• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS STRUKTURAL TOKOH-TOKOH DAN PENOKOH-

3.3 Kafe (Industri Kuliner)

Sama seperti shopping mall, kafe menjadi s asaran bagi para penganut gaya hidup posmodern untuk menghabiskan waktu , melepas kepenatan, dan bersenang-senang. Gaya hidup posmodern yang baru-baru ini makin merebak adalah kebiasaan baru berkumpul untuk sekadar mengobrol di kafe. Pengikut gaya hidup ini cukup banyak dengan berbagai kalangan usia, dari anak usia belasan tahun hingga kakek -kakek dan nenek-nenek trendy. Tanpa batasan usia dan tanpa batasan profesi.

Daya tarik utama terletak pada adanya kesempatan meluangkan atau lebih tepatnya menikmati waktu secara santai namun elegan. Oleh karena itu juga banyak lokasi kafe yang berada di tempat-tempat bergengsi. Selain bersantai dengan gaya, sebenarnya ada motivasi lain mengapa orang suka pergi ke kafe, to see and to be seen

(Susanto, 2001: 35). Di tempat ini berbagai jenis sifat manusia berkumpul. Dari mereka yang merasa sebagai orang penting hingga mereka yang ingin dianggap penting oleh komunitasnya. K arena kebutuhan akan to see and to be seen, mereka merasa mengunjungi kafe menjadi hal wajib.

Di kafe seolah semuanya terbeli dengan harga yang mahal. Dari prestige, kenyamanan, ketenangan, dan kesukaan akan makanan serba instant serta kegilaan terhadap makanan-makanan berkelas yang berasal dari barat. Kafe menjadi salah satu ruang bagi apresiasi terhadap gaya hidup posmodern. Konsep dari sebuah kafe adalah suasana. Ruang percakapan terbangun dari setiap meja yang membangun dunianya sendiri. Suasana seperti itulah yang membuat siapa pun yang mengunjungi kafe merasa nyaman, tidak sekedar untuk makan dan minum tetapi untuk berinteraksi dengan kelompok sosialnya. Kafe tidak menekan pada fungsi seperti restoran, ia juga mencitrakan dirinya sebagai sebuah ruang publik yang mencerminkan status sosial dan prestige. Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan -kutipan berikut pada dialog tokoh dalam novel Mata Matahari

3.3.1 Tokoh Lola

Tokoh Lola termasuk gemar mengunjungi kafe untuk makan, minum dan menghabisakan waktu. Ia menikmati kafe tidak sekedar fungsinya saja sebagai tempat makan dan minum, tetapi juga sebagai tempat untuk bersantai, berinteraksi dengan sosialnya.

(140) “Perutnya lapar. Tapi ia tak mau makan berat. Ia langsung ke Café Regal. Tempat santai yang nyaman untuk nongkrong dan baca buku.” (Maryam, 2003: 64)

(141) “Ia meletakkan barang belanjaannya di kursi sebelahnya setelah mengambil pie ayam dan orange juice dalam gelas besar panjang.” (Maryam, 2003: 64)

(142) “Maka di Exelso, aku menyeruput kopi float dinginku. Ia memesan cappuccino.” (Maryam, 2003: 124)

(143) “Lola dengan Chichago Ribs -nya, dan aku sendiri memesan sama dengan Lola, Chichago Ribs yang harganya mendekati angka seratus ribu.” (Maryam, 2003: 108)

Dari kutipan di atas dapat dibuktikan bahwa tokoh Lola memang menikmati kehadiran kafe (industri kuliner) sebagai salah satu tempat untuk bersantai. Ia membeli suasana dan kenyamanan dari sebuah kafe. Ia pergi ke kafe tidak hanya untuk mengisi perut, tetapi juga untuk bersantai. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka memiliki penghasilan yang cukup tinggi untuk dapat menikmati kenyamanan kafe dan menikmati makanan fast food ala kafe. Pada kutipan (119) dan (125) Lola juga menyebutkan sebuah kafe terkenal yang dikenal legit dalam mengolah ko pi, kafe ini menawarkan produknya dengan harga yang mahal. Lola memang sangat menikmati cappuccino yang diramu oleh Exelso sehingga ia tidak merasa keberatan mengeluarkan dana yang besar untuk secangkir kopi. Begitu juga dengan makanan yang ia konsumsi, ia tidak merasakan keberatan dengan harga mendekati seratus ribu rupiah.

(144) “Setelah sampai, di café bernuasa Eropa itu ia mengambil duduk dekat tembok. Sehingga ia masih bisa mengawasi lalu lalang orang yang lewat.” (Maryam, 2003: 64)

(145) “Ia pun kembali ke café itu pada hari keempat. Tapi kosong, tak ada laki-laki buta dan gadis kecilnya.” (Maryam, 2003: 65)

(146) “Akhirnya menyerah, dan kubuka beberapa catatan di organizer. Barangkali ada yang terlewatkan yang mestinya kukerjakan sore itu.

Aha! Aku ada janji dengan Thery untuk makan di Pondok Indah Mall! Astaga.” (Maryam, 2003: 67)

(147) “Barangkali Thery sudah pergi. Tapi kenapa ia tak menelepon ya? Aku tadi goblok banget tak juga memastikan apakah ia masih ada di Café Regal tempat favoritku kini. .” (Maryam, 2003: 124)

Pada kutipan (144) dapat dilihat bahwa salah satu motivasi pergi ke kafe adalah to see and to be seen. Lola mengunjungi kafe untuk bersantai dan melihat orang-orang yang lalu lalang melewati kafe. Pada kutipan (145) dan (146) disebu tkan salah satu fungsi kafe sebagai medium berinteraksi dengan kelompok sosialnya. Di kafe Lola dapat bertemu dengan orang-orang yang memiliki persamaan kelompok sosial, di kafe pula Lola dapat membuat janji untuk bertemu dengan orang lain.

3.3.2 Tokoh Elang

Tokoh Elang juga sebagai penikmat kafe. Elang mengunjungi kafe untuk berinteraksi dan untuk memenuhi kesukaannya terhadap makanan fasf food berkelas ala kafe. Hal ini bisa dibuktikan dengan kutipan berikut

(148) “Sedangkan laki-laki itu juga melahap pie ayamnya dan membiarkan lemon tea-nya tetap berada di samping piring pie-nya.” (Maryam, 2003: 64)

(149) “Benar saja, dua orang itu memesan pie apple dan orange juice.” (Maryam, 2003: 71)

(150) “Ada apple pie dan juice jeruk di mejanya.” (Maryam, 2003: 69)

Sedang pada kutipan (148) dan (149), hal ini adalah bagian dari perwujudan gaya hidup modern. Elang sangat menyukai menu pie. Setiap kali ini mengunjungi kafe, menu pie selalu ia pesan untuk kudapan sembari ia menghabiskan waktunya.

Salah satu alasan Elang pergi ke kafe adalah untuk menikmati suasana nya. Ia membeli sebuah ketenangan yang mungkin tidak ia dapatkan jika ia pergi ke warung atau di restoran.

3.3.3 Tokoh Thery

Tokoh Thery pada novel ini digambarkan sebagi seorang penikmat gaya hidup posmodern yang menyukai kemewahan kafe dan kemewahan makanan-makanan berkelas. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut

(151) “Kita ketemuan di PS. Setelahnya kita bisa ke Tony Romas. Wah, gila, demi cinta lu rela bayarin kita ke Tony Romas!” (Maryam, 2003: 103) (152) “Kita ke Café Victoria aja ya? Atau ke Tony Romas?” (Maryam, 2003:

108)

(153) “Kami ke café yang harga makanannya mahal banget itu. Tapi bukan masalahku, toh perempuan-perempuan itu yang bakal membayariku.” (Maryam, 2003: 108)

(154) “Thery dengan Shabu-shabunya, Lola dengan Chichago Ribs -nya, dan aku sendiri memesan sama dengan Lola, Chichago Ribs yang harganya mendekati angka seratus ribu.” (Maryam, 2003: 108)

Ia tidak berpikir panjang mengenai harga sebuah menu makanan, ia tidak memikirkan apapun kecuali kenikmatan dan kenyamanan yang ditawarka n oleh kafe berapapun uang yang harus dikeluarkan. Intensitas Thery pergi ke kafe menunjukkan bahwa hal ini bukan sekedar gaya hidup posmodern saja melainkan juga menjadi tolok ukur kemampuan finasial. Di kafe pula Thery dapat melakukan interaksi dengan kelompok sosialnya. Bertemu dengan orang lain di kafe kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama. Kedua kafe yang disebutkan di atas yaitu Café

Victoria dan Tony Romas adalah tempat yang menawarkan prestige bagi pengunjungnya

Semua kutipan di atas menjelaskan bagaimana tokoh -tokoh menikmati apa yang ditawarkan dari sebuah kafe dan mereka pergi ke kafe sebagai sebuah pilihan gaya hidup posmodern.

Dokumen terkait