• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sel Busa (Foam Cell)

Dalam dokumen BAB V HASIL PENELITIAN (Halaman 48-55)

Deskripsi jumlah sel busa yang terbentuk pada dinding pembuluh darah hewan Wistar di masing-masing minggu pengukuran disajikan pada Tabel 5.18.

Pada awal penelitian yaitu ketika hewan berusia 6 minggu masih belum menunjukkan adanya sel busa yang terbentuk (tabel 5.1). Tetapi kemudian sel busa sudah mulai terbentuk pada minggu III perlakuan. Jumlah sel busa yang terbentuk ini dihitung secara manual di dalam satu pembuluh darah. Bilamana dalam satu slide ada lebih dari satu pembuluh darah, jumlah sel busa di masing-masing pembuluh darah dihitung, dijumlahkan dan diambil rata-rata dari gabungan jumlah sel busa yang ada dalam beberapa pembuluh darah tersebut. Dari perhitungan tersebut, jumlah sel busa (Foam Cell) yang terbentuk di setiap

minggu pengukuran di masing-masing perlakuan yang berbeda ternyata berbeda-beda. Untuk melihat perbedaan tersebut telah dilakukan uji statistik terhadap rata-rata jumlah sel busa yang terbentuk dari ke 4 ulangan.

Tabel 5.18

Jumlah Sel Busa (Foam Cell) yang terbentuk di Dinding Pembuluh Darah Tikus Wistar pada Tiga Kali Pengkuran

PERLAKUAN MINGGU III MINGGU XII MINGGU XX

MEAN±SD P MEAN±SD P MEAN±SD P

P I 97±9 0,795 133±35 0,308 115±9 0,177 P II 52±13 0,752 53±14 0,617 75±30 0,918 P III 60±17 0,816 33±9 0,677 34±4 0,084 P IV 27±15 0,307 53±4 0,683 40±16 0,749 P V 81±8 0,771 71±20 0,424 77±26 0,695 P VI 24±9 0,676 65±9 0,631 30±15 0,308

Tabel 5.18 menunjukkan jumlah rata-rata sel busa yang terbentuk dari ke empat ulangan untuk setiap perlakuan di minggu-mingu pengukuran. Pada minggu ketiga jumlah sel busa yang terbanyak terbentuknya dijumpai pada hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (97 ± 9) sedang tersedikit di dapatkan pada hewan yang memperoleh makanan aslinya (24 ± 9). Pada minggu XII jumlah sel busa yang terbentuk terbanyak masih tetap di hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (133 ± 35) sedangkan tersedikit dijumpai pada hewan yang memperoleh makanan daging dengan bumbu dosis optimum (33 ± 9). Pada minggu XX jumlah sel busa yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan pada miggu XII dan tetap tertinggi dijumpai pada hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (115 ± 9) dan tersedikit pada hewan yang memperoleh makanan aslinya (30 ± 15).

Dari segi normalitas data dengan menggunakan uji Saphiro Wilk dan homogenitas data dengan uji Lavene ditemukan bahwa semua data yang diukur pada minggu III, XII dan XX di setiap perlakuan menunjukkan distribusi yang normal dan homogen pada tingkat kemaknaan α < 0,05. Uji beda kemudian dilakukan dengan menggunakan uji One Way Annova yang kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc menggunakan LSD pada tingkat kemaknaan p<0,05.

Tabel 5.19

Perbedaan Jumlah Sel Busa yang Terbentuk di Dinding Pembuluh Darah pada Minggu III, XII dan XX di Masing-masing Perlakuan

JENIS PERLAKUAN

MINGGU III MINGGU XII MINGGU XX

 P P P PI vs PII 45 <0,001†† 80 <0,001†† 41 0,008† PI vs PIII 38 <0,001†† 100 <0,001†† 81 <0,001†† PI vs PIV 70 <0,001†† 80 <0,001†† 75 <0,001†† PI vs PV 16 0,082 62 <0,001†† 38 0,011† PI vs PVI 73 <0,001†† 68 <0,001†† 85 <0,001†† PII vs PIII -8 0,384 19 0,142 40 0,008† PII vs PIV 25 0,011† 0 1 35 0,018† PII vs PV -29 0,003† -18 0,179 -2 0,855 PII vs PVI 28 0,005† -12 0,373 44 0,004† PIII vs PIV 32 0,001†† -20 0,142 -5 0,688 PIII vs PV -22 0,023† -38 0,009† -43 0,005† PIII vs PVI 35 0,001†† -32 0,025† 4 0,77 PIV vs PV -54 <0,001†† -18 0,179 -38 0,012† PIV vs PVI 3 0.734 -12 0,633 9 0,49 PV vs PVI 57 <0,001†† 6 0,633 47 0,003†

†: Kemaknaan <0,05, ††: kemaknaan ≤ 0,001, PI: Perlakuan makanan hiperkolesterol; PII: Perlakuan daging plus bumbu dosis maksimum; PIII: Perlakuan daging plus bumbu dosis optimum; PIV: Perlakuan daging plus bumbu dosis minimum; PV: Perlakuan daging saja; PVI: Perlakuan makanan asli tikus; (-): Delta negatif I<II

Perbedaan jumlah sel busa yang terbentuk di masing-masing perlakuan pada minggu-minggu yang berbeda disajikan dalam gambar 8.6 lampiran 11, gamabr 5.7 dan tabel 5.19.

-♦-PI: Makanan hiperkolesterol, ■-: PII: Daging plus bumbu dosis maksimum, -▲-:PIII: Daging plus bumbu dosis optimum; -x-PIV: Daging plus bumbu dosis minimum; -ж: PV: Daging saja; -●-PVI: makanan asli tikus

Gambar 5.7 Dinamika Pembentukan Sel Busa Berdasarkan Waktu dan

Perlakuan

Pada minggu III (gambar 8.6.1), sel busa yang terbentuk paling tinggi dijumpai pada hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) dan yang kedua setelah itu adalah hewan yang mengkonsumsi daging babi saja (P V). Jumlah yang terbentuk di dua perlakuan ini berbeda dengan sangat signifikan dengan jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mendapat makanan daging yang berbumbu disemua dosis (P II-IV) maupun makanan aslinya (PVI) (p<0,05). Jumah sel busa tertinggi yang terbentuk pada kedua perlakuan tertinggi ternyata secara statistik dinyatakan tidak berbeda (p>0,05), begitu juga jumlah sel busa yang rendah yang terbentuk antara hewan yanag mengkonsumsi daging plus bumbu dosis minimum dan makanan aslinya secara statistik dinyatakan tidak

berbeda (p>0,05). Tetapi jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mengkonsumsi daging plus bumbu dosis minimum (PIV) secara statistik dinyatakan signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kedua dosis di atasnya. Sedangkan diantara dosis maksimum dan dosis optimum dinyatakan tidak berbeda.

Keadaan sepertinya agak berbeda pada minggu ke XII (gambar 8.6.2 lampiran 11) tetapi sebenarnya tidak, karena jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mengkonsumsi daging plus bumbu dosis optimum (P III) yang menjadi lebih rendah dibandingkan dosis minimum (PIV) yang dulunya rendah, ternyata perbedaan tersebut secara statistik tidak signifikan. Begitu juga dengan jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mengkonsumsi daging plus bumbu dosis maksimum (P II) (p>0,05). Pembentukan sel busa pada ketiga perlakuan ini secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan pembentukan sel busa pada hewan hiperkolesterol dan hewan yang mengkonsumsi daging saja (p<0,05). Disamping itu perbedaan jumlah tidak signifikan ini dijumpai juga antara hewan yang mengkonsumsi bumbu dosis maksimum (PII) dan minimum (PIV) dengan yang mengkonsumsi makanan aslinya (PVI).

Pada minggu XX (gambar 8.6.3 lampiran 11), jumlah sel busa yang terbentuk masih tertinggi pada hewan yang menkonsumsi makanan hiperkolesterol (PI) dan sangat signifikan berbeda dengan perlakuan lainnya termasuk dengan yang mengkonsumsi daging saja (0,000 ≤ p ≤ 0,011). Pembentukan sel busa pada hewan yang mengkosumsi daging babi plus bumbu

dosis maksimum (PII), walaupun lebih rendah dibandingkan dengan yang mengkonsumsi daging saja (PV) tetapi secara statistik mereka tidak seginifikan berbeda (p > 0,05).

Tabel 5.20

Dinamika Perubahan Jumlah Sel Busa Berdasarkan Waktu dan Jenis Perlakuan

PERLAKUAN PERMINGGU MEAN I MEAN II P

KOLESTEROL (PI)

MG 0 - MG III 0,0 97 -97,0 0,001††

MG III - MG XII 97 133 -36,0 0,576

MG XII - MG XX 133 115 17,7 0,952

DAGING + BUMBU DOSIS MAKSIMUM (PII)

MG 0 - MG III 0,0 52 -52,0 0,022†

MG III - MG XII 52 53 -1,0 1

MG XII - MG XX 53 75 -21,8 0,831

DAGING + BUMBU DOSIS OPTIMUM (PIII)

MG 0 - MG III 0,0 60 -59,7 <0,001††

MG III - MG XII 60 33 26,3 0,003†

MG XII - MG XX 33 34 -0,9 0,89

DAGING + BUMBU DOSIS MINIMUM (PIV)

MG 0 - MG III 0,0 27 -27,3 0,005† MG III - MG XII 27 53 -25,7 0,008† MG XII - MG XX 53 40 13,3 0,126 DAGING SAJA (PV) MG 0 - MG III 0,0 81 -81,3 <0,001†† MG III - MG XII 81 71 10,3 0,408 MG XII - MG XX 71 77 -6,3 0,611

MAKANAN ASLI HEWAN (PVI)

MG 0 - MG III 0,0 24 -24,3 0,003†

MG III - MG XII 24 65 -40,7 <0,001††

MG XII - MG XX 65 30 34,8 <0,001††

Keadaan di atas disebabkan karena jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mengkonsumsi daging saja (PV) dan daging plus bumbu dosis maksimum (PII) pada minggu ke XX mengalami peningkatan (tabel 5.20, gambar 5.7), walaupun meningkatnya tidak signifikan, tetapi memberikan efek beda secara signifikan dengan perlakuan bumbu lainnya (tabel 5.19).Jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mendapat bumbu dosis optimum (PIII) dan minimum (PIV) menjadi rendah dan menjadi tidak berbeda secara signifikan dengan hewan yang memperoleh makanan aslinya (PVI) (p>0,05), tetapi berbeda secara signifikan dengan perlakuan bumbu dosis masksimum (PII) (p<0,05).

Dari sini jelas terlihat bahwa terakumulasinya sel busa secara konsisten tertinggi dijumpai pada hewan makanan hiperkolesterol. Dan hewan yang mengkonsumsi daging babi guling bila dikonsumsi tanpa bumbu memberikan dampak akumulasi sel busa yang lebih rendah secara signifikan tetapi polanya mirip dengan yang mengkonsumsi hiperkolesterol. Bumbu sangat berperan dalam hal menurunkan jumlah sel busa yang terbentuk khususnya hewan yang mendapatkan dosis optimum maupun minimum. Hewan yang mengkonsumsi bumbu dosis maksimum awalnya menunjukkan dampak penekanan tetapi setelah minggu ke XX menunjukkan peningkatan walaupun peningkatannya tidak signifikan. Gambaran perbedaan sel busa di masing-masing perlakuan pada minggu-minggu pengamatan yang berbeda secara visual dapat diamati pada gambar 7.1.1; 7.2.1; 7.3.1, 7.4.1 lampiran 11.

Kalau dilihat hipotesis yang dibuat pada penelitian ini bahwa bumbu babi guling akan menekan terbentuknya sel busa yang diinduksi oleh daging babi

guling, sehingga jumlah sel busa yang terbentuk menjadi lebih rendah bila daging babi guling dikonsumsi dengan bumbunya dibanding tanpa bumbu. Hipotesis ini dapat dibuktikan dengan meyakinkan pada penelitian ini, hanya tingkat kemaknaannya bervariasi di antara dosis yang diberikan dan waktu pengamatan. Perbedaan bermakna ditemukan di semua dosis pada minggu ke III, antara dosis optimum di minggu ke XII dan pada dosis optimum dan minimum di minggu ke XX.

Dalam dokumen BAB V HASIL PENELITIAN (Halaman 48-55)

Dokumen terkait