• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA PERKOSAAN DARI PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

(Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

090200135 SUSANTI NABABAN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINDAK PIDANA PERKOSAAN DARI PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

(Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

090200135 SUSANTI NABABAN

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP: 195703261986011001 Dr.Muhammad Hamdan,S.H., M.H

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II.

Abul Khair, S.H., M.Hum.

NIP: 196107021989031001 NIP: 197407252002122002 Rafiqoh Lubis, S.H.M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang oleh

kasih dan kemurahan-Nya yang senantiasa menuntunku dan memampukan aku

dalam menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Mendan.

Adapun judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah “Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana (Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban)”. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak menemukan kendala, namun berkat kasih dan pertolongan Allah ku Penulis

berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan

yang berlaku.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis tidak lupa mengucapkan terima

kasih kepada pihak yang telah membantu penulis sehingga ini dapat diselesaikan.

Untuk itu semua, penulis mengucapkan terimah kasih kepada:

1. Orang tua Penulis yaitu, Bapak P. Nababan dan Ibu A. Dolok Saribu.

Terima kasih telah menjadi orang tua yang terbaik bagi penulis.

Terima kasih untuk doa, kesabaran, nasihat, dan kepercayaan Bapak

dan mama.

2. Saudara-saudara penulis yaitu, Jojor Theresia Nababan, Bastian Tito

Rehanto, Steven Roy Naldo (adik-adik penulis), buat kak Melda,

Dion, dan semua saudara penulis, serta semua keluarga penulis.

(4)

3. Prof. Dr. Runtung, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. M. Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

7. Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Bapak Abul Khair, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang

telah memberikan waktu untuk membimbing penulis dalam proses

penyelesaian skripsi ini;

9. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang

telah memberikan waktu, saran, dan sabar dalam membimbing penulis

dalam proses penyelesaian skripsi ini;

10. Bapak Zulkifli, S.H., selaku Dosen Penasihat Akademik Penulis

selama mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

11. Bapak/Ibu Dosen beserta seluruh staf pegawai di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

12. Kelompok Kecil Adonai ( K’ Adi, Sherly, Pero, Diyara, Monica) dan

(5)

Royanti, dan Irin), “tetaplah bersukacita dan berharap”! kiranya kita

semakin bertumbuh menjadi pribadi yang taat dan setia pada

kehendak-Nya.

13. UKM KMK FH USU yang menjadi tempat penulis belajar semakin

mengenal Tuhan dan mengasihi sesama, bertumbuh dan berjuang

untuk kemuliaan-Nya. Buat koordinasi dan seluruh komponen

pelayanan, terkhusus Komdo tahun lalu Dika dan tahun ini (Erma,

Nathan,) agar tetap setia dan semakin solid, “ semangat ya dek!”

14. Kelompok Gemar Belajar dan setiap anggota, “tetap semangat ya

sahabat”. Salam Persahabatan!

15. Kawan-kawan penulis Erikson, Esra, Rebekka, Marupa, Oyien,

Hotman, Pasca. Buat Sahabatku Kristauli, juga buat M. Virsa A.K.A

(terimah kasih buat dukungan dan korannya dek), Stella, dan seluruh

rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

16. Buat GMNI (seluruh bung dan sarinah) serta seluruh orang yang

Penulis kenal dan mengenal penulis

Medan, April 2013 Penulis

(6)

ABSTRAKSI

Susanti Nababan* Abul Khair** Rafiqoh Lubis***

Korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang sangat menderita. Mereka menderita baik secara fisik maupun psikis. Mereka seringkali terabaikan, kalaupun ada perhatian terhadap mereka terkadang itu hanya terbatas pada kepentingan menghadirkan mereka sebagai “saksi” dari tindak pidana perkosaan yang terjadi. Pemenuhan hak-hak pemulihan dan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan masih jauh dari yang diharapkan. Korban tindak pidana perkosaan perlu mendapat perlindungan yang konkret dan tegas.

Berdasarkan kenyataan ini, terdapat batasan masalah yang akan dibahas, yaitu apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban dan hal-hal apakah yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif , yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan.

Hukum Positif yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan belum memberikan perlindungan yang tegas dan konkret terhadap korban tindak pidana perkosaan. KUHP, KUHAP, UU No 13 Tahun 2006 serta UU No 23 Tahun 2004 belum dapat mengakomodir perlindungan korban tindak pidana perkosaan baik dalam rumusannya juga pelaksanaannya. Beberapa hal yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana yang menyangkut tentang tindak pidana perkosaan kaitannya dengan perlindungan korban diantaranya adalah dengan memberikan perlindungan bagi korban dalam proses pemeriksaan dan perumusan tindak pidana perkosaan dengan menghadirkan psikologi pendamping, mengatur secara khusus mengenai pembuktiannya, memperbaiki rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP, dan melakukan pemulihan bagi korban tindak pidana perkosaan.

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ABSTRAKSI

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 7

D.Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 1. ... P engertian Tindak Pidana Dan Tindak Pidana Perkosaan ... 9

2. ... Peng ertian Pembaharuan Hukum Pidana ... 13

3. ... Aspe k Perlindungan Terhadap Korban ... 16

F. ... Meto de Penelitian ... 23

(8)

BAB II : KAJIAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA YANG MENGATUR TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KAITAN DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN

A.Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 25 B. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) ... 43

C. Kajian Dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi Dan Korban ... 58

D.Kajian Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 64

BAB III : HAL-HAL YANG PERLU DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA YANG MENYANGKUT TINDAK PIDANA PERKOSAAN KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN

A. Perlindungan Korban Dalam Proses Pemeriksaan

Tindak Pidana Perkosaan dan Perumusan Tindak Pidana

Perkosaan ... 74

B. Perlindungan Korban Untuk Memperoleh Restitusi ... 83

C. Perlindungan Korban Untuk Mendapat Pemulihan /

Reparation ... 89

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 97

(9)

ABSTRAKSI

Susanti Nababan* Abul Khair** Rafiqoh Lubis***

Korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang sangat menderita. Mereka menderita baik secara fisik maupun psikis. Mereka seringkali terabaikan, kalaupun ada perhatian terhadap mereka terkadang itu hanya terbatas pada kepentingan menghadirkan mereka sebagai “saksi” dari tindak pidana perkosaan yang terjadi. Pemenuhan hak-hak pemulihan dan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan masih jauh dari yang diharapkan. Korban tindak pidana perkosaan perlu mendapat perlindungan yang konkret dan tegas.

Berdasarkan kenyataan ini, terdapat batasan masalah yang akan dibahas, yaitu apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban dan hal-hal apakah yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif , yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan.

Hukum Positif yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan belum memberikan perlindungan yang tegas dan konkret terhadap korban tindak pidana perkosaan. KUHP, KUHAP, UU No 13 Tahun 2006 serta UU No 23 Tahun 2004 belum dapat mengakomodir perlindungan korban tindak pidana perkosaan baik dalam rumusannya juga pelaksanaannya. Beberapa hal yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana yang menyangkut tentang tindak pidana perkosaan kaitannya dengan perlindungan korban diantaranya adalah dengan memberikan perlindungan bagi korban dalam proses pemeriksaan dan perumusan tindak pidana perkosaan dengan menghadirkan psikologi pendamping, mengatur secara khusus mengenai pembuktiannya, memperbaiki rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP, dan melakukan pemulihan bagi korban tindak pidana perkosaan.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah korban seringkali kurang mendapat perhatian, kalaupun ada

perhatian terhadap mereka, terkadang itu hanya terbatas pada kepentingan

menghadirkan mereka sebagai “saksi” dari tindak pidana yang terjadi. Sementara,

kepentingannya untuk memperoleh pemulihan (reparation) yang efektif,

seringkali tidak mendapat perhatian yang besar. Begitu jugalah halnya yang

dirasakan oleh korban tindak pidana perkosaan. Kasus perkosaan telah banyak

terjadi dan korbannya sangatlah menderita baik secara fisik maupun batin.

Beberapa contoh kasus perkosaan yang terjadi antara lain kasus

perkosaan terhadap gadis remaja 15 tahun, ia menangis histeris saat diperiksa

sebagai saksi korban didepan persidangan Pengadilan Negeri Bitung, ia dicegat

dan diperkosa di jalan perkampungan oleh terdakwa pria beristri (29 tahun).1

1

Sumber

(11)

Kasus perkosaan lain yang pernah terjadi adalah kasus perkosaan di

Gresik yang banyak melibatkan orang-orang dekat korban, Tahun 2009 sudah

tercatat tiga kasus perkosaan, yakni di wilayah Kecamatan Kedamaean, Menganti,

dan Sidayu. Terakhir korban yang masih duduk di kelas II SMA diperkosa kakak

ipar dan tetangganya sendiri.2 Kasus perkosaan lainnya yaitu 168 kasus perkosaan

terhadap warga keturunan Tionghoa yang terjadi pada saat kerusuhan, dua puluh

diantara korban tewas karena terperangkap api dan dibunuh.3 Kasus selanjutnya

adalah kasus perkosaan yang dialami seorang pembantu yang diperkosa oleh

majikannya.4 Kasus perkosaan terhadap gadis keterbelakangan mental berinisial

AP (14), yang diperkosa oleh sepupunya sendiri serta empat orang temannya, di

Jalan Karya Setia Gang Kerabat Kelurahan Karang Berombak Kecamatan Medan

Barat yang mengalami trauma pasca pemerkosaan yang menimpanya.5

Kasus perkosaan yang marak terjadi saat ini juga mengundang perhatian

banyak pihak. Kasus Perkosaan yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah kasus baru Begitu

juga kasus tindak pidana perkosaan di angkot yang sedang marak dibicarakan saat

ini. Hal ini adalah beberapa contoh kasus perkosaan yang pernah terjadi. Hal ini

juga menunjukkan bahwa kasus perkosaan bisa terjadi di berbagai tempat dan

kondisi. 06/03/2013, pukul 12.15 Wib

5

(12)

namun merupakan kasus yang telah lama terjadi. Data Komisi Nasional

(KOMNAS) Perempuan, lembaga negara yang memberikan upaya-upaya

perlindungan terhadap perempuan menunjukkan bahwa jumlah kasus perkosaan

terhadap perempuan mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2008 – 2010,

Komnas Perempuan mendokumentasikan kasus kekerasan terhadap perempuan

sebanyak 91.311 kasus. Sebagai catatan bahwa kurang dari 10 persen dari 91.311

adalah kasus kekerasan seksual yang didokumentasikan secara terpilah. Kasus

kekerasan seksual tersebut kemudian dikenali menjadi sebelas kasus kekerasan

seksual yang dialami oleh perempuan. Sementara itu sebanyak 82.985 adalah

kasus gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual.

Jumlah kasus di atas merupakan fenomena gunung es, jumlah kasus yang

sesungguhnya terjadi kemungkinan jauh lebih besar dibandingkan dengan

kasus-kasus perkosaan yang dapat didokumentasikan. Perasaan malu, dianggap sebagai

aib dan rendahnya keberpihakan masyarakat, pemerintah dan penegak hukum

terhadap korban menjadi hambatan perempuan korban kekerasan untuk

melaporkan kasus yang dialaminya.6

6

Sumber

Banyak Korban juga tidak berusaha

mengadukan kasus yang menimpanya kepada pihak yang berwajib, karena dalam

dirinya sudah tertanam sikap kekhawatiran dan ketakutan kalau cara yang

dilakukannya bukan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah dan meringankan

beban yang dihadapinya, melainkan akan menimbulkan beban yang lebih berat.

Disamping takut disuruh mengungkap ulang atau mendeskripsikan kasus yang

menimpanya, korban juga khawatir pihak yang berwajib tidak sungguh-sungguh

(13)

dalam menangani penderitaannya. Hal ini kiranya menunjukkan pada kita bahwa

korban perkosaan belum menganggap bahwa hukum yang mengatur tentang

tindak pidana perkosaan ini belum dapat memberikan perlindungan padanya.

Perkosaan merupakan suatu tindak pidana yang sangat tercela dan

merugikan pihak korban. Korban perkosaan menderita kerugian akumulatif, yang

tidak semata secara fisik, namun juga psikis. Perempuan yang menjadi korban ini

bukan hanya mengalami penderitaan akibat luka yang dideritanya, tetapi juga

penderitaan kejiwaan karena harus menanggung aib yang sulit dihapuskan dari

kehidupannya. Perkosaan merupakan kejahatan yang lebih kejam dari

pembunuhan, karena dia yang menjadi korban masih hidup, namun secara

psikologi ia menderita dan tertekan. Kasus perkosaan yang akhir-akhir ini terjadi,

dimana ayah memperkosa anaknya beberapa kali dan akhirnya menimbulkan

kematian bagi anak tersebut juga membuktikan bahwa begitu banyaknya

penderitaan yang dialami korban perkosaan, korban tidak saja menderita sakit dan

penyakit, bahkan ada korban yang sampi kehilangan nyawanya. Melihat kasus

yang terjadi, sudah dapat dijelaskan bahwa kejahatan perkosaan merupakan

sebuah kejahatan yang perlu mendapat pemikiran lebih lanjut, terutama

perlindungan hukum terhadap korbannya. Ini merupakan suatu permasalahan yang

memperoleh perhatian dari setiap penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat.

Sudah seharusnyalah korban perkosaan sebagai pihak yang sangat dirugikan oleh

terjadinya tindak pidana harus dilindungi. Sehingga sistem peradilan pidana perlu

(14)

dengan menjamin atau memberikan hak-hak kepada korban agar korban dapat

membantu dalam pengungkapan perkaranya.

Telah kita ketahui bahwa perempuan korban kekerasan biasanya

mengalami luka batin (psikologis) yang luar biasa, sehingga upaya-upaya

pemulihan terhadap korban haruslah penting dilakukan oleh semua pihak.

Ironisnya pemenuhan hak-hak pemulihan dan perlindungan terhadap korban

masih jauh dari yang diharapkan. Korban perkosaanselain mengalami luka secara

fisik dan psikis juga harus menanggung sendiri biaya pengobatan di rumah sakit.7

Dalam proses peradilan pidana, keberadaan korban perkosaan tetap

mengkhawatirkan. Keterwakilannya oleh jaksa tidak menjadikan peristiwa yang

dialami menjadi terganti. Dihukumnya pelaku perkosaan tidak menghilangkan

rasa traumatis yang diderita korban.8 Bahkan seringkali ungkapan-ungkapan yang

menyudutkan korban sering sekali terdengar disampaikan oleh berbagai pihak

yang membuat semakin melemahnya posisi korban. Hukum seharusnya mampu

memberi keadilan bagi mereka yang telah menjadi korban. Keadilan bagi korban

paling tidak akan berbentuk hukuman yang setimpal bagi para pelaku, dan

perlindungan yang efektif bagi korban. Perlunya diberikan perlindungan hukum

pada korban kejahatan secara memadai tidak saja isu nasional, tetapi juga

internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang

serius.9

7

Sumber: Koran Kompas, edisi Sabtu, 17 Desember 2011, Pemerkosaan di Angkot:

Korban Masih Biayai Pengobatan Sendiri, hlm.26

8

Rena Yulia, 2010, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta, Penerbit Graha Ilmu, hlm. 13

9

Dikdik M.Arief Manshur dan Elisatris Gultom,2007, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta, Penerbit PT Rajagrafindo persada, hlm. 23

(15)

ini, maka perlu dilakukan pembaharuan hukum yang mengatur tentang tindak

pidana perkosaan ini, masalah perlindungan korban ini perlu pengaturan yang

memadai untuk memulihkan kondisi sosial-ekonomi para korban kejahatan serta,

perlu diatur mengenai pemulihan korbannya serta hak-hak para korban tersebut

secara tegas, begitu juga dengan perumusan tindak pidananya.

Kita menyadari bahwa upaya keadilan bagi korban pada gilirannya akan

sangat menentukan watak kebernegaraan dan kebermasyarakatan kita sekarang

dan di masa depan berdasarkan penghormatan terhadap harkat, martabat, dan hak

asasi manusia.10 Budaya keadilan dimulai dari tumbuhnya rasa hormat kita pada

korban ketidakadilan itu sendiri dalam berbagai warna, bentuk, dan ungkapan.11

Keadilan harus ditegakkan. Korban harus dipulihkan dan dihormati. Itulah pesan

utama dalam praktek kehidupan kita kedepan terutama dimasa transisi ini.12

10

Theo Van Boven, 2002, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban Atas Restitusi,

Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, hlm. ix

11

Ibid.,

12

Ibid., hlm x

Upaya-upaya perlindungan, pemulihan dan jaminanan rasa aman kepada warga

Negara harus lebih dimaksimalkan dan diatur secara tegas sebagai bagian dari

tanggung jawab pemerintah kepada rakyat. Mengingat juga pelaku perkosaan

terhadap perempuan adalah pihak yang yang paling bertanggung jawab atas

kekerasan terhadap perempuan. Tanggung jawab tersebut dapat diwujudkan dalam

bentuk penanganan hukum yang berperspektif korban, dengan membuat suatu

aturan yang tegas mengenai pertanggungjawaban pelaku, pemberian ganti rugi

kepada korban, serta pemulihan korban. Berdasarkan hal di atas, maka perlu

(16)

yang secara tegas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan korban

tindak pidana perkosaan, baik berupa perlindungan fisik, psikis, dan hak untuk

memperoleh restitusi. Hal ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan bagi

korban tindak pidana perkosaan dan sebagai usaha untuk menanggulangi tindak

pidana perkosaan yang akhir-akhir ini semakin marak diberitakan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana

perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban?

2. Hal-hal apakah yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana

menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan

perlindungan terhadap korban?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Mengetahui apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak

(17)

2. Mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam pembaharuan

hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan

dengan perlindungan terhadap korban.

Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan

ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini dapat

memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya, dan

masyarakat pada umumnya tentang pemahaman bagaimana hukum

memberi perlindungan terhadap korban, khususnya korban perkosaan.

2. Manfaat Praktis

Memberi masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan

masyarakat tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam upaya

penegakan hukum tindak pidana perkosaan, khususnya dalam hal

perlindungan terhadap korban.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif

Pembaharuan Hukum Pidana (Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban)”

sepengetahuan penulis bahwa dilingkungan Universitas Sumatera Utara penulisan

tentang judul tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan

pemeriksaan oleh Departemen Hukum Pidana mengenai tidak ada judul yang

(18)

Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin

dicapai dalam penulisan ini, maka dapat penulis katakan bahwa skripsi ini

merupakan karya penulis yang asli.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana pada hakikatnya berasal dari istilah yang dikenal

dalam hukum pidana Belanda (WVS) yaitu strafbaarfeit. Strafbaarfeit ini

diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tetapi tidak

ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh

karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.

Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat. Beberapa istilah yang

pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam

literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit ini adalah sebagai

berikut:13

1 Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. hampir seluruh peraturan perundang-perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirdjono Prodjodikoro

2 Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, H.J.Van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang hukum pidana, Zainal abiding, dalam buku beliau Hukum Pidana

13

Adami Chazawi,2005, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Teori-Teori

Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit PT Raja Grafindo Persada,

(19)

3 Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin Delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit.

Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan

perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya.

Tindak menunjuk pada kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata,

dan tidak termasuk kelakuan mausia yang pasif atau negative (nalaten). Padahal

pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan

aktif maupun pasif tersebut.14 Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah

tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya

disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya.15

Beberapa pengertian Tindak pidana yang dirumuskan oleh para ahli

yaitu:16

1. D. Simons

Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum

yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang

oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum. Dengan batasan seperti ini, maka menurut simons, untuk adanya

suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut;

a. Perbuatan manusia, baik dalam pengertian arti perbuatan positif

(berbuat) maupun negatif (tidak berbuat).

14

Ibid., hlm. 70 15

Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif

Pembaharuan, Malang, Penerbit UMM Press, hlm. 102

16

(20)

b. Diancam dengan pidana

c. Melawan hukum

d. Dilakukan dengan kesalahan

e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab

2. J. Bauman

Menurut J. Bauman, perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang

memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan

kesalahan.

3. Wirdjono Prodjodikoro

Menurut beliau, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya

dapat dikenakan pidana.

4. Pompe

Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah

feit (tindakan), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.

2. Tindak Pidana Perkosaan

KUHP merumuskan perbuatan perkosaan (rape) pada Pasal 285 yang

bunyinya sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.

Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ini

mempunyai unsur-unsur yakni:

(21)

2. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

3. memaksa

4. seorang wanita bersetubuh dengan dia

5. diluar perkawinan

Walaupun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan

keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan

yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur

memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP,

kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan

dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. 17

Seorang terdakwa dapat dikatakan bersalah karena melakukan tindak

pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP adalah apabila terbukti

mempunyai kesengajaan melakukan tindak pidana perkosaan tersebut. Disidang

pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa, baik penuntut

umum maupun hakim harus dapat membuktikan tentang:

Karena seperti

yang telah kita ketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus

dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus

dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan

yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah

didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.

18

a. adanya kehendak atau maksud terdakwa memakai kekerasan;

17

P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus: Kejahatan

Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm. 97

18

(22)

b. adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk mengancam akan

memakai kekerasan;

c. adanya kehendak atau maksud si terdakwa untuk memaksa;

d. adanya pengetahuan para terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah seorang

wanita yang bukan istrinya.

e. adanya pengetahuan para terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk dilakukan

oleh wanita tersebut ialah untuk mengadakan hubungan kelamin dengan

dirinya diluar perkawinan.

Jika salah satu kehendak/maksud dan pengetahuan terdakwa tersebut

ternyata tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada alasan bagi penuntut umum untuk

menyatakan terdakwa terbukti mempunyai kesengajaan dalam melakukan tindak

pidana yang ia dakwakan kepadanya, dan hakim akan memberi putusan bebas dari

tuntutan hukum bagi terdakwa.19

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari

kebijakan/ politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan

hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya

pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya

pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek politik,

sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan

sosial,

2. Pengertian Pembaharuan Hukum Pidana

kebijakan

19

Ibid., hlm.98

(23)

dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai

aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus

merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek

dan kebijakan yang melatarbelakangi itu. Dengan demikian, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan

reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral

sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang

melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan hukum

di Indonesia. Secara singkat dapatlah diakatakan, bahwa pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi

pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang

berorientasi pada nilai (value-oriented approach).20

Dengan uraian di atas, dapatlah disimpulkan makna dan hakikat

pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan

kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu

langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/ penegakan

hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Di dalam setiap

kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu,

pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.

21

1) Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

20

Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, hlm. 30

21

(24)

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi

masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam

rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan

masyarakat dan sebagainya);

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat

(khususnya upaya penanggulangan kejahatan);

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan

hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih

mengefektifkan penegakan hukum.

2) Dilihat dari sudut pendekatan nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya

melakukan peninjauan dan penilaian kembali (orientasi dan

re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio cultural yang

melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif

hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (“reformasi”)

hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang

dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari

hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).

Dengan dimensi demikian, pada asasnya secara konkret memang

(25)

sudah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda dan dielakkan lagi

eksistensinya.

Menurut Muladi ada tiga metode pendekatan dalam kebijakan criminal

dan penalisasi, yaitu:22

a. Metode evolusioner (Evolutionary approach)

Metode ini memberikan perbaikan, penyempurnaan dan amandemen

terhadap peraturan-peraturan yang sudah lama ada dalam KUHP;

b. Metode Global (Global Approach)

Metode ini dilakukan dengan membuat peraturan tersendiri diluar

KUHP, misalnya Undang-Undang Lingkungan Hidup, Tindak Pidana

Korupsi, dan lain-lain.

c. Metode Kompromis (compromise Approach)

Metode ini dilakukan dengan cara menambah bab tersendiri dalam

KUHP mengenai tindak pidana tertentu, misalnya tambahan Bab

XXIX a dalam KUHP tentang Kejahatan Penerbangan dan

Sarana/Prasarana Penerbangan.

3. Aspek Perlindungan Terhadap Korban

Mengenai pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan

saksi dan korban menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami

22

(26)

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu

tindak pidana.

Arif Gosita memberikan definisi tentang korban yaitu mereka yang

menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain bertentangan

dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan

kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan

hak asasi yang menderita.23

Korban juga didefinsikan oleh Van Boven yang merujuk kepada

Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan

Penyalahgunaan Kekuasaan yaitu Orang yang secara individual Maupun

kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental,

penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap

hak-hak dasarnya, baik karena tindakan ( by act) maupun karena kelalaian (by

Omission).24

Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa istilah korban tidak hanya

mengacu kepada perseorangan saja melainkan mencakup juga kelompok dan

masyarakat. Pengertian di atas juga merangkum hampir semua jenis penderitaan

yang diderita oleh korban. Cedera fisik maupun mental juga mencakup pula

derita-derita yang dialami secara emosional oleh para korban, seperti mengalami

23

Arif Gosita, 2009, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, hlm. 90

24

(27)

trauma. Mengenai penyebabnya ditunjukkan bukan hanya terbatas pada perbuatan

yang sengaja dilakukan tetapi juga meliputi kelalaian.25

Dari perspektif ilmu Victimologi korban tersebut yang hanya berorientasi

kepada dimensi akibat perbuatan manusia, dapat diklasifikasikan secara global

menjadi:26

a. Korban kejahatan (victim of crime) sebagaimana termaktub dalam

ketentuan hukum pidana sehingga pelaku (offender) diancam dengan

penerapan sanksi pidana. Pada konteks ini maka korban diartikan sebagai

penal victimology dimana ruang lingkup kejahatan meliputi kejahatan

tradisional, kejahatan kerah putih (white collar crime), serta victimless

crimes yaitu viktimisasi dalam korelasinya dengan penegak hukum,

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan;

b. Korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (victims of abuse of power).

Pada konteks ini lazim disebutkan dengan terminology political

victimology dengan ruang lingkup abuses of power, Hak Asasi Manusia

(HAM) dan terorisme;

c. Korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif atau yang

bersifat non-penal sehingga ancaman sanksinya adalah sanksi yang

bersifat administrative bagi pelakunya. Pada konteks ini lazimnya ruang

lingkupnya bersifat economic victimology; dan

25

Ibid., hlm. xiv 26

Lilik Mulyadi, 2008, BungaRampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik,

(28)

d. Korban akibat pelanggaran kaedah sosial dalam tata pergaulan

bermasyarakat yang tidak diatur dalam ketentuan hukum sehingga

sanksinya bersifat sanksi sosial atau sanksi moral.

Dikaji dari perspektif normatif, korban kejahatan memerlukan

perlindungan dalam ranah ketentuan hukum. Barda Nawawi Arief menyebutkan

bahwa pengertian perlindungan korban tindak pidana dapat dilihat dari dua

makna, yaitu:27

1. dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban

tindak pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum

seseorang);

2. dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/

santunan atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban

tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk

santunan ini dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi),

pemulihan keseimbangan batin (antara lain: pemaafan), pemberian

ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan

sosial), dan sebagainya.

Ada beberapa argumentasi dan justifikasi mengapa korban kejahatan

memerlukan beberapa perlindungan. Mardjono Reksodiputro menyebutkan dari

pendekatan kriminologi ada beberapa alasan mengapa korban kejahatan perlu

mendapat perhatian, yaitu:28

27

Ibid., hlm. 250 28

(29)

1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberi perhatian

kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan

(offender-centered);

2. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas

dan melengkapi penafsiran kita atas statistik kriminal (terutama

statistik yang berasal dari kepolisian); ini dilakukan melalui survai

tentang korban kejahatan (victim surveys);

3. Makin disadari bahwa disamping korban kejahatan konvensional

(kajahatan-jalanan; street crime) tidak kurang pentingnya untuk

memberi perhatian kepada korban kejahatan non-konvensional (a.l

kejahatan korporasi dan kejahatan kerah putih) maupun

korban-korban dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of economic power

and/or public power)

Muladi meyebutkan ada beberapa argumentasi mengapa korban

kejahatan perlu dilindungi, yaitu 29

29

Ibid.,

Pertama, proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian, baik dalam arti umum maupun arti konkret. Dalam arti

umum, proses pemidanaan merupakan wewenang pembuat undang-undang, sesuai

dengan asas legalitas, yang menegaskan bahwa, baik Poenamaupun Crimenharus

ditetapkan terlebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri seorang

pelaku tindak pidana. Dalam arti konkret, proses pemidanaan berkaitan dengan

penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga

(30)

dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis

dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat pada lain pihak.

Kedua, argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban kejahatan adalah argument kontrak sosial dan argumen solidaritas sosial. Yang

pertama, menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi

sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi.

Oleh karena itu, bila terjadi kejahatan dan membawa korban, negara harus

bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Yang

disebut terakhir menyatakan bahwa negara harus menjaga warganegaranya dalam

memenuhi kebutuhannya atau apabila warganegaranya mengalami kesulitan,

melalui kerja sama dalam bermasyarakat berdasarkan atau menggunakan

sarana-sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui

peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang

dewasa ini banyak dikedepankan yakni penyelesaian konflik.

Menurut Arif Gosita, beberapa hal yang menjadi dasar perlunya

memperhatikan si korban dalam tindak pidana, adalah antara lain sebagai

berikut:30

1) Belum adanya pengaturan yang sempurna mengenai sikorban secara

yuridis, yang menunjukkan adanya pengayoman serta keadilan dan

ketertiban;

30

(31)

2) Adanya falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang

mewajibkan setiap warga negara melayani sesame manusia demi

keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan;

3) Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum

pidana dan pengasuhan/pemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka

yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak korban;

4) Adanya peningkatan kejahatan Internasional yang mungkin juga

menimbulkan korban warga negara Indonesia tanpa adanya

kemungkinan mendapatkan kompensasi, sedangkan yang menderita

itu sangat memerlukan kompensasi itu untuk kelanjutan hidupnya.

Dalam hal ini bila tidak ada lagi yang mau memberi kompensasi

tersebut siapa lagi yang akan memberikannya. Sebaiknya pemerintah

yang akan memberi bantuan pada warga negaranya yang menderita

demi tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya;

5) Adanya kekurangan dalam usaha pencegahan terjadinya

korban-korban baik karena kurangnya penyuluhan, maupun bertambahnya

pembiaran terjadinya penyimpangan dan tindakan pidana dengan

sengaja oleh masyarakat.

6) Adanya pencerminan pencurahan perhatian yang lebih besar kepada

si pembuat korban daripada korban dalam undang-undang hukum

pidana dan acara pidana mengenai tanggung jawab terjadinya tindak

(32)

7) Masih berlakunya pandangan, bahwa kalau si korban ingin

mendapatkan ganti rugi ia harus menempuh jalan yang tidak mudah.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu

dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan

terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder, yang

diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan

meliputi KUHP, KUHAP, Undang-Undang, dan Peraturan Pelaksana.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat menganalisa bahan hukum

primer, antara lain berupa buku, hasil-hasil penelitian, karya tulis

ilmiah, koran, dan lain sebagainya.

(33)

Metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data untuk

penyusunan skripsi ini adalah melalui studi kepustakaan (Library Research) yakni

melalui penelitian dengan berbagai sumber bacaan dari bahan pustaka yang

disebut sebagai data sekunder.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif

dan diuraikan secara deskriptif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran yang merupakan isi dari pembahasan skripsi

ini dan untuk mempermudah penguraiannya, maka penulis membagi skripsi ini

kedalam 4 (empat) Bab.

BAB I, berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian,

dan sistematika penulisan.

BAB II, berisi tentang apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban, dan

hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut

tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban.

BAB III, berisi tentang hal-hal apakah yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan

(34)
(35)

BAB II

KAJIAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA YANG MENGATUR TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KAITAN

DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN

A. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP merumuskan perbuatan perkosaan (Rape) pada Pasal 285 yang

bunyinya sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Berdasarkan pasal 291 ayat (2), jika pemerkosaan tersebut mengakibatkan matinya perempuan itu, ancaman menjadi lima belas tahun penjara.31

Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki

beberapa Unsur yaitu:32

1. Barangsiapa

2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

3. Memaksa

4. Seorang wanita bersetubuh dengan dia

5. Diluar perkawinan

Walaupun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan

keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan

yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur

31

Leden Marpaung, 1997, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya,

Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm.49

32

(36)

memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP,

kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan

dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang

telah kita ketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus

dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus

dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan

yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah

didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.33

Unsur obyektif pertama dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam

Pasal 285 KUHP ialah unsur barangsiapa. Kata barangsiapa ini menunjukkan

orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana

yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak

pidana perkosaan tersebut.34

Unsur obyektif kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285

KUHP ialah unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Menurut

Tirtaamidjaja, yang dimaksudkan dengan kekerasan adalah setiap perbuatan yang

dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat. “Kekerasan atau ancaman

kekerasan “ tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian

rupa sehingga berbuat lain tidaj memungkinkan baginya selain membiarkan

dirinya untuk disetubuhi.35

33

P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit, hlm.97 34

Ibid, hlm.98 35

(37)

Menurut Hoge Raad dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 5

Januari 1914, NJ 1914 halaman 397,W.9604 dan tanggal 18 Oktober 1915,NJ

1915 halaman 1116, mengenai ancaman kekerasan tersebut disyaratkan yakni:36

Orang belum dapat memperoleh penjelasan tentang apa sebenarnya Dari

arrest-arrest Hoge Raad tersebut mengenai apa yang dimaksudkan dengan

ancaman kekerasan atau ancaman akan memakai kekerasan, karena arrest-arrest

tersebut hanya menjelaskan tentang caranya ancaman itu harus diucapkan. Karena

kekerasan tidak hanya dapat dilakukan dengan memakai tenaga badan yang

sifatnya tidak terlalu ringan, yakni seperti yang dikatakan oleh prof. Simons,

melainkan juga dapat dilakukan dengan memakai sebuat alat, sehingga tidak

diperlukan adanya pemakaian tenaga badan yang kuat, misalnya menembak

dengan sepucuk senjata api, menjerat leher dengan seutas tali, menusuk dengan

sebilah pisau dan lain-lainnya, maka mengancam akan memakai kekerasan itu

harus diartikan sebagai suatu ancaman yang apabila yang diancam tidak bersedia

memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan a. bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang

demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang

diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat

merugikan kebebasan pribadinya.

b. bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan

kesan seperti itu.

36

(38)

pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi

kebebasan, kesehatan, atau keselamatan nyawa orang yang diancam.

Unsur ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah

unsur memaksa. “memaksa” berarti di luar kehendak dari si wanita tersebut atau

bertentangan dengan kehendak wanita itu. Satochid Kartanegara menyatakan

antara lain:37

Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga

dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita menjadi terpaksa

bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian

memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin. Dalam hal ini kiranya

sudah jelas bahwa keterpaksaan wanita tersebut harus merupakan akibat dari

dipakainya kekerasan akan dipakainya ancaman akan memakai kekerasan oleh

pelaku atau oleh salah seorang dari para pelaku.

“Perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan

sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.

38

Unsur objektif keempat dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285

KUHP ialah seorang wanita bersetubuh dengan dia. Kalau bukan wanita (dalam

hal homoseks) maka tidak dapat diterapkan Pasal 285 KUHP ini. Perlu diketahui

bahwa kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP telah menyebutkan adanya berbagai

wanita, masing-masing yakni: a. wanita yang belum mencapai usia dua belas

tahun (Pasal 287 ayat (2) KUHP), wanita yang belum mencapai usia lima belas

37

Leden Marpaung, Log.Cit.,

38

(39)

tahun (Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 290 angka 3 KUHP, wanita yang belum dapat

dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP), dan wanita pada umumnya.39

Pengertian “Bersetubuh” menurut Tirtaamidjaja berarti persentuhan

sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya

dapat menimbulkan kehamilan. Pengertian bersetubuh diartikan bahwa penis telah

penetrasi kedalam vagina.

Adapun yang

dimaksud dalam Pasal 285 KUHP adalah wanita pada umumnya.

40

Bila ternyata pelaku tidak berhasil memasukkan

penisnya kedalam vagina korban, misalnya karena korbannya telah memberikan

perlawanan, maka pelaku dapat dipersalahkan karena telah melakukan suatu

percobaan pemerkosaan yakni melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 53

ayat (1) jo. Pasal 285 KUHP, dan sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur

dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana penajara

selama-lamanya 8 tahun bagi pelaku yakni sesuai ketentuan pokok terberat yang

diancamkan dalam Pasal 285 KUHP dikurangi sepertiganya.41

Hal ini berbeda dengan KUHP Norwegia. Beberapa ketentuan menarik

dari ketentuan KUHP Norwegia ialah: 42

a. Untuk dapat dikatakan ada perkosaan (rape) tidak perlu ada

persetubuhan “(sexual intercourse”); cukup apabila memaksa

seseorang untuk melakukan hubungan tidak senonoh/perbuatan cabul

39

Ibid.,

40

Leden Marpaung, Op.Cit.,hlm. 53 41

P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit., hlm.103

42

(40)

(“indecent relations”) . Dalam hal demikian ancaman pidananya

berkisar antara 1-10 tahun penjara. Tetapi apabila “indecent relations”

itu berupa “sexsual intercourse” maka pidananya diperberat yaitu

dikenakan pidana minimal tidak kurang dari 3 tahun penjara (ps.192).

Jadi, adanya “sexual intercourse” bukan syarat untuk adanya

perkosaan, tetapi hanya sebagai alasan factor pemberat pidana.

Apabila perkosaan berakibat luka-luka berat atau mati, minimal

pidananya menjadi 4 tahun dan maksimumnya pidana penjara seumur

hidup (dalam konsep KUHP minimalnya 5 tahun dan maksimumnya

15 tahun penjara).

Unsur objektif kelima dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam

Pasal 285 KUHP ialah unsur di luar perkawinan. Di luar perkawinan berarti bukan

istrinya.

Dari peraturan ini dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut:43

a. Korban perkosaan harus seorang perempuan, tanpa batas umur.

b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini

berarti tidak ada persetujuan dari korban mengenai niat dan tindakan

si pelaku.

c. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai

dengan melakukan kekerasan atau ancaman terhadap perempuan

tersebut.

43

(41)

Para feminis mengkritik KUHPidana. Seperti di negara-negara patriarki

lainnya, KUHPidana Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai

manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria.

Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh dan seksualitas belaka.

Hal ini juga tampak pada pasal tentang perkosaan (Pasal 285 KUHP) yang

mengisyaratkan korban harus bukan istri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk

hubungan seksual yang dalam keputusaan Hoograad (Mahkamah Agung Hindia

Belanda) tanggal 5 Februari 1912 diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”.

Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari perspektif korban (perempuan),

misalnya dengan melihat apakah harga diri atau HAM perempuan sudah

tercabik-cabik.44

Salah satu aspek yang digugat atau dipertanyakan eksistensinya oleh

pemerhati dan lembaga advokasi masyarakat adalah aspek yuridis (KUHP), yang

dinilainya punya kelemahan mendasar, sehingga sulit diharapkan dapat

diimplementasikan secara maksimal guna menanggulangi pelaku kejahatan

kekerasan seksual (perkosaan). KUHP Indonesia yang dijadikan acuan bagi

kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual

mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban

kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang

istimewa.

45

44

Sulistyowati Irianto, 2006, Perempuan dan Hukum:Menuju Hukum Yang

Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm.8-9

45

Abdul Wahid & Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung, Penerbit Refika Aditama,hlm. 109

(42)

Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 285

KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung

oleh pelaku adalah dua belas tahun penjara, apabila mengakibatkan matinya

perempuan diancam pidana penjara lima belas tahun. Hal ini adalah ancaman

hukuman maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus

ditetapkan begitu. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat

diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang

menjatuhkan vonis. 46

R. Soesilo mengatakan bahwa yang diancam hukuman dalam Pasal 285

KUHP tentang perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya. Dari Pasal 285

ini juga dapat ditarik kesimpulan bahwa (a) korban perkosaan harus seorang

wanita tanpa batas umur; (b) korban harus mengalami kekerasan atau ancaman

kekerasan. Hal ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat

dan tindakan pelaku.47

Berdasarkan di atas jelaslah bahwa perkosaan itu dilakukan dengan

kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga si korban pingsan atau tiada

berdaya lagi untuk mengadakan perlawanan terhadap si pelaku sebelum maupun

sesudah dia diperkosa. Apabila perbuatan itu dilakukan tanpa kekerasan atau

ancaman kekerasan, maka perbuatan itu tidak dapat digolongkan kedalam

46

Ibid.

47Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: pendekatan Integral Penal Policy dan Non

Penal Policy Dalam penanggulangan Kejahatan kekerasan, Medan, Penerbit Pustaka Bangsa

(43)

pengertian perkosaan tetapi kemungkinannya termasuk dalam pengertian

persetubuhan suka sama suka.

Rumusan pasal tentang larangan perkosaan tersebut dalam kenyataannya

tidak relevan dengan makna perbuatan perkosaan itu sendiri. Dalam rumusan

tersebut hanya perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk

memaksa seorang wanita bersetubuh diluar perkawinan lah yang dikategorikan

sebagai perkosaan. Perbuatan dengan kekerasan antau ancaman kekerasan untuk

memaksa seorang wanita yang terikat perkawinan untuk melakukan persetubuhan,

tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan, padahal pemaksaan atau kekerasan

untuk melakukan persetubuhan seharusnya dikategorikan sebagai perbuatan yang

dilarang, karena menafikan adanya penghargaan atas kemanusiaan seseorang yang

paling esensial berupa adanya persetujuan untuk melakukan perbuatan yang

teramat intim, baik itu diluar atau didalam perkawinan. Dengan merumuskan hal

itu, Pasal 285 KUHP telah menyatakan bahwa perempuan yang telah terikat

perkawinan tidak lagi memiliki hakekat kemanusiaan untuk melakukan

persetujuan persetubuhan, atau tidak perlu lagi dimintai persetujuannya.48

48

Sulistyowati Irianto, Op.Cit ,hlm. 58

Pasal 285 KUHP ini juga kurang mampu mengakomodir perlindungan

para korban, karena perkosaan bisa saja terjadi tanpa adanya kekerasan atau

ancaman kekerasan. Bagaimana kalau misalkan perkosaan itu tidak dilakukan

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, namun dengan modus penipuan,

seperti contoh kasus dibawah ini, apakah pelaku akan lepas dari jerat

(44)

Contoh kasus:49

Perkosaan dilakukan dengan modus penyembuhan. Korban dibuat

bingung dengan pemikiran tentang kondisi dirinya yang sakit secara fisik dan

psikis. Perkataan pelaku yang dapat menyembuhkan korban membuat ia mau

melakukan permintaan pelaku. Korban tidak mau menceritakan kejadian yang

dialaminya kepada pihak keluarga dengan alasan tidak mau menambah beban

keluarganya. Korban merasa pusing dan mual, bahkan muntah selama beberapa

hari setelah kejadian tersebut. Akibatnya, Korban merasa kesakitan dan sadar

bahwa apa yang terjadi pada dirinya bukanlah sebuah proses penyembuhan. Ia

merasa jijik pada saat pelaku meraba alat kelaminnya. Setelah itu ia merasa

menyesal, jijik, benci kepada pelaku, dan marah. Akan tetapi ia tidak berani

mengungkapkan hal tersebut sehingga semua perasaan tersebut hanya dipendam

sendiri dan untuk jangka panjang ia memiliki perasaan ketakutan jika teman kost

tahu apa yang terjadi padanya. Korban mengalami pendarahan selama tiga hari.

Korban merasa benci dan jijik apabila mengingat peristiwa tersebut serta melihat

bekas-bekas gigitan di badannya. Setelah kejadian tersebut korban mengalami

perasaan ingin muntah, mual dan tidak dapat diisi makanan pada pagi hari.

Menurut teman-temannya jika tidur korban sering menceracau atau mengigau. Hal

ini berlangsung kurang lebih selama satu bulan. Pada awalnya korban tidak ingin

teman-teman kostnya tahu kecuali teman sekamarnya. Korban juga tidak

memberitahu pihak keluarganya dengan alasan ia tidak ingin menambah masalah

49

(45)

dan beban bagi keluarganya, terutama bagi ibu korban. Pada kasus ini, korban

yang mengetahui kesulitan ekonomi yang dimiliki oleh keluarganya di luar Jawa

lebih memilih tidak memberitahukan masalah yang dialaminya. Ia merasa lebih

baik merahasiakan peristiwa yang dialaminya daripada menambah beban

keluarga.

Rumusan Pasal 285 KUHP tentunya tidak bisa menjerat pelaku tindak

pidana perkosaan dalam kasus di atas, karena rumusan dalam Pasal 285 KUHP

hanya merumuskan bahwa perkosaan itu dilakukan dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, sedangkan dalam contoh di atas perkosaan dilakukan dengan

modus penipuan, perempuan tersebut diperdaya dan diperkosa. Dalam konteks

masyarakat saat ini, rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP ini

tentunya sangat ketinggalan zaman, karena kejahatan perkosaan saat ini

mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya.

Misalnya; bagaimana jika seandainya “perkosaan” itu terjadi tidak dalam bentuk

persetubuhan (contohnya dengan memasukkan penis ke mulut dan anus atau

memasukkan benda-benda lain ke vagina). Bagaimana jika perkosaan tersebut

terjadi terhadap istri (marital rape)? tentunya pertanyaan ini juga tidak dapat

dijawab oleh pengaturan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP. Jika

para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) tetap mengacu pada Pasal 285 KUHP

(46)

perkosaan dan pemerkosa yang lepas dari jeratan hukum karena perbuatannya

tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur Pasal 285 KUHP.50

Kita ketahui bahwa dalam penerapannya, melalui putusan-putusan

pengadilan rumusan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan ini hanya dapat

diterapkan pada perbuatan memasukkan alat kelamin laki-laki kedalam alat

kelamin perempuan, sehingga perbuatan memasukkan benda lain kedalam alat

kelamin perempuan tidak dikategorikan sebagai atau diberikan sanksi seberat

perbuatan perkosaan.51

Berdasarkan Pasal 285 KUHP tidak termasuk perkosaan dalam rumah

tangga atau suami memperkosa isterinya yang disebut marital rape. Ketentuan ini

tidak melarang perkosaan terhadap isteri oleh suaminya. Kelemahan hukum

pidana ditentukan pula karena usia KUHP yang sudah tua sebagai induk hukum

pidana, permasalahannya, menyangkut nilai yang ada dibalik norma-norma

hukum (KUHP), yang sudah barang tentu dilatarbelakangi budaya barat yang

lebih kental nilai-nilai individualistisnya. Sementara itu, nilai-nilai masyarakat Rumusan Pasal 285 KUHP ini hanya mendefinisikan bahwa perkosaan

dilakukan hanya di luar perkawinan". Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti

bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat

belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan

akan tetapi masuk dalam kategori percabulan. Rumusan ini dinilai diskriminatif,

dan ikut berperan serta dalam membakukan nilai yang berlaku di masyarakat

berkenaan dengan harkat dan martabat wanita

50

Sumber: diakses pada 25/03/2013, 11.32 Wib

51

(47)

kita lebih bersifat komunal, dan perkembangannya menuju nilai-nilai universal,

khususnya nilai keadilan yang semestinya diwujudkan melalui hukum, termasuk

keadilan jender.52

Logika konkret ketentuan di atas menyiratkan bahwa ada perlindungan

abstrak atau tidak langsung yang diberikan undang-undang sebagai kebijakan

formulatif kepada korban kejahatan. Perlindungan tersebut meliputi penjatuhan

hukuman oleh hakim dengan penetapan syarat umum dan syarat khusus berupa

ditentukan terpidana mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Akan

tetapi, ternyata aspek ini sifatnya abstrak atau perlindungan tidak langsung karena

sifat syarat khusus tersebut berupa penggantian kerugian adalah fakultatif,

bergantung kepada penilaian hakim. Oleh Karena itu, dengan asas keseimbangan Ketentuan KUHP memang ada memberikan perlindungan terhadap

korban kejahatan secara implisit. Aspek ini terlihat melalui ketentuan Pasal 14c

ayat (1) KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14 a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana, hakim boleh mangadakn syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagian saja, yang akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada itu juga, yang kurang pada masa percobaan itu.

52

(48)

individu dan masyarakat (Asas monodualistik) seharusnya perlindungan terhadap

korban kejahatan dalam KUHP sifatnya imperative. 53

Hakikatnya, dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat menurut

Pasal 14c KUHP hakim dapat menetapkan syarat khusus berupa mengganti

kerugian akibat tindak pidana sehingga seolah-olah ganti rugi tersebut berfungsi

sebagai pengganti pidana pokok. Barda Nawawi Arief menyebutkan penetapan

ganti rugi ini jarang diterapkan dalam praktik karena mengandung beberapa

kelemahan, antara lain:54

a. Penetapan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi

yang berdiri sendiri disamping pidana pokok, ia hanya dapat menjatuhkan

pidana bersyarat, jadi hanya sebagai syarat khusus untuk tidak menjalani

pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;

b. Penetapan syarat khusus berupa ganti rugi ini pun hanya diberikan apabila

hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana

kurungan.

c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanya bersifat

fakultatif, tidak bersifat imperatif.

KUHP menunjukkan pengaturan mengenai korban yang tidak memadai,

seperti ketentuan dalam Pasal 14c KUHP, Padahal, kerugian yang diderita korban

sangat berat. Perempuan korban perkosaan menanggung beban mental yang lebih

berat dibandingkan hukuman bagi pemerkosanya. Korban ada kemungkinan akan

mengalami cacat seumur hidup dan menerima tekanan dari masyarakatnya.

53

Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm.262 54

(49)

Dampak lain menyangkut gangguan emosi sebagai beban psikologis dan

berpengaruh secara psikis (misalnya schizoprenia) dan fisik (physiological

disorder), ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidakbahagiaan, merasa terbuang,

cacat tubuh, serta kematian. Di samping itu, cemoohan dari masyarakat, perasaan

tertekan merasa dirinya telah kotor dan berdosa. Ditambah lagi tekanan-tekanan

yang timbul dari proses peradilan baik sebelum sidang, selama sidang, maupun

setelah sidang semakin menderitakan korban. Begitu juga vonis yang ringan

terhadap kasus perkosaan tidak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya.

Menurut asumsi Lilik Mulyadi ketentuan pasal 14a, b, dan c KUHP,

bentuk syarat khusus berupa ganti kerugian bukan salah satu jenis pidana

sebagaimana ketentuan Pasal 10 KUHP dan aspek ini tetap mengacu pada pelaku

tindak pidana (offender Oriented) dan bukan pada korban tindak pidana (victim)

yang lazimnya mengalami viktimisasi sekunder (secondary victimization), karena

itu dengan titik tolak agar korban kejahatan tidak terasing lagi, bukan sebagai

Cinderella dari hukum pidana maka penempatan pembayaran ganti rugi dan

pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang

hidup dalam masyarakat sesuai ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d,e Konsep RUU

KUHP diharapkan korban tidak terasing lagi. 55

1) Pidana tambahan terdiri atas:

Ketentuan Pasal 67 Konsep RUU KUHP Tahun 2006 berbunyi sebagai

berikut:

55

(50)

a. Pencabutan hak tertentu;

b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

c. Pengumuman putusan hakim

d. Pembayaran ganti kerugian; dan

e. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut

hukum yang hidup dalam masyarakat

2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok,

sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama

dengan pidana tambahan yang lain.

3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat

setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam

masayrakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat

dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.

4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan

adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

Rumusan sanksi pidana dalam konsep RUU KUHP ini lebih baik bila

dibandingkan daripada rumusan dalam KUHP saat ini, karena ada diatur

mengenai ganti kerugian, pemenuhan kewajiban setempat.

Mengenai rumusan tindak pidana perkosaan RUU KUHP 1999/2000

Direvisi 2004/2005 merumuskannya pada pasal 489 bunyinya sebagai berikut:

1) dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan ganti rugi korban tindak pidana perkosaan antara lain pengetahuan hukum yang sangat kurang dari

Karena hukum adat lampung tidak hanya berfungsi sebagai hukuman bagi pelaku tindak kejahatan perkosaan anak, tetapi juga dapat berguna bagi pencegahan terhadap

Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa pelaksanaan sistem peradilan pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana perkosaan diatur dalam hukum acara peradilan pidana

(2) Hukum Pidana Khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu. b) Hukum Pidana Formal ialah hukum pidana yang mengatur cara-cara menghukum

Pengaturan mengenai pencabulan sejenis dalam hukum pidana baru menyentuh pada aspek perlindungan anak sebagai korban dan tidak mengatur tindak pidana pencabulan

“Analisis Yuridis Tentang Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Perkosaan Terkait dengan Hak-hak Korban Serta Kewajiban Negara Dalam Memenuhi Hak-Hak Korban

Ungkapan di atas menunjukkan, bahwa pertimbangan dan pola pikir pembuat Rancangan KUHP Baru dalam merumuskan tindak pidana perkosaan sebagai suatu kebijakan hukum

Berdasarkan pasal 59 dan 64 tersebut, maka tuntutan minimal terhadap pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak perempuan yang dilakukan oleh anak-anak menurut