• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN

A. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP merumuskan perbuatan perkosaan (Rape) pada Pasal 285 yang

bunyinya sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Berdasarkan pasal 291 ayat (2), jika pemerkosaan tersebut mengakibatkan matinya perempuan itu, ancaman menjadi lima belas tahun penjara.31

Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki

beberapa Unsur yaitu:32

1. Barangsiapa

2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

3. Memaksa

4. Seorang wanita bersetubuh dengan dia

5. Diluar perkawinan

Walaupun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan

keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan

yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur 31

Leden Marpaung, 1997, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya,

Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm.49

32

memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP,

kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan

dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang

telah kita ketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus

dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus

dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan

yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah

didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.33

Unsur obyektif pertama dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam

Pasal 285 KUHP ialah unsur barangsiapa. Kata barangsiapa ini menunjukkan

orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana

yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak

pidana perkosaan tersebut.34

Unsur obyektif kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285

KUHP ialah unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Menurut

Tirtaamidjaja, yang dimaksudkan dengan kekerasan adalah setiap perbuatan yang

dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat. “Kekerasan atau ancaman

kekerasan “ tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian

rupa sehingga berbuat lain tidaj memungkinkan baginya selain membiarkan

dirinya untuk disetubuhi.35

33

P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit, hlm.97 34

Ibid, hlm.98 35

Menurut Hoge Raad dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 5

Januari 1914, NJ 1914 halaman 397,W.9604 dan tanggal 18 Oktober 1915,NJ

1915 halaman 1116, mengenai ancaman kekerasan tersebut disyaratkan yakni:36

Orang belum dapat memperoleh penjelasan tentang apa sebenarnya Dari

arrest-arrest Hoge Raad tersebut mengenai apa yang dimaksudkan dengan

ancaman kekerasan atau ancaman akan memakai kekerasan, karena arrest-arrest

tersebut hanya menjelaskan tentang caranya ancaman itu harus diucapkan. Karena

kekerasan tidak hanya dapat dilakukan dengan memakai tenaga badan yang

sifatnya tidak terlalu ringan, yakni seperti yang dikatakan oleh prof. Simons,

melainkan juga dapat dilakukan dengan memakai sebuat alat, sehingga tidak

diperlukan adanya pemakaian tenaga badan yang kuat, misalnya menembak

dengan sepucuk senjata api, menjerat leher dengan seutas tali, menusuk dengan

sebilah pisau dan lain-lainnya, maka mengancam akan memakai kekerasan itu

harus diartikan sebagai suatu ancaman yang apabila yang diancam tidak bersedia

memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan a. bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang

demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang

diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat

merugikan kebebasan pribadinya.

b. bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan

kesan seperti itu.

36

pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi

kebebasan, kesehatan, atau keselamatan nyawa orang yang diancam.

Unsur ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah

unsur memaksa. “memaksa” berarti di luar kehendak dari si wanita tersebut atau

bertentangan dengan kehendak wanita itu. Satochid Kartanegara menyatakan

antara lain:37

Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga

dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita menjadi terpaksa

bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian

memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin. Dalam hal ini kiranya

sudah jelas bahwa keterpaksaan wanita tersebut harus merupakan akibat dari

dipakainya kekerasan akan dipakainya ancaman akan memakai kekerasan oleh

pelaku atau oleh salah seorang dari para pelaku.

“Perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan

sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.

38

Unsur objektif keempat dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285

KUHP ialah seorang wanita bersetubuh dengan dia. Kalau bukan wanita (dalam

hal homoseks) maka tidak dapat diterapkan Pasal 285 KUHP ini. Perlu diketahui

bahwa kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP telah menyebutkan adanya berbagai

wanita, masing-masing yakni: a. wanita yang belum mencapai usia dua belas

tahun (Pasal 287 ayat (2) KUHP), wanita yang belum mencapai usia lima belas

37

Leden Marpaung, Log.Cit.,

38

tahun (Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 290 angka 3 KUHP, wanita yang belum dapat

dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP), dan wanita pada umumnya.39

Pengertian “Bersetubuh” menurut Tirtaamidjaja berarti persentuhan

sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya

dapat menimbulkan kehamilan. Pengertian bersetubuh diartikan bahwa penis telah

penetrasi kedalam vagina.

Adapun yang

dimaksud dalam Pasal 285 KUHP adalah wanita pada umumnya.

40

Bila ternyata pelaku tidak berhasil memasukkan

penisnya kedalam vagina korban, misalnya karena korbannya telah memberikan

perlawanan, maka pelaku dapat dipersalahkan karena telah melakukan suatu

percobaan pemerkosaan yakni melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 53

ayat (1) jo. Pasal 285 KUHP, dan sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur

dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana penajara

selama-lamanya 8 tahun bagi pelaku yakni sesuai ketentuan pokok terberat yang

diancamkan dalam Pasal 285 KUHP dikurangi sepertiganya.41

Hal ini berbeda dengan KUHP Norwegia. Beberapa ketentuan menarik

dari ketentuan KUHP Norwegia ialah: 42

a. Untuk dapat dikatakan ada perkosaan (rape) tidak perlu ada

persetubuhan “(sexual intercourse”); cukup apabila memaksa

seseorang untuk melakukan hubungan tidak senonoh/perbuatan cabul

39

Ibid.,

40

Leden Marpaung, Op.Cit.,hlm. 53 41

P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit., hlm.103

42

Barda Nawawi Arief, 2006, Perbandingan Hukum Pidana ,Jakarta,Penerbit PT Raja Grafindo Persada, hlm. 178

(“indecent relations”) . Dalam hal demikian ancaman pidananya

berkisar antara 1-10 tahun penjara. Tetapi apabila “indecent relations”

itu berupa “sexsual intercourse” maka pidananya diperberat yaitu

dikenakan pidana minimal tidak kurang dari 3 tahun penjara (ps.192).

Jadi, adanya “sexual intercourse” bukan syarat untuk adanya

perkosaan, tetapi hanya sebagai alasan factor pemberat pidana.

Apabila perkosaan berakibat luka-luka berat atau mati, minimal

pidananya menjadi 4 tahun dan maksimumnya pidana penjara seumur

hidup (dalam konsep KUHP minimalnya 5 tahun dan maksimumnya

15 tahun penjara).

Unsur objektif kelima dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam

Pasal 285 KUHP ialah unsur di luar perkawinan. Di luar perkawinan berarti bukan

istrinya.

Dari peraturan ini dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut:43

a. Korban perkosaan harus seorang perempuan, tanpa batas umur.

b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini

berarti tidak ada persetujuan dari korban mengenai niat dan tindakan

si pelaku.

c. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai

dengan melakukan kekerasan atau ancaman terhadap perempuan

tersebut.

43

Para feminis mengkritik KUHPidana. Seperti di negara-negara patriarki

lainnya, KUHPidana Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai

manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria.

Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh dan seksualitas belaka.

Hal ini juga tampak pada pasal tentang perkosaan (Pasal 285 KUHP) yang

mengisyaratkan korban harus bukan istri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk

hubungan seksual yang dalam keputusaan Hoograad (Mahkamah Agung Hindia

Belanda) tanggal 5 Februari 1912 diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”.

Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari perspektif korban (perempuan),

misalnya dengan melihat apakah harga diri atau HAM perempuan sudah tercabik-

cabik.44

Salah satu aspek yang digugat atau dipertanyakan eksistensinya oleh

pemerhati dan lembaga advokasi masyarakat adalah aspek yuridis (KUHP), yang

dinilainya punya kelemahan mendasar, sehingga sulit diharapkan dapat

diimplementasikan secara maksimal guna menanggulangi pelaku kejahatan

kekerasan seksual (perkosaan). KUHP Indonesia yang dijadikan acuan bagi

kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual

mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban

kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang

istimewa.

45

44

Sulistyowati Irianto, 2006, Perempuan dan Hukum:Menuju Hukum Yang

Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm.8-9

45

Abdul Wahid & Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung, Penerbit Refika Aditama,hlm. 109

Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 285

KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung

oleh pelaku adalah dua belas tahun penjara, apabila mengakibatkan matinya

perempuan diancam pidana penjara lima belas tahun. Hal ini adalah ancaman

hukuman maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus

ditetapkan begitu. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat

diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang

menjatuhkan vonis. 46

R. Soesilo mengatakan bahwa yang diancam hukuman dalam Pasal 285

KUHP tentang perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya. Dari Pasal 285

ini juga dapat ditarik kesimpulan bahwa (a) korban perkosaan harus seorang

wanita tanpa batas umur; (b) korban harus mengalami kekerasan atau ancaman

kekerasan. Hal ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat

dan tindakan pelaku.47

Berdasarkan di atas jelaslah bahwa perkosaan itu dilakukan dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga si korban pingsan atau tiada

berdaya lagi untuk mengadakan perlawanan terhadap si pelaku sebelum maupun

sesudah dia diperkosa. Apabila perbuatan itu dilakukan tanpa kekerasan atau

ancaman kekerasan, maka perbuatan itu tidak dapat digolongkan kedalam

46

Ibid.

47Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: pendekatan Integral Penal Policy dan Non

Penal Policy Dalam penanggulangan Kejahatan kekerasan, Medan, Penerbit Pustaka Bangsa

pengertian perkosaan tetapi kemungkinannya termasuk dalam pengertian

persetubuhan suka sama suka.

Rumusan pasal tentang larangan perkosaan tersebut dalam kenyataannya

tidak relevan dengan makna perbuatan perkosaan itu sendiri. Dalam rumusan

tersebut hanya perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk

memaksa seorang wanita bersetubuh diluar perkawinan lah yang dikategorikan

sebagai perkosaan. Perbuatan dengan kekerasan antau ancaman kekerasan untuk

memaksa seorang wanita yang terikat perkawinan untuk melakukan persetubuhan,

tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan, padahal pemaksaan atau kekerasan

untuk melakukan persetubuhan seharusnya dikategorikan sebagai perbuatan yang

dilarang, karena menafikan adanya penghargaan atas kemanusiaan seseorang yang

paling esensial berupa adanya persetujuan untuk melakukan perbuatan yang

teramat intim, baik itu diluar atau didalam perkawinan. Dengan merumuskan hal

itu, Pasal 285 KUHP telah menyatakan bahwa perempuan yang telah terikat

perkawinan tidak lagi memiliki hakekat kemanusiaan untuk melakukan

persetujuan persetubuhan, atau tidak perlu lagi dimintai persetujuannya.48

48

Sulistyowati Irianto, Op.Cit ,hlm. 58

Pasal 285 KUHP ini juga kurang mampu mengakomodir perlindungan

para korban, karena perkosaan bisa saja terjadi tanpa adanya kekerasan atau

ancaman kekerasan. Bagaimana kalau misalkan perkosaan itu tidak dilakukan

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, namun dengan modus penipuan,

seperti contoh kasus dibawah ini, apakah pelaku akan lepas dari jerat

Contoh kasus:49

Perkosaan dilakukan dengan modus penyembuhan. Korban dibuat

bingung dengan pemikiran tentang kondisi dirinya yang sakit secara fisik dan

psikis. Perkataan pelaku yang dapat menyembuhkan korban membuat ia mau

melakukan permintaan pelaku. Korban tidak mau menceritakan kejadian yang

dialaminya kepada pihak keluarga dengan alasan tidak mau menambah beban

keluarganya. Korban merasa pusing dan mual, bahkan muntah selama beberapa

hari setelah kejadian tersebut. Akibatnya, Korban merasa kesakitan dan sadar

bahwa apa yang terjadi pada dirinya bukanlah sebuah proses penyembuhan. Ia

merasa jijik pada saat pelaku meraba alat kelaminnya. Setelah itu ia merasa

menyesal, jijik, benci kepada pelaku, dan marah. Akan tetapi ia tidak berani

mengungkapkan hal tersebut sehingga semua perasaan tersebut hanya dipendam

sendiri dan untuk jangka panjang ia memiliki perasaan ketakutan jika teman kost

tahu apa yang terjadi padanya. Korban mengalami pendarahan selama tiga hari.

Korban merasa benci dan jijik apabila mengingat peristiwa tersebut serta melihat

bekas-bekas gigitan di badannya. Setelah kejadian tersebut korban mengalami

perasaan ingin muntah, mual dan tidak dapat diisi makanan pada pagi hari.

Menurut teman-temannya jika tidur korban sering menceracau atau mengigau. Hal

ini berlangsung kurang lebih selama satu bulan. Pada awalnya korban tidak ingin

teman-teman kostnya tahu kecuali teman sekamarnya. Korban juga tidak

memberitahu pihak keluarganya dengan alasan ia tidak ingin menambah masalah

49

Sumber: Jurnal Psikologi, Faturochman, 2001, Perkosaan, Dampak, Dan Alternatif Penyembuhannya,Yogyakarta,2001,http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/JURNAL%20%20Perkosaan,% 20Dampak%20&%20Altenatif%20Penyembuhannya.pdf, diakses pada 05/03/2013, 10.36 Wib

dan beban bagi keluarganya, terutama bagi ibu korban. Pada kasus ini, korban

yang mengetahui kesulitan ekonomi yang dimiliki oleh keluarganya di luar Jawa

lebih memilih tidak memberitahukan masalah yang dialaminya. Ia merasa lebih

baik merahasiakan peristiwa yang dialaminya daripada menambah beban

keluarga.

Rumusan Pasal 285 KUHP tentunya tidak bisa menjerat pelaku tindak

pidana perkosaan dalam kasus di atas, karena rumusan dalam Pasal 285 KUHP

hanya merumuskan bahwa perkosaan itu dilakukan dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, sedangkan dalam contoh di atas perkosaan dilakukan dengan

modus penipuan, perempuan tersebut diperdaya dan diperkosa. Dalam konteks

masyarakat saat ini, rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP ini

tentunya sangat ketinggalan zaman, karena kejahatan perkosaan saat ini

mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya.

Misalnya; bagaimana jika seandainya “perkosaan” itu terjadi tidak dalam bentuk

persetubuhan (contohnya dengan memasukkan penis ke mulut dan anus atau

memasukkan benda-benda lain ke vagina). Bagaimana jika perkosaan tersebut

terjadi terhadap istri (marital rape)? tentunya pertanyaan ini juga tidak dapat

dijawab oleh pengaturan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP. Jika

para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) tetap mengacu pada Pasal 285 KUHP

perkosaan dan pemerkosa yang lepas dari jeratan hukum karena perbuatannya

tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur Pasal 285 KUHP.50

Kita ketahui bahwa dalam penerapannya, melalui putusan-putusan

pengadilan rumusan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan ini hanya dapat

diterapkan pada perbuatan memasukkan alat kelamin laki-laki kedalam alat

kelamin perempuan, sehingga perbuatan memasukkan benda lain kedalam alat

kelamin perempuan tidak dikategorikan sebagai atau diberikan sanksi seberat

perbuatan perkosaan.51

Berdasarkan Pasal 285 KUHP tidak termasuk perkosaan dalam rumah

tangga atau suami memperkosa isterinya yang disebut marital rape. Ketentuan ini

tidak melarang perkosaan terhadap isteri oleh suaminya. Kelemahan hukum

pidana ditentukan pula karena usia KUHP yang sudah tua sebagai induk hukum

pidana, permasalahannya, menyangkut nilai yang ada dibalik norma-norma

hukum (KUHP), yang sudah barang tentu dilatarbelakangi budaya barat yang

lebih kental nilai-nilai individualistisnya. Sementara itu, nilai-nilai masyarakat Rumusan Pasal 285 KUHP ini hanya mendefinisikan bahwa perkosaan

dilakukan hanya di luar perkawinan". Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti

bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat

belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan

akan tetapi masuk dalam kategori percabulan. Rumusan ini dinilai diskriminatif,

dan ikut berperan serta dalam membakukan nilai yang berlaku di masyarakat

berkenaan dengan harkat dan martabat wanita

50

Sumber: diakses pada 25/03/2013, 11.32 Wib

51

kita lebih bersifat komunal, dan perkembangannya menuju nilai-nilai universal,

khususnya nilai keadilan yang semestinya diwujudkan melalui hukum, termasuk

keadilan jender.52

Logika konkret ketentuan di atas menyiratkan bahwa ada perlindungan

abstrak atau tidak langsung yang diberikan undang-undang sebagai kebijakan

formulatif kepada korban kejahatan. Perlindungan tersebut meliputi penjatuhan

hukuman oleh hakim dengan penetapan syarat umum dan syarat khusus berupa

ditentukan terpidana mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Akan

tetapi, ternyata aspek ini sifatnya abstrak atau perlindungan tidak langsung karena

sifat syarat khusus tersebut berupa penggantian kerugian adalah fakultatif,

bergantung kepada penilaian hakim. Oleh Karena itu, dengan asas keseimbangan Ketentuan KUHP memang ada memberikan perlindungan terhadap

korban kejahatan secara implisit. Aspek ini terlihat melalui ketentuan Pasal 14c

ayat (1) KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14 a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana, hakim boleh mangadakn syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagian saja, yang akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada itu juga, yang kurang pada masa percobaan itu.

52

Rio Armanda Agustian, Peneliti Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas BangkaBelitung

individu dan masyarakat (Asas monodualistik) seharusnya perlindungan terhadap

korban kejahatan dalam KUHP sifatnya imperative. 53

Hakikatnya, dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat menurut

Pasal 14c KUHP hakim dapat menetapkan syarat khusus berupa mengganti

kerugian akibat tindak pidana sehingga seolah-olah ganti rugi tersebut berfungsi

sebagai pengganti pidana pokok. Barda Nawawi Arief menyebutkan penetapan

ganti rugi ini jarang diterapkan dalam praktik karena mengandung beberapa

kelemahan, antara lain:54

a. Penetapan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi

yang berdiri sendiri disamping pidana pokok, ia hanya dapat menjatuhkan

pidana bersyarat, jadi hanya sebagai syarat khusus untuk tidak menjalani

pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;

b. Penetapan syarat khusus berupa ganti rugi ini pun hanya diberikan apabila

hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana

kurungan.

c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanya bersifat

fakultatif, tidak bersifat imperatif.

KUHP menunjukkan pengaturan mengenai korban yang tidak memadai,

seperti ketentuan dalam Pasal 14c KUHP, Padahal, kerugian yang diderita korban

sangat berat. Perempuan korban perkosaan menanggung beban mental yang lebih

berat dibandingkan hukuman bagi pemerkosanya. Korban ada kemungkinan akan

mengalami cacat seumur hidup dan menerima tekanan dari masyarakatnya.

53

Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm.262 54

Dampak lain menyangkut gangguan emosi sebagai beban psikologis dan

berpengaruh secara psikis (misalnya schizoprenia) dan fisik (physiological

disorder), ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidakbahagiaan, merasa terbuang, cacat tubuh, serta kematian. Di samping itu, cemoohan dari masyarakat, perasaan

tertekan merasa dirinya telah kotor dan berdosa. Ditambah lagi tekanan-tekanan

yang timbul dari proses peradilan baik sebelum sidang, selama sidang, maupun

setelah sidang semakin menderitakan korban. Begitu juga vonis yang ringan

terhadap kasus perkosaan tidak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya.

Menurut asumsi Lilik Mulyadi ketentuan pasal 14a, b, dan c KUHP,

bentuk syarat khusus berupa ganti kerugian bukan salah satu jenis pidana

sebagaimana ketentuan Pasal 10 KUHP dan aspek ini tetap mengacu pada pelaku

tindak pidana (offender Oriented) dan bukan pada korban tindak pidana (victim)

yang lazimnya mengalami viktimisasi sekunder (secondary victimization), karena

itu dengan titik tolak agar korban kejahatan tidak terasing lagi, bukan sebagai

Cinderella dari hukum pidana maka penempatan pembayaran ganti rugi dan

pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang

hidup dalam masyarakat sesuai ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d,e Konsep RUU

KUHP diharapkan korban tidak terasing lagi. 55

1) Pidana tambahan terdiri atas:

Ketentuan Pasal 67 Konsep RUU KUHP Tahun 2006 berbunyi sebagai

berikut:

55

a. Pencabutan hak tertentu;

b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

c. Pengumuman putusan hakim

d. Pembayaran ganti kerugian; dan

e. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut

hukum yang hidup dalam masyarakat

2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok,

sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama

dengan pidana tambahan yang lain.

3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat

setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam

masayrakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat

dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.

4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan

adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

Rumusan sanksi pidana dalam konsep RUU KUHP ini lebih baik bila

dibandingkan daripada rumusan dalam KUHP saat ini, karena ada diatur

mengenai ganti kerugian, pemenuhan kewajiban setempat.

Mengenai rumusan tindak pidana perkosaan RUU KUHP 1999/2000

Direvisi 2004/2005 merumuskannya pada pasal 489 bunyinya sebagai berikut:

1) dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana

a. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan diluar

perkawinan , bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;

b. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan diluar