• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar Sulfat dan Kandungan 3,6-Anhidrogalaktosa

Sulfat merupakan salah satu komponen yang terdapat pada rantai penyusun agar maupun karaginan. Menurut Glicksman (1983), agaropektin pada agar memiliki unit yang sama dengan agarosa, hanya pada unit 3,6-anhidro-L-galaktosa (3,6-anhidro3,6-anhidro-L-galaktosa) diganti dengan L-3,6-anhidro-L-galaktosa bersulfat, sedangkan karaginan merupakan keluarga polisakarida linier bersulfat dari D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang diekstrak dari beberapa jenis alga merah (Glikcsman 1983).

Kadar sulfat rumput laut disajikan pada Tabel 4. U. lactuca memiliki kadar sulfat paling tinggi sebesar 18,63% dibandingkan dengan S. polycystum, E. spinosum dan G. salicornia yang masing-masing 14,51%, 8,44% dan 5,45%. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa jenis rumput laut memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kadar sulfat (p<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan kadar sulfat beberapa sampel diketahui berbeda nyata antar satu dengan yang lain seperti limbah agar, U. lactuca, dan S. polycystum, sedangkan pada G. salicornia, limbah karaginan dan E. spinosum tidak berbeda nyata.

Kadar sulfat pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang mencapai 1,3-5,9% (Ruperez et al. 2002) dan 0,97-1,06% (Marianho-Soriano dan Bouret 2005). Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis rumput laut, lokasi, cuaca dan suhu (Kaehler dan Kennish 1996 dalam Sanchez-Machado et al. 2004). Sulfat merupakan tipe penyusun komponen polisakarida yang berhubungan dengan konsentrasi garam tinggi di lingkungan dan aspek spesifik dalam regulasi ionik (Koareg dan Quatrano 1988 dalam Ruperez 2002). Keberadaan kandungan sulfat yang tinggi

pada rumput laut dapat menurunkan kualitas kekuatan gel agar dan karaginan (Armisen 1995 dalam Marinho-Soriano dan Bourret 2005).

Tabel 4. Kandungan sulfat dan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa rumput laut.

Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama diikuti huruf superscript

Jenis sampel Kadar (%)

Sulfat 3,6-anhidrogalakosa Limbah agar 0,31±0,15a - Limbah karaginan 9,57±1,89c - S. polycystum 14,51±0,14e 2,40±0,11a Ulva lactuca 18,63±1,02d 2,29±0,04a G.salicornia 5,45±0,73b 17,99±0,00c E.spinosum 8,44±0,29bc 3,84±0,00b C.crassa - 2,32±0,14a

yang bebeda (a,b,c,d,e) menunjukkan beda nyata (p<0,05). (-) tidak dilakukan analisis

Kandungan 3,6-anhidrogalaktosa pada setiap jenis rumput laut dapat berbeda, pada Tabel 4 dapat dilihat nilai 3,6-anhidrogalaktosa tertinggi terdapat dalam G. salicornia sebesar 17,99% dan U. lactuca yang mengandung 3,6-anhidrogalaktosa terendah 2,29%. Kadar sulfat akan selalu berbanding terbalik dengan keberadaan 3,6-anhidrogalaktosa. Kandungan 3,6-anhidrogalaktosa pada S. polycystum mencapai 2,4% tidak jauh berbeda dari U. lactuca yang mencapai 2,29%. Kedua jenis rumput laut ini diketahui memiliki kemampuan yang rendah dalam membentuk gel. Penurunan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa selalu disertai dengan penurunan kandungan grup 6-0-metil dan peningkatan residu sulfat (Marinho-Soriano dan Bourret 2005).

Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada kandungan 3,6-anhidrogalaktosa rumput laut (p<0,05) (Lampiran 2). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan U.lactuca, E.spinosum dan G.salicornia tidak berbeda nyata, namun memiliki beda nyata terhadap G.salicornia dan E.spinosum.

3,6-anhidrogalaktosa merupakan komponen penyusun dalam rumput laut merah dan hijau yang berperan dalam peningkatan kekuatan gel agar (Armisen

34

1995 dalam Marinho-Soriano dan Bourret 2005). Kadar 3,6-anhidrogalaktosa yang dadapatkan dalam penelitian Marinho-Soriano dan Bourret (2005) mencapai 0,7-0,84%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan metode penelitian yang digunakan, jenis rumput laut, dan kondisi geografisnya.

4.4 Fraksinasi Polisakarida

Sejumlah polisakarida dari alga laut telah diisolasi dan telah ditemukan struktur kimianya. Pada proses fraksinasi ini dilakukan ekstraksi bertingkat menggunakan beberapa jenis pelarut, yaitu air suhu ruang, air panas, asam dan basa untuk mendapatkan rendemen yang terendapkan serta dilakukan pengamatan bentuk struktur rumput laut menggunakan mikroskop cahaya dan cahaya terpolarisasi.

Rendemen polisakarida didapatkan dari proses ekstraksi bertingkat yang dilakukan menggunakan empat jenis pelarut. Kelarutan dapat dipengaruhi oleh sifat zat terlarut dan pelarut, suhu serta tekanan (Mulijani 2005).

Pada penapisan menggunakan air suhu ruang, jumlah polisakarida yang terlarut bervariasi pada setiap jenis rumput laut yang digunakan, histogram rendemen disajikan pada Gambar 4. Semua jenis rumput laut ini memiliki fraksi polisakarida yang dapat larut di dalam air. E. spinosum memiliki persentase terbesar pada kelarutan menggunakan air suhu ruang mencapai 65,66% dan pada keadaan ini U. lactuca memiliki kelarutan yang rendah hanya mencapai 6,01%.

Pada jenis sampel lain jumlah komponen yang dapat larut mencapai 11,57% pada jenis limbah agar, limbah karaginan 21,19%, S. polycystum 11,39%, U. lactuca 6,01%, dan C. crassa mencapai 7,00%. E. spinosum memiliki hasil ekstrak mencapai 65,66% terlihat lebih kental dari pada sampel lain dan berbentuk gumpalan bening dan rapuh ketika diendapkan menggunakan etanol dan metanol. Rumput laut ini dikenal sebagai sumber iota karaginan, yang dikenal memiliki kemampuan larut dalam air dingin (Angka dan Suhartono 2000, Phillips dan William 2000).

Keterangan : (1) limbah agar, (2) limbah karaginan, (3) E. spinosum, (4) G. salicornia, (5) U. lactuca, (6) C. crassa, (7) S. polycystum.

Gambar 4. Rendemen fraksi polisakarida larut air

Ekstraksi kandungan rumput laut menggunakan air dapat melarutkan sebagian kandungan abu serta karbohidratnya. Garam-garam mineral yang terdapat pada permukaan rumput laut memiliki kemampuan larut dalam air, salah satunya adalah garam natrium yang terdapat dalam jumlah yang melimpah di laut. Komponen karbohidrat rumput laut tersusun atas polimer galakturonan yang saling berhubungan melalui ikatan hidrogen dan glikosidik, semakin panjang rantai polimer yang terbentuk semakin kuat gaya tarik menarik yang terjadi dan semakin sulit untuk larut (Dobbins 1973). Proses pre-treatment dilakukan dengan menepungkan sampel untuk memperkecil ukuran sampel, sehingga mempermudah proses ekstraksi. Agar, kappa karaginan dan lamda karaginan dikenal sebagai poligalakturonan yang sukar larut di dalam air, namun jenis iota karaginan diketahui memiliki kemampuan larut di dalam air.

Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada fraksi polisakarida larut air (p<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan hanya E. spinosum yang memiliki nilai yang berbeda nyata (Lampiran 3).

Analisis yang dilakukan terhadap sifat fisik rumput laut fraksi larut air. Struktur rumput laut yang teramati dari semua jenis rumput laut berbentuk memanjang. Visualisasi struktur rumput laut dapat dilihat pada Gambar 5.

36

Cahaya Cahaya terpolarisasi

Gambar 5. Struktur rumput laut fraksi larut air dengan perbesaran 200x menggunakan mikroskop cahaya dan cahaya terpolarisasi

S. polycystum S.polycystum

Ulva lactuca Ulva lactuca

Gracilaria salicornia Gracilaria salicornia

Chaetomorpha crassa Chaetomorpha crassa

E. spinosum E .spinosum

Menurut Kennedy (1989), komponen polisakarida terbesar di dalam rumput laut adalah selulosa yang secara esensial mirip dengan tumbuhan

terestrial. Selulosa terdapat sekitar 10% dari bobot kering rumput laut. French (1984) dalam Whistler dan Paschall (1984) menyatakan bahwa warna kuning biru pada permukaan granula pati disebabkan oleh adanya perbedaan indeks refraksi dalam granula pati. Indeks refraksi dipengaruhi oleh struktur molekul yang bersifat amorf. Komponen yang merefleksikan warna kuning pada saat dilihat menggunakan cahaya terpolarisasi, merupakan polisakarida bersifat kristalin, umumnya merupakan fraksi tidak larut asam, sedangkan komponen yang merefleksikan warna biru memiliki sifat amorf yang umumnya lebih mudah larut dalam air.

Struktur rumput yang terlihat pada mikroskop belum mengalami proses gelasi dan masih terlihat terpisah satu sama lain, namun pada E.spinosum terlihat struktur rumput laut telah bertautan. E.spinosum menjedal ketika dilakukan penambahan air dan perendaman selama satu jam, sedangkan pada sampel yang lain tidak. Fraksi yang bersifat amorf bertanggung jawab atas reaksi ini, semakin banyak fraksi amorf yang larut maka ekstrak akan semakin kental.

Semua komponen dalam rumput laut memiliki kemampuan untuk larut dalam air dengan porsi yang berbeda. Pengekstrakan menggunakan air pada suhu 100 oC diharapkan akan mempermudah proses ekstraksi yang dilakukan, karena panas dapat mempercepat gerakan perpindahan antar molekul (Mulijani 2005). Rendemen polisakarida yang didapatkan pada air panas lebih banyak daripada menggunakan air, yaitu mencapai 7,85-28,05%. Persentase rendemen disajikan pada Gambar 6. Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada fraksi polisakarida larut air panas (p>0,05) (Lampiran 3)

38

  1 2 3 4 5 6 7

Keterangan : (1) limbah agar, (2) limbah karaginan, (3) E. spinosum, (4) G. salicornia, (5) U. lactuca, (6) C. crassa, (7) S. polycystum.

Gambar 6. Rendemen fraksi polisakarida larut air panas

Pada limbah agar saat dilakukan pengendapan menggunakan metanol dan etanol terbentuk gumpalan-gumpalan hidrokoloid. Gumpalan hidrokoloid ini diduga sebagai komponen agarosa dan agaropektin yang masih tersisa dari pengolahan industri. C. crassa menghasilkan rendemen sebesar 20,45% juga memperlihatkan hal yang sama. Jenis rumput laut ini merupakan jenis yang biasa dikenal sebagai tanaman pengganggu pada budidaya Eucheuma. Gumpalan-gumpalan hidrokoloid yang terbentuk berwarna jernih dan rapuh menyerupai gumpalan pada limbah agar. Agar diketahui tidak larut dalam air dingin (Angka dan Suhartono 2000), namun agar dapat larut dalam air panas (Armisen 1997). Air dengan sangat cepat akan berpenetrasi dan membentuk ikatan hidrogen pada sisi polimer poliskarida linear, kemudian segmen dari rantai polisakarida akan terlarut semua oleh aksi kinetiknya (Whistler 1973). Selain komponen poligalakturonat tersebut, hemiselulosa, pigmen serta lemak merupakan komponen yang secara parsial dapat larut dalam air.

Pada S. polycystum didapatkan rendemen sebesar 20%. Alginat merupakan komponen struktural yang terdapat pada kelompok alga coklat. Kelarutan dari alginat dipengauhi oleh 3 faktor yaitu pH, ion, dan ukuran alginat (Phillips dan

Williams 2000). Asam alginat tidak dapat larut dalam air dingin maupun air panas (Glicksman 1983) karena kelarutannya lebih dipengaruhi oleh pH yang tinggi. S. polycystum mengandung pigmen klorofil a, c, alfa dan beta karoten. Pigmen ini memiliki kemampuan larut di dalam air, terutama klorofil (Fahri 2009).

Larutan asam H2SO4 0,05% digunakan untuk mendapatkan rendemen polisakarida larut asam dengan perlakuan pemanasan 100 oC. Pada Gambar 7 terlihat hampir semua sampel memiliki kelarutan yang rendah di bawah 15%. Rendemen tertinggi pada limbah agar mencapai 13,35% dan terendah pada C. crassa sebesar 0,85%.

Pada konsentrasi ini semua sampel memiliki kelarutan yang rendah, namun semua memiliki kemampuan untuk larut pada asam. G. salicornia juga memiliki kelarutan yang sangat rendah pada asam sebesar 0,9%, sedangkan U. lactuca cukup dapat larut dengan rendemen sebesar 10,55%. Komponen abu larut asam, poligalakturonat, hemiselulosa, dan protein dapat larut dalam ekstraksi ini, meskipun dalam jumlah yang kecil. Pada sampel limbah agar, limbah telah mengalami proses pretreatment dan ekstraksi sebelumnya, sehingga komponen yang tersisa siasumsikan sebagai polimer galakturonan dapat larut.

Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada fraksi polisakarida larut asam (p>0,05) (Lampiran 3). Penggunaan konsentrasi asam yang rendah ini tidak cukup kuat untuk memutuskan ikatan polimer yang tersisa.

Keterangan : (1) limbah agar, (2) limbah karaginan, (3) E. spinosum,

(4) G. salicornia, (5) U. lactuca, (6) C. crassa, (7) S. polycystum.

40

Larutan basa NaOH 0,05% digunakan dalam proses ekstraksi tahap akhir semua sampel. NaOH memiliki kemampuan memperbesar volume partikel bahan, sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang. Reaksi ini memudahkan proses ekstraksi pada rumput laut. Rata-rata sampel memiliki kelarutan yang baik pada alkali sebesar 11-45,3%, dapat dilihat pada Gambar 8.

Keterangan : (1) limbah agar, (2) limbah karaginan, (3) E. spinosum,

(4) G. salicornia, (5) U. lactuca, (6) C. crassa, (7) S. polycystum. Gambar 8. Rendemen fraksi polisakarida larut basa

Persentase tertinggi pada S. polycystum yang mencapai 45,33%, rumput laut ini tidak dapat larut dalam air dingin maupun air panas, karena kelarutannya lebih dipengaruhi oleh pH yang tinggi. Keberadaan ion Na+ pada larutan turut mempengaruhi tingkat kelarutan alginat. Pada proses pengamatan yang dilakukan, polisakarida yang terendapkan berwarna kecoklatan, kental dan rapuh.

Limbah karaginan juga memiliki kelarutan yang besar dalam alkali sebesar 39,15%. E. spinosum memiliki kelarutan sebesar 11,95%, rumput laut ini dikenal sumber penghasil iota karaginan. Gracilaria yang dikenal sebagai agarofit juga memiliki kelarutan yang lebih baik mencapai 43,25% dalam alkali. Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada fraksi polisakarida larut basa (p>0,05).

Alkali dapat meningkatkan kalarutan agarosa pada agarophyta. Gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul juga dapat dihilangkan dengan pemberian alkali (Winarno 1996). Alkali juga dikenal mampu

memutuskan ikatan hidrogen meskipun dalam konsentrasi yang kecil (Whistler 1973), sebab itu alkali menjadi pelarut yang paling efektif untuk semua jenis rumput laut.

Ampas dari proses fraksinasi rumput laut ini diduga sebagai komponen serat tak larut seperti sebagian hemiselulosa, selulosa dan lignin serta abu tak larut asam. Komponen ini tidak mudah diekstrak menggunakan larutan dengan konsentrasi rendah. Menurut Fitriani et al. (2007), selulosa dari limbah industri karaginan dapat diekstrak dengan baik menggunakan larutan alkali dengan konsentrasi 40%.

Dokumen terkait