• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. PENDAHULUAN

2.3. Kacang Tanah ( Arachis hypogaea L.)

Kacang tanah yang banyak dibudidayakan di dunia tergolong dalam

spesies Arachis hypogaea dari famili Fabaceae. Spesies Arachis hypogaea terdiri

dari dua subspesies utama yaitu ssp. hypogaea dan ssp. fastigiata. Masing-masing subspesies memiliki dua varietas botani (Singh dan Oswalt 1995). Empat tipe spesies kacang tanah budidaya tersebut adalah :

1. Arachis hypogaeahypogaea hypogaea Linn. 2. Arachis hypogaea hypogaea hirsuta Kohler. 3. Arachis hypogaea fastigiata fastigiata Waldron. 4. Arachis hypogaeafastigiata vulgaris Harz.

Varietas kacang tanah yang dibudidayakan di Indonesia umumnya tergolong ataupun merupakan hasil persilangan antar ssp. hypogaea (tipe

Virginia), fastigiata (tipe Valencia) dan vulgaris (tipe Spanish). A.hypogaea ssp

tanah berbeda dalam morfologi dan fenologi. Tipe Spanish menghasilkan polong lebih cepat dan serempak dibandingkan tipe Virginia. Pola percabangan dan keserempakan tumbuh menentukan respon varietas terhadap periode defisit air (Chapman et al. 1993).

Perbandingan morfologi dari ketiga varietas botani utama dari kacang

tanah dapat dilihat pada tabel berikut (Gibbons et al. 1972 ; Rao 1988):

Tabel 1 Perbandingan morfologi varietas botani Arachis hypogaea

Karakter hypogaea (virginia) fastigiata (valencia) vulgaris (spanish)

Tipe pertumbuhan Procumbent

(sedikit rebah)

Erect (tegak) Erect (tegak)

Percabangan dari batang utama (N) * banyak N+1, N+2, N+3 sangat sedikit N+1 sedikit N+1, N+2

Bunga pada batang utama

Tidak ada ada ada

Pembungaan Satu buku satu

bunga

Satu buku satu bunga

Satu buku beberapa bunga

Jumlah biji/polong 2, 2-3 2-3, 2-4, 3-5 2

Keterangan* N+1 cabang tumbuh dari batang utama (cabang primer), N+2 cabang tumbuh dari cabang primer (sekunder), N+3 cabang tumbuh dari cabang sekunder (tersier)

Daun kacang tanah terdiri dari 4 hingga 5 anak daun. Frekueni stomata

atas dan bawah sebanding ± 300-400 stomata per mm2. Indeks Luas Daun kanopi

kacang tanah dapat mencapai maksimum nilai 4 – 7 pada awal periode pengisian

polong. Mc Cloud et al. (1980) menyatakan bahwa tanaman kacang tanah dapat

meng-intersepsi 95% cahaya matahari pada saat ILD mencapai 3. Hal ini berarti laju pertumbuhan tanaman mungkin mencapai maksimal pada ILD 3 dan kenaikan ILD tidak dapat meningkatkan atau hanya meningkat sedikit pada ILD > 3 (Yoshida 1972).

Laju pertukaran CO2 per luasan lahan per hari (CER) pada saat kanopi

berkembang penuh rata-rata mencapai 6 – 8 g CO2/m2/jam (Boote et al. 1980).

CER meningkat dengan makin berkembangnya daun. Daun pada buku ketiga menghasilkan laju CER lebih tinggi daripada daun yang tumbuh pada buku-buku dibawahnya. Maksimum CER tercapai saat ukuran daun masimum yang tercapai ± 10-15 hari setelah daun membuka penuh.

Laju peningkatan berat kering tanaman (CGR) mencapai maksimum ±

pada 60 – 90 HST dengan rata-rata nilai CGR 19,6 ± 4,2 g/m2/hari (Ketring et al.

1982). Pertambahan berat kering daun dan batang meningkat mengikuti kurva sigmoid hingga maksimum pada 90 – 100 HST. Berat kering akar terhadap berat kering tanaman hanya signifikan pada 2 minggu pertama pertumbuhan. Pada 80 HST berat akar hanya 2-4% dari berat kering tanaman.

Bunga kacang tanah berwarna kuning dan merupakan bunga sempurna. Bunga muncul pada 25 – 30 HST, jumlahnya mencapai maksimum 2 – 4 minggu kemudian untuk kemudian menurun pada periode pengisian biji. Pada bagian pangkal bunga terdapat ovari (bakal biji). Setelah terjadi penyerbukan dari dasar bunga muncul suatu struktur yang disebut ginofor. Ginofor tumbuh memanjang

secara “geonasti”menembus permukaan tanah. Pada kedalaman ± 3 – 8 cm dari

permukaan tanah ginofor berhenti tumbuh, mulai menyerap air dan hara, dan mengembang membentuk polong. Pada kondisi awal bobot kering polong lebih didominasi oleh kulit polong. Biji mulai berkembang setelah polong mencapai ukuran maksimumnya.

Pertambahan jumlah polong awalnya lambat untuk kemudian meningkat

secara linier. Menurut Ketring et al. (1982), laju pertambahan berat kering polong

(PGR) rata-rata dapat mencapai 8,3 ± 2,1 g/m2/hari.

2.3.2. Tahapan Pertumbuhan Kacang Tanah

Kacang tanah mampu menghasilkan 100 – 200 bunga/tanaman (Oentari 2008), tetapi ternyata hanya ± 19 % saja yang berkembang menjadi polong. Pada saat panen sebagian besar polong berada dalam berbagai tahapan dan ukurannya terlalu kecil untuk dipasarkan. Periode pertumbuhan kacang tanah secara garis

besar dapat dibagi menjadi beberapa fase pertumbuhan yang saling overlapping

yaitu fase perkecambahan, fase pertumbuhan vegetatif, fase awal berbunga, fase pembentukan ginofor, fase pembentukan polong, fase pengisian biji, fase pemasakan (Maria 2000).

Famili kacangan (Leguminosae) merupakan penimbun protein dan lignin dalam bijinya sehingga peningkatan hasilnya berhubungan dengan perbaikan laju

menyatakan legum mempunyai sifat “self destruktif” saat sebagian besar N harus ditranslokasikan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan biji. Hal ini juga akan memperpendek periode pengisian biji. Kacang tanah termasuk tanaman dengan respon plastis terhadap lingkungan. Suatu genotipe plastis menguntungkan saat kondisi stress karena mampu berproduksi walaupun total bahan kering sangat sedikit, tapi saat kondisi optimum kebutuhan organ vegetatif akan bahan kering menguat (Squire 1993).

Pertumbuhan kacang tanah dapat dibagi menjadi fase vegetatif dan fase reproduktif. Fase vegetatif dibagi menjadi 3 stadia yaitu perkecambahan, pembukaan kotiledon dan perkembangan daun hingga awal pembungaan (26- 30HST). Fase reproduktif dibagi menjadi 9 stadia yaitu stadia pembungaan (R1), stadia pembentukan ginofor (R2), stadia pembentukan polong (R3), stadia ukuran polong penuh/maksimum (R4), stadia pembentukan biji (R5), stadia biji penuh (R6), stadia pemasakan biji (R7), stadia masak panen (R8) dan stadia polong lewat masak (R9) (Trustinah 1993).

2.3.3. Variasi Hasil

Produktivitas tanaman dapat meningkat dengan memproduksi lebih banyak buah per unit area atau memperbesar ukuran buah. Pada kacang tanah jumlah polong dan ukuran polong (boot 100 biji) adalah faktor penentu hasil (Howell, 2001). Karakter jumlah polong amat dipengaruhi oleh lingkungan dan manajemen sedangkan ukuran buah dipengaruhi oleh sifat genetik (Cahaner dan Ashri 1974).

Jumlah polong merupakan fungsi dari faktor lingkungan dan manajemen termasuk populasi tanaman, jarak tanam, produksi bunga dan ginofor (Howell 2001). Kondisi yang dapat meningkatkan jumlah bunga pada awal periode pembungaan dapat mempengaruhi hasil. Akan tetapi masalahnya adalah rendahnya persentase bunga yang menjadi polong dan jumlah bunga yang dihasilkan tiap-tiap hari sangat bervariasi sehingga banyaknya bunga yang dihasilkan tidak banyak mempengaruhi hasil.

Jumlah ginofor tinggi juga tidak menjamin jumlah polong tinggi karena pembentukan ginofor menjadi polong dipengaruhi oleh temperatur pada siang dan

malam hari. Maksimum pembentukan polong terjadi pada suhu 30 – 33oC sama seperti CGR.

Duncan et al. (1978) menerangkan bahwa adanya variasi hasil antara

empat kultivar kacang tanah di Amerika Serikat dengan tipe pertumbuhan merambat (runner) dan tegak ditentukan oleh tiga proses fisiologi yaitu pembagian asimilat antara bagian vegetatif dan reproduktif (faktor partisi), lamanya periode pengisian biji dan kecepatan pembentukan polong. Makin besar faktor partisi, makin lama periode pengisian biji, dan semakin cepat serta serempaknya pembentukan polong maka makin tinggi hasil yang ditunjukkan

kultivar tersebut. Ketring et al. (1982) menyatakan bahwa karakteristik tanaman

kacang tanah yang menentukan hasil adalah jumlah polong yang terbentuk, partisi asimilat selama periode pengisian polong, dan lamanya pengisian polong.

Duncan et al. (1978) menyatakan bahwa karakter fisiologi yang

menentukan hasil kacang tanah adalah jumlah polong, distribusi asimilat ke

polong tinggi sehingga nilai PGR (Pod Growth Rate) tinggi, dan lamanya periode

pengisian biji. Kultivar kacang tanah dengan peningkatan jumlah polong tertinggi memberikan hasil polong tertinggi. Dengan tidak adanya perbedaan laju peningkatan berat kering tanaman, sehingga fotosintesis potensial diasumsikan relatif sama maka pembagian asimilat yang banyak ke dalam polong dapat mempengaruhi hasil. Peningkatan berat kering polong (PGR) yang relatif sama dapat meningkatkan hasil secara nyata dengan periode pengisian yang lebih lama. Jumlah polong per unit area menentukan perbedaan hasil polong antar

genotipe kacang tanah dan perbedaaan ini dipengaruhi oleh Crop Growth Rate

pada fase R6 – R7 (Phakamas et al. 2008). Proses produksi bahan kering

bervariasi tergantung pada genotipe, kondisi lingkungan dan teknik budidaya yang dilakukan. Howell (2001) menyatakan bahwa jumlah polong merupakan faktor penentu hasil kacang tanah yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan (iklim dan manajemen) sedangkan ukuran polong lebih dipengaruhi sifat genetik. Perubahan alokasi karbon (fotosintat) dalam tanaman yang mengalami stress tumbuh dapat disebabkan adanya hambatan dalam “floem loading” sukrosa atau rendahnya

kapasitas sink (Khanna-Chopra 2000). Pemahaman tentang perbedaan produksi

penting dalam upaya mengembangkan kultivar berdaya hasil tinggi yang stabil atau teknik-teknik budidaya yang dapat dilakukan.

3. BAHAN DAN METODE

Penelitian ini terbagi atas dua percobaan. Percobaan pertama dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai kapasitas dan aktivitas

source dan sink dengan mengamati beberapa varietas kacang tanah, baik lokal, hasil persilangan maupun hasil introduksi. Percobaan kedua dimaksudkan untuk mengetahui pergerakan aliran karbon dalam tanaman kacang tanah yang berbeda

kapasitas dan aktivitas source-sinknya.

3.1. Percobaan Kapasitas Source dan Sink Pada Beberapa Varietas Kacang Tanah

Percobaan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :

1. Membandingkan kapasitas dan aktivitas source-sink pada beberapa varietas

kacang tanah lokal, hasil persilangan dan introduksi.

2. Mendapatkan karakter kapasitas dan aktivitas source dan sink yang

mempengaruhi produksi dan pengisian biji

3. Mendapatkan sumber asimilat untuk pengisian biji

3.1.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada dua musim tanam, yaitu pada bulan Juni hingga September 2007 (Musim Tanam (MT) 2007) dan bulan Februari hingga Juni 2010 (MT-2010). Pada MT-2007, penelitian dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Cikarawang, sedangkan penelitian pada MT-2010 dilakukan di KP Leuwikopo. Kedua lokasi penelitian terletak pada ketinggian ± 250 m di atas permukaan laut (dpl) dengan tipe tanah Latosol. Penelitian dilakukan di dua lokasi dan dua MT, karena produktivitas tanaman dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuh. Kondisi agroklimat selama penelitian berlangsung dan status hara tanah sebelum tanam dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Lahan penelitian bertekstur liat dan analisis tanah yang dilakukan sebelum percobaan menunjukkan bahwa kondisi kesuburan hara tanah di KP Leuwikopo lebih baik daripada Cikarawang (Tabel 1). Selama penelitian kondisi cuaca ditempat tanam sesuai dengan syarat tumbuh kacang tanah seperti yang tercantum dalam Van der Mesen dan Somaatmadja, 1992. Pertanaman MT-2010 mendapatkan kondisi curah hujan yang lebih tinggi daripada 2007 (Tabel 3).

Tabel 2 Hasil analisis tanah sebelum penelitian

Analisis Cikarawang (MT-2007) Leuwikopo (MT-2010)

Nilai Kriteria Nilai Kriteria

pH (H2O) 5,90 Agak masam 6,40 Agak masam

C-organik (%) 1,44 Rendah 3,19 Tinggi

N-total (%) 0,15 Rendah 0,28 Sedang

Ca (me/100g) 7,73 Sedang 5,25 Rendah

P (ppm) 1,70 Sangat rendah 18,80 Sangat tinggi

K (me/100g) 0,26 Rendah 0,38 Sedang

Keterangan : Kriteria berdasarkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1983

Pengamatan-pengamatan lanjutan dilakukan di Laboratorium Pasca Panen, Laboratorium Teknik Mikro dan Laboratorium Biologi Molekuler di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Analisis kandungan

karbohidrat non-structural dilakukan di Laboratorium Jasa Analisis Pangan,

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.

Tabel 3 Rata-rata kondisi agroklimat per bulan pada saat penelitian

Bulan Curah Hujan

(mm/bulan) Hari Hujan (hari) Lama Penyinaran dalam 8 jam (%) Suhu Rata- rata (oC) MT2007 Juni Juli Agustus September 274 134 248 206 21 12 15 12 76 86 89 90 25,6 25,6 25,4 26,0 MT2010 Februari Maret April Mei Juni 461 673 527 331 303 23 26 21 18 18 68 54 54 54 50 25,9 25,1 25,8 26,7 25,9

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor

3.1.2. Bahan dan Alat

Untuk mendapatkan keragaman pola pertumbuhan digunakan 12 varietas nasional yang telah dilepas dalam kurun waktu 1950 hingga 2003 sebagai bahan tanam. Deskripsi varietas-varietas yang digunakan disajikan dalam Lampiran 1.

Untuk menyediakan tambahan hara digunakan 100kg/ha Urea, 200 kg/ha SP18, 100 kg/ha KCL dan 500 kg/ha Dolomit. Pestisida berbahan aktif

karbofuran, deltametrin dan mankozeb digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.

Peralatan yang digunakan selain peralatan budidaya adalah mistar, timbangan analitik dan oven pengering. Untuk pengamatan klorofil digunakan gunting dan kotak pendingin untuk membawa daun segar, sedangkan pengamatan stomata menggunakan kaca preparat, pewarna kuku transparan, selotip dan mikroskop.

3.1.3. Pelaksanaan

Sehari sebelum penanaman lahan ditaburi Dolomit. Benih ditanam dengan jarak tanam 40cm x 20cm (MT-2007) dan 40cm x 10cm (MT-2010). Seluruh dosis pupuk Urea, SP36 dan KCl diberikan saat tanam.

Serangan hama dan penyakit diupayakan serendah mungkin dengan penggunaan pestisida pada awal tanam serta penyemprotan 2 minggu sekali mulai dari 5 Minggu Setelah Tanam (MST) hingga 10 MST. Pertanaman juga diupayakan bersih dari gulma selama 5 minggu pertama dengan melakukan penyiangan secara manual. Setelah 5 minggu, pertanaman tidak disiang lagi karena dikhawatirkan ginofor yang telah masuk ke dalam tanah akan terganggu dengan kegiatan penyiangan ini. Pada umur tanaman 4 MST dilakukan pembumbunan dalam upaya agar ginofor yang terbentuk dapat dengan mudah menembus tanah dan membengkak membentuk polong.

Panen dilakukan serempak pada umur 100 MST. Tanaman dipanen dalam

ubinan berukuran 1m2 yang diambil 2 kali pada tiap unit petak percobaan.

3.1.4. Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan pada karakter kapasitas

dan aktivitas source serta kapasitas, aktivitas dan kekuatan sink. Enam varietas

dengan kapasitas dan aktivitas source-sink berbeda kemudian digunakan untuk

pengamatan kandungan karbohidrat non-struktural (Total Non-struktural Carbohydrate = TNC) dalam batang dan daun untuk mengukur pengaruh kadar TNC pada pengisian biji.

3.1.4.1. Kapasitas dan Aktivitas Source

Kapasitas source adalah banyaknya bagian tanaman yang mampu

berfotosintesis sebelum dan selama periode pengisian biji, sedangkan aktivitas

source adalah laju/kecepatan tanaman menghasilkan asimilat yang kemudian disimpan atau terukur dalam bobot keringnya. Yang dimaksud dengan periode pengisian biji dalam percobaan ini mengacu pada fase pertumbuhan kacang tanah R2 hingga R8 (Trustinah 1993). R7 dan R8 dimasukkan kedalam periode pengisian biji dikarenakan pola pertumbuhan kacang tanah yang semi determinate sehingga diduga ada pengisian biji setelah fase R6 (fase biji penuh). Pengamatan

kapasitas source dilakukan dengan melakukan pengukuran bobot kering batang,

daun, kandungan klorofil, kerapatan stomata, Indeks Luas Daun (ILD), percabangan dan tinggi batang utama. Pengamatan aktivitas source dilakukan dengan menghitung laju pertambahan luas daun, Laju Akumulasi Bersih (LAB) dan laju pertambahan bahan kering atau Laju Tumbuh Tanaman.

Pengukuran kandungan klorofil dilakukan pada MT-2007. Satu contoh daun yang terletak pada buku ketiga dari tunas batang utama (daun ketiga), yang terbuka dan tidak terserang hama dan penyakit dipetik pada 42 dan 70 HST. Pengambilan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 8.00 – 9.00. Kandungan klorofil total diukur dengan metode Mass-Spektrofotometri.

Pengukuran kerapatan stomata pada permukaan bagian atas dan bawah daun dilakukan pada MT-2010. Pengamatan karakter ini dilakukan pada umur tanaman 70HST pada 5 tanaman contoh per petak percobaan. Untuk pengamatan stomata ini, dipilih satu anak daun dari daun ketiga yang tidak terserang penyakit. Permukaan daun atas dan bawah diolesi cairan aseton kemudian ditempeli selotip. Selotip kemudian dilepas dengan cepat dan dilekatkan pada gelas preparat. Stomata yang tercetak pada selotip dihitung dengan menggunakan mikroskop

cahaya. Jumlah stomata/mm2 diperoleh dengan menkonversi jumlah stomata

dalam luasan bidang pandang ke milimeter persegi.

Pengukuran bobot kering batang, daun, akar, ginofor, polong, Indeks Luas Daun (ILD) dilakukan dengan melakukan destruksi dua hingga tiga tanaman contoh dari bagian tengah petak. Destruksi pada MT-2007 dilakukan pada 26 HST (R1, periode sebelum berbunga), 42 HST (R3, periode pembentukan

polong), 70 HST (R6, periode akhir pengisian biji) dan 91 HST (R8, periode pemasakan jelang panen). Pada MT-2010 destruksi dilakukan pada waktu 50% tanaman berbunga, 42, 56 (R5, periode awal pengisian), 70 dan 84 HST (R7, periode awal pemasakan).

Setelah destruksi tanaman kemudian dibersihkan dan dipisahkan menjadi daun, batang, ginofor dan polong. Sebelum dikeringkan, daun diukur dahulu luas daunnya dengan menggunakan metode Gravimetri. Pada MT-2007, untuk pengukuran ILD hanya menggunakan luasan 10 daun/tanaman sebagai contoh, sedangkan pada MT-2010, pengukuran ILD menggunakan seluruh daun yang dihasilkan tanaman pada saat pengamatan dilakukan. Daun, batang, ginofor dan polong kemudian dikeringkan dalam oven selama dua hingga tiga hari pada suhu

70oC untuk kemudian ditimbang bobot kering setiap bagiannya.

Nilai ILD, Laju Akumulasi Bersih dan Laju Tumbuh Tanaman dihitung dengan menggunakan rumus seperti yang tercantum dalam Brown (1984) yaitu: ILD = Luas daun/tanaman

Jarak tanam

LAB = ln LDt2-ln LDt1 x (W2-W1) ,dimana LD = Luas daun

(t2 – t1) LDt2-LDt1 W = bobot kering tanaman

t1 dant2 = waktu

pengamatan

LTT = (W2 – W1) x ___1_____ (t2 - t1) jarak tanam

Pengamatan jumlah cabang dan tinggi batang utama dilakukan pada MT- 2010. Pengamatan jumlah percabangan dilakukan pada 42, 56, 70 dan 84 HST sedangkan tinggi batang utama dilakukan pada semua tanaman contoh yang

dipanen dalam ubinan seluas 1m2.

3.1.4.2. Kapasitas, Aktivitas dan Kekuatan Sink

Kapasitas sink diartikan sebagai ukuran besarnya sink yang dapat diisi oleh asimilat, aktivitas sink diartikan sebagai laju pengisian polong/biji. Pengamatan kapasitas sink terdiri dari jumlah bunga, jumlah ginofor, jumlah dan bobot polong serta bobot 100 biji, sedangkan aktivitas sink diukur dari Laju Tumbuh Polong. Kekuatan sink menggambarkan dominansi sink untuk

mendapatkan asimilat, dan diukur dari nilai koefisien partisi (partitioncoefficient) dan persentase polong penuh.

Jumlah bunga dihitung setiap dua hari sekali sejak tanaman berumur 42 HST hingga 70 HST pada 5 tanaman contoh/petak percobaan. Jumlah ginofor dan polong muda dihitung dari tiap tanaman yang didestruksi.

Jumlah dan bobot polong diamati pada saat panen. Pengamatan meliputi jumlah dan bobot polong per tanaman saat panen jumlah dan bobot polong yang terisi penuh biji, jumlah dan bobot polong yang tidak terisi penuh biji (polong ½ penuh) serta jumlah dan bobot polong cipo. Polong penuh adalah polong yang setelah dikeringkan dan dikupas, biji mengisi penuh ruang bagian dalam polong. Polong ½ penuh adalah polong yang setelah dikeringkan dan dikupas maka biji hanya mengisi kira-kira separuh ruang dalam polong atau kurang. Polong cipo adalah polong yang setelah dikeringkan berubah mengerut dan hampir tidak berbiji. Kriteria polong penuh, polong ½ penuh dan cipo dapat dilihat pada Lampiran 2. Bobot 100 biji didapatkan setelah polong dalam satu ubinan dikeringkan dan dibijikan.

Laju Tumbuh Polong dihitung sebagai selisih bobot kering polong pada saat panen dengan bobot polong muda pada periode pengisian biji (42 HST pada MT-2007 dan 56 HST pada MT-2010). Rumus yang digunakan untuk menghitung Laju Tumbuh Polong sama dengan rumus untuk menghitung Laju Tumbuh Tanaman tetapi dengan mengganti bobot kering tanaman dengan bobot kering polong.

Koefisien partisi merupakan rasio dari nilai LTP dan LTT pada 42 HST

(MT-2007) atau 56 HST (MT-2010) (Duncan et al. 1978). Persentase polong

penuh merupakan perbandingan jumlah polong yang terisi penuh biji dengan total jumlah polong/tanaman pada saat panen. Persentase polong penuh disamping untuk mengamati kekuatan sink juga untuk mengamati kemampuan pengisian varietas.

3.1.4.3. Translokasi Asimilat

Translokasi asimilat diamati dengan mengukur kandungan total karbohidrat non-struktural (Total Non-structural Carbohydrate = TNC) pada

batang dan daun. Pengamatan hanya dilakukan pada tanaman dari KP Cikarawang (MT-2007).

Pengukuran dilakukan dengan mengambil dua tanaman contoh dari setiap petak percobaan pada 42 dan 70HST. Kedua tanaman contoh tersebut dipisahkan

menjadi batang, daun, akar, ginofor dan polong, dikeringkan 70oC selama 48 jam

dan digiling halus. Kandungan karbohidrat total dan karbohidrat terlarut (TNC)

diukur dengan menggunakan metode pengukuran karbohidrat by-difference.

3.1.4.4. Indeks Panen dan Produktivitas

Panen pada MT-2007 dilakukan pada umur tanaman 100 HST, sedangkan pada MT-2010 dilakukan pada umur 105 HST. Panen dilakukan dalam ubinan

1m2 yang dilakukan dua kali pada tiap unit percobaan. Tanaman dipisahkan

menjadi brangkasan dan polong. Masing-masing ditimbang dan dikeringkan selama 3-5 hari. Pengamatan yang dilakukan meliputi Indeks panen dan produktivitas polong dan biji per tanaman dan per hektar.

Indeks Panen merupakan rasio antara bobot kering polong dengan keseluruhan bobot kering tanaman (tajuk dan polong). Produktivitas polong dan biji per tanaman merupakan hasil rata-rata bobot kering polong dan biji sejumlah tanaman dalam ubinan. Produktivitas polong dan biji per hektar diperoleh dari konversi bobot kering polong dan biji ubinan ke dalam hektar.

3.1.5. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perlakuan varietas dalam masing-masing musim tanam disusun menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan 3 ulangan. Data yang terkumpul dianalisis dengan tujuan untuk dapat mengelompokkan varietas-varietas yang digunakan berdasarkan karakter-karakter terpilih. Data dari masing-masing musim tanam diolah ragamnya dan apabila hasilnya menyatakan adanya perbedaan antara perlakuan/varietas maka dilakukan uji lanjut DMRT dengan taraf 5%.

Untuk menentukan kecenderungan pengaruh genetik atau pengaruh lingkungan terhadap masing-masing karakter yang diamati dilakukan analisis untuk menduga besaran ragam genetik dan ragam lingkungan pada masing- masing musim tanam, kemudian dilakukan pula analisis ragam gabungan dengan

ulangan tersarang dalam lokasi/musim tanam. Analisis ragam gabungan dilakukan untuk memilih karakter-karakter yang dapat diperbandingkan antar varietas. Model analisis ragam pada masing-masing musim tanam dan analisis ragam gabungan menurut Gomez dan Gomez (2007) dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.

Tabel 4 Analisis ragam pada tiap musim tanam Sumber

Keragaman

Derajat Bebas Kuadrat Tengah E(KT)

Ulangan Varietas Galat r-1 g-1 (r-1)(g-1) M3 M2 M1 σ2 e + r σ2g σ2 e

Keterangan : Ragam lingkungan (σ2e) = M1 Ragam genetik (σ2g) = (M2 – M1)/r

Tabel 5 Analisis ragam gabungan dua musim tanam Sumber

Keragaman

Derajat Bebas Kuadrat Tengah E(KT)

Lokasi Ulangan/lokasi Varietas Lokasi * Varietas Galat gabungan ℓ-1 ℓ(r-1) g-1 (ℓ-1)(g-1) ℓ(r-1)(g-1) M3 M2 M1 σ2 e + r. σ2gℓ +r. ℓσ2g σ2 e + r. σ2gℓ σ2 e

Keterangan : Ragam Lingkungan = M1

Ragam interaksi genetik dan lingkungan = (M2-M1)/r Ragam genetik = (M3-M2)/r. ℓ

Untuk mengetahui pengaruh suatu karakter terhadap karakter lainnya dilakukan analisis korelasi metode Pearson dan analisis lintas. Analisis korelasi akan menunjukkan tingkat keeratan karakter yang digambarkan dari nilai koefisien korelasinya. Nilai koefisien semakin mendekati -1 atau +1 maka tingkat keeratan antara dua karakter semakin kuat, sedangkan semakin mendekati nol maka tingkat keeratan semakin rendah.

Model umum persamaan penduganya adalah Y = α + βX (Gomez dan

Gomez 2007). Nilai koefisien korelasi Pearson dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

r = ____∑ xy____ √(∑ x2) (∑ y2)

Keterangan : x dan y adalah karakter-karakter yang diduga memiliki hubungan

Apakah suatu karakter memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap karakter lainnya didapatkan dengan melakukan analisis lintas (Rohaeni 2010). Analisis lintas akan menjelaskan seberapa besar pengaruh langsung atau

Dokumen terkait