• Tidak ada hasil yang ditemukan

FRAKSINASI POLISAKARIDA BEBERAPA JENIS RUMPUT LAUT DWI AGUSTINA TRIWISARI C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FRAKSINASI POLISAKARIDA BEBERAPA JENIS RUMPUT LAUT DWI AGUSTINA TRIWISARI C"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

FRAKSINASI POLISAKARIDA BEBERAPA

JENIS RUMPUT LAUT

DWI AGUSTINA TRIWISARI

C34052955

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

Beberapa Jenis Rumput Laut. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan TITI CANDRA SUNARTI.

Rumput laut menjadi salah satu komoditas ekspor perikanan terbesar setelah ikan dan udang. Kelimpahan jenisnya juga sangat banyak, tercatat sekitar 555 jenis rumput laut yang tersebar di sepanjang pantai Indonesia. Potensi yang sedemikian besar belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan secara optimal, baru beberapa spesies saja yang dikenal memiliki nilai ekonomis penting. Hingga saat ini, sebagian besar pemanfaatan rumput laut masih terbatas pada ekstraksi kandungan makro molekulnya, yang dimanfaatkan untuk keperluan pangan, farmasi, kosmetik dan tekstil, sedangkan masih banyak jenis rumput laut yang tidak dikenal sebagai sumber hidrokoloid namun memiliki potensi pada nutrisi atau senyawa aktif yang dikandungnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari sifat fisik dan kandungan kimia pada beberapa jenis rumput laut, baik yang sudah dikenal dan dimanfaatkan maupun yang belum.

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret 2009 sampai dengan Januari 2010, bertempat di Laboratorium Pengawasan Mutu, Laboratorium Instrumentasi, Laboratorium Teknik Kimia dan Laboratorium Bio-Industri, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian serta Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah agar, limbah karaginan, Sargassum polycystum, Ulva lactuca, Gracilaria salicornia, Eucheuma spinosum dan Chaetomorpha crassa. Penelitian diawali dengan proses penyiapan sampel dengan pengeringan dan penepungan, kemudian dilakukan pengamatan fisik dan analisis kimia meliputi analisis proksimat, komposisi serat, kadar sulfat dan 3,6-anhidrogalaktosa.

Berdasarkan hasil analisis diketahui sampel limbah agar memiliki komposisi kadar serat tertinggi dengan komponen selulosa yang mendominasi, sedangkan pada rumput laut segar didominasi oleh nilai kadar abu dan karbohidrat. Rumput laut mengandung insoluble fibre dengan komposisi kadar selulosa dan kadar hemiselulosa yang cukup tinggi. Kadar sulfat rumput laut berkisar antara 0,3-18,63 %, sedangkan kadar 3,6-anhidrogalaktosa berkisar antara 2,32-17,99 %. Sampel rumput laut memiliki kelarutan yang baik pada pelarut alkali dibandingkan dengan pelarut lainnya kecuali pada E. Spinosum yang mempunyai kelarutan tinggi dalam air.

Setiap jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap semua komposisi kimianya, kecuali pada kadar lemak. Semua rumput laut yang digunakan dalam pengujian ini, baik yang sudah dikenal memiliki nilai ekonomis maupun belum, ternyata memiliki potensi yang hampir sama dengan jenis yang telah dikenal dalam hal kandungan kimia dan sifat kelarutannya.

(3)

FRAKSINASI POLISAKARIDA BEBERAPA

JENIS RUMPUT LAUT

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DWI AGUSTINA TRIWISARI

C34052955

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(4)

Nama : Dwi Agustina Triwisari

NRP : C34052955

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Joko Santoso M.Si Dr.Ir. Titi Candra Sunarti NIP.19670922 1992 03 1 003 NIP. 19661219 1991 03 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phill NIP.19580511 1985 03 1 002

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ‘Fraksinasi Polisakarida Beberapa Jenis Rumput Laut’ adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau kutipan yang berasal dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2010

Dwi Agustina Triwisari NRP C34052955

(6)

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Robb semesta alam yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan praktek lapang ini. Sholawat serta salam semoga selalu tulus tercurah kepada Rosululloh SAW, keluarga dan sahabatnya.

Potensi rumput laut Indonesia yang sedemikian besar tercatat kurang lebih 555 jenis terebar di seluruh perairan daerah, namun baru sekitar 5 jenis dari spesies ini yang dikenal luas memiliki nilai ekonomis. Potensi ini perlu digali untuk dapat memanfaatkannya lebih optimal, salah satu caranya adalah dengan melakukan fraksinasi kimia dan fisik rumput laut. Fraksinasi ini juga bermanfaat dalam optimasi pemanfaatan rumput laut. Hal ini lah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian dibidang ini dan disusun menjadi sebuah data dalam skripsi.

Penyusunan skripsi berjudul “Fraksinasi Polisakarida Beberapa Jenis Rumput Laut” sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dapat diselesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso M.Si dan Dr. Ir. Titi Chandra Sunarti M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta arahan terbaik selama penyusunan skripsi ini dan kesabaran yang diajarkan selama ini.

2. OGFICE, PPLH-IPB, dan PKSPL-IPB atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis mendapat pengalaman berharga.

3. Ibu Ir. Nurjanah MS. selaku dosen penguji atas masukan yang telah diberikan selama perbaikan skripsi ini.

4. Bapak, Ibu, Mba Nora + ponakanku ‘Afifah’ yang lucu, dan Dek Bayu yang telah memberikan dukungan moral yang tiada henti, tidak pernah terganti.

(7)

5. Al-iffah dan semua teman yang ada di dalamnya (Dinar, Dude, Tripeb, Darti, mba Tika dan Tania). Warna ukhuwah dan penjagaan yang luar biasa, teman-teman yang dengan baik minjamin Laptop-nya buat dibawa ke LSI jazakumulloh khoiron jazza.

6. Teman-teman seperjuangan di THP 42 (Ita, Sena, Orie, Ulfa, Evi, Riska, Erna, Tika, Tyas, Dan, dan semua teman-teman yang tidak bisa disebutkan semua, semoga Alloh mengabadikan persahabatan kita.

7. Tim Bio-etanol : mba Santi, Ulfa, dan Indra.

8. Ibu Ema, Ibu Ega, Ibu Sri, Ibu Rini, Pak Gun, Lastri serta semua pihak Laboratorium TIN dan THP yang telah banyak membantu dalam proses penelitian.

9. Seluruh dosen dan staf TU THP (Bang Mail, Pak Ade, Mba Heni, Pak Jamhuri, Pak Tatang dan Umi) atas bantuan yang diberikan kepada penulis.

10.Teman-teman seperjuangan di Laboratorium TIN yang selalu siap membantu, Lili, Jihan, Bang Roi, Pute, Indra dan teman-teman yang lainnya.

11.Teman-teman seperjuangan di IPB atas kebersamaannya, semangat dan penjagaan yang luar biasa,

12.Adik-adikku angkatan 43, 44 dan 45 di FPIK angkatan telah menularkan semangat dan ilmu yang bermanfaat.

Akhirnya, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan dapat menjadi amal ibadah bagi penulis serta semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Bogor, Februari 2010

(8)

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 3 Agustus 1986. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Supriyanto dan Ibu Nurul Isviyah.

Penulis menempuh pendidikan formal dimulai dari SDN Bogorejo pada tahun 1993 dan lulus pada tahun 1999, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 3 Tuban, Jawa Timur hingga lulus tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA Negeri 2 Tuban dan lulus pada tahun 2005.

Penulis diterima masuk di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih masuk ke dalam Departemen Teknologi Hasil Perairan sebagai bidang ilmu mayor yang ditekuni.

Selama kuliah di IPB, penulis pernah bergabung dengan Badan Ekskutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) sebagai staf Departemen Politik dan Advokasi tahun 2005-2006, Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (DPM FPIK) pada tahun 2006-2008 sebagai staf Komisi Internal.

Penulis melaksanakan menyusun tugas akhir dengan judul “Fraksinasi Polisakarida Beberapa Jenis Rumput Laut” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Joko Santoso M.Si. dan Ibu Dr. Ir. Titi Candra Sunarti M.Si. sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

(9)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4 2.1 Rumput Laut ... 4 2.2.1 Eucheuma spinosum ... 5 2.2.2 Gracilaria salicornia ... 6 2.2.3 Ulva lactuca ... 7 2.2.4 Chaetomorpha crassa ... 8 2.2.5 Sargassum polycystum ... 8

2.2 Limbah Karaginan dan Agar ... 9

2.3 Polisakarida ... 9 2.3.1 Agar ... 10 2.3.2 Karaginan ... 11 2.3.3 Alginat... ... 12 2.3.4 Serat makanan... . 12 3. METODOLOGI ... 14

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

3.2 Bahan dan Alat ... 14

3.3 Tahapan Penelitian ... 14

3.3.1 Fraksinasi polisakarida ... 15

3.4 Prosedur analisis ... 17

3.4.1 Kadar air (AOAC 1995) ... 17

3.4.2 Kadar abu (Apriyantono et al. 1989) ... 18

3.4.3 Kadar lemak (Apriyantono et al. 1989) ... 18

3.4.4 Kadar protein (Apriyantono et al. 1989) ... 19

3.4.5 Kadar serat kasar (Apriyantono et al. 1989) ... 19

3.4.6 Kadar karbohidrat by difference ... 20

3.4.7 Kadar sulfat (FMC Corp. 1997) ... 20

3.4.8 Kadar komposisi serat (Van Soest 1963) ... 21

(10)

4.1 Komposisi Proksimat ... 25

4.1.1 Kadar abu ... 25

4.1.2 Kadar lemak ... 26

4.1.3 Kadar protein ... 27

4.1.4 Kadar serat kasar ... 28

4.1.5 Kadar karbohidrat by difference ... 29

4.2 Komposisi Serat ... 30

4.3 Kadar Sulfat dan Kandungan 3,6-anhidrogalaktosa... 32

4.4 Fraksinasi Polisakarida ... 34

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Komposisi kimia rumput laut kering... 5

2. Komposisi proksimat tepung rumput laut ... 25

3. Komponen serat rumput laut ... 31

(12)

Nomor Teks Halaman

1. Diagram alir penelitian ... 15

2. Diagram alir ekstraksi poliskarida ... 16

3. Diagram alir pengendapan polisakarida ... 17

4. Rendemen fraksi polisakarida larut air ... 35

5. Pengamatan mikroskopik sel rumput laut perbesaran 200x ... 36

6. Rendemen fraksi polisakarida larut air panas ... 38

7. Rendemen fraksi polisakarida larut asam ... 39

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan komposisi proksimat ... 48 2. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan kadar sulfat dan konsentrasi 3,6-

anhidrogalaktosa………... 51

(14)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perikanan Indonesia memiliki potensi produksi hasil laut yang besar, seperti ikan, moluska, krustasea, rumput laut dan komoditas perairan lainnya. Pemerintah telah mengupayakan berbagai usaha dalam peningkatan produksi hasil laut tersebut. Saat ini pemerintah tengah menggalakkan peningkatan produksi komoditi rumput laut (Hirmen et al. 2002). Sampai saat ini rumput laut yang bisa tumbuh di perairan Indonesia tercatat sekitar 555 spesies (Satari 1998). Jenis Gracilaria sp., Gelidium sp., Eucheuma sp. (Rodhophyta), Sargassum sp., Turbinaria sp., Padina sp. (Phaeophyta), dan Ulva sp. (Chlorophyta) merupakan jenis rumput laut yang banyak ditemukan dan cukup melimpah (Rachmaniar 2005 dalam Handayani 2006).

Potensi yang sedemikian besar ini belum mampu dimanfaatkan secara optimal oleh semua komponen masyarakat, sehingga masih banyak rumput laut yang belum dikenal memiliki nilai ekonomis. Pada tahun 2010, Indonesia ditargetkan menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia dan siap melangkah menjadi industri terkemuka untuk komoditas rumput laut (Mukhtar 2008). Namun, hingga saat ini baru dari jenis Eucheuma sp. yang dijadikan sebagai komoditas andalan rumput laut (Mukhtar 2008). Jenis rumput laut yang banyak diminati pasar adalah jenis Euchema spinosum, Euchema cottonii dan Gracilaria sp. Data produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2008 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan sebesar 150 ribu ton, setelah pada tahun sebelumnya produksi mencapai 135 ribu ton (Budiono 2008).

Produksi rumput laut tersebut ternyata masih belum sepenuhnya didukung oleh luas areal budidaya yang dapat digunakan (Kadarmo 2009). Selama ini pemanfaatan rumput laut (seaweed) Indonesia masih jauh di bawah potensinya. Dari data yang ada, terungkap baru sekitar 20% luas lahan rumput laut yang telah dimanfaatkan (222.180 ha) dari areal potensial seluas 1.110.900 ha (Poernomo 2008). Nilai volume ekspor rumput laut saat ini mencapai 36% dari total volume perikanan (Husaini 2009).

(15)

2

 

     

Rumput laut telah dimanfaatkan diantaranya sebagai bahan pangan, food supplement, farmasi, kosmetik, tekstil dan bahan energi alternatif yang mulai banyak diteliti dan dikembangkan. Pada setiap jenis rumput laut mengandung nilai nutrisi yang besar, diantaranya sebagai sumber protein, karbohidrat, mineral dan vitamin (Marinho-Soriano et al. 2006). Selain sebagai sumber pangan, berdasarkan hasil penelitian rumput laut juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi, yaitu sebagai bahan untuk biofuel (Poernomo 2008). Rumput laut juga dimanfaatkan sebagai pupuk dan pakan ternak (Chapman dan Chapman 1980 dalam Ortiz et al. 2006) Hasil pemanfaatan ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena pengembangan fungsi dan jumlah spesies yang digunakan masih terbatas. Hal ini disebabkan kurangnya pengkajian senyawa fungsional pada spesies rumput laut yang lain, sehingga keragaman spesies rumput laut ekonomis penting bagi masyarakat tidak banyak. Pengkajian merupakan langkah awal, untuk selanjutnya pemerintah diharapkan dapat mendukung usaha pemanfaatan komoditas tersebut.

Potensi yang cukup besar juga tersimpan dalam limbah hasil pengolahan rumput laut. Limbah hasil ekstraksi rumput laut terdiri dari dua bentuk yaitu padat dan cair. Proporsi limbah dalam proses pengolahan karaginan berkisar antara 65-70% (Fithriani et al. 2007). Limbah yang dihasilkan ini memiliki kandungan selulosa yang tinggi berkisar antara 27,38-39,45% (Fithriani et al. 2007). Selulosa merupakan bahan alam yang dapat diperbaharui dan dapat digunakan secara luas dalam berbagai aplikasi. Penentuan komposisi biokimia menjadi langkah awal dalam pengujian nilai nutrisi suatu rumput laut yang akan dijadikan sebagai sebuah produk (Denis et al. 2010).

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi rumput laut bagi masyarakat. Informasi dasar mengenai kandungan gizi, sifat kimia dan fisik diharapkan dapat bermanfaat untuk penelitian lanjutan dan pengembangan teknologi pengolahannya untuk menggali manfaat yang tersimpan di dalamnya. Kandungan nutrisi rumput laut dapat sangat bervariasi yang dipengaruhi faktor spesies, lokasi, cuaca dan suhu (Kaehler dan Kennish 1996 dalam Sanchez-Machado et al. 2004).

(16)

     

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan :

1) Komposisi kimia penyusun beberapa jenis rumput laut dan limbah pengolahan rumput laut, dan

2) Komposisi polisakarida hasil fraksinasi berdasarkan perbedaan kelarutannya.

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumput Laut

Alga laut diklasifikasikan menjadi mikroalga dan makroalga. Makroalga terdiri dari banyak sel dan berbentuk koloni (Castro dan Huber 2003). Makroalga termasuk di dalamnya alga merah, hijau, dan coklat serta umumnya disebut sebagai rumput laut. Struktur rumput laut lebih kompleks daripada alga uniselular, namun jika dibandingkan dengan tumbuhan terestrial, rumput laut tidak memiliki bagian struktur anatomi dan mekanisme reproduksi yang jelas (Castro dan Huber 2003).

Rumput laut tidak memiliki daun, batang dan akar sejati. Bagian tubuhnya disebut talus, dapat berupa filamen, lembaran tipis berdaun banyak, persegi dengan kulit keras atau lumut raksasa (Castro dan Huber 2003). Cara hidupnya bisa sebagai fitobentos yang hidup menancap atau melekat di dasar laut. Biasanya rumput laut banyak ditemukan di perairan yang dasarnya berlumpur atau berpasir karena keberadaan benda keras yang terbatas sebagai tempatnya melekat. Rumput laut ini juga banyak ditemukan di daerah terumbu karang (Nontji 2007). Jenis rumput laut yang telah banyak dimanfaatkan berasal dari marga Eucheuma, Gelidium, Gracilaria, Hypnea, dan Sargassum, sedangkan jenis lainnya seperti Caulerpa dan Dictosphaeria masih dimanfaatkan dalam skala kecil untuk konsumsi lokal (Atmadja et al. 1996).

Beberapa jenis rumput laut telah dikenal memiliki kandungan lemak, protein, vitamin dan mineral yang cukup signifikan (Wong dan Cheung 2000), meskipun kandungannya sangat bervariasi tergantung pada spesies, lokasi, cuaca dan suhu (Kaehler dan Kennish 1996 dalam Sanchez-Machado et al. 2004). Rumput laut dikenal sebagai bahan yang memiliki kandungan lemak yang rendah, protein dan karbohidrat yang tidak bisa dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Sifat karbohidrat inilah yang menjadikan rumput laut cocok digunakan sebagai makanan diet karena hanya memberikan sedikit asupan kalori (Lahaye dan Kaeffer 1997 dalam Sanchez-Machado et al. 2004). Kandungan asam lemak tak jenuh pada rumput laut juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman

(18)

terestrial (Ortiz et al. 2006). Komposisi kimia rumput laut kering disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut kering

Senyawa kimia nilai (%)

Kadar air (%) 3,57-6

Kadar abu (%) 43-58,32

Kadar protein (%) 6,38-14,02 Kadar lemak (%) 0,21-1,00 Kadar serat kasar (%) 2,75-16,95 Sumber : Yulianingsih dan Tamzil (2007)

Kandungan kimia rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90 %, namun pada rumput laut kering kadar airnya mencapai 3,57-6 % (Yulianingsih dan Tamzil 2007), kadar lemak rumput laut sangat kecil, meskipun demikian susunan asam lemaknya lebih lengkap dibandingkan dengan tanaman tingkat tinggi (Darcy-Vrillon 1993 dalam Ortiz et al. 2006). Komponen asam lemak rumput laut sebagai produk perikanan mengandung asam lemak tak jenuh (EPA dan DHA) yang lebih baik jika dibandingkan dengan sayuran. Asam lemak ini tidak dapat disintesis sendiri oleh manusia (Ortiz et al. 2006) dan dikenal sebagai prekusor linolenat.

Saat ini manusia masih mengandalkan produk terestrial sebagai sumber asupan lemak. Hal ini dikarenakan sumber-sumber ini mudah didapatkan dan harganya relatif lebih murah jika dibandingkan dengan produk perikanan. Rata-rata lemak yang dibutuhkan manusia dalam sehari dapat mencapai 40-50 gram (Nadesul 2007).

2.1.1 Eucheuma spinosum

Rumput laut jenis Eucheuma spinosum merupakan rumput laut dari jenis alga hijau (Chlorophyceae). Rumput laut jenis ini memiliki talus yang licin dan silindris, berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu, atau merah. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan di daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat pada substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang pertama dan kedua membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri

(19)

6

 

khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Lokasi budidaya rumput laut jenis ini di Indonesia antara lain Lombok, Sumba, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu (Atmadja et al. 1996). Klasifikasi E. cotonii berdasarkan Bosse (1913) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Subkingdom : Biliphyta Filum : Rhodophyta Subfilum : Eurhodophytina Kelas : Florideophyceae Subkelas : Rhodymeniophycidae Ordo : Gigartinales Famili : Areschougiaceae Genus : Eucheuma Spesies : E. spinosum 2.1.2 Gracilaria salicornia

Gracilaria salicornia mamiliki talus bulat, licin, berbuku-buku atau bersegmen-segmen. Membentuk rumpun yang lebat berekspansi melebar (radial) dapat mencapai 25 cm. Ukuran talus 1,1-5 cm, tinggi sekitar 15 cm. Rumput laut ini banyak ditemukan tumbuh pada batu kerikil di daerah rataan terumbu berpasir (tumbuh menempel pada batu dan pasir) di daerah pasang surut. Gracilaria ini sering ditemukan terdampar di pantai karena tidak kuat menempel pada substrat atau menempel pada substrat yang labil dan mudah terhempas ombak (Atmadja et al. 2006).

Potensi Gracilaria salicornia belum banyak diketahui, tetapi di negara lain ada yang menjadikannya sebagai lalap atau sayuran. Kandungan koloidnya berupa agar dan komponen kimia lainnya. Klasifikasi rumput laut jenis Gracilaria salicornia menurut Armisen (1995) dalam Phillips dan William (2000) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Divisi : Rodhophyta

(20)

Kelas : Florideophyceae Ordo : Gracilariales Famili : Gracilariaceae Genus : Gracilaria

Spesies : Gracilaria salicornia

2.1.3 Ulva lactuca

Rumput laut ini memiliki karakteristik khusus yang dicirikan dengan talus tipis, bentuk lembaran licin, warna hijau tua, tepi lembaran berombak. Talus warna gelap pada bagian tertentu, terutama dekat bagian pangkal karena ada sedikit penebalan. Ulva banyak ditemukan pada perairan dangkal dengan kedalaman 0,5-5 m dan dapat hidup di perairan payau. Tumbuh melekat pada substrat karang mati di daerah paparan terumbu karang (Atmadja et al. 2006).

Ulva lactuca belum banyak dimanfaatkan secara ekonomis, namun beberapa daerah di Indonesia Timur ada yang telah memanfaatkannya sebagai makanan ternak (Atmadja et al. 2006). Klasifikasi Ulva lactuca menurut C. Regardh (1823) dalam Anonim (2008a) adalah:

Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Ulvales Famili : Ulvaceae Genus : Ulva

Spesies : Ulva lactuca

Menurut Ortiz el al. (2006), Ulva lactuca memiliki kadar abu, kadar protein, kandungan asam amino esensial dan kadar serat pangan yang tinggi serta kandungan lemak yang rendah. Rumput laut ini juga memiliki asam lemak tidak jenuh dan pro-vitamin E yang baik dijadikan sebagai makanan sehat untuk manusia dan ternak.

(21)

8

 

2.1.4 Chaetomorpha crassa

Chaetomorpha crassa memiliki bentuk dan penampakan yang cukup unik, rumput laut ini berbentuk silindris yang menyerupai rambut atau membentuk gumpalan seperti benang kusut. Tumbuhan yang termasuk dalam kelas alga hijau ini banyak ditemukan tumbuh menempel pada alga lain (Atmadja et al. 2006).

Alga jenis ini dapat ditemui dalam jumlah yang melimpah dan menjadi masalah dalam budidaya Eucheuma sp. atau alga budidaya yang lainnya di perairan pantai (Atmadja et al. 2006). Rumput laut ini belum diketahui nilai ekonomis dan kandungan kimia potensial lainnya. Klasifikasi Chaetomorpha crassa menurut (C. Agardh) Kutzing (2007) dalam Anonim (2007b) adalah: Kingdom : Plantae Divisi : Chlorophyta Kelas : Ulvophyceae Ordo : Cladophorales Famili : Cladophoraceae Genus : Chaetomorpha Spesies : Chaetomorpha crassa

2.1.5 Sargassum polycystum

Rumput laut ini termasuk ke dalam kelompok alga coklat yang memiliki potensi sebagai sumber penghasil alginat. Sargassum memiliki ciri thalli silindris berduri kecil merapat, holdfast membentuk cakram kecil dengan atasnya secara karakteristik terdapat perakaran atau stolon yang rimbun berekspansi ke segala arah. Karakteristik lain yang dimiliki oleh alga jenis ini adalah daun kecil, lonjong, dan bergerigi serta memiliki gelembung udara (bladder). Keberadaannya di alam dapat ditemukan di perairan rataan terumbu dan tersebar luas di perairan Indonesia (Atmadja et al. 1996). Klasifikasi rumput laut jenis Sargassum sp. menurut Bold dan Wynne (1985) dalam Anonim (2008c) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Phaeophyta Kelas : Phaeophyceae Ordo : Fucales

(22)

Famili : Sargassaceae Genus : Sargassum

Spesies : Sargassum polycystum

2.2 Limbah Karaginan dan Agar

Limbah hasil ekstraksi rumput laut terdiri dari dua bentuk yaitu padat dan cair. Proporsi limbah dalam proses pengolahan karaginan berkisar antara 65%-70% (Fithriani et al. 2007), sedangkan limbah agar merupakan produk hasil samping dari proses pengolahan rumput laut, kelas Rodhophyceae yang termasuk agarophyte, menjadi agar. Limbah yang dihasilkan ini memiliki kandungan selulosa yang tinggi berkisar antara 27,38%-39,45% (Fithriani et al. 2007).

2.3 Polisakarida

Struktur polisakarida secara alami terbentuk dari komponen gula yang saling berikatan (Morris 1979). Polisakarida berfungsi sebagai cadangan makanan, bahan pembentuk struktur sel dan sebagai dasar klasifikasi berdasarkan fungsinya (Kennedy 1989). Sejumlah jenis polisakarida yang memiliki fungsi sebagai pengental dan gelling agent pada beberapa produk makanan sering disebut hidrokoloid (Phillips dan William 2000).

Beberapa sumber penghasil hidrokoloid diketahui berasal dari alga laut. Sejumlah polisakarida dari alga tersebut telah diisolasi dan telah ditemukan struktur kandungannya. Alga merah, hijau dan coklat serta alga air tawar mengandung pati polisakarida yang dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu amilosa dan amilopektin. Keberadaan amilosa pada ekstrak polisakarida ini dapat rusak akibat larutan basa atau asam yang digunakan selama proses isolasi (Kennedy 1989). Kandungan polisakarida lain yang saat ini telah banyak diaplikasikan untuk beberapa industri makanan adalah agar dan karaginan pada alga merah dan alginat pada alga coklat (Atmadja et al. 1996).

Polisakarida lain di dalam rumput laut yang merupakan komponen terbesar adalah selulosa yang secara esensial mirip dengan tumbuhan terestrial. Selulosa terdapat sekitar 10% dari bobot kering rumput laut (Kennedy 1989). Komponen ini merupakan jenis polisakarida yang tidak larut dalam air dan memiliki

(23)

10

 

karakteristik tidak dapat dicerna oleh tubuh manusia (Zecher dan Gerrish 1999). Selulosa dari rumput laut dapat dikonversi menjadi glukosa dengan teknik sakarifikasi (Kim et al. 2008). Glukosa merupakan salah satu turunan karbohidrat yang terdiri atas satu unit monomer (monosakarida) dan pada rumput laut gula sederhana secara alami ini banyak ditemukan dalam bentuk galaktosa yang berperan sebagai gelling agent dalam pembentukan agar (Morinho-Soriano dan Bourret 2005).

Bentuk polisakarida lain yang ada pada rumput laut adalah pati, namun sifat pati dari alga dan tanaman tingkat tinggi memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan pati yang terdapat pada tanaman tingkat tinggi dan alga adalah lebih rendahnya viskositas dan ikatan hidrogen pada alga. Hal ini mengindikasikan molekul pati pada alga lebih kecil dibandingkan dengan tanaman tingkat tinggi. Pengamatan menggunakan sinar-x memperlihatkan matriks pati kurang teratur, tetapi masih menunjukkan karakteristik pati tanaman tingkat tinggi (Kennedy 1989).

2.3.1 Agar

Agar adalah polisakarida yang telah digunakan secara luas di masyarakat karena kemampuannya dalam membentuk gel bahkan pada konsentrasi yang rendah. Agar adalah polisakarida yang terakumulasi pada dinding sel alga agarofit. Agar terbentuk dari campuran dua polisakarida agarosa dan agaropektin (Phillips dan William 2000).

Rantai agarosa tidak mengandung gugus sulfat, sedangkan rantai agaropektin mengandung gugus sulfat (Glicksman 1983). Unit gula sederhana pada agarosa terdiri dari D-galaktosa, L-galaktosa, 3,6-anhidro-L-galaktosa dan D-xylosa. Menurut Glicksman (1983), agaropektin juga memiliki unit yang sama dengan agarosa, hanya pada unit 3,6-anhidro-galaktosa diganti dengan L-galaktosa bersulfat. Jenis dan kualitas komponen pada rantai polisakarida agar tergantung pada faktor spesies, kondisi lingkungan, faktor fisiologi dan metode pengekstrakan (Marinho-Soriano dan Bouret 2005).

Jumlah agar dan sifat fisik agar seperti kekuatan gel dan gelling temperature serta sifat kimia agar menentukan nilai komersialnya

(24)

(Marinho-Soriano dan Bouret 2005). Alga merah yang dikenal sebagai sumber penghasil agar adalah Gracilaria dan Gelidium yang telah banyak dimanfaatkan. Kandungan agar di dalam rumput laut dapat dihidrolisis menggunakan alkali yang dapat meningkatkan kekuatan gel dan menghasilkan agar yang lebih kuat (Phillips dan William 2000). Secara umum agar sebenarnya dapat diperoleh dengan ekstraksi menggunakan akuades, setelah dilakukan praperlakuan menggunakan H2SO4.

Sifat gel dari agar sangat dipengaruhi oleh keberadaan fraksi 3,6-anhidrogalaktosa dan komponen sulfat (Duckworth and Yaphe 1971 dalam Marinho-Soriano dan Bouret 2005). Secara umum kandungan 3,6-anhidrogalaktosa yang tinggi dapat meningkatkan kekuatan gel, sebaliknya kandungan sulfat yang tinggi dapat menurunkan kekuatan gel (Armisen 1995 dalam Marinho-Soriano dan Bouret 2005). Agar secara umum telah banyak dimanfaatkan sebagai gelling agent pada produk pangan, kosmetik dan obat-obatan, disamping aplikasi lainnya dibidang kesehatan dan bioteknologi (Marinho-Soriano dan Bouret 2005).

2.3.2 Karaginan

Karaginan merupakan keluarga polisakarida linier bersulfat dari D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-D-galaktosa yang diekstrak dari beberapa jenis alga merah. Karaginan didefinisikan sebagai produk yang diperoleh dengan ekstraksi menggunakan air atau larutan alkali (Glikcsman 1983).

Semua jenis karaginan larut dalam air panas pada suhu lebih dari 70 oC (Angka dan Suhartono 2000), sedangkan kappa karaginan dan iota karaginan dapat larut dalam air dingin dan larutan garam natrium (Phillips dan William 2000). Kedua jenis karaginan tersebut tidak dapat larut dalam larutan garam kation lain seperti kalium atau kalsium (Angka dan Suhartono 2000). Jaringan selulosa yang ada pada Eucheuma dapat mengurangi hidrasi sehingga larutan menjadi lebih kental setelah diberi perlakuan pemanasan yang lebih lama atau saat dinaikkan suhunya. Keberadaan selulosa ini dapat menurunkan kekuatan pemutusan ikatan dan menghasilkan gel yang rapuh. Larutan alkali yang

(25)

12

 

digunakan dalam proses ekstraksi dapat memodifikasi L-galaktosa 6-sulfat menjadi 3,6-anhidro-L-galaktosa (Nussinovitch 1997).

2.3.3 Alginat

Alginat merupakan salah satu komponen yang melimpah di alam, yang bisa didapatkan dari alga coklat dan bakteri tanah poliskarida kapsular. Alginat termasuk dalam keluarga kopolimer biner tidak bercabang dengan jumlah variasi yang besar dalam hal komposisi dan urutan penyusunnya (Phillips dan William 2000). Alginat sering disebut sebagai produk pemurnian karbohidrat yang diekstrak dari alga coklat menggunakan larutan alkali (Glicksman 1983). Alginat adalah garam dari asam alginat yang banyak dijumpai dalam bentuk natrium alginat.

Asam alginat merupakan prekursor dari garam alginat yang merupakan suatu polimer poliguluronat yang terdiri dari asam D-mannuronat dan asam L-guluronat yang terikat melalui atom-atom karbon 1 dan 4 (McNeely dan Pettitt 1973). Kadar alginat mencapai 40% dari bobot kering rumput laut dan memegang peranan penting dalam mempertahankan struktur rumput laut (Rasyid 2003). Daya kelarutan alginat dipengaruhi oleh pH, konsentrasi, ion pada larutan, dan keberadaan ion divalen (Moe et al. 1995 dalam Rioux 2007). Pemanfaatan alginat pada industri tekstil, percetakan, industri briket dan sebagai bahan pengemulsi, insektisida, kosmetik dan farmasi (Rasyid 2003).

2.3.4 Serat Makanan

Istilah serat makanan pertama kali digunakan untuk menyebut dinding sel tanaman, namun kemudian secara spesifik digunakan untuk menyebut bagian yang tidak dapat dicerna (Asp et al. 2004). Trowell et al. (1976) dalam Asp et al. (2004) menyatakan bahwa serat makanan termasuk polisakarida yang tidak dapat dicerna dan lignin.

Pada tahun 2001, American Association of Cereal Chemist (AACC) menyebutkan, serat makanan adalah bagian yang dapat dimakan dari suatu karbohidrat tanaman atau sejenisnya yang tidak dapat dicerna dan diabsorpsi pada

(26)

saluran pencernaan manusia (Asp et al. 2004). Menurut Apriyantono et al. (1989), serat makanan dibagi menjadi tiga fraksi utama, yaitu:

a) polisakarida struktural, terdapat dalam dinding sel dan terdiri dari selulosa dan polisakarida non-selulosa (hemiselulosa dan substansi pekat);

b) non-polisakarida struktural, sebagian besar terdiri dari lignin;

c) polisakarida non-struktural, termasuk gum dan mucilage serta polisakarida lain seperti karaginan dan agar dari alga laut.

Serat makanan dapat memelihara usus dan mengurangi risiko kanker usus (Asp et al. 2004). Fungsi serat adalah mencegah sembelit dan memperlancar buang air besar (Koswara 2008). Serat makanan dibagi menjadi dua berdasarkan sifat dan efeknya di dalam tubuh (Hermann 2000), yaitu: (a) serat tidak larut air, seperti selulosa dan lignin, yang dapat menyerap air dan bersifat bulky, sehingga usus besar dapat bekerja dengan baik, (b) serat makanan larut air, seperti gum dan pektin. Rumput laut memiliki kandungan soluble dan insoluble fiber yang lebih tinggi dari pada kandungannya pada buah dan sayuran (Ortiz et al. 2006).

Kandungan serat dalam dinding sel dapat diekskresikan dengan metode netral detergen fiber (Arora 1989) sehingga kemampuan serat dapat dipisahkan. Jika kandungan lignin dalam bahan pangan tinggi, maka koefisien cerna bahan pangan tersebut menjadi rendah (Sutardi 1980). Serat memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan untuk berbagai kebutuhan. Pada bahan makanan yang memiliki kandungan serat tinggi banyak dimanfaatkan sebagai pangan fungsional yang memiliki khasiat dapat mencegah sembelit, kanker usus, penyakit jantung dan obesitas (Ortiz et al. 2006). Selain pengembangan pada bidang pangan, saat ini mulai banyak dilakukan usaha optimasi untuk menghasilkan bahan bakar (bio-etanol) dan kertas (pulp). Kandungan serat berupa selulosa dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana yang kemudian dapat dijadikan substrat oleh mikroba untuk dikonversikan menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Kim et al. 2007).

(27)

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2009 hingga Januari 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengawasan Mutu, Teknik Kimia, Bio-Industri dan Instrumentasi Departemen Teknologi Industri Pertanian dan Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa jenis rumput laut dari Pantai Ujung Genteng Sukabumi (G.salicornia, U.lactuca dan C.crassa), S. polycystum, E.spinosum, limbah pengolahan agar dan karagenan dari

industri pengolah di Jakarta dan Tangerang. Bahan tersebut dikeringkan dan ditepungkan hingga lolos saringan 30 mesh. Bahan lain yang digunakan dalam karakterisasi polisakarida adalah akuades, aseton, larutan iod, NaOH, H2SO4, HCl, BaCl2, asam borat, pelarut heksana, kertas saring, katalis selen, H2O2 10%, CTAB, asetaldehida, asam benzoat dan resorcinol.

Alat-alat yang digunakan dalam analisis proksimat, komponen serat, kadar sulfat dan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa adalah peralatan gelas, wadah timbang, oven, desikator, timbangan digital, cawan porselen, labu bulat, Soxhlet, labu Kjeldahl, kompor listrik, tanur, autoklaf, kertas saring, pendingin balik, pompa vakum dan waterbath, kaca masir dan spektrofotometer.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian diawali dengan preparasi bahan, meliputi pengeringan dan penepungan (hingga lolos ayakan 30 mesh), selanjutnya dilakukan ekstraksi bertingkat dengan jenis pelarut yang berbeda, kemudian dilakukan karakterisasi komposisi kimia rumput laut meliputi analisis proksimat (air, abu, protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat by difference), analisis komponen serat meliputi

(kadar hemiselulosa, kadar selulosa, dan kadar lignin), analisis kadar sulfat, dan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa. Adapun alur kerja penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(28)

Rumput laut

Penepungan 30 mesh Oven 60 0C; 3 jam

Limbah

Tepung rumput laut

Uji kadar sulfat dan 3,6-anhidrogalaktosa Analisis komponen

serat Fraksinasi polisakarida

Analisis proksimat

Pengeringan sinar matahari; 5 hari

Gambar 1. Diagram alir penelitian

3.3.1Fraksinasi Polisakarida

Fraksinasi polisakarida ini didapatkan dengan melakukan ekstraksi polisakarida rumput laut menggunakan 4 macam pelarut, yaitu air, air panas, H2SO4 0,05% dan NaOH 0,05%. Pada sampel dilakukan ekstraksi bertingkat untuk mendapatkan yield (rendemen) terbesar pada masing-masing pelarut.

Perlakuan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 untuk proses pengendapan polisakarida.

(29)

16

1) Ekstraksi Polisakarida

Penyaringan

Gambar 2. Diagram alir ekstraksi polisakarida Filtrat I Sampel (2 g) Perendaman 1 jam; 30 oC Air 100 ml Pencampuran dan pemanasan 1 jam; 100 oC H2SO4 0,05%; 100 ml Penyaringan Ampas III Filtrat III Pencampuran dan pemanasan 1 jam; 100 oC Penyaringan Air 100 ml Ampas II Filtrat II Ampas I Pencampuran dan pemanasan NaOH 0,05%; 100 ml 1 jam; 100 oC Penyaringan Filtrat IV Ampas IV

(30)

2) Pengendapan Polisakarida etanol 100 ml Pencampuran Filtrat Penyaringan Penimbangan Ampas Penimbangan Pengendapan ± 24 jam Metanol 100 ml

Filtrat (I/ II/ III/ IV) 5ml

Gambar 3. Diagram alir pengendapan polisakarida 3) Pengamatan bentuk struktur rumput laut

Filtrat rumput laut diamati di bawah mikroskop polarisasi cahaya, larutan sampel disiapkan dengan mencampur tepung rumput laut dengan air destilasi, kemudian didiamkan selama 1 jam dan disaring. Filtrat ini diteteskan di atas gelas obyek dan kemudian ditutup dengan gelas penutup. Selanjutya dilihat menggunakan mikroskop polarisasi untuk melihat pendaran warna molekul di dalamnya.

3.4 Prosedur Analisis

3.4.1 Analisis kadar air (AOAC 1995)

Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang dalam sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan dengan oven dengan suhu 105 oC selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pekerjaan tersebut diulang sehingga mendapat bobot yang konstan.

(31)

18 18

Kadar air (%) = A B

C 100%

Keterangan :

A = wadah+contoh sebelum dikeringkan (g) B = wadah+contoh sesudah dikeringkan (g) C = bobot contoh (g)

3.4.2 Analisis kadar abu (Apriyantono et al. 1989)

Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan perselin berisi contoh yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600oC hingga proses pengabuan sempurna. Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap.

Keterangan :

A = cawan + contoh kering (g) B = cawan kosong (g)

C = bobot contoh (g)

3.4.3 Analisis kadar lemak (Apriyantono et al. 1989)

Sebanyak 2 g contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik heksana dalam alat soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC. Contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.

3.4.4 Analisis kadar protein (Apriyantono et al. 1989)

Sebanyak 0,1 g contoh dimasukkan dalam labu mikro Kjeldahl lalu ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis. Larutan didestruksi hingga

(32)

menghasilkan larutan jernih kemudian didinginkan. Larutan hasil destruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer berisi 25 ml HCl 0,02 N dan 2-4 tetes indikator mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades (ditampung dalam erlenmeyer). Larutan yang berada dalam erlenmeyer dititrasi dengan NaOH 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan penetapan blanko.

Keterangan:

a = ml NaOH untuk titrasi blanko b = ml NaOH untuk titrasi contoh N = normalitas NaOH

W = bobot contoh (g)

3.4.5 Analisis kadar serat kasar (Apriyantono et al. 1989)

Sebanyak 2 g contoh bebas air dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N. Campuran tersebut dihidrolisis dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 105 oC dan didinginkan serta ditambahkan NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml. Kemudian dilakukan hidrolisis kembali dalam autoklaf selama 15 menit. Sampel disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring tersebut dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 0,325 N, air panas dan terakhir menggunakan aseton/alkohol 25 ml. Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC selama 1 jam dan dilanjutkan sampai bobotnya tetap. Kadar serat ditentukan dengan rumus:

(33)

20

,

Keterangan:

a = bobot residu serat dalam kertas saring (g) b = bobot kertas saring kering (g)

C = bobot bahan awal (g)

3.4.6 Analisis kadar karbohidrat by difference

Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kadar karbohidrat (%) = 100% – (% kadar air + % kadar abu + % kadar lemak + % kadar protein + % kadar serat kasar )

3.4.7 Analisis sulfat (FMC Corp. 1997)

Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer kemudian ditambahkan 50 ml HCl 0,2 N dan direfluks smapai mendidih selama 1 jam. Ke dalamnya ditambahkan 25 ml larutan H2O2 (1:10) dan direfluks selama 6 jam sampai larutan menjadi jernih. Larutan ini dipindahkan ke dalam gelas piala dan dipanaskan sampai mendidih. Selanjutnya ditambahkan 10 ml larutan BaCl2 (tetes demi tetes sambil diaduk) di atas penangas selama 2 jam.

Endapan yang terbentuk disaring dengan kertas saring tak berabu dan dicuci dengan aquades mendidih hingga bebas klorida. Kertas saring dikeringkan dalam pven pengering, kemudian diabukan pada suhu 1000 oC sampai didapat abu berwarna putih. Abu didinginkan dala desikator kemudian ditimbang. Perhitungan kadar sulfat adalah sebagai berikut :

Kadar sulfat (%) = P x 100%

keterangan :

P = Berat endapan BaSO4 (g)

(34)

3.4.8 Analisis komposisi serat (Van Soest 1963)

1) Penetapan Kadar NDF

Larutan NDF dibuat dengan mencampurkan 18,61 g EDTA- 2 Na, 6,81 g Na2B4O7. 10H2O2, 30 g sodium lauril sulfat, 4,56 g Na2HPO4 dengan 10 ml 2-etoksi-etanol dilarutkan sampai 1 liter, sehingga pH 6,9-7,1.

sebanyak 1 g (a) sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Sampel ditambahkan 200 ml larutan NDF dan 0,5 g Na2SO3. Campuran direfluks pada pendingin tegak selama 60 menit, kemudian campuran disaring melalui cawan penyaring (b) dan endapan dicuci dengan akuades panas beberapa kali. Endapan yang terbentuk dicuci kembali dengan aseton beberapa kali, dikeringkan pada oven bersuhu 105 oC sampai diperoleh berat tetap (sekitar 8 jam) dan ditimbang (c).

NDF (%) =

2) Penetapan Kadar ADF

Sebanyak 1 g (a) sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 600 ml, kemudian ditambahkan 100 ml larutan ADS (acid detergent solution) (20 g setil

trimetil ammonium bromida dalam 1 l H2SO4 1N) dan 2 ml dekalin. Ekstraksi selama satu jam setelah mendidih. Campuran tersebut kemudian disaring melalui cawan penyaring (b) dan endapan yang didapatkan dicuci dengan akuades panas beberapa kali. Endapan dicuci kembali dengan aseton beberapa kali dan filter glass dikeringkan dalam oven 105oC sampai diperoleh berat yang tetap (sekitar 8

jam), kemudian ditimbang (c).

ADF (%) =

Hemiselulosa (%) = % NDF - % ADF 3) Kadar Selulosa dan Lignin

Sampel dari uji ADF diletakkan pada cawan kaca masir dalam nampan yang berisi air dingin setinggi 1 cm. Larutan lignin sebanyak 2,5 ml dimasukkan ke dalam cawan. Ketinggian air diatur hingga dapat mengurangi laju aliran alir

(35)

22

larutan keluar cawan dan diaduk menggunakan batang gelas. Cawan disimpan pada suhu kamar selama 9-90 menit, kalau diperlukan dapat dilakukan penambahan larutan lignin. Cawan diisap dengan pompa vakum hingga kering dan disimpan dalam nampan bersih. Larutan demineral dimasukkan ke dalam cawan hingga setengah dari volume cawan, setelah 5 menit disaring hingga kering, dilakukan beberapa kali hingga warna serat menjadi putih (selama 20-30 menit). Selanjutnya sampel dicuci menggunakan etanol 80% dan aseton. Cawan dikeringkan semalam pada lemari pengering 105 oC dan ditimbang (d). Lignin dihitung sebagai bagian yang hilang dari ADF. Selanjutnya sampel dibakar dalam tanur 400-600 oC selama 3 jam dan ditimbang (e).

kadar selulosa (%) = kadar lignin (%) = Keterangan :

a = berat bahan awal (g) b = berat cawan penyaring (g)

c = berat bahan+cawan setelah dioven (g)

d = berat bahan+cawan setelah dioven dan dicuci dengan aseton (g) e = berat bahan + cawan setelah ditanur (g)

3.4.9 Kandungan 3,6 anhidrogalaktosa (Zatnika dan Istini 2008)

Sebanyak 54 mg fruktosa ditimbang dan dimasukkan ke dalam gelas piala, kemudian ditambahkan 100 ml larutan jenuh asam benzoat. Larutan standard dibuat dari konsentrasi 0,003 M, kemudian dilakukan pengenceran dengan konsentrasi 0,00006 M; 0,00012 M; 0,00018 M; 0,00024 M; dan 0,0003 M.

Stok Resorcinol: sebanyak 0,13 g resorcinol ditimbang dan ditambah aquades

hingga volumnya mencapai 100 ml. Larutan tersebut disimpan dalam lemari es, jika akan digunakan larutan dipanaskan pada suhu kamar.

(36)

Stok Asetaldehida: sebanyak 0,18 ml asetaldehida diencerkan dengan aquades

hingga volum mencapai 25 ml. Sebanyak 10 ml larutan diambil dan diencerkan dengan aquades hingga volumnya mencapai 1000 ml.

Working Reagen: stok resornicol diambil sebanyak 25 ml dan ditambah 25 ml

HCl pekat, kemudian ditambah 2,5 ml stok asetaldehid. Larutan ini digunakan dalam waktu 30 menit.

Larutan sampel: sebanyak 20 mg sampel ditimbang dan dimasukkan labu

erlenmeyer, kemudian dibilas menggunakan aquades dan dipanaskan sambil diaduk. Setelah itu ditambahkan aquades kembali hingga volumnya mencapai 100 ml, kemudian sebanyak 1 ml sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Sampel, larutan fruktosa standard dan blanko (aquades) sebanyak 1 ml didinginkan selama 10 menit dalam ice bath, kemudian ditambahkan 10 ml working reagen sambil diaduk hingga rata. Selanjutnya semua sampel

dipindahkan dalam ice bath dan didinginkan selama 5 menit, kemudian

dipindahkan ke dalam water bath selama 10 menit dengan suhu 80 0C hingga

terbentuk warna merah jingga. Sampel kemudian didinginkan kembali di dalam

ice bath selama 1,5 menit, setelah itu tabung reaksi diletakkan di rak dan

dibiarkan sampai mencapai suhu kamar. Absorbannya dibaca pada panjang gelombang 550 nm dengan menggunakan spektrofotometri dan dibandingkan dengan standard yang telah dibuat.

Kadar 3,6-anhidrogalaktosa (%) = Σ mol x BM x 100% berat sampel BM galaktosa = 180,2

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis rumput laut terhadap nilai komposisi kimia yang dihasilkan.

Perancangan percobaan yang digunakan pada penelitian kali ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktor tunggal yaitu jenis rumput laut, masing-masing 2 (dua) kali pegulangan dengan menggunakan uji lanjut Duncan. Software

(37)

24

SPSS 15 digunakan sebagai piranti pendukung. Model umum rancangan acak lengkap (RAL) dengan sebaran t-student menurut Mattjik dan Jaya (2006) adalah sebagai berikut: n s x t / μ − = keterangan : t = sebaran statistik x = nilai rataan

µ = pengaruh rata-rata pengamatan (nilai tengah umum) s = standar deviasi

n = ukuran sampel

Pada nilai yang berbeda nyata akan dilakukan uji lanjut Duncan menurut Steel dan Torie (1993) dengan rumus sebagai berikut:

Yij = µ+ τi +

ε

ij Keterangan :

Yij = nilai pengamatan dari faktor jenis sampel taraf ke-i pada ulangan ke-j µ = Pengaruh rata-rata pengamatan (nilai tengah umum)

τi = Pengaruh jenis rumput laut

ε

ij = faktor galat

Nilai komposisi kimia yang didapatkan diuji menggunakan hipotesis;

H0 = jenis rumput laut tidak berpengaruh terhadap komposisi kimia yang dihasilkan

H1 = jenis rumput laut berpengaruh terhadap nilai komposisi kimia yang dihasilkan

(38)

4.1 Komposisi Rumput Laut

Komposisi proksimat tujuh sampel rumput laut yang terdiri dari dua jenis limbah yaitu limbah agar dan limbah karaginan serta lima sampel segar yang terdiri dari kelompok green seaweed (Ulva lactuca dan Chaetomorpha crassa), red seaweed (Gracilaria salicornia dan Eucheuma spinosum) dan brown seaweed

(S. polycystum). Semua sampel diuji kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar dan

karbohidrat (by diference) untuk menentukan kualitas awal bahan.

Data mengenai komposisi proksimat rumput laut selengkapnya tersaji pada Tabel 2. Komposisi kimia rumput laut dapat bervariasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu lingkungan meliputi suhu air, salinitas, cahaya dan nutrisi (Dawes 1998 dalam Marinho-Soriano 2006), jenis, letak geografis dan musim

(Sanchez-Machado 2004).

Tabel 2. Komposisi proksimat tepung rumput laut

Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama diikuti huruf superscript yang bebeda (a,b,c,d,e) menunjukkan beda nyata (p<0,05)

Sampel Komponen (% bk)

Abu Lemak Protein Serat kasar Karbohidrat

Limbah Agar 17,11± 0,31a 1,28± 0,85a 0,54 ± 0,03a 48,84±1,58d 32,23±2,7b Limbah Karagenan 28,58± 0,96b 3,81± 0,34a 0,88±0,22ab 25,04±0,38c 42,12±1,89c E. spinosum 29,8 ±0,12b 3,79±4,64a 1,80±0,68abc 11,35±3,6ab 53,25±0,47d G. salicornia 55,69 ± 0,12e 1,74± 0,42a 1,47±0,18ab 7,43±1,1a 33,66±1,46b Ulva lactuca 30,89 ± 1,87b 2,24± 0,37a 2,85±0,79c 7,54±0,19a 56,48±1,65d C. crassa 46,25 ± 0,33d 0,97± 0,26a 2,32± 0,35bc 29,59±1,36c 20,86±2,29a S. polycystum 38,64 ± 0,06c 4,38± 0,56a 3,07±0,03c 17,32±2,57b 36,59±1,92bc 4.1.1 Kadar abu

Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam bahan. Kadar abu rumput laut terutama terdiri dari garam natrium dari air laut yang menempel pada talus rumput laut. Kandungan abu pada rumput laut biasanya berkisar antara 15–40%.

(39)

26

Kadar abu pada sampel limbah karaginan sebesar 28,58% dan 17,11% untuk limbah agar. Kondisi nilai kadar abu limbah karaginan lebih tinggi dibandingkan dengan limbah agar. Kandungan mineral rumput laut dapat dipengaruhi oleh proses yang diberikan selama pengolahan (Yoshi et al. 1994 dalam Ruperez 2002) serta metode yang digunakan untuk menghitungnya

(Fleurence dan Le Coeur 1993 dalam Ruperez 2002).

Pada sampel segar kadar abu tertinggi pada G. salicornia mencapai

55,69% dan terendah pada E. spinosum 29,8%. Kadar abu lainnya S. polycystum

35,08%, U. lactuca 30,89% dan C. crassa sebesar 46,25%. Hasil analisis ragam

menunjukkan bahwa jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar abu (p<0,05) (Lampiran 1). Kadar abu rumput laut telah dilaporkan dari penelitian sebelumnya, rumput laut cokelat memiliki nilai 0,1– 39,3% dan rumput laut merah memiliki nilai antara 20,6-21,1% (Ruperez 2002). Tingginya kadar abu pada semua sampel dapat disebabkan oleh adanya komponen garam anorganik di air yang menempel pada permukaan rumput laut serta kemungkinan adanya pengotor yang bercampur dengan bahan. Penentuan kadar abu berhubungan dengan penentuan kadar mineral yang terdapat pada suatu bahan, kemurnian, serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan.

Bahan mineral dalam rumput laut cukup banyak, Ruperez (2002) menyebutkan kandungan makro mineral yang terdapat pada rumput laut meliputi Na, Ca, K, Mg, Fe, Zn, Mn dan Cu yang dibutuhkan oleh tubuh. Adapun kadar masing-masing komponen mineral ditentukan oleh spesies, umur, kondisi geografis, frekuensi gelombang, dan faktor fisiologi (Yoshie et al. 1994 dalam

Ruperez et al. 2002). Adapun pada produk alga sebaiknya tidak mengandung abu

lebih dari 45% (Food and Nutrition Board 1981 dalam Ruperez 2002).

4.1.2 Kadar lemak

Kadar lemak dihitung sebagai lemak kasar, artinya ekstrak tersebut selain mengandung lemak juga mungkin terdapat senyawa lain, seperti fosfolipida, sterol, vitamin dan pigmen yang larut dalam pelarut nonpolar. Kandungan lemak dari rumput laut tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan tumbuhan terestrial (Dawes 1998 dalam Soriano et al. 2005). Kadar lemak yang dihasilkan pada

(40)

penelitian Soegiarto (1968) dalam Angka dan Suhartono (2000), adalah

4,30-11,09%. Pada hasil penelitian kali ini kandungan lemak rumput laut diketahui berkisar antara 0,97-4,38% (bk), limbah agar dan limbah karaginan mengandung lemak sebesar 1,28% dan 3,81%, sedangkan pada rumput laut segar mengandung lemak antara 0,97-4,38%.

S. polycystum memiliki nilai kadar lemak tertinggi sebesar 4,38%, U. lactuca 2,24%, G. salicornia 1,74%, E. spinosum 3,79% dan C. crassa

memiliki nilai kadar lemak terendah sebesar 0,97%. Analisis ragam menunjukkan bahwa jenis rumput laut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kadar lemak (p>0,05) (Lampiran 1).

Kadar lemak U. lactuca sebesar 0,3% (Ortiz et al. 2006) jauh lebih rendah

jika dibandingkan dengan nilai kadar lemak yang didapatkan pada penelitian kali ini. Faktor kondisi geografis memberikan pengaruh yang besar pada hasil penelitian ini, karena konsentrasi lemak pada suatu individu dapat dipengaruhi oleh lamanya paparan cahaya matahari.

Sebagian besar lemak nabati mengandung asam lemak rantai panjang. Rumput laut diketahui mengandung asam lemak tak jenuh PUFA (polyunsaturated fatty acid) yaitu asam lemak C18:3ω3, C18:2ω6, dan C18:1ω9

yang merupakan asam lemak esensial bagi tubuh manusia.

4.1.3 Kadar protein

Kadar protein pada rumput laut pada penelitian ini memang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan protein bahan terrestrial, hanya berkisar antara 0,54–3,07% dibandingkan dengan protein kedelai sebesar 33,8% (Handayani 2006). Limbah agar memiliki kandungan protein sebesar 0,54% dan 0,87% untuk limbah karaginan. Protein pada rumput laut segar berkisar antara 1,47-3,07 %, U. lactuca dan C. crassa dari kelas alga hijau memiliki kandungan protein

masing-masing sebesar 2,85% dan 2,32%, sedangkan dari kelas alga merah E. spinosum

dan G. salicornia mengandung protein masing-masing sebesar 1,8% dan 1,47%. S. polycystum dari kelas alga coklat memiliki kandungan protein tertinggi sebesar

3,07 %. Kadar protein rumput laut yang didapatkan lebih kecil dibandingkan dengan kadar protein yang pernah didapatkan pada penelitian sebelumnya yang

(41)

28

berkisar antara 13,6-24,5 % (Ortiz et al. 2006), 5,46-24,11 % (Sanchez-Machado

2004), atau 10-26 % (Wong dan Cheung 2000).

Hasil analisis ragam yang dilakukan menunjukkan bahwa jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar protein (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan kadar protein sampel limbah agar, limbah

karaginan, G. salicornia dan E. spinosum tidak berbeda nyata, sedangkan dengan S. polycystum, U. lactuca dan C. crassa kadar proteinnya berbeda nyata

(Lampiran 1).

Ekstraksi protein dari rumput laut cukup sulit dilakukan dikarenakan adanya komponen fenol khususnya pada rumput laut coklat (Ragan Glombitza 1986 dalam Wong dan Cheung 2000) dan dinding sel polianionik (Fleurence et al.

1995 dalam Wong dan Cheung 2000). Komponen fenol dapat merusak struktur

protein yang ditempelkan pada salah satu rantainya dan dibawah kondisi oksidasi dapat berikatan secara kovalen (Loomis dan Battaile 1966 dalam Wong dan

Cheung 2000), sedangkan dinding sel berlendir dari larutan kental dapat mengganggu proses ekstraksi dan pemurnian (Katsuragi dan Hashimoto 1987

dalam Wong dan Cheung 2000).

Protein pada rumput laut meskipun hanya terdapat dalam jumlah yang kecil, namun memiliki keunggulan yaitu kandungan asam amino esensial yang tinggi, misal lisin, fenilalanin, metionin, leusine dan valin (Ortiz et al. 2006) dan

komposisi asam amino pada rumput laut lebih lengkap jika dibandingkan dengan tumbuhan terestrial. Protein ini juga dapat berperan dalam kemampuan fisika – kimia seperti pada WHC (water holding capacity) (Wong dan Cheung 2000).

Menurut Mabeau et al. (1992) tingginya kadar asam glutamat dan aspartat dapat

memberikan rasa dan aroma yang khusus pada rumput laut.

4.1.5 Kadar serat kasar

Rumput laut adalah sumber serat pangan, terutama serat larut air (Lahaye 1991 dalam Ortiz et al. 2006), namun serat kasar tidak sama dengan serat

makanan. Serat kasar adalah komponen sisa hasil hidrolisis suatu bahan pangan dengan asam kuat yang selanjutnya dihidrolisis dengan basa kuat sehingga kehilangan selulosa sekitar 50% dan hemiselulosa 85% (Tensiska 2008),

(42)

sedangkan serat makanan adalah bagian yang dapat dimakan dari suatu karbohidrat tanaman atau sejenisnya yang tidak dapat dicerna dan diabsorpsi pada saluran pencernaan manusia (Asp et al. 2004). Serat makanan masih mengandung

komponen yang hilang tersebut sehingga nilai serat makanan lebih tinggi daripada serat kasar. Pada dasarnya komponen-komponen penyusun dinding sel tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, gum, mucillage yang

kesemuanya ini termasuk ke dalam serat makanan (Tensiska 2008).

Kandungan serat bahan limbah dan bahan segar cukup bervariasi berkisar antara 7,43-48,84%. Kadar serat kasar pada limbah lebih tinggi jika dibandingkan dengan sampel segar, hal ini dikarenakan limbah sebagian besar merupakan konsentrat serat yang sudah tidak bisa diekstrak lagi. Kadar serat kasar limbah agar memiliki nilai tertinggi sebesar 48,84% dan G.salicornia memiliki nilai

kadar serat kasar terendah sebesar 7,43%. Limbah karaginan memiliki kadar serat kasar sebesar 25,04%.

Pada bahan segar U. lactuca, E. spinosum, S. polycystum dan C. crassa

memiliki kadar serat kasar masing-masing sebesar 7,54%, 11,35%, 17,32% dan 29,59%. Kadar serat yang dikandung oleh rumput laut dapat dipengaruhi oleh parameter lingkungannya. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kadar serat kasar (p<0,05) (lampiran 1). Pada uji lanjut Duncan ternyata nilai serat kasar

beberapa sampel diketahui berbeda nyata antar satu dengan yang lain.

4.1.6 Kadar karbohidrat (by difference)

Karbohidrat adalah satu komponen utama makanan disamping lemak dan protein. Karbohidrat merupakan sumber energi utama untuk manusia dan komponen fungsionalnya banyak dimanfaatkan untuk industri makanan. Kadar karbohidrat bahan ditetapkan secara by difference, yaitu nilai karbohidrat yang

dihitung dari pengurangan nilai komponen abu, lemak, protein dan serat kasar. Kadar karbohidrat menggambarkan kandungan polisakarida selain empat komponen makro tersebut.

Kandungan karbohidrat pada limbah agar yaitu 32,23% dan limbah karaginan yaitu sebesar 42,12%. Proses pengolahan yang telah dilakukan

(43)

30

sebelumnya turut mempengaruhi rendemen karbohidrat yang dihasilkan, karena pada proses ekstraksi yang kurang optimal dapat meninggalkan sisa komponen karbohidrat. Karbohidrat dari bahan segar memiliki nilai yang cukup tinggi,

C. crassa, G. salicornia, E. spinosum, S. polycystum dan U. lactuca

masing-masing mengandung 20,86%, 33,66%, 53,25%, 36,59%, dan 56,48%. Nilai karbohidrat ini menggambarkan jumlah kandungan komponen fungsional seperti agar, karaginan, alginat dan komponen polisakarida selain empat makromolekul yang dikandung secara spesifik oleh setiap jenis bahan.

Jenis rumput laut berdasarkan hasil analisis ragam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 1) terhadap kadar karbohidrat by difference. Berdasarkan uji lanjut Duncan kadar karbohidrat by difference pada

C. crassa berbeda nyata dengan semua jenis sampel yang lain. Kadar karbohidrat G. salicornia, S. polycystum dan limbah karaginan tidak memiliki beda yang

nyata, namun memiliki beda nyata dengan E. spinosum dan U. lactuca.

4.2 Komposisi serat

Serat makanan didefinisikan sebagai bagian dari komponen bahan pangan nabati yang tidak dapat dicerna oleh saluran pencernaan manusia. Definisi ini diperluas kembali sehingga seluruh polisakarida dan lignin yang tidak dapat dicerna oleh manusia termasuk ke dalam serat makanan (Apriyantono et al. 1989).

Serat terbagi dalam dua kelompok yaitu serat larut dan serat tidak larut. Serat tidak larut contohnya selulosa, lignin dan hemiselulosa, sedangkan serat yang larut contohnya adalah gum, pektin, dan mucilage (Tensiska 2008).

Istilah hemiselulosa digunakan untuk menunjukkan polimer karbohidrat amorf yang berasosiasi dengan selulosa dan lignin. Hemiselulosa mudah dihirolisis oleh asam menjadi komponen penyusunnya, yang terdiri dari D-glukosa, D-manosa, D-xilosa, L-arabinosa, sejumlah kecil L-ramnosa, disamping asam D-glukuronat, asam 4-0-metil-D-guluronat, dan asam galakturonat (Achmadi 1990). Selulosa adalah unsur struktural dan komponen utama dinding sel yang tersusun dari ulangan unit glukosa yang terikat melalui ikatan glikosida dan membentuk struktur yang teratur. Keteraturannya juga menimbulkan ikatan hidrogen secara intra- dan inter- molekul. Komponen lain yang ada dalam

(44)

ganggang adalah lignin, yaitu polimer yang terdiri dari unit fenilpropana yang saling berhubungan melalui ikatan eter (Achmadi 1990).

Kadar selulosa bahan sangat bervariasi seperti disajikan pada Tabel 3, limbah agar memiliki kadar selulosa tertinggi sebesar 59,69% dan E.spinosum

memiliki kadar selulosa terendah 4,08%. Kadar selulosa limbah karaginan,

G. salicornia, U. lactuca, S. polycystum, dan C. crassa masing-masing sebesar

26,72%, 4,11%, 19,58%, 24,07%, dan 25,5%. Kim et al. (2005) menyebutkan

kadar selulosa pada rumput laut sekitar 15-25% dari total seluruh komponen rumput laut tersebut.

Tabel 3. Komponen serat rumput laut

Bahan Hemiselulosa (%) Selulosa (%) Lignin (%) Bahan ekstraktif lainnya (%) Limbah agar 13,89 59,69 2,37 24,05 Limbah karaginan 6,03 26,72 6,63 60,62 E. spinosum 45,27 4,08 10 40,65 G. salicornia 36,02 4,11 5 54,87 Ulva lactuca 16,42 19,58 2,9 61,1 C. crassa 43,73 25,5 4 26,77 S. polycystum 10,11 24,07 9,27 56,55

Selulosa merupakan bahan alam yang paling banyak dimanfaatkan daripada hemiselulosa dan lignin. Berdasarkan hasil yang didapatkan terdapat beberapa bahan yang potensial menjadi sumber selulosa, yaitu limbah agar dan karaginan C. crassa, S. polycystum dan U. lactuca. Produk dengan bahan dasar

selulosa rumput laut saat ini mulai banyak dikembangkan, diantaranya sebagai bahan tambahan pangan, pembuat kertas dan bio-etanol.

Rumput laut dikenal sebagai salah satu jenis tanaman yang memiliki kadar lignin yang rendah (Kim et al. 2005). Keadaan ini banyak memberikan

kemudahan dalam eksplorasi terhadap rumput laut, karena lignin merupakan komponen yang sulit didegradasi sehingga dapat menghambat proses ekstraksi. Jika kandungan lignin dalam bahan pangan tinggi, maka koefisien cerna bahan pangan tersebut menjadi rendah (Sutardi 1980). Kadar lignin rumput laut berkisar antara 2,37-10%. Limbah agar memiliki kadar lignin terendah sebesar 2,37%,

(45)

32

S. polycystum 9,27% dan E. spinosum memiliki kadar lignin tertinggi

sebesar 10%. Bahan ekstraktif pada rumput laut meliputi air, abu, protein, lemak, pigmen dan komponen serat larut air yang secara bersama akan menyusun rumput laut. Bahan-bahan ini mudah mengalami kerusakan dibandingkan dengan komponen serat tak larut, sehingga diasumsikan telah hilang selama proses analisis dilakukan.

4.3 Kadar Sulfat dan Kandungan 3,6-Anhidrogalaktosa

Sulfat merupakan salah satu komponen yang terdapat pada rantai penyusun agar maupun karaginan. Menurut Glicksman (1983), agaropektin pada agar memiliki unit yang sama dengan agarosa, hanya pada unit 3,6-anhidro-L-galaktosa (3,6-anhidro3,6-anhidro-L-galaktosa) diganti dengan L-3,6-anhidro-L-galaktosa bersulfat, sedangkan karaginan merupakan keluarga polisakarida linier bersulfat dari D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang diekstrak dari beberapa jenis alga merah (Glikcsman 1983).

Kadar sulfat rumput laut disajikan pada Tabel 4. U. lactuca memiliki

kadar sulfat paling tinggi sebesar 18,63% dibandingkan dengan S. polycystum, E. spinosum dan G. salicornia yang masing-masing 14,51%, 8,44% dan 5,45%.

Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa jenis rumput laut memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kadar sulfat (p<0,05). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan kadar sulfat beberapa sampel diketahui berbeda nyata antar satu dengan yang lain seperti limbah agar, U. lactuca, dan S. polycystum,

sedangkan pada G. salicornia, limbah karaginan dan E. spinosum tidak berbeda

nyata.

Kadar sulfat pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang mencapai 1,3-5,9% (Ruperez et al. 2002) dan

0,97-1,06% (Marianho-Soriano dan Bouret 2005). Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis rumput laut, lokasi, cuaca dan suhu (Kaehler dan Kennish 1996 dalam Sanchez-Machado et al. 2004). Sulfat merupakan tipe

penyusun komponen polisakarida yang berhubungan dengan konsentrasi garam tinggi di lingkungan dan aspek spesifik dalam regulasi ionik (Koareg dan Quatrano 1988 dalam Ruperez 2002). Keberadaan kandungan sulfat yang tinggi

(46)

pada rumput laut dapat menurunkan kualitas kekuatan gel agar dan karaginan (Armisen 1995 dalam Marinho-Soriano dan Bourret 2005).

Tabel 4. Kandungan sulfat dan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa rumput laut.

Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang sama diikuti huruf superscript

Jenis sampel Kadar (%)

Sulfat 3,6-anhidrogalakosa Limbah agar 0,31±0,15a - Limbah karaginan 9,57±1,89c - S. polycystum 14,51±0,14e 2,40±0,11a Ulva lactuca 18,63±1,02d 2,29±0,04a G.salicornia 5,45±0,73b 17,99±0,00c E.spinosum 8,44±0,29bc 3,84±0,00b C.crassa - 2,32±0,14a

yang bebeda (a,b,c,d,e) menunjukkan beda nyata (p<0,05). (-) tidak dilakukan analisis

Kandungan 3,6-anhidrogalaktosa pada setiap jenis rumput laut dapat berbeda, pada Tabel 4 dapat dilihat nilai 3,6-anhidrogalaktosa tertinggi terdapat dalam G. salicornia sebesar 17,99% dan U. lactuca yang mengandung

3,6-anhidrogalaktosa terendah 2,29%. Kadar sulfat akan selalu berbanding terbalik dengan keberadaan 3,6-anhidrogalaktosa. Kandungan 3,6-anhidrogalaktosa pada

S. polycystum mencapai 2,4% tidak jauh berbeda dari U. lactuca yang mencapai

2,29%. Kedua jenis rumput laut ini diketahui memiliki kemampuan yang rendah dalam membentuk gel. Penurunan kandungan 3,6-anhidrogalaktosa selalu disertai dengan penurunan kandungan grup 6-0-metil dan peningkatan residu sulfat (Marinho-Soriano dan Bourret 2005).

Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis rumput laut memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada kandungan 3,6-anhidrogalaktosa rumput laut (p<0,05) (Lampiran 2). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan U.lactuca, E.spinosum dan G.salicornia tidak berbeda nyata, namun memiliki beda nyata terhadap G.salicornia dan E.spinosum.

3,6-anhidrogalaktosa merupakan komponen penyusun dalam rumput laut merah dan hijau yang berperan dalam peningkatan kekuatan gel agar (Armisen

Gambar

Gambar 1. Diagram alir penelitian
Gambar 2. Diagram alir ekstraksi polisakarida  Filtrat I Sampel (2 g) Perendaman 1 jam; 30 oC Air 100 ml Pencampuran dan pemanasan  1 jam; 100 oC H2SO4  0,05%; 100 ml Penyaringan Ampas III Filtrat III Pencampuran dan pemanasan 1 jam; 100 oC Penyaringan Air 100 ml Ampas IIFiltrat II Ampas IPencampuran dan pemanasan  NaOH 0,05%; 100 ml 1 jam; 100 oC Penyaringan  Filtrat IV Ampas IV
Gambar 3. Diagram alir pengendapan polisakarida
Tabel 2. Komposisi proksimat tepung rumput laut
+2

Referensi

Dokumen terkait

akuntansi keuangan daerah (meliputi: pencatatan, penggolongan/pengklasifikasian, dan pelaporan) yang dilaksanakan dengan baik sesuai aturan yang berlaku maka dapat

Berdasarkan pengujian bioautografi ekstrak n- heksan yang telah dilakukan dapat diamati pada Gambar 3, (A) dan (B) hasil kromatogram tidak memberikan zona bening

Novi Wahyuni , B92215058, 2019 , Membangun Semangat Cinta Lingkungan Sehat pada Komunitas Anak Menuju Kampung Sehat Dan Bersih Di Desa Perning Kecamatan Jatikalen

Penelitian yang merupakan bagian dari program pengembangan galur padi tahan WBC ini bertujuan menguji ketahanan varietas padi untuk pemilihan calon tetua persilangan,

Berdasarkan hasil validasi yang melibatkan empat validator, yakni ahli pembelajaran, ahli asesmen, dan dua praktisi menunjukan bahwa asesmen penugasan menulis teks

Dengan cara yang sama, setiap orang yang bekerja dalam media atau pada teks media tertentu butuh berhubungan kepada lebih dari satu institusi, lebih dari

sebelum bertanding) atlet diberi latihan berat, berdasaarkan suatu teori, jika glikogen dikosongkan dengan latihan berat maka cadangan glikogen bisa diisi lebih