• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar Glutathione (GSH)

Dalam dokumen BAB V HASIL PENELITIAN (Halaman 40-48)

Seperti halnya kadar antioksidan total, kadar Glutathione juga diukur pada awal, minggu III, minggu XII dan minggu XX perlakuan. Dari setiap perlakuan dilakukan empat ulangan. Data yang diperoleh kemudian dirata-ratakan dan dilihat standard deviasinya. Tujuan pengambilan glutathione pada awalnya adalah untuk melihat apakah kandungan antioksidan pada bumbu juga dapat meningkatkan kadar glutathione dari hewan coba melalui penambahan glutathione perse atau melalui penghematan proses oksidasi sehingga glutathione yang ada tidak teroksidasi. Gambaran awal kadar Glutathionee dapat dilihat pada tabel 5.1. di atas, dan gambaran rata-rata kadar Glutathionee selama 3 kali pengukuran selanjutnya, pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel 5.15. Sedangkan perbedaan kadar GSH dapat dilihat pada gambar 8.5 (8.5.1 s/d 8.5.3) lampiran 11 dan tabel 5.16.

Tabel 5.15

Kadar Glutathione dalam Serum yang diukur pada Tiga Kali Pengukuran pada Tikus Wistar

PERLAKUAN MINGGU III MINGGU XII MINGGU XX

MEAN±SD* P MEAN±SD** P MEAN±SD*** P

P I 947,19±44,34 0,735 836,77±15,85 0,744 904,51±30,13 0,019 P II 1080,59±75,20 0,792 1277,71±5,01 0,796 1099,53±20,61 0,940 P III 1154,08±19,65 0,795 1337,81±59,95 0,787 1109,70±116,19 0,010 P IV 1154,08±10,48 0,446 1333,98±202,36 0,170 1110,55±90,56 0,355 P V 974,32±14,21 0,752 901,73±119,70 0,293 844,31±20,16 0,430 P VI 1008,24±129,93 0,667 1424,70±18,98 0,785 1152,95±9,59 0,161 * : tingkat homogenitas 0,075 ** : tingkat homogenitas 0,019 *** : tingkat homogenitas 0,003

Pada awal penelitian, rata-rata kadar Glutathionee yang diperoleh dari hewan coba yang berusia 6 minggu adalah 1052 µmol/L dengan standar deviasi 64,5 µmol/L.

Pada minggu III perlakuan (gambar 8.5.1), hewan coba yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan makanan daging babi saja (PV) menunjukkan rata-rata kadar glutahione di bawah 1000 µmol/L, yaitu 947,19 ± 44,34 µmol/L yang merupakan kadar terendah dan 974,32 ± 14,21 µmol/L. Sedangkan yang tertinggi kadar glutahionenya adalah pada binatang yang mendapat makanan daging plus bumbu dosis maksimum (PII) yaitu 1080,59 µmol/L dengan standard deviasi 75,2 µmol/L.

Pada minggu ke XII perlakuan (gambar 8.5.2), kadar rata-rata Glutathione pada hewan coba yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) dan daging saja (PV) masih berada di bawah angka 1000 µmol/L bahkan lebih rendah dari minggu III. Yang terendah adalah hewan coba yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dengan kadar rata-rata 836,77 ± 15,85 µmol/L. Kadar rata-rata tertinggi pada minggu pengukuran ini ditemukan pada binatang yang mendapatkan makanan aslinya (PVI) yaitu 1424,70 ± 18,98 µmol/L, sedangkan binatang yang mendapatkan bumbu (PII-PIV) memproduksi Glutathionee rata-rata antara 1200 sd 1300 µmol/L. Pada minggu XX, kadar rata-rata Glutathionee terendah dijumpai masih pada binatang yang mendapatkan makanan daging saja (PV) yaitu 844,31 ± 20,16 µmol/L dan rata-rata tertinggi dijumpai pada binatang yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII) yang kadarnya mencapai 1099,53 ± 20,61 µmol/L.

Untuk melihat perbedaan kadar rata-rata di masing-masing perlakuan pada minggu-minggu pengukuran, telah dilakukan uji normalitas data dengan uji Saphiro-Wilk dan homogenitasnya dengan uji Lavene pada tingkat kemaknaan α < 0,05. Dari hasil uji tersebut diperolah data-data pada minggu III terdistribusi normal dan homogen, data pada minggu XII terdistribusi normal namun tidak homogen sedangkan data pada minggu XX terdistribusi tidak normal dan juga tidak homogen. Untuk data minggu III dilakukan uji beda dengan menggunakan One Way Annova yang dilanjutkan dengan Post Hoc LSD, begitu juga dengan data minggu XII tapi uji Post Hoc menggunakan Tamhane. Sedangkan pada minggu XII dilakukan uji non parametrik Mann and Whitney.

Pada minggu III, kadar rata-rata Glutathionee pada binatang yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) sangat rendah yaitu 947,19 ± 44,34 µmol/L dan berbeda bermakna dengan binatang percobaan yang memperoleh daging plus penambahan bumbu baik dosis maksimum, optimum dan minimum (PII-PIV) (p<0,05), yaitu masing-masing 1080,59 ± 75,20 µmol/L, 1154,08 ± 19,65 µmol/L, dan 1154,08 ± 10,48 µmol/L. Kadar Glutathionee pada binatang coba yang mendapat tambahan bumbu dosis optimum (PIII) dan minimum (PIV) tidak berbeda diantara keduanya, tetapi secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan binatang coba yang memperoleh makanan aslinya (PVI) yang menunjukkan kadar 1008,24 ± 129,93 µmol/L maupun daging saja (PV) yang kadarnya adalah 974,32 ± 14,21 µmol/L (p<0,05). Kadar rata-rata Glutathionee dari binatang yang mendapatkan daging plus bumbu dosis maksimum (PII) dan makanan aslinya (PVI), memang lebih tinggi dibanding dengan kadar

Glutathionee yang ditunjukkan oleh hewan yang mendapat makanan daging saja (PV), akan tetapi perbedaannya ternyata tidak cukup signifikan (p>0,05). Begitu juga antara binatang yang mendapatkan daging saja (PV), makanan asli (PVI) dan dengan hiperkolesterol (PVI), kadar GSH nya tidak berbeda secara signifikan (p>0,05).

Tabel 5.16

Perbedaan Kadar GSH pada minggu III, XII dan XX di masing-masing Perlakuan

JENIS PERLAKUAN

MINGGU III MINGGU XII MINGGU XX

 P P P PI vs PII -133,41 0,009† -440,95 <0,001†† -195,02 0,029†* PI vs PIII -206,89 <0,001†† -501,04 0,004† -205,20 0,057†* PI vs PIV -206,89 <0,001†† -497,22 0,214 -206,04 0,029†* PI vs PV -27,13 0,561 -64,96 0,999 60,20 0,029†* PI vs PVI -61,05 0,199 -587,93 <0,001†† -248,44 0,029†* PII vs PIII -73,49 0,126 -60,09 0,893 -10,18 0,343 PII vs PIV -73,49 0,126 -56,27 1,000 -11,02 0,886 PII vs PV 106,27 0,320 375,98 0,115 255,22 0,029†* PII vs PVI 72,36 0,132 -146,98 0,005† -53,42 0,029†* PIII vs PIV 0,00 1,000 3,82 1,000 -0,85 0,686 PIII vs PV 179,76 0,001†† 436,07 0,030† 265,40 0,029†* PIII vs PVI 145,84 0,005† -86,89 0,586 -43,24 0,486 PIV vs PV 179,76 0,001†† 432,25 0,203 266,25 0,029†* PIV vs PVI 145,84 0,005† -90,71 1,000 -42,40 1,000 PV vs PVI -33,92 0,469 -522,96 0,040† -308,64 0,029†* *: Kemaknaan berdasarkan nilai uji non paramaterik Mann-Whitney; †: Kemaknaan <0,05, ††: kemaknaan ≤ 0,001, PI: Perlakuan makanan hiperkolesterol; PII: Perlakuan daging plus bumbu dosis maksimum; PIII: Perlakuan daging plus bumbu dosis optimum; PIV: Perlakuan daging plus bumbu dosis minimum; PV: Perlakuan daging saja; PVI: Perlakuan makanan asli tikus; (-): Delta negatif I<II

Pada minggu ke XII, kadar GSH hewan coba yang mendapat daging plus bumbu dosis maksimum (PII) yang kadarnya menjadi 1277,71 ± 5,01 µmol/L mendekati kadar Glutathionee binatang coba yang mendapatkan daging plus bumbu dosis optimum (PIII) dengan kadar menjadi 1337,81±59,95 µmol/L dan

minimum (PIV) yang kadarnya menjadi 1333,98±202,36 µmol/L, sehingga kadar Glutathionee di tiga perlakauan ini menjadi tidak berbeda (p>0,05).

Gambaran kadar Glutathionee pada minggu XX masih mirip dengan minggu XII, tetapi tingkat signifikansinya berubah. Dengan menggunakan uji statistik non parametrik, diketahui bahwa hewan yang memperoleh makanan sumber kolesterol (PI) yang kadarnya meningkat menjadi 904,51 ± 30,13 µmol/L, secara signifikan masih lebih rendah dibandingkan dengan yang memperoleh daging plus bumbu baik yang dosis maksimum (PII) yang kadarnya turun menjadi 1099,53 ± 20,61 µmol/L, dosis optimum (PIII) dengan kadar menjadi 1109,70 ± 116,19 µmol/L maupun minimum (PIV) yang kadarnya menjadi 1110,55 ± 90,56 µmol/L dan makanan aslinya (PVI) 1152,95 ± 9,59 µmol/L (p< 0,05); tetapi secara signifikan masih lebih tinggi dibandingkan dengan kadar IL-6 hewan yang mendapatkan diet daging saja (PV) yang kadarnya menjadi 844,31±20,16 µmol/L (p<0,05). Kadar Glutathionee diantara perlakuan bumbu (maksimum, optimum dan minimum tidak berbeda secara statisktik tetapi yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII) secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan yang memperoleh makanan aslinya (PVI).

Perbedaan kadar di atas dapat dijelaskan oleh dinamika perjalanan kadar glutahione yang diukur pada minggu 0, III, XII dan XX. Hasil pengukuran di masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 5.6 dan tabel 5.17.

Seperti yang disebutkan di atas bahwa kadar GSH pada awal penelitian adalah 1052 µmol/L. Pada minggu ke III kadar GSH pada hewan coba yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI), daging babi saja (PV) dan yang

memperoleh makanan aslinya (PVI) mengalami penurunan. Penurunan yang signifikan dialami oleh hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) (p<0,05) sedangkan hewan yang memperoleh makanan asli (PVI) dan daging saja (PV) penurunannya tidak signifikan (p>0,05).

-♦-PI: Makanan hiperkolesterol, ■-: PII: Daging plus bumbu dosis maksimum, -▲-:PIII: Daging plus bumbu dosis optimum; -x-PIV: Daging plus bumbu dosis minimum; -ж: PV: Daging saja; -●-PVI: makanan asli tikus

Gambar 5.6. Dinamika Perubahan Kadar GSH pada Masing-masing Perlakuan yang Diukur pada Minggu III, XII dan XX

Pada minggu XII, hewan yang memperoleh daging plus bumbu (PII-PIV) baik yang dosis maksimum, optimum dan minimum, Kadar GSHnya meningkat secara signifikan (p<0,05), begitu juga kadar GSH hewan yang memperoleh makanan aslinya (PVI), dimana peningkatannya bahkan melebihi peningkatan GSH hewan yang mendapatkan bumbu. Di pihak lain, kadar GSH hewan yang

memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan daging babi saja (PV) tetap menurun, dan bahkan yang mendapat diet hiperkolesterol (PI) kadarnya menurun secara signifikan (P<0,05), sedangkan yang mendapatkan menu daging babi saja (PV), mengalami penurunan yang tidak signifikan.

Tabel 5.17

Dinamika Perubahan Kadar GSH berdasarkan waktu dan jenis Perlakuan

PERLAKUAN PER MINGGU MEAN I MEAN II  P KOLESTEROL (PI)

MG 0 - MG III 1052,0 947,19 104,9 0,004†

MG III - MG XII 947,19 836,77 110,4 0,003†

MG XII - MG XX 836,77 904,51 -67,7 0,043†

DAGING + BUMBU DOSIS MAKSIMUM (PII)

MG 0 - MG III 1052,0 1080,59 -28,5 0,441

MG III - MG XII 1080,59 1277,71 -197,1 <0,001†† MG XII - MG XX 1277,71 1099,53 178,2 <0,001†† DAGING + BUMBU DOSIS OPTIMUM (PIII)

MG 0 - MG III 1052,0 1154,08 -102,0 0,073

MG III - MG XII 1154,08 1337,81 -183,7 0,004†

MG XII - MG XX 1337,81 1109,70 228,1 0,001††

DAGING + BUMBU DOSIS MINIMUM (PIV)

MG 0 - MG III 1052,0 1154,08 -102,0 0,236 MG III - MG XII 1154,08 1333,98 -179,9 0,048† MG XII - MG XX 1333,98 1110,55 223,4 0,018† DAGING SAJA (PV) MG 0 - MG III 1052,0 974,32 77,7 0,138 MG III - MG XII 974,32 901,73 72,6 0,163 MG XII - MG XX 901,73 844,31 57,4 0,263

MAKANAN ASLI TIKUS (PVI)

MG 0 - MG III 1052,0 1008,24 43,8 0,415

MG III - MG XII 1008,24 1424,70 -416,5 <0,001†† MG XII - MG XX 1424,70 1152,95 271,7 <0,001††

Pada minggu XX, kadar Glutathionee pada hampir semua pengukuran mengalami penurunan kecuali hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) yang justru mengalami peningkatan Kadar yang agak signifikan (p=0,043<0,05). Pada hewan yang memperoleh makanan daging dengan bumbu baik yang dosis maksimum (PII), optimum (PIII) dan minimum (PIV) mengalami penurunan yang sangat signifikan (0,000 ≤ p ≤ 0,001) sedangkan yang memperoleh daging babi saja (PV) mengalami penurunan Kadar tapi tidak segnifikan (p>0,05).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah bumbu babi guling akan meningkatkan kadar GSH pada serum hewan menjadi lebih tinggi dari pada mengkonsumsi daging tanpa disertai bumbu. Hipotesis tersebut dapat dibuktikan, dimana memang kadar GSH serum hewan yang memperoleh bumbu dosis optimum dan minimum secara signifikan lebih tinggi dibanding tanpa bumbu di minggu III, menjadi tidak signifikan berbeda di minggu XII dan mejadi signifikan berbeda di semua dosis pada minggu XX.

GSH adalah bentuk Glutathione yang sudah tereduksi. Disamping itu juga ada kadar Glutathione yang teroksidasi yang beredar di dalam darah, sebagai hasil peredaman atas proses oksidasi dari radikal bebas, yang dikenal dengan istilah GSSG. GSSG kemudian akan direduksi menjadi GSH kembali dengan melibatkan NADPH sebagai katalisator atau sebagai hydrogen donor. Untuk mengetahui mekanisme peningkatan dan penurunan GSH ini disebabkan oleh karena peningkatan kadar dari GSH sendiri atau oleh karena proses oksidasinya yang dicegah maka ketiga kadar ini yaitu GSH, GSSG dan rasio perbandingannya harus

dilihat. Pada penelitian ini dilakukan uji korelasi dengan menggunakan metode nonparametrik menurut Spearman pada ketiga jenis indikator GSH tersebut dan dilihat bedanya antara yang memperoleh bumbu (PII-PIV) dengan tanpa bumbu (PI dan PV). Dari pengukuran tersebut di diperoleh hasil bahwa rasio kadar GSH:GSSG pada kelompok yang memperoleh bumbu berkorelasi negatif dengan kadar GSSG (r= -0,421, p= 0,010) dan tidak memiliki hubungan dengan kadar GSH (r= 0,225, p= 0,187), sedangkan pada kelompok daging saja rasio kadar GSH:GSSG berkorelasi positif dengan GSH (r= 0,902, p= 0,000) dan tidak memiliki keterkaitan dengan GSSG (r=0,410, p= 0,186). Hal ini berarti bahwa peningkatan rasio GSH pada hewan yang memperoleh bumbu terjadi oleh karena berkurangnya GSH yang teroksidasi, sedangkan pada hewan yang tidak mendapatkan bumbu, disebabkan karena peningkatan jumlah GSH yang dibentuk.

Dalam dokumen BAB V HASIL PENELITIAN (Halaman 40-48)

Dokumen terkait