• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAIDAH MORFOFONEMIK DALAM BAHASA MADURA

1. Kaidah Perubahan Fonem

a. Perubahan fonem akibat asimilasi morfem {N - }

1) Apabila bentuk dasar berawal konsonan / k, g, gh, h, l /, asimilasi tersebut menghasilkan / ng /, sebagai berikut.

Fonem / k, g, gh / merupakan konsonan hambat velar tak bersuara (/k/), tak bersuara (/g, gh/) yang dihasilkan dengan menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak, udara dihambat dan kemudian dilepaskan, dan untuk fonem /gh/ dibentuk cara yang yang sama dengan pembentukan /g/, tetapi pada waktu suara dikeluarkan dari mulut lebih cepat. Fonem /h/ merupakan konsonan frikatif glottal bersuara yang dihasilkan dengan melewatkan arus udara di antara pita suara yang menyempit sehingga menimbulkan bunyi desis, tanpa dihambat di tempat lain. Fonem /l/ merupakan konsonan lateral alveleobar bersuara yang dihasilkan dengan menempelkan daun lidah pada gusi dan udara

dikeluakan melewati samping lidah, sementara itu pita suara dalam keadaan bergetar. Sedangkan fonem /ng/ merupakan konsonan nasal velar yang dihasilkan dengan menempelkan ujung lidah pada langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas melalui hidung.

Berubahnya fonem /k/ menjadi /ng/ karena morfem {N-} berasimilasi dengan fonem /k/. Fonem /k/ pada awal kata kakan diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal [ng] dari prefiks {N-} tersebut, seperti tampak pada rumus

Rumus = /N-/ + /k..../ → /ng  .../ = /N - / + /kakan/ → /ngakan/

2) Apabila bentuk dasar berawal konsonan /t, t, d, d, dh, dh/, asimilasi tersebut menghasilkan /n/, sebagai berikut.

Fonem /t, t, d, d, dh, dh/ merupakan konsonan dental alveolar, yang termasuk konsonan alveolar /t, d/ yang dihasilkan / dilafalkan dengan ujung lidah ditempelkan pada gusi, udara dari paru-paru sebelum dilepaskan. Sedangkan bunyi dental terdiri dari /t, d, dh, dh/ yang dilafalkan dengan menempelkan ujung atau daun lidah pada bagian belakang gigi atas, sehingga terciptalah bunyi dental bukan alveolar. Dan untuk konsonan nasal pada lafal /n/ dilafalkan dengan cara menempelkan ujung lidah pada gusi untuk menghambat udara dari paru-paru, udara itu kemudian dikeluarkan lewat hidung.

Berubahnya fonem /t/ alveolar menjadi /n/ karena proses asimilasi dar morfem {N-} dengan fonem /t/. fonem /t/ pada awal kata

tojjhu diluluhkan dan disenyawakan dengan

bunyi nasal /n/ dari morfem prefiks {N-} tersebut seperti tampak pada rumus sebagai berikut.

Rumus = /N-/ + /t..../ → /n  .../ = /N - / + / tojjhu + → /nojjhu/ 3) Apabila bentuk dasar berawal konsonan /p,

b, bh, f, w/, asimilasi tersebut menghasilkan /m/, sebagai berikut.

Fonem /p, b, bh, f, w/ merupakan konsonan hambat bibial tak bersuara /p/, bersuara /b, bh/ yang dilafalkan dengan bibir atas dan bibir bawah terkatup rapat sehingga udara dari paru-paru tertahan untuk sementara

waktu sebelum katupan itu dilepaskan. Fonem /f/ merupakan konsonan frikatif labiodental bawah yang dihasilkan dengan bbibir bawah didekatkan pada bagian bawah gigi atas sehingga udara dari paru-paru dapat melewati lubang yang sempit antara gigi dan bibir dan menimbulkan bunyi desis. Fonem /w/ merupakan konsonan semivokal bilabial bersuara yang dihasilkan dengan mendekatkan kedua bibir tanpa menghilangi udara yang dihembuskan dari paru-paru. Sedangkan fonem /m/ merupakan konsonan bilabial bersuara yang dihasilkan dengan kedua bibir dikatupkan, kemudian udara dilepas melalui rongga hidung.

Berubahnya fonem /p/ menjadi /m/ karena {N-} berasimilasi dengan fonem /p/. Fonem /p/ pada awal kata parèksa diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /m/ dari morfem prefiks {N-} tersebut seperti tampak pada rumus sebagai berikut.

Rumus = /N-/ + /p..../ → /m  .../ = /N - / + / parèksa / → /marèksa/ 4) Apabila bentuk dasar berawal konsonan /c,

s, j, jh/, asimilasi tersebut menghasilkan /ny/.

Fonem /c, j, jh/ merupakan konsonan afrikat palatal tak bersuara /c/, bersuara /j, jh/ yang dilafalkan dengan daun lidah ditempelkan pada langit-langit keras dan kemudian dilepas secara perlahan sehingga udara dapat lewat dengan menimbulkan bunyi desis, sementara itu pita suara dalam keadaan tidak bergetar untuk fonem /c/, untuk fonem /j, jh/ pita suara bergetar. Fonem /jh/ dibentuk dengan cara pembentukan /j/, tetapi ketika suara dihembuskan lebih cepat konsonan frikatif diveolar /s/ dihasilakan dengan menempelkan ujung lidah pada gusi atas sambil melepaskan udara lewat samping lidah sehingga menimbulkan bunyi desis. Konsonan nasal palatal /ny/ dibentuk dengan menemplekan depan lidah pada langit-langit keras untuk menahan udara dari paru-paru kemudian udara dilepaskan melalui hidung sehingga menghasilkan bunyi sengau.

Berubahnya fonem /c/ menjadi /ny/ karena {N-} berasimilasi dengan fonem /c/. Fonem /c/ pada awal kata capcap diluluhkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ny/

73 dari morfem prefiks {N-} tersebut seperti

tampak pada rumus sebagai berikut Rumus = /N-/ + /c..../ → /ny  .../

= /N - / + / capcap / → /nyapcap / 5) Apabila bentuk dasar berawal vokal /a, i, e,

è, u, o/, asimilasi tersebut menghasilkan /ng/

Fonem /i/ adalah vokal tinggi – depan dengan kedua bibir agak terentang kesamping diucapkan dengan meningikan lidah depan setinggi mungkin tanpa menyebabkan terjadinya konsonan geseran. Fonem /a/ merupakan vokal rendah – tengah yang diucapkan dengan bagiah tengah lidah agak merata dan mulut agak melebar. Fonem /e, è/ adalah vokal sedang – depan yang dibuat dengan daun lidah dinaikan, tetapi agak rendah dari fonem /i/ sehingga bentuk mulut menjadi netral, artinya tidak terentang atau tidak membundar. Fonem /u/ merupakan vokal tinggi – belakang diucapkan dengan menaikan pangkal lidah setinggi mungkin kemudian bentuk mulut tertutup bulat. Fonem /o/ adalah vokal sedang – belakang yang dibuat dengan menaikan pangkal lidah, tetapi agak rendah dari fonem /e, è/ kemudian bentuk mulut tertutup bulat tapi tak sebulat fonem /u/. fonem /ng/ merupakan konsonan nasal velar yang dibentuk menempelkan belakang lidah pada langit-langit lunak dan udara kemudian dilepas melalui hidung.

Proses munculnya bunyi /ng/ karena proses asimilasi morfem {N-} dengan fonem /a/. Fonem /a/ pada awal kata ako dikekalkan dan disenyawakan dengan bunyi nasal /ng/ dari morfem prefiks {N-} tersebut seperti tampak pada rumus sebagai berikut.

Rumus = /N-/ + /a..../ → /nga.../ = /N - / + / ako + a / → /ngakoa / b Perubahan fonem akibat asimilasi fonemis

morfem sufiks

1) Konsonan tak bersuara menjadi bersuara Konsonan tak bersuara /k, p, t/ pada akhir bentuk dasar akan berubah menjadi konsonan bersuara aspira /gh, bh, dh/ karena karena berasimilasi dengan vokal /ə/ . Dan perubahan /a/ menjadi /â/ pada sufiks /a, an, -ana, -aghi, -na / jika begrabung dengan konsonan bersuara tapi bukan nasal.. Asimilasi

tersebut dinamakan asimilasi progresif, yaitu terjadi apabila arah pengaruh itu ke depan. Proses perubahannya, ialah konsonan bersuara itu mempengaruhi fonem /a/ hingga menjadi /â/ pada morfem sufiiks.

Faktor perubahan fonem /k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ karena penggunaan vokal /ə/ dalam bahasa Madura dilambangkan /â/. Fonem /â/ merupakan vokal sedang – tengah yang diucapkan dengan bagian tengah lidah agak dinaikkan. Jadi karena proses bunyi [â] tersebut maka fonem /k, p, t/ pada akhir kata dasar mendapat akhiran /â/( dalam pelafalan ) jika dilafalkan secara otomatis fonem /k, p, t/ berubah menjadi /gh, bh, dh/. Perubahan /k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ merupakan hasil asimilasi yang homorgan penuh.

2) Konsonan tak bersuara menjadi bersuara akibat morfem {-na}

Proses penggabungan morfem {-na} dengan konsonan /k, p, t/ terjadi perangkapan dan peluluhan, yaitu jika bentuk dasar bergabung dengan morfem {-na} maka fonem /n/ pada morfem {-na} diluluhkan kemudian diikuti perangkapan konsonan pada akhir kata dasar itu, misal pada akhir kata dasar itu /k, p,t/ mendapat morfem {-na} maka ditulis /kk, pp, tt/. Dan karena pengaruh fonem /â/ maka fonem /kk, pp, tt/ menjadi /ggh, bbh, ddh/.

Proses pembentukan babatekna, karepna, muridna berubah menjadi babatekka, kareppa, moretta karena mendapat sufiks –na, jadi fonem /n/ pada sufiks -na menjadi fonem akhir darik kata dasar itu sehingga ditulis rangkap pada akhir kata dasar itu.

Proses pembentukan fonem rangkap pada akhir kata /k, p, t/ menjadi /kk, pp, tt/ karena penggunaan vokal /a/ bukan /â/ yang digunakan sebagian orang Madura), jadi fonem /a/ tidak dapat mengubah fonem /kk, pp, tt/ menjadi /ggh, bbh, ddh/, karena fonem /a/ adalah vokal rendah-tengah yang dihasilkan dengan bagian tengah lidah agak merata dan mulut terbuka lebar, jadi karena fonem /a/ dihasilkan seperti itu maka secara otomatis hanya terjadi perangkapan /kk, pp, tt/.

Rumus: bâbâtek + na → bâbâtekna → bâbâtekka → bâbâtegghâ

2. Proses Penambahan Fonem a. Penambahan fonem /y/

Penambahan fonem /y/ terjadi pada bentuk dasar dengan /e, è/ atau /i/ yang mendapat morfem sufiks {-a, -an, -ana, aghi, dan bentuk dasar yang berawal /a/ yang mendapat prefiks {e-/è-}

Proses penambahan fonem /y/, karena /i/ bergabung dengan fonem /â/ pada sufiks. Vokal /i/ termasuk vokal tinggi-depan, sedangkan vokal /â/ merupakan vokal sedang-tengah. Jika fonem /i/ dilafalkan kemudian diteruskan ke fonem /â/ tanpa adanya pemberhentian diartikulasi, maka ditengah-tengah kedua fonem itu menghasilkan bunyi [y]. alasan lain terjadinya bunyi [y] karena dalam pembentukan bunyi [y] dimulai dengan pembentukan bunyi /i/ yang merupakan vokal tinggi, sehingga bila ditinggikan sedikit saja maka jarak antara lidah dan langit-langit akan begitu sempit kemudian udara pada jalan sempit itu bergetar, itulah proses terjadinya bunyi [y]. maka ketika fonem /i/ dilafalkan dengan bentuk bibir terentang kesamping kemudian bentuk bibir berubah netral untuk menghasilkan bunyi [â] secara tidak langsung akibat perubahan bentuk bibir itu menghasilkan bunyi [y].

Contoh:

nyarè + a --- [nyarèya] ènyarè + aghi --- [ènyarèyaghi] ècampolè + aghi --- [ècampolèyaghi] b. Penambahan fonem /w/

Terjadi pada kata dasar yang berakhir vokal /o/ atau /u/ yang mendapat morfem sufiks {-a, -an, -ana, -aghi, -e/i}.

Proses penambahan fonem /w/ pada pelafalan, karena fonem /u/ berganbung dengan fonem /a/ pada sufiks. Vokal /u/ merupakan vokal tinggi belakang, sedangkan vokal /a/ merupakan vokal rendah tengah. Proses penambahan fonem /w/ diantara fonem /u/ dan /a/, jika fonem /u/ dilafalkan tanpa ada hambatan pada artikulasi atau diteruskan ke fonem /a/ maka akan menghasilkan fonem /w/. alasan lain penambahan fonem /w/ diantara fonem /u/ dan /a/, karena bunyi [w] berawal dari bunyi [u] maksudnya, vokal /u/ adalah vokal bundar, berarti bibir-bibir berbentuk bundar, apabila kedua bibir itu lebih saling

didekatkan lagi, maka saluran diantaranya menjadi begitu sempit sehingga udara diantara mulai bergetar, dan hasilnya ialah fonem /w/, maka ketika fonem /u/ dilafalkan dengan bentuk bibir bundar kemudian bentuk bibir berubah terbuka lebar untuk menghasilkan bunyi [a] maka secara tidak langsung akibat perubahan bentuk bibir itu menghasilkan bunyi [w].

Contoh:

karato + anna --- [karatowanna] emoso + aghi --- [emosowaghi] naro + ana --- [narowana] ngako + a --- [ngakowa] pasèmo + an --- [pasèmowan] c. Penambahan bunyi glotal /?/

Penambahan fonem /?/ terjadi pada bentuk dasar yang berawal dengan vokal /a, o/ yang mendapat prefiks ma-, sa-, ka-, ta-, pa-, dan bentuk dan yang berakhir dengan vokal /a/ yang mendapat sufiks –a, -an, -ana, -aghi serta penggabungan vokal sama baik berupa dalam kata dasar, prefiks maupun sufiks.

Bunyi hamzah atau glotal /?/ dihasilkan dengan cara menutupnya pita-pita suara secara tiba-tiba. Di dalam pembentukan bunyi vokal, pita-pita suara tertutup terlebih dahulu sebelum vokal itu berbunyi, dalam fonetiknya di dilambangkan [?a, ?i, ?u, ?e, ?o]. Penambahan bunyi hamzah itu terjadi karana penggabungan vokal dengan vokal baik berupa sufiks, prefiks, maupun kata dasar itu sendiri. Proses penmabahan bunyi hamzah antara vokal dengan vokal, karena pertama diucapkan dengan menekan seluruh panjangnya pita suara dan langit-langit lunak beserta anak tekaknya ke atas sehingga arus udara terhambat untuk beberapa saat. Dengan merapatnya sepasang pita suara maka glotis dalam keadaan tertutup rapat, kemudian vokal kedua dilafalkan maka secara tiba-tiba kedua pita selaput udara terjadilah bunyi hamzah. Contoh:

ngara + a --- [ngara?a] aghuna + aghi --- [aghuna?aghi] emamfaat +aghi --- [emamfaat?aghi] ngobâsa + anna --- [ngobâsa?anna] èbhidâ + aghi --- [èbhidâ?aghi]

75 3. Proses asimilasi yang tidak homorgan

akibat { N- }

1) Fonem /f/ frikatif-labiodental tidak homorgan dengan fonem /m/ nasal-bilabial, berasimlasi karena /f/ dibilabialisasi nasal yaitu mentupnya bibir atas dan bibir bawah terkatup rapat sementara waktu kemudian dilepas, sehingga [f] diluluhkan dan disenyawakan dengan [m], proses ini terjadi pemunculan /m/ karena tidak homorgan. Seperti contoh di bawah ini : / N- + faham + e /  / mahame / 2) Fonem /s/ frikatif-alveolar tidak

homorgan dengan fonem /ny/ nasal-palatal, berasimlasi karena /s/ dipalatalisasi nasal yaitu menempelnya depan lidah pada langit-langit keras sehingga [s] diluluhkan dan disenyawakan dengan [ny]. Proses ini terjadi karena / ny / tidak homorgan. Seperti contoh di bawah ini :

/ N- + sassa /  / nyassa /

3) Fonem /h/ frikatif-glotal tidak homorgan dengan fonem /ng/ nasal-bilabial, berasimlasi karena /h/ divelarisasi nasal yaitu pengangkatan pangkal lidah pada langit-langit lunak sehingga [f] diluluhkan dan disenyawakan dengan [ng]. proses ini terjadi karena / ng / tidak homorgan. Seperti contoh di bawah ini :

/ N- + haram + aghi /  / ngaramaghi / 4) Fonem /l/ lateral-alveolar tidak

homorgan dengan fonem /ng/ nasal-velar, berasimlasi karena /l/ divelarisasi-nasal yaitu menempelnya depan lidah pada langit-langit keras sehingga [l] dikekalkan dan disenyawakan dengan [ng], serta terjadi penambahan fonem / a / pada / ng / menjadi / nga /. Proses ini terjadi pemunculan / nga / karena tidak homorgan. Seperti contoh di bawah ini : / N- + lantor /  / ngalantor /

5) Vocal / a, i, u, e, o / tidak homorgan dengan fonem / ng / nasal-velar, berasimlasi karena, vocal divelarisasi nasal yaitu pengangkatan pangkal lidah pada langit-langit lunak sehingga vocal

dikekalkan dan disenyawakan dengan [ ng ]. Proses ini pemunculan terjadi karena / ng / tidak homorgan. Seperti contoh di bawah ini :

/ N- + ara /  / ngara / 4. Faktor Yang Berpengaruh

Faktor berubahnya /k, p, t, s/ menjadi /gh, bh, dh, sâ/ di akhir kata dasar, karena factor pemakaian vokal /ə/ ( dalam bahasa madura dulambangkan /â/ ) yang merupakan vocal sedang-tengah, jadi karena pemakaian vocal tersebut fonem /k, p, t, s/ pada akhir kata dasar bila di ikuti fonemn /â/ ( dalam pelafalan ) akan menjadi /gh, bh, dh, sâ/ karena langsung mengikuti bunyi [â] yang digunakan sebagian orang Madura. Sepeti contoh di bawah ini :

- ekolak + a  ekolaka  ekolaghâ

- ekotep + a  ekotepa  ekotebhâ - epettat + a  epettata  epttadhâ - apes + na  apesna  apessa  apessâ

Faktor tidak berubahnya fonem /k, p, t, s/ menjadi /gh, bh, dh, sâ/ dikarenakan sebagian orang Madura menggunakan vocal /a/ jadi vocal tersebut tidak mempangaruhi fonem /k, p, t, s/, dan langsung mengikuti vocal /a/ jika fonem di akhir kata dasar /k, p, t, s/ dilafalakan. Seperti contoh di bawah ini : - ekolak + a  ekolaka

- ekotep + a  ekotepa - epettat + a  epettata

- apes + na  apesna  apessa

Faktor tidak berubahnya fonem /k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ dikarenakan sebagian orang Madura menggunakan vocal /i/ dari alumorf /-e/ pada akhiran ( sufiks ), karena vokal /i/ merupakan vokal tinggi-depan jadi vocal tersebut mempangaruhi fonem /k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ dan langsung mengikuti vocal /i/. Dan vokal /e/ tdak dapat mengubah /k, p, t/ menjadi /gh, bh, dh/ karena vokal /e/ merupakan vokal sedang-depan. Seperti contoh di bawah ini :

- ngolok + i  ngolghi - ngadep + i  ngadebhi - ngolat + i  ngoladhi

contoh /e/ tidak dapat berasimilasi : - ngolok + e  ngoloke

- ngadep + e  ngadepe - ngolat + e  ngolate

Di samping dijumpai gejala perubahan fonem seperti yang telah terungkap, dalam bahasa Madura juga dijumpai serupa sufiks baru yaitu, {-ne} yang bermakna: perintah, misalnya:

- ako + ne  akoné  akui - kobâsa + ne  kobâsané  kuasai - bâdâ + ne  bâdâné  penuhi - tampa + ne  tampane  terimalah

Gejala serupa terjadi pada kata berikut menyatakan makna sudah, misalnya:

- tekka  / N- + tekka + ne /  nekkane  ‘sudah mencukupi/memenuhi’ Penutup

Seperti halnya bahasa nusantara lainnya, dalam bahasa Madura dijumpai kaidah morfofonemik yang meliputi (1) perubahan fonem awal bentuk dasar menjadi /m/, /n/, /ng/, dan /ny/ secara homorgan pada prefiksasi, (2) perubahan fonem akhir bentuk dasar /k/, /p/, /t/ menjadi /gh/, /bh/, /dh/ secara homorgan pada sufiksasi, (3) pemunculan fonem /nga / pada awal kata yang mirip dengan prefiksasi dan fonem /ne/ di belakang kata yang mirip dengan sufiksasi dan (4) dan penambahan fonem /y/, /w/, dan / ‘ / (glotal stop) pada pertemuan dua vokal.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Asdi Mahasiswa.

Chaer, Abdul. 2003. Tata Bahasa Baku

Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

____________. 2003. Linguistik Umum.

Rineka Cipta : Jakarta

Depdikbud. 2007. Kamus Bahasa

Madura-Madura-Indonesia. Tim penyusun

Pakem Maddhu. Pamekasan.

_________. 2004. Pedoman Ejaan Bahasa

Madura Yang Disempurnakan.

Surabaya : Balai Pustaka.

Hadi, Sutrisno, 1987. Metodologi Resarch. Andi Offect : Yogyakarta.

Kridalaksana, Harimurti. 1994.

Pembentukan Kata Dalam

Bahasa Indonesia. Jakarta : PT.

Gramadia Pustaka Utama.

Marsono. 2006. Fonetik, Gadjah Mada

University Press : Yogyakarta.

Moleong, Lexi. J. 2000. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Oka, I Gusti Ngorah. 1989. Tata Bahasa

Acuan Bahasa Madura. Jakarta:

Depdikbud.

_________. 1974. Probelematika Bahasa

dan Pengajaran Bahasa Madura.

Surabaya : Usaha Nasional. Pratista, Mudiman Haksa, 1984. Sistem

Perulangan Bahasa Madura,

Jakarta : Dekdikbud.

Ramlan, 2001. Morfologi, Yogyakarta : CV. Karyono

Sugiarto, 2003. Teknik Sampling. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. Surakhmad, Winarno, 1998. Pengantar

Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung : Tarsito.

Sedarmayanti, 2002. Metodologi Penelitian. Bandung : Mandar

Maju

Verhaar, J.W.M. 2004, Asas-Asas

Linguistik Umum. Gajah Mada University Press : Yogyakarta.

Dokumen terkait