pemahaman anggota ter- hadap tujuan-tujuan kelompok masih rendah, yang dipahami oleh anggota bahwa kelompok akan memperjuangkan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota. Kondisi ini tidak lepas dari pembinaan yang selama ini dilakukan oleh dinas ter- kait yang sering memanipulasi kelompok untuk memenuhi tujuan-tujuan program pembangunan yang tidak jarang sebatas pada tujuan institusi. Umumnya ke- lembagaan kelompok petani selain berorientasi pada tujuan teknis, juga berorien- tasi pada tujuan sosial dan ekonomi, yaitu memupuk rasa kebersamaan antara anggota dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Kelembagaan belum mengarah pada tujuan politis, yaitu menyuarakan aspirasi-aspirasi yang dirasakan anggotanya.

Kelembagaan kelompok petani dibangun di seluruh wilayah admisnistratif desa sehingga seluruh wilayah terbagi habis. Keanggotaan dari kelompok petani terdiri dari penduduk dari wilayah administrasi yang bersangkutan, yang didasar- kan pada: hamparan usahatani, domisili anggota, atau kesamaan usaha/komoditas yang dikelola. Jumlah anggota tidak menentu, kadang-kadang terlalu besar untuk satu kelompok. Besarnya jumlah anggota menjadi penyebab rendahnya interaksi antar anggota. Kegiatan kelompok petani mencoba untuk memperkuat ikatan ho- rizontal anggotanya yang mempunyai jenis kegiatan yang sama.

Pada awalnya keberadaan kelembagaan kelompok petani menjadi sesuatu yang penting bagi pemerintah sehingga pemerintah melalui dinas terkait men- sponsori terbentuknya kelembagaan kelompok petani di desa-desa. Pemerintah melihat kelembagaan kelompok petani merupakan salah satu unsur yang diperlu-

Dokumen terkait