• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketengikan minyak goreng dapat diketahui melalui bilangan peroksida sebagai indikatornya. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, kadar bilangan peroksida sampel minyak goreng yang diambil dari pedagang S1 adalah sebesar 8,91 mek O2/kg. Kadar bilangan peroksida sampel minyak goreng yang diambil dari pedagang S2 adalah sebesar 15,01 mek O2/kg dan merupakan kadar tertinggi di antara yang keempat lainnya. Kadar bilangan peroksida sampel minyak goreng yang diambil dari pedagang S3 adalah sebesar 9,57 mek O2/kg. Kadar bilangan peroksida sampel minyak goreng yang diambil dari pedagang S4 adalah sebesar 5,48 mek O2/kg dan merupakan kadar terendah di antara yang keempat lainnya. Kadar bilangan peroksida sampel minyak goreng yang diambil pedagang S5 adalah sebesar 8,77 mek O2/kg. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa kadar bilangan peroksida pada minyak goreng sampel dari pedagang S2 adalah kadar tertinggi yaitu sebesar 15,01 mek O2/kg dan sudah melebihi nilai ambang batas dalam SNI 01-3741 Tahun 2013. Namun demikian, walaupun kadar bilangan peroksida pada sampel minyak goreng dari S1, S3 dan S5 belum melebihi nilai ambang batas, nilainya cukup tinggi dan hampir mendekati nilai ambang batas.

Secara umum juga, kelima pedagang ini memiliki karakteristik yang hampir sama, di mana semuanya memiliki kebiasaan menggunakan minyak goreng bekas penggorengan sebelumnya, tidak memisahkan antara minyak bekas dengan baru pada saat penggantian minyak, tidak menggunakan minyak goreng berstandar SNI. Mereka juga tidak ada yang tahu bahwa batas maksimal penggunaan minyak goreng adalah dua kali, bahkan pedagang gorengan S2 yang sama sekali tidak pernah mengganti minyak selama berdagang. Anggapan mereka ketika minyak masih dalam keadaan jernih walaupun berulang kali pakai, minyak tersebut masih dalam kondisi baik. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab kadar bilangan peroksida pada sampel minyak yang diambil dari pedagang gorengan di lokasi S2. Selain itu, tidak satupun dari pedagang ini yang mengetahui bahwa kontak langsung antara minyak dengan udara dapat mempercepat terjadinya proses ketengikan minyak, sehingga jika mereka menggunakan penutup saat penyimpanan minyak goreng, hanya untuk menghindari tumpahnya minyak tersebut. Namun demikian, seluruh pedagang gorengan ini mengetahui bahwa dengan menggunakan minyak bekas untuk menggoreng sama halnya dengan memakan zat beracun yang dibawa pada saat gorengan tersebut dikonsumsi dan berbahaya bagi kesehatan.

Minyak goreng curah merupakan minyak goreng yang dalam pembuatannya hanya mengalami sekali proses penyaringan, sehingga kadar lemaknya masih lebih tinggi dibandingkan minyak goreng kemasan. Hal itu mengakibatkan minyak goreng curah tidak baik dikonsumsi apabila sudah mengalami pengulangan pemakaian lebih dari dua kali. Faktor lain yang dapat

memengaruhi kadar bilangan peroksida minyak goreng adalah adanya kontak langsung dengan udara yang terkontaminasi bahan tertentu. Hal ini bisa terjadi pada saat pendistribusian minyak goreng dari pedagang ke konsumen. Wadah yang digunakan oleh pedagang untuk menyimpan minyak goreng curah biasanya berupa jerigen atau tong, yang di mana pada saat hendak dituangkan ke plastik, minyak goreng dibiarkan dalam keadaan terbuka selama beberapa saat sehingga mengalami kontak langsung dengan udara bebas

Konsumsi makanan yang diolah dengan minyak goreng yang sudah mengalami ketengikan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan, misalnya radang kerongkongan oleh zat akrolein, radang hati yang diakibatkan oleh jamur aflatoksin, penyumbatan pembuluh darah bahkan mutasi gen oleh asam lemak tidak jenuh yang terkandung dalam minyak goreng yang sudah mengalami ketengikan.

5.3 Hasil Pengolahan Data Kuesioner Penelitian 5.3.1 Data Umum

Data umum pada kuesioner adalah data yang berisi kondisi-kondisi yang bisa saja terkait dengan tinggi rendahnya kadar timbal dan bilangan peroksida pada minyak goreng. Hasil menunjukkan bahwa seluruh responden pedagang menjajakan dagangan gorengannya tepat di pinggir jalan raya yang ramai akan lalu lalang kendaraan bermotor dengan alasan lokasi tersebut sangat strategis, ramai dilalui, mudah dijangkau oleh calon pembeli dan tentunya menjadi kondisi yang bagus untuk mendatangkan keuntungan bagi mereka. Seluruh responden pedagang juga mengakui bahwa mereka menggunakan minyak goreng curah yang dengan mudah dijumpai di pasar tradisional. Hasibuan (2012) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa minyak goreng curah sudah mengandung timbal walau dalam kadar yang masih di bawah nilai ambang batas yang ditentukan dan hal serupa bisa saja terjadi pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan di Kelurahan Kenangan tersebut. Selain itu, Yani (2011) juga menyebutkan bahwa minyak goreng curah sudah mulai mengalami ketengikan, dan hal ini didukung oleh penelitian pihak Balai Riset dan Standardisasi Industri Medan yang menyebutkan kadar bilangan peroksida minyak goreng curah yang sama sekali belum digunakan bahkan mencapai angka 2 mek O2/kg minyak.

Selanjutnya, responden pedagang mengaku bahwa mereka menggunakan menggunakan campuran minyak goreng bekas penggorengan sehari sebelumnya dengan minyak goreng yang baru untuk penggorengan pertama kali setiap hari. Dalam hal ini, pedagang beranggapan bahwa minyak yang digunakan belum begitu buruk kualitasnya, sehingga untuk pemakaian pertama setiap harinya dapat digunakan kembali lalu dicampurkan dengan minyak goreng yang baru. Cara ini juga dinilai dapat menghemat minyak goreng yang akan digunakan untuk menggoreng. Selanjutnya dalam hal pemilihan bahan pembuatan wajan, terdapat 1 responden yang menggunakan wajan yang terbuat dari aluminium, yakni responden S1 (Simpang Jalan Kenari Raya 2) dan 4 responden lainnya menggunakan wajan yang terbuat dari besi. Dalam pemilihan bahan pembuat wajan, responden S1 berpendapat bahwa menggunakan wajan berbahan aluminium akan mempercepat penyebaran panas pada saat proses penggorengan, lebih ringan serta harganya jauh lebih murah. Responden yang menggunakan wajan berbahan besi berpendapat dari segi harga memang lebih mahal daripada

wajan aluminium, namun kualitas lebih baik, sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama.

Untuk hal penggunaan penghalang wajan, dari kelima responden hanya satu responden (S4) yang tidak menggunakannya dengan alasan tidak perlu karena tempat berdagang sudah berada pada satu bangunan, sedangkan empat responden lainnya sudah menggunakan penghalang wajan. Untuk hal menggunakan penutup wadah penyimpanan minyak goreng, seluruh responden sudah melakukannya, namun mereka melakukannya sekedar untuk mencegah minyak tersebut tumpah, bukan untuk mencegah kontak langsung antara minyak goreng dengan udara bebas. Selanjutnya, rata-rata lamanya mereka berdagang setiap hari adalah kuran atau sama dengan 8 jam per hari dengan rentang waktu dari pukul 11.00 WIB hingga 19.00 WIB. Rentang waktu ini sangat tepat bagi mereka, di mana pada saat siang hari, pembelinya adalah para siswa yang pulang sekolah, sore hari pembelinya adalah para pekerja dan alasan lain adalah mereka harus menghabiskan dagangan yang digoreng selama satu hari tersebut.

Seluruh responden melakukan aktivitas penggorengan lebih dari 2 kali untuk setiap penggantian minyak goreng, karena mereka menganggap bahwa warna minyak masih tampak bening, kotoran sisa penggorengan belum begitu banyak, sehingga kualitasnya dianggap masih baik dan layak digunakan hingga perubahan warna tampak benar-benar mencolok. Demikian untuk hal penggantian minyak, mereka semua mengaku tidak pernah memisahkan antara minyak bekas pakai dengan yang baru, langsung saja mereka menambahkan minyak goreng yang baru ke dalam wajan. Hal tersebut mereka lakukan dengan

alasan tidak membuang waktu dan tenaga. Ketika ditanyakan mengenai penggunaan minyak goreng berulang dan hubungannya dengan gangguan kesehatan, seluruh responden menjawab tahu dan gangguan kesehatan yang diakibatkan adalah hanya kolesterol.

a. Pengetahuan Pedagang Mengenai Kadar Timbal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh pedagang memiliki skor yang sama untuk pengetahuan mengenai pencemaran udara, timbal dan kaitannya dengan penggorengan, yaitu sebesar 7 (63,6%) dari total minimal yang ditentukan adalah 8 (75), sehingga dikatakan pengetahuannya tidak baik. Secara rinci, seluruh responden sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan pencemaran udara, apa saja yang termasuk zat pencemar udara, bahkan sudah mengetahui bahwa asap kendaraan bermotor merupakan salah satu zat pencemar udara. Para pedagang juga mengetahui bahwa penghalang wajan sangat diperlukan untuk menghindari bahan makanan yang mereka olah dari zat pencemar tersebut. Namun demikian, tidak satupun pedagang gorengan yang mengetahui bahwa timbal adalah salah satu zat berbahaya yang diemisikan melalui asap kendaraan bermotor yang dapat menempel dengan baik pada minyak goreng yang mereka gunakan. Mereka hanya mengetahui bahwa asap kendaraan bermotor adalah zat yang sangat kotor dan tidak baik bagi kesehatan jika mencemari bahan dagangan mereka, tanpa tahu apa saja zat berbahaya yang terkandung di dalamnya. Demikian halnya dengan perbedaan wajan yang berbahan aluminium dan besi. Tidak satupun pedagang yang mengetahui bahwa wajan yang berbahan aluminium mengandung timbal sebagai zat pelapisnya.

Ketika ditanyakan mengapa memilih wajan berbahan besi, empat dari lima pedagang yang menggunakan wajan berbahan besi memberi anggapan karena wajan tersebut lebih tebal, kuat sehingga lebih tahan lama walaupun harganya jauh lebih tinggi dibanding wajan yang berbahan aluminium, sementara satu pedagang lagi beranggapan bahwa jika menggunakan wajan berbahan aluminium, lebih ringan untuk dibawa dan ketika proses penggorengan, pemanasan lebih cepat terjadi, sehingga proses penggorengan lebih cepat dan bahan yang akan digoreng lebih banyak.

b. Sikap Pedagang Mengenai Kadar Timbal

Hasil penelitian menunjukkan secara rinci bahwa responden S1 memperoleh total skor sebesar 18 (56,25%) dengan pembagian skor 4 pada pernyataan nomor 1 dan 2, yang berarti sangat setuju bahwa lokasi berdagang dan peralatan memasak harus bebas pencemaran asap kendaraan bermotor, skor3 pada pernyataan nomor 3 dan 4, yang berarti setuju bahwa dengan membiarkan wajan terbuka lebar sama halnya dengan memperbesar peluang minyak tercemar, sehingga diperlukan penghalang wajan serta skor 1 pada pernyataan nomor 5,6,7 dan 8, yang berarti tidak setuju untuk menyediakan tempat khusus penyimpanan peralatan memasak, menggunakan wajan berbahan aluminium, memakai minyak bekas penggorengan sehari sebelumnya dan mencampurkan antara minyak goreng bekas dan baru saat hendak mengganti. Responden S2, S3, S4 dan S5 memperoleh skor yang sama yaitu, skor 4 pada pernyataan nomor 1 dan 2, skor 3 pada pernyataan 3, 4 dan 6, serta skor 1 pada pernyataan nomor 5, 7 dan 8 sebesar 20

x100% = 62,5%. Karena 62,5% < 75%, maka dapat ditentukan bahwa sikap responden S2, S3, S4 dan S5 juga tidak baik.

c. Tindakan Pedagang Mengenai Kadar Timbal

Dalam hal ini, tindakan merupakan bentuk nyata perilaku pedagang gorengan dalam menghindarkan makanan olahnnya dari cemaran timbal (Pb). Tindakan yang sesuai dengan prinsip higiene dan sanitasi makanan akan beresiko lebih kecil tercemar polutan baik dari udara, air maupun penjamah itu sendiri. Tindakan ini juga merupakan penentu akhir besar-kecilnya kadar timbal yang terkandung dalam minyak goreng yang digunakan oleh para pedagang gorengan tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden membuka usaha dagangnya di pinggir jalan dengan alasan banyak calon pembeli yang dapat melihat serta membelinya. Seluruh responden juga tidak menggunakan minyak goreng berstandar SNI dan selalu menggunakan minyak bekas penggorengan sehari sebelumnya dengan alasan penghematan, tidak menyediakan tempat menyimpan peralatan masak dan memisahkan minyak baru dan bekas saat penggantian dengan alasan tidak efektif.

Berdasarkan hasil yang menunjukkan bahwa semua responden memiliki perilaku yang tidak baik dalam mengolah jajanan gorengan, sehingga diduga menjadi penyebab tingginya kadar timbal dalam sampel minyak goreng tersebut. Hal ini didukung oleh lokasi berdagang mereka yang berada tepat di pinggir jalan yang ramai akan lalu lalang kendaraan bermotor, sehingga cemaran timbal melalui

asap kendaraan bermotor menjadi lebih tinggi pada minyak goreng yang digunakan oleh pedagang gorengan.

d. Pengetahuan Pedagang Mengenai Kadar Bilangan Peroksida

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya pedagang S1, S4 dan S5 yang mengetahui bahwa ketengikan merupakan proses yang terjadi secara alami pada minyak goreng dan dapat diketahui langsung melalui tampilan fisik, baik itu dari rasa, warna dan bau. Untuk hal pengetahuan bahwa penggunaan minyak goreng secara berulang dan pemanasan dalam jangka waktu yang cukup lama adalah salah satu penyebab yang mempercepat terjadinya ketengikan minyak goreng, hanya tiga dari lima pedagang yang mengetahuinya, yaitu S1, S4 dan S5. Untuk pengetahuan bahwa batas penggunaan minyak goreng adalah tidak lebih dari dua kali, tidak satupun pedagang yang mengetahui. Karena melihat tampilan fisik (warna) minyak goreng yang bisa saja masih tampak jernih walaupun sudah berulang kali pakai, mereka beranggapan minyak tersebut masih dalam kondisi baik.

Tidak satupun para pedagang mengetahui bahwa kontak langsung antara minyak dengan udara bebas sebagai salah satu faktor yang mempercepat proses ketengikan, sehingga dalam hal menggunakan penutup wadah minyak goreng, para pedagang mengatakan hal itu dilakukan hanya untuk mencegah agar minyak tidak tertumpah bukan untuk kontak langsung antara minyak dan udara bebas tersebut. Seluruh pedagang juga mengetahui bahwa menggunakan miyak goreng secara berulang dapat menimbulkan zat berbahaya dalam minyak yang akan terikut pada makanan dan masuk ke dalam tubuh manusia apabila makanan yang

diolah dengan minyak tersebut dikonsumsi. Adapun gangguan kesehatan yang diketahui oleh para pedagang sebagai dampak konsumsi minyak goreng berulang pakai adalah kolesterol.

e. Sikap Pedagang Mengenai Kadar Bilangan Peroksida

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh pedagang sangat setuju bahwa penggunaan minyak goreng secara berulang dapat menurunkan kualitas minyak goreng tersebut. Namun demikian, hal ini tidak sejalan dengan kriteria-kriteria selanjutnya, di mana seluruh pedagang tidak setuju untuk tidak menggunakan minyak goreng bekas pemakaian sehari sebelumnya dengan alasan penghematan dan tidak mencampurkan minyak goreng yang bekas dan baru ketika hendak menggantinya dengan alasan bahwa itu hanya akan membuang waktu mereka dalam menggoreng.

f. Tindakan Pedagang Mengenai Kadar Bilangan Peroksida

Penilaian tindakan pedagang dalam hal ini adalah berkenaan dengan sejauh mana upaya yang dilakukan oleh para pedagang untuk menjaga kualitas minyak goreng yang digunakan untuk mengolah bahan makanan, yang dapat mendukung berkurangnya resiko peristiwa ketengikan minyak goreng.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak satupun pedagang yang menggunakan minyak goreng kemasan dan berstandar SNI. Seluruh pedagang menggunakan minyak goreng curah untuk alasan penghematan, mengingat keseimbangan antara modal dengan harga jual untuk mendapatkan keuntungan. Menurut penelitian Yani (2011) didapat hasil bahwa minyak goreng curah sudah mengalami penurunan kualitas dari segi bilangan peroksida dan hal ini juga

dipertegas oleh pihak Balai Riset dan Standardisasi Industri Kota Medan yang sering menemukan kadar bilangan peroksida pada minyak goreng curah yang belum digunakan bahkan mencapai 2 mek O2/kg. Seluruh pedagang menjaga kondisi wajan selalu dalam keadaan bersih. Seluruh pedagang memakai minyak goreng lebih dari 2 kali pengulangan. Tidak satupun pedagang yang mengganti minyak goreng dengan yang baru untuk penggunaan pertama kali setiap harinya. Seluruh pedagang mencampurkan minyak bekas dengan minyak yang baru saat hendak mengganti minyak goreng dengan alasan jika mengganti dengan cara memisahkan antara minyak bekas pakai dan minyak baru, hal itu akan memakan waktu yang cukup lama bagi mereka dalam proses penggorengan. Dalam penggunaan penutup minyak goreng, seluruh pedagang gorengan mengakui hal itu dilakukan bukan untuk mencegah minyak goreng kontak langsung dengan udara, namun hanya sekedar agar minyak goreng tidak tumpah.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa secara umum semua responden memiliki perilaku yang tidak baik dalam mengolah jajanan gorengan, baik itu dari segi pengetahuan, sikap dan tindakan, sehingga diduga menjadi penyebab tingginya bilangan peroksida dalam sampel minyak goreng tersebut.

BAB VI