TINDAK PIDANA PERKOSAAN DARI PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
(Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
090200135 SUSANTI NABABAN
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TINDAK PIDANA PERKOSAAN DARI PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
(Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
090200135 SUSANTI NABABAN
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
NIP: 195703261986011001 Dr.Muhammad Hamdan,S.H., M.H
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II.
Abul Khair, S.H., M.Hum.
NIP: 196107021989031001 NIP: 197407252002122002 Rafiqoh Lubis, S.H.M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang oleh
kasih dan kemurahan-Nya yang senantiasa menuntunku dan memampukan aku
dalam menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Mendan.
Adapun judul skripsi yang dipilih oleh penulis adalah “Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana (Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban)”. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak menemukan kendala, namun berkat kasih dan pertolongan Allah ku Penulis
berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis tidak lupa mengucapkan terima
kasih kepada pihak yang telah membantu penulis sehingga ini dapat diselesaikan.
Untuk itu semua, penulis mengucapkan terimah kasih kepada:
1. Orang tua Penulis yaitu, Bapak P. Nababan dan Ibu A. Dolok Saribu.
Terima kasih telah menjadi orang tua yang terbaik bagi penulis.
Terima kasih untuk doa, kesabaran, nasihat, dan kepercayaan Bapak
dan mama.
2. Saudara-saudara penulis yaitu, Jojor Theresia Nababan, Bastian Tito
Rehanto, Steven Roy Naldo (adik-adik penulis), buat kak Melda,
Dion, dan semua saudara penulis, serta semua keluarga penulis.
3. Prof. Dr. Runtung, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
4. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. M. Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
7. Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
8. Bapak Abul Khair, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan waktu untuk membimbing penulis dalam proses
penyelesaian skripsi ini;
9. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan waktu, saran, dan sabar dalam membimbing penulis
dalam proses penyelesaian skripsi ini;
10. Bapak Zulkifli, S.H., selaku Dosen Penasihat Akademik Penulis
selama mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara;
11. Bapak/Ibu Dosen beserta seluruh staf pegawai di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
12. Kelompok Kecil Adonai ( K’ Adi, Sherly, Pero, Diyara, Monica) dan
Royanti, dan Irin), “tetaplah bersukacita dan berharap”! kiranya kita
semakin bertumbuh menjadi pribadi yang taat dan setia pada
kehendak-Nya.
13. UKM KMK FH USU yang menjadi tempat penulis belajar semakin
mengenal Tuhan dan mengasihi sesama, bertumbuh dan berjuang
untuk kemuliaan-Nya. Buat koordinasi dan seluruh komponen
pelayanan, terkhusus Komdo tahun lalu Dika dan tahun ini (Erma,
Nathan,) agar tetap setia dan semakin solid, “ semangat ya dek!”
14. Kelompok Gemar Belajar dan setiap anggota, “tetap semangat ya
sahabat”. Salam Persahabatan!
15. Kawan-kawan penulis Erikson, Esra, Rebekka, Marupa, Oyien,
Hotman, Pasca. Buat Sahabatku Kristauli, juga buat M. Virsa A.K.A
(terimah kasih buat dukungan dan korannya dek), Stella, dan seluruh
rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
16. Buat GMNI (seluruh bung dan sarinah) serta seluruh orang yang
Penulis kenal dan mengenal penulis
Medan, April 2013 Penulis
ABSTRAKSI
Susanti Nababan* Abul Khair** Rafiqoh Lubis***
Korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang sangat menderita. Mereka menderita baik secara fisik maupun psikis. Mereka seringkali terabaikan, kalaupun ada perhatian terhadap mereka terkadang itu hanya terbatas pada kepentingan menghadirkan mereka sebagai “saksi” dari tindak pidana perkosaan yang terjadi. Pemenuhan hak-hak pemulihan dan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan masih jauh dari yang diharapkan. Korban tindak pidana perkosaan perlu mendapat perlindungan yang konkret dan tegas.
Berdasarkan kenyataan ini, terdapat batasan masalah yang akan dibahas, yaitu apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban dan hal-hal apakah yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif , yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan.
Hukum Positif yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan belum memberikan perlindungan yang tegas dan konkret terhadap korban tindak pidana perkosaan. KUHP, KUHAP, UU No 13 Tahun 2006 serta UU No 23 Tahun 2004 belum dapat mengakomodir perlindungan korban tindak pidana perkosaan baik dalam rumusannya juga pelaksanaannya. Beberapa hal yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana yang menyangkut tentang tindak pidana perkosaan kaitannya dengan perlindungan korban diantaranya adalah dengan memberikan perlindungan bagi korban dalam proses pemeriksaan dan perumusan tindak pidana perkosaan dengan menghadirkan psikologi pendamping, mengatur secara khusus mengenai pembuktiannya, memperbaiki rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP, dan melakukan pemulihan bagi korban tindak pidana perkosaan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ABSTRAKSI
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A.Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 7
D.Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ... 1. ... P engertian Tindak Pidana Dan Tindak Pidana Perkosaan ... 9
2. ... Peng ertian Pembaharuan Hukum Pidana ... 13
3. ... Aspe k Perlindungan Terhadap Korban ... 16
F. ... Meto de Penelitian ... 23
BAB II : KAJIAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA YANG MENGATUR TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KAITAN DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN
A.Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ... 25 B. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) ... 43
C. Kajian Dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban ... 58
D.Kajian Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 64
BAB III : HAL-HAL YANG PERLU DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA YANG MENYANGKUT TINDAK PIDANA PERKOSAAN KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN
A. Perlindungan Korban Dalam Proses Pemeriksaan
Tindak Pidana Perkosaan dan Perumusan Tindak Pidana
Perkosaan ... 74
B. Perlindungan Korban Untuk Memperoleh Restitusi ... 83
C. Perlindungan Korban Untuk Mendapat Pemulihan /
Reparation ... 89
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan ... 96
B. Saran ... 97
ABSTRAKSI
Susanti Nababan* Abul Khair** Rafiqoh Lubis***
Korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang sangat menderita. Mereka menderita baik secara fisik maupun psikis. Mereka seringkali terabaikan, kalaupun ada perhatian terhadap mereka terkadang itu hanya terbatas pada kepentingan menghadirkan mereka sebagai “saksi” dari tindak pidana perkosaan yang terjadi. Pemenuhan hak-hak pemulihan dan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan masih jauh dari yang diharapkan. Korban tindak pidana perkosaan perlu mendapat perlindungan yang konkret dan tegas.
Berdasarkan kenyataan ini, terdapat batasan masalah yang akan dibahas, yaitu apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban dan hal-hal apakah yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif , yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan.
Hukum Positif yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan belum memberikan perlindungan yang tegas dan konkret terhadap korban tindak pidana perkosaan. KUHP, KUHAP, UU No 13 Tahun 2006 serta UU No 23 Tahun 2004 belum dapat mengakomodir perlindungan korban tindak pidana perkosaan baik dalam rumusannya juga pelaksanaannya. Beberapa hal yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana yang menyangkut tentang tindak pidana perkosaan kaitannya dengan perlindungan korban diantaranya adalah dengan memberikan perlindungan bagi korban dalam proses pemeriksaan dan perumusan tindak pidana perkosaan dengan menghadirkan psikologi pendamping, mengatur secara khusus mengenai pembuktiannya, memperbaiki rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP, dan melakukan pemulihan bagi korban tindak pidana perkosaan.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah korban seringkali kurang mendapat perhatian, kalaupun ada
perhatian terhadap mereka, terkadang itu hanya terbatas pada kepentingan
menghadirkan mereka sebagai “saksi” dari tindak pidana yang terjadi. Sementara,
kepentingannya untuk memperoleh pemulihan (reparation) yang efektif,
seringkali tidak mendapat perhatian yang besar. Begitu jugalah halnya yang
dirasakan oleh korban tindak pidana perkosaan. Kasus perkosaan telah banyak
terjadi dan korbannya sangatlah menderita baik secara fisik maupun batin.
Beberapa contoh kasus perkosaan yang terjadi antara lain kasus
perkosaan terhadap gadis remaja 15 tahun, ia menangis histeris saat diperiksa
sebagai saksi korban didepan persidangan Pengadilan Negeri Bitung, ia dicegat
dan diperkosa di jalan perkampungan oleh terdakwa pria beristri (29 tahun).1
1
Sumber
Kasus perkosaan lain yang pernah terjadi adalah kasus perkosaan di
Gresik yang banyak melibatkan orang-orang dekat korban, Tahun 2009 sudah
tercatat tiga kasus perkosaan, yakni di wilayah Kecamatan Kedamaean, Menganti,
dan Sidayu. Terakhir korban yang masih duduk di kelas II SMA diperkosa kakak
ipar dan tetangganya sendiri.2 Kasus perkosaan lainnya yaitu 168 kasus perkosaan
terhadap warga keturunan Tionghoa yang terjadi pada saat kerusuhan, dua puluh
diantara korban tewas karena terperangkap api dan dibunuh.3 Kasus selanjutnya
adalah kasus perkosaan yang dialami seorang pembantu yang diperkosa oleh
majikannya.4 Kasus perkosaan terhadap gadis keterbelakangan mental berinisial
AP (14), yang diperkosa oleh sepupunya sendiri serta empat orang temannya, di
Jalan Karya Setia Gang Kerabat Kelurahan Karang Berombak Kecamatan Medan
Barat yang mengalami trauma pasca pemerkosaan yang menimpanya.5
Kasus perkosaan yang marak terjadi saat ini juga mengundang perhatian
banyak pihak. Kasus Perkosaan yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah kasus baru Begitu
juga kasus tindak pidana perkosaan di angkot yang sedang marak dibicarakan saat
ini. Hal ini adalah beberapa contoh kasus perkosaan yang pernah terjadi. Hal ini
juga menunjukkan bahwa kasus perkosaan bisa terjadi di berbagai tempat dan
kondisi. 06/03/2013, pukul 12.15 Wib
5
namun merupakan kasus yang telah lama terjadi. Data Komisi Nasional
(KOMNAS) Perempuan, lembaga negara yang memberikan upaya-upaya
perlindungan terhadap perempuan menunjukkan bahwa jumlah kasus perkosaan
terhadap perempuan mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2008 – 2010,
Komnas Perempuan mendokumentasikan kasus kekerasan terhadap perempuan
sebanyak 91.311 kasus. Sebagai catatan bahwa kurang dari 10 persen dari 91.311
adalah kasus kekerasan seksual yang didokumentasikan secara terpilah. Kasus
kekerasan seksual tersebut kemudian dikenali menjadi sebelas kasus kekerasan
seksual yang dialami oleh perempuan. Sementara itu sebanyak 82.985 adalah
kasus gabungan dari kasus perkosaan, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual.
Jumlah kasus di atas merupakan fenomena gunung es, jumlah kasus yang
sesungguhnya terjadi kemungkinan jauh lebih besar dibandingkan dengan
kasus-kasus perkosaan yang dapat didokumentasikan. Perasaan malu, dianggap sebagai
aib dan rendahnya keberpihakan masyarakat, pemerintah dan penegak hukum
terhadap korban menjadi hambatan perempuan korban kekerasan untuk
melaporkan kasus yang dialaminya.6
6
Sumber
Banyak Korban juga tidak berusaha
mengadukan kasus yang menimpanya kepada pihak yang berwajib, karena dalam
dirinya sudah tertanam sikap kekhawatiran dan ketakutan kalau cara yang
dilakukannya bukan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah dan meringankan
beban yang dihadapinya, melainkan akan menimbulkan beban yang lebih berat.
Disamping takut disuruh mengungkap ulang atau mendeskripsikan kasus yang
menimpanya, korban juga khawatir pihak yang berwajib tidak sungguh-sungguh
dalam menangani penderitaannya. Hal ini kiranya menunjukkan pada kita bahwa
korban perkosaan belum menganggap bahwa hukum yang mengatur tentang
tindak pidana perkosaan ini belum dapat memberikan perlindungan padanya.
Perkosaan merupakan suatu tindak pidana yang sangat tercela dan
merugikan pihak korban. Korban perkosaan menderita kerugian akumulatif, yang
tidak semata secara fisik, namun juga psikis. Perempuan yang menjadi korban ini
bukan hanya mengalami penderitaan akibat luka yang dideritanya, tetapi juga
penderitaan kejiwaan karena harus menanggung aib yang sulit dihapuskan dari
kehidupannya. Perkosaan merupakan kejahatan yang lebih kejam dari
pembunuhan, karena dia yang menjadi korban masih hidup, namun secara
psikologi ia menderita dan tertekan. Kasus perkosaan yang akhir-akhir ini terjadi,
dimana ayah memperkosa anaknya beberapa kali dan akhirnya menimbulkan
kematian bagi anak tersebut juga membuktikan bahwa begitu banyaknya
penderitaan yang dialami korban perkosaan, korban tidak saja menderita sakit dan
penyakit, bahkan ada korban yang sampi kehilangan nyawanya. Melihat kasus
yang terjadi, sudah dapat dijelaskan bahwa kejahatan perkosaan merupakan
sebuah kejahatan yang perlu mendapat pemikiran lebih lanjut, terutama
perlindungan hukum terhadap korbannya. Ini merupakan suatu permasalahan yang
memperoleh perhatian dari setiap penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat.
Sudah seharusnyalah korban perkosaan sebagai pihak yang sangat dirugikan oleh
terjadinya tindak pidana harus dilindungi. Sehingga sistem peradilan pidana perlu
dengan menjamin atau memberikan hak-hak kepada korban agar korban dapat
membantu dalam pengungkapan perkaranya.
Telah kita ketahui bahwa perempuan korban kekerasan biasanya
mengalami luka batin (psikologis) yang luar biasa, sehingga upaya-upaya
pemulihan terhadap korban haruslah penting dilakukan oleh semua pihak.
Ironisnya pemenuhan hak-hak pemulihan dan perlindungan terhadap korban
masih jauh dari yang diharapkan. Korban perkosaanselain mengalami luka secara
fisik dan psikis juga harus menanggung sendiri biaya pengobatan di rumah sakit.7
Dalam proses peradilan pidana, keberadaan korban perkosaan tetap
mengkhawatirkan. Keterwakilannya oleh jaksa tidak menjadikan peristiwa yang
dialami menjadi terganti. Dihukumnya pelaku perkosaan tidak menghilangkan
rasa traumatis yang diderita korban.8 Bahkan seringkali ungkapan-ungkapan yang
menyudutkan korban sering sekali terdengar disampaikan oleh berbagai pihak
yang membuat semakin melemahnya posisi korban. Hukum seharusnya mampu
memberi keadilan bagi mereka yang telah menjadi korban. Keadilan bagi korban
paling tidak akan berbentuk hukuman yang setimpal bagi para pelaku, dan
perlindungan yang efektif bagi korban. Perlunya diberikan perlindungan hukum
pada korban kejahatan secara memadai tidak saja isu nasional, tetapi juga
internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang
serius.9
7
Sumber: Koran Kompas, edisi Sabtu, 17 Desember 2011, Pemerkosaan di Angkot:
Korban Masih Biayai Pengobatan Sendiri, hlm.26
8
Rena Yulia, 2010, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta, Penerbit Graha Ilmu, hlm. 13
9
Dikdik M.Arief Manshur dan Elisatris Gultom,2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta, Penerbit PT Rajagrafindo persada, hlm. 23
ini, maka perlu dilakukan pembaharuan hukum yang mengatur tentang tindak
pidana perkosaan ini, masalah perlindungan korban ini perlu pengaturan yang
memadai untuk memulihkan kondisi sosial-ekonomi para korban kejahatan serta,
perlu diatur mengenai pemulihan korbannya serta hak-hak para korban tersebut
secara tegas, begitu juga dengan perumusan tindak pidananya.
Kita menyadari bahwa upaya keadilan bagi korban pada gilirannya akan
sangat menentukan watak kebernegaraan dan kebermasyarakatan kita sekarang
dan di masa depan berdasarkan penghormatan terhadap harkat, martabat, dan hak
asasi manusia.10 Budaya keadilan dimulai dari tumbuhnya rasa hormat kita pada
korban ketidakadilan itu sendiri dalam berbagai warna, bentuk, dan ungkapan.11
Keadilan harus ditegakkan. Korban harus dipulihkan dan dihormati. Itulah pesan
utama dalam praktek kehidupan kita kedepan terutama dimasa transisi ini.12
10
Theo Van Boven, 2002, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban Atas Restitusi,
Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, hlm. ix
11
Ibid.,
12
Ibid., hlm x
Upaya-upaya perlindungan, pemulihan dan jaminanan rasa aman kepada warga
Negara harus lebih dimaksimalkan dan diatur secara tegas sebagai bagian dari
tanggung jawab pemerintah kepada rakyat. Mengingat juga pelaku perkosaan
terhadap perempuan adalah pihak yang yang paling bertanggung jawab atas
kekerasan terhadap perempuan. Tanggung jawab tersebut dapat diwujudkan dalam
bentuk penanganan hukum yang berperspektif korban, dengan membuat suatu
aturan yang tegas mengenai pertanggungjawaban pelaku, pemberian ganti rugi
kepada korban, serta pemulihan korban. Berdasarkan hal di atas, maka perlu
yang secara tegas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan korban
tindak pidana perkosaan, baik berupa perlindungan fisik, psikis, dan hak untuk
memperoleh restitusi. Hal ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan bagi
korban tindak pidana perkosaan dan sebagai usaha untuk menanggulangi tindak
pidana perkosaan yang akhir-akhir ini semakin marak diberitakan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana
perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban?
2. Hal-hal apakah yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana
menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan
perlindungan terhadap korban?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Mengetahui apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak
2. Mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam pembaharuan
hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan
dengan perlindungan terhadap korban.
Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penulis berharap karya tulis ilmiah berbentuk skripsi ini dapat
memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya, dan
masyarakat pada umumnya tentang pemahaman bagaimana hukum
memberi perlindungan terhadap korban, khususnya korban perkosaan.
2. Manfaat Praktis
Memberi masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan
masyarakat tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam upaya
penegakan hukum tindak pidana perkosaan, khususnya dalam hal
perlindungan terhadap korban.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana (Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban)”
sepengetahuan penulis bahwa dilingkungan Universitas Sumatera Utara penulisan
tentang judul tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan
pemeriksaan oleh Departemen Hukum Pidana mengenai tidak ada judul yang
Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin
dicapai dalam penulisan ini, maka dapat penulis katakan bahwa skripsi ini
merupakan karya penulis yang asli.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana pada hakikatnya berasal dari istilah yang dikenal
dalam hukum pidana Belanda (WVS) yaitu strafbaarfeit. Strafbaarfeit ini
diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tetapi tidak
ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh
karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.
Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat. Beberapa istilah yang
pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam
literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit ini adalah sebagai
berikut:13
1 Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. hampir seluruh peraturan perundang-perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Wirdjono Prodjodikoro
2 Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, H.J.Van Schravendijk dalam buku pelajaran tentang hukum pidana, Zainal abiding, dalam buku beliau Hukum Pidana
13
Adami Chazawi,2005, Pelajaran Hukum Pidana: Stelsel Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, Penerbit PT Raja Grafindo Persada,
3 Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin Delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit.
Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan
perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya.
Tindak menunjuk pada kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata,
dan tidak termasuk kelakuan mausia yang pasif atau negative (nalaten). Padahal
pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan
aktif maupun pasif tersebut.14 Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah
tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya
disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya.15
Beberapa pengertian Tindak pidana yang dirumuskan oleh para ahli
yaitu:16
1. D. Simons
Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang
oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum. Dengan batasan seperti ini, maka menurut simons, untuk adanya
suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut;
a. Perbuatan manusia, baik dalam pengertian arti perbuatan positif
(berbuat) maupun negatif (tidak berbuat).
14
Ibid., hlm. 70 15
Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif
Pembaharuan, Malang, Penerbit UMM Press, hlm. 102
16
b. Diancam dengan pidana
c. Melawan hukum
d. Dilakukan dengan kesalahan
e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab
2. J. Bauman
Menurut J. Bauman, perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang
memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan
kesalahan.
3. Wirdjono Prodjodikoro
Menurut beliau, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan pidana.
4. Pompe
Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah
feit (tindakan), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.
2. Tindak Pidana Perkosaan
KUHP merumuskan perbuatan perkosaan (rape) pada Pasal 285 yang
bunyinya sebagai berikut :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ini
mempunyai unsur-unsur yakni:
2. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
3. memaksa
4. seorang wanita bersetubuh dengan dia
5. diluar perkawinan
Walaupun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan
keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan
yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur
memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP,
kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan
dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. 17
Seorang terdakwa dapat dikatakan bersalah karena melakukan tindak
pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP adalah apabila terbukti
mempunyai kesengajaan melakukan tindak pidana perkosaan tersebut. Disidang
pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara terdakwa, baik penuntut
umum maupun hakim harus dapat membuktikan tentang:
Karena seperti
yang telah kita ketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus
dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus
dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan
yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah
didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.
18
a. adanya kehendak atau maksud terdakwa memakai kekerasan;
17
P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus: Kejahatan
Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm. 97
18
b. adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk mengancam akan
memakai kekerasan;
c. adanya kehendak atau maksud si terdakwa untuk memaksa;
d. adanya pengetahuan para terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah seorang
wanita yang bukan istrinya.
e. adanya pengetahuan para terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk dilakukan
oleh wanita tersebut ialah untuk mengadakan hubungan kelamin dengan
dirinya diluar perkawinan.
Jika salah satu kehendak/maksud dan pengetahuan terdakwa tersebut
ternyata tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada alasan bagi penuntut umum untuk
menyatakan terdakwa terbukti mempunyai kesengajaan dalam melakukan tindak
pidana yang ia dakwakan kepadanya, dan hakim akan memberi putusan bebas dari
tuntutan hukum bagi terdakwa.19
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari
kebijakan/ politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan
hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya
pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya
pembaharuan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek politik,
sosio-filosofik, sosio-kultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan
sosial,
2. Pengertian Pembaharuan Hukum Pidana
kebijakan
19
Ibid., hlm.98
dan hakikat pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai
aspek itu. Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakikatnya harus
merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek
dan kebijakan yang melatarbelakangi itu. Dengan demikian, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang
melandasi kebijakan sosial, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan hukum
di Indonesia. Secara singkat dapatlah diakatakan, bahwa pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang
berorientasi pada nilai (value-oriented approach).20
Dengan uraian di atas, dapatlah disimpulkan makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:
Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan
kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu
langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum/ penegakan
hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Di dalam setiap
kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu,
pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.
21
1) Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan
20
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, hlm. 30
21
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi
masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam
rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat dan sebagainya);
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan);
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih
mengefektifkan penegakan hukum.
2) Dilihat dari sudut pendekatan nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali (orientasi dan
re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio cultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif
hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (“reformasi”)
hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang
dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari
hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).
Dengan dimensi demikian, pada asasnya secara konkret memang
sudah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda dan dielakkan lagi
eksistensinya.
Menurut Muladi ada tiga metode pendekatan dalam kebijakan criminal
dan penalisasi, yaitu:22
a. Metode evolusioner (Evolutionary approach)
Metode ini memberikan perbaikan, penyempurnaan dan amandemen
terhadap peraturan-peraturan yang sudah lama ada dalam KUHP;
b. Metode Global (Global Approach)
Metode ini dilakukan dengan membuat peraturan tersendiri diluar
KUHP, misalnya Undang-Undang Lingkungan Hidup, Tindak Pidana
Korupsi, dan lain-lain.
c. Metode Kompromis (compromise Approach)
Metode ini dilakukan dengan cara menambah bab tersendiri dalam
KUHP mengenai tindak pidana tertentu, misalnya tambahan Bab
XXIX a dalam KUHP tentang Kejahatan Penerbangan dan
Sarana/Prasarana Penerbangan.
3. Aspek Perlindungan Terhadap Korban
Mengenai pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami
22
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana.
Arif Gosita memberikan definisi tentang korban yaitu mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain bertentangan
dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan
hak asasi yang menderita.23
Korban juga didefinsikan oleh Van Boven yang merujuk kepada
Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan
Penyalahgunaan Kekuasaan yaitu Orang yang secara individual Maupun
kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap
hak-hak dasarnya, baik karena tindakan ( by act) maupun karena kelalaian (by
Omission).24
Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa istilah korban tidak hanya
mengacu kepada perseorangan saja melainkan mencakup juga kelompok dan
masyarakat. Pengertian di atas juga merangkum hampir semua jenis penderitaan
yang diderita oleh korban. Cedera fisik maupun mental juga mencakup pula
derita-derita yang dialami secara emosional oleh para korban, seperti mengalami
23
Arif Gosita, 2009, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, hlm. 90
24
trauma. Mengenai penyebabnya ditunjukkan bukan hanya terbatas pada perbuatan
yang sengaja dilakukan tetapi juga meliputi kelalaian.25
Dari perspektif ilmu Victimologi korban tersebut yang hanya berorientasi
kepada dimensi akibat perbuatan manusia, dapat diklasifikasikan secara global
menjadi:26
a. Korban kejahatan (victim of crime) sebagaimana termaktub dalam
ketentuan hukum pidana sehingga pelaku (offender) diancam dengan
penerapan sanksi pidana. Pada konteks ini maka korban diartikan sebagai
penal victimology dimana ruang lingkup kejahatan meliputi kejahatan
tradisional, kejahatan kerah putih (white collar crime), serta victimless
crimes yaitu viktimisasi dalam korelasinya dengan penegak hukum,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan;
b. Korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (victims of abuse of power).
Pada konteks ini lazim disebutkan dengan terminology political
victimology dengan ruang lingkup abuses of power, Hak Asasi Manusia
(HAM) dan terorisme;
c. Korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif atau yang
bersifat non-penal sehingga ancaman sanksinya adalah sanksi yang
bersifat administrative bagi pelakunya. Pada konteks ini lazimnya ruang
lingkupnya bersifat economic victimology; dan
25
Ibid., hlm. xiv 26
Lilik Mulyadi, 2008, BungaRampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik,
d. Korban akibat pelanggaran kaedah sosial dalam tata pergaulan
bermasyarakat yang tidak diatur dalam ketentuan hukum sehingga
sanksinya bersifat sanksi sosial atau sanksi moral.
Dikaji dari perspektif normatif, korban kejahatan memerlukan
perlindungan dalam ranah ketentuan hukum. Barda Nawawi Arief menyebutkan
bahwa pengertian perlindungan korban tindak pidana dapat dilihat dari dua
makna, yaitu:27
1. dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban
tindak pidana (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum
seseorang);
2. dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/
santunan atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban
tindak pidana (jadi identik dengan penyantunan korban). Bentuk
santunan ini dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi),
pemulihan keseimbangan batin (antara lain: pemaafan), pemberian
ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan
sosial), dan sebagainya.
Ada beberapa argumentasi dan justifikasi mengapa korban kejahatan
memerlukan beberapa perlindungan. Mardjono Reksodiputro menyebutkan dari
pendekatan kriminologi ada beberapa alasan mengapa korban kejahatan perlu
mendapat perhatian, yaitu:28
27
Ibid., hlm. 250 28
1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberi perhatian
kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan
(offender-centered);
2. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas
dan melengkapi penafsiran kita atas statistik kriminal (terutama
statistik yang berasal dari kepolisian); ini dilakukan melalui survai
tentang korban kejahatan (victim surveys);
3. Makin disadari bahwa disamping korban kejahatan konvensional
(kajahatan-jalanan; street crime) tidak kurang pentingnya untuk
memberi perhatian kepada korban kejahatan non-konvensional (a.l
kejahatan korporasi dan kejahatan kerah putih) maupun
korban-korban dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of economic power
and/or public power)
Muladi meyebutkan ada beberapa argumentasi mengapa korban
kejahatan perlu dilindungi, yaitu 29
29
Ibid.,
Pertama, proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian, baik dalam arti umum maupun arti konkret. Dalam arti
umum, proses pemidanaan merupakan wewenang pembuat undang-undang, sesuai
dengan asas legalitas, yang menegaskan bahwa, baik Poenamaupun Crimenharus
ditetapkan terlebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri seorang
pelaku tindak pidana. Dalam arti konkret, proses pemidanaan berkaitan dengan
penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga
dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis
dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat pada lain pihak.
Kedua, argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban kejahatan adalah argument kontrak sosial dan argumen solidaritas sosial. Yang
pertama, menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi
sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi.
Oleh karena itu, bila terjadi kejahatan dan membawa korban, negara harus
bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Yang
disebut terakhir menyatakan bahwa negara harus menjaga warganegaranya dalam
memenuhi kebutuhannya atau apabila warganegaranya mengalami kesulitan,
melalui kerja sama dalam bermasyarakat berdasarkan atau menggunakan
sarana-sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui
peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang
dewasa ini banyak dikedepankan yakni penyelesaian konflik.
Menurut Arif Gosita, beberapa hal yang menjadi dasar perlunya
memperhatikan si korban dalam tindak pidana, adalah antara lain sebagai
berikut:30
1) Belum adanya pengaturan yang sempurna mengenai sikorban secara
yuridis, yang menunjukkan adanya pengayoman serta keadilan dan
ketertiban;
30
2) Adanya falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
mewajibkan setiap warga negara melayani sesame manusia demi
keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan;
3) Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum
pidana dan pengasuhan/pemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka
yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak korban;
4) Adanya peningkatan kejahatan Internasional yang mungkin juga
menimbulkan korban warga negara Indonesia tanpa adanya
kemungkinan mendapatkan kompensasi, sedangkan yang menderita
itu sangat memerlukan kompensasi itu untuk kelanjutan hidupnya.
Dalam hal ini bila tidak ada lagi yang mau memberi kompensasi
tersebut siapa lagi yang akan memberikannya. Sebaiknya pemerintah
yang akan memberi bantuan pada warga negaranya yang menderita
demi tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya;
5) Adanya kekurangan dalam usaha pencegahan terjadinya
korban-korban baik karena kurangnya penyuluhan, maupun bertambahnya
pembiaran terjadinya penyimpangan dan tindakan pidana dengan
sengaja oleh masyarakat.
6) Adanya pencerminan pencurahan perhatian yang lebih besar kepada
si pembuat korban daripada korban dalam undang-undang hukum
pidana dan acara pidana mengenai tanggung jawab terjadinya tindak
7) Masih berlakunya pandangan, bahwa kalau si korban ingin
mendapatkan ganti rugi ia harus menempuh jalan yang tidak mudah.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian skripsi ini adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu
dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan
terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder, yang
diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan
meliputi KUHP, KUHAP, Undang-Undang, dan Peraturan Pelaksana.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat menganalisa bahan hukum
primer, antara lain berupa buku, hasil-hasil penelitian, karya tulis
ilmiah, koran, dan lain sebagainya.
Metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data untuk
penyusunan skripsi ini adalah melalui studi kepustakaan (Library Research) yakni
melalui penelitian dengan berbagai sumber bacaan dari bahan pustaka yang
disebut sebagai data sekunder.
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif
dan diuraikan secara deskriptif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang merupakan isi dari pembahasan skripsi
ini dan untuk mempermudah penguraiannya, maka penulis membagi skripsi ini
kedalam 4 (empat) Bab.
BAB I, berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II, berisi tentang apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban, dan
hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut
tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban.
BAB III, berisi tentang hal-hal apakah yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan
BAB II
KAJIAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA YANG MENGATUR TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KAITAN
DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN
A. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
KUHP merumuskan perbuatan perkosaan (Rape) pada Pasal 285 yang
bunyinya sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Berdasarkan pasal 291 ayat (2), jika pemerkosaan tersebut mengakibatkan matinya perempuan itu, ancaman menjadi lima belas tahun penjara.31
Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki
beberapa Unsur yaitu:32
1. Barangsiapa
2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
3. Memaksa
4. Seorang wanita bersetubuh dengan dia
5. Diluar perkawinan
Walaupun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan
keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan
yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur
31
Leden Marpaung, 1997, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya,
Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm.49
32
memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP,
kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan
dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang
telah kita ketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus
dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus
dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan
yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah
didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.33
Unsur obyektif pertama dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam
Pasal 285 KUHP ialah unsur barangsiapa. Kata barangsiapa ini menunjukkan
orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana
yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak
pidana perkosaan tersebut.34
Unsur obyektif kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285
KUHP ialah unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Menurut
Tirtaamidjaja, yang dimaksudkan dengan kekerasan adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat. “Kekerasan atau ancaman
kekerasan “ tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian
rupa sehingga berbuat lain tidaj memungkinkan baginya selain membiarkan
dirinya untuk disetubuhi.35
33
P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit, hlm.97 34
Ibid, hlm.98 35
Menurut Hoge Raad dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 5
Januari 1914, NJ 1914 halaman 397,W.9604 dan tanggal 18 Oktober 1915,NJ
1915 halaman 1116, mengenai ancaman kekerasan tersebut disyaratkan yakni:36
Orang belum dapat memperoleh penjelasan tentang apa sebenarnya Dari
arrest-arrest Hoge Raad tersebut mengenai apa yang dimaksudkan dengan
ancaman kekerasan atau ancaman akan memakai kekerasan, karena arrest-arrest
tersebut hanya menjelaskan tentang caranya ancaman itu harus diucapkan. Karena
kekerasan tidak hanya dapat dilakukan dengan memakai tenaga badan yang
sifatnya tidak terlalu ringan, yakni seperti yang dikatakan oleh prof. Simons,
melainkan juga dapat dilakukan dengan memakai sebuat alat, sehingga tidak
diperlukan adanya pemakaian tenaga badan yang kuat, misalnya menembak
dengan sepucuk senjata api, menjerat leher dengan seutas tali, menusuk dengan
sebilah pisau dan lain-lainnya, maka mengancam akan memakai kekerasan itu
harus diartikan sebagai suatu ancaman yang apabila yang diancam tidak bersedia
memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan a. bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang
demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang
diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat
merugikan kebebasan pribadinya.
b. bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan
kesan seperti itu.
36
pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi
kebebasan, kesehatan, atau keselamatan nyawa orang yang diancam.
Unsur ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah
unsur memaksa. “memaksa” berarti di luar kehendak dari si wanita tersebut atau
bertentangan dengan kehendak wanita itu. Satochid Kartanegara menyatakan
antara lain:37
Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga
dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita menjadi terpaksa
bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian
memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin. Dalam hal ini kiranya
sudah jelas bahwa keterpaksaan wanita tersebut harus merupakan akibat dari
dipakainya kekerasan akan dipakainya ancaman akan memakai kekerasan oleh
pelaku atau oleh salah seorang dari para pelaku.
“Perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan
sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.
38
Unsur objektif keempat dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285
KUHP ialah seorang wanita bersetubuh dengan dia. Kalau bukan wanita (dalam
hal homoseks) maka tidak dapat diterapkan Pasal 285 KUHP ini. Perlu diketahui
bahwa kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP telah menyebutkan adanya berbagai
wanita, masing-masing yakni: a. wanita yang belum mencapai usia dua belas
tahun (Pasal 287 ayat (2) KUHP), wanita yang belum mencapai usia lima belas
37
Leden Marpaung, Log.Cit.,
38
tahun (Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 290 angka 3 KUHP, wanita yang belum dapat
dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP), dan wanita pada umumnya.39
Pengertian “Bersetubuh” menurut Tirtaamidjaja berarti persentuhan
sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya
dapat menimbulkan kehamilan. Pengertian bersetubuh diartikan bahwa penis telah
penetrasi kedalam vagina.
Adapun yang
dimaksud dalam Pasal 285 KUHP adalah wanita pada umumnya.
40
Bila ternyata pelaku tidak berhasil memasukkan
penisnya kedalam vagina korban, misalnya karena korbannya telah memberikan
perlawanan, maka pelaku dapat dipersalahkan karena telah melakukan suatu
percobaan pemerkosaan yakni melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 53
ayat (1) jo. Pasal 285 KUHP, dan sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur
dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana penajara
selama-lamanya 8 tahun bagi pelaku yakni sesuai ketentuan pokok terberat yang
diancamkan dalam Pasal 285 KUHP dikurangi sepertiganya.41
Hal ini berbeda dengan KUHP Norwegia. Beberapa ketentuan menarik
dari ketentuan KUHP Norwegia ialah: 42
a. Untuk dapat dikatakan ada perkosaan (rape) tidak perlu ada
persetubuhan “(sexual intercourse”); cukup apabila memaksa
seseorang untuk melakukan hubungan tidak senonoh/perbuatan cabul
39
Ibid.,
40
Leden Marpaung, Op.Cit.,hlm. 53 41
P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit., hlm.103
42
(“indecent relations”) . Dalam hal demikian ancaman pidananya
berkisar antara 1-10 tahun penjara. Tetapi apabila “indecent relations”
itu berupa “sexsual intercourse” maka pidananya diperberat yaitu
dikenakan pidana minimal tidak kurang dari 3 tahun penjara (ps.192).
Jadi, adanya “sexual intercourse” bukan syarat untuk adanya
perkosaan, tetapi hanya sebagai alasan factor pemberat pidana.
Apabila perkosaan berakibat luka-luka berat atau mati, minimal
pidananya menjadi 4 tahun dan maksimumnya pidana penjara seumur
hidup (dalam konsep KUHP minimalnya 5 tahun dan maksimumnya
15 tahun penjara).
Unsur objektif kelima dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam
Pasal 285 KUHP ialah unsur di luar perkawinan. Di luar perkawinan berarti bukan
istrinya.
Dari peraturan ini dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut:43
a. Korban perkosaan harus seorang perempuan, tanpa batas umur.
b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini
berarti tidak ada persetujuan dari korban mengenai niat dan tindakan
si pelaku.
c. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai
dengan melakukan kekerasan atau ancaman terhadap perempuan
tersebut.
43
Para feminis mengkritik KUHPidana. Seperti di negara-negara patriarki
lainnya, KUHPidana Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai
manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria.
Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh dan seksualitas belaka.
Hal ini juga tampak pada pasal tentang perkosaan (Pasal 285 KUHP) yang
mengisyaratkan korban harus bukan istri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk
hubungan seksual yang dalam keputusaan Hoograad (Mahkamah Agung Hindia
Belanda) tanggal 5 Februari 1912 diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”.
Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari perspektif korban (perempuan),
misalnya dengan melihat apakah harga diri atau HAM perempuan sudah
tercabik-cabik.44
Salah satu aspek yang digugat atau dipertanyakan eksistensinya oleh
pemerhati dan lembaga advokasi masyarakat adalah aspek yuridis (KUHP), yang
dinilainya punya kelemahan mendasar, sehingga sulit diharapkan dapat
diimplementasikan secara maksimal guna menanggulangi pelaku kejahatan
kekerasan seksual (perkosaan). KUHP Indonesia yang dijadikan acuan bagi
kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual
mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban
kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang
istimewa.
45
44
Sulistyowati Irianto, 2006, Perempuan dan Hukum:Menuju Hukum Yang
Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm.8-9
45
Abdul Wahid & Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung, Penerbit Refika Aditama,hlm. 109
Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 285
KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung
oleh pelaku adalah dua belas tahun penjara, apabila mengakibatkan matinya
perempuan diancam pidana penjara lima belas tahun. Hal ini adalah ancaman
hukuman maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus
ditetapkan begitu. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat
diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang
menjatuhkan vonis. 46
R. Soesilo mengatakan bahwa yang diancam hukuman dalam Pasal 285
KUHP tentang perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya. Dari Pasal 285
ini juga dapat ditarik kesimpulan bahwa (a) korban perkosaan harus seorang
wanita tanpa batas umur; (b) korban harus mengalami kekerasan atau ancaman
kekerasan. Hal ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat
dan tindakan pelaku.47
Berdasarkan di atas jelaslah bahwa perkosaan itu dilakukan dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga si korban pingsan atau tiada
berdaya lagi untuk mengadakan perlawanan terhadap si pelaku sebelum maupun
sesudah dia diperkosa. Apabila perbuatan itu dilakukan tanpa kekerasan atau
ancaman kekerasan, maka perbuatan itu tidak dapat digolongkan kedalam
46
Ibid.
47Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: pendekatan Integral Penal Policy dan Non
Penal Policy Dalam penanggulangan Kejahatan kekerasan, Medan, Penerbit Pustaka Bangsa
pengertian perkosaan tetapi kemungkinannya termasuk dalam pengertian
persetubuhan suka sama suka.
Rumusan pasal tentang larangan perkosaan tersebut dalam kenyataannya
tidak relevan dengan makna perbuatan perkosaan itu sendiri. Dalam rumusan
tersebut hanya perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
memaksa seorang wanita bersetubuh diluar perkawinan lah yang dikategorikan
sebagai perkosaan. Perbuatan dengan kekerasan antau ancaman kekerasan untuk
memaksa seorang wanita yang terikat perkawinan untuk melakukan persetubuhan,
tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan, padahal pemaksaan atau kekerasan
untuk melakukan persetubuhan seharusnya dikategorikan sebagai perbuatan yang
dilarang, karena menafikan adanya penghargaan atas kemanusiaan seseorang yang
paling esensial berupa adanya persetujuan untuk melakukan perbuatan yang
teramat intim, baik itu diluar atau didalam perkawinan. Dengan merumuskan hal
itu, Pasal 285 KUHP telah menyatakan bahwa perempuan yang telah terikat
perkawinan tidak lagi memiliki hakekat kemanusiaan untuk melakukan
persetujuan persetubuhan, atau tidak perlu lagi dimintai persetujuannya.48
48
Sulistyowati Irianto, Op.Cit ,hlm. 58
Pasal 285 KUHP ini juga kurang mampu mengakomodir perlindungan
para korban, karena perkosaan bisa saja terjadi tanpa adanya kekerasan atau
ancaman kekerasan. Bagaimana kalau misalkan perkosaan itu tidak dilakukan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, namun dengan modus penipuan,
seperti contoh kasus dibawah ini, apakah pelaku akan lepas dari jerat
Contoh kasus:49
Perkosaan dilakukan dengan modus penyembuhan. Korban dibuat
bingung dengan pemikiran tentang kondisi dirinya yang sakit secara fisik dan
psikis. Perkataan pelaku yang dapat menyembuhkan korban membuat ia mau
melakukan permintaan pelaku. Korban tidak mau menceritakan kejadian yang
dialaminya kepada pihak keluarga dengan alasan tidak mau menambah beban
keluarganya. Korban merasa pusing dan mual, bahkan muntah selama beberapa
hari setelah kejadian tersebut. Akibatnya, Korban merasa kesakitan dan sadar
bahwa apa yang terjadi pada dirinya bukanlah sebuah proses penyembuhan. Ia
merasa jijik pada saat pelaku meraba alat kelaminnya. Setelah itu ia merasa
menyesal, jijik, benci kepada pelaku, dan marah. Akan tetapi ia tidak berani
mengungkapkan hal tersebut sehingga semua perasaan tersebut hanya dipendam
sendiri dan untuk jangka panjang ia memiliki perasaan ketakutan jika teman kost
tahu apa yang terjadi padanya. Korban mengalami pendarahan selama tiga hari.
Korban merasa benci dan jijik apabila mengingat peristiwa tersebut serta melihat
bekas-bekas gigitan di badannya. Setelah kejadian tersebut korban mengalami
perasaan ingin muntah, mual dan tidak dapat diisi makanan pada pagi hari.
Menurut teman-temannya jika tidur korban sering menceracau atau mengigau. Hal
ini berlangsung kurang lebih selama satu bulan. Pada awalnya korban tidak ingin
teman-teman kostnya tahu kecuali teman sekamarnya. Korban juga tidak
memberitahu pihak keluarganya dengan alasan ia tidak ingin menambah masalah
49
dan beban bagi keluarganya, terutama bagi ibu korban. Pada kasus ini, korban
yang mengetahui kesulitan ekonomi yang dimiliki oleh keluarganya di luar Jawa
lebih memilih tidak memberitahukan masalah yang dialaminya. Ia merasa lebih
baik merahasiakan peristiwa yang dialaminya daripada menambah beban
keluarga.
Rumusan Pasal 285 KUHP tentunya tidak bisa menjerat pelaku tindak
pidana perkosaan dalam kasus di atas, karena rumusan dalam Pasal 285 KUHP
hanya merumuskan bahwa perkosaan itu dilakukan dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan, sedangkan dalam contoh di atas perkosaan dilakukan dengan
modus penipuan, perempuan tersebut diperdaya dan diperkosa. Dalam konteks
masyarakat saat ini, rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP ini
tentunya sangat ketinggalan zaman, karena kejahatan perkosaan saat ini
mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya.
Misalnya; bagaimana jika seandainya “perkosaan” itu terjadi tidak dalam bentuk
persetubuhan (contohnya dengan memasukkan penis ke mulut dan anus atau
memasukkan benda-benda lain ke vagina). Bagaimana jika perkosaan tersebut
terjadi terhadap istri (marital rape)? tentunya pertanyaan ini juga tidak dapat
dijawab oleh pengaturan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP. Jika
para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) tetap mengacu pada Pasal 285 KUHP
perkosaan dan pemerkosa yang lepas dari jeratan hukum karena perbuatannya
tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur Pasal 285 KUHP.50
Kita ketahui bahwa dalam penerapannya, melalui putusan-putusan
pengadilan rumusan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan ini hanya dapat
diterapkan pada perbuatan memasukkan alat kelamin laki-laki kedalam alat
kelamin perempuan, sehingga perbuatan memasukkan benda lain kedalam alat
kelamin perempuan tidak dikategorikan sebagai atau diberikan sanksi seberat
perbuatan perkosaan.51
Berdasarkan Pasal 285 KUHP tidak termasuk perkosaan dalam rumah
tangga atau suami memperkosa isterinya yang disebut marital rape. Ketentuan ini
tidak melarang perkosaan terhadap isteri oleh suaminya. Kelemahan hukum
pidana ditentukan pula karena usia KUHP yang sudah tua sebagai induk hukum
pidana, permasalahannya, menyangkut nilai yang ada dibalik norma-norma
hukum (KUHP), yang sudah barang tentu dilatarbelakangi budaya barat yang
lebih kental nilai-nilai individualistisnya. Sementara itu, nilai-nilai masyarakat Rumusan Pasal 285 KUHP ini hanya mendefinisikan bahwa perkosaan
dilakukan hanya di luar perkawinan". Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti
bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat
belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan
akan tetapi masuk dalam kategori percabulan. Rumusan ini dinilai diskriminatif,
dan ikut berperan serta dalam membakukan nilai yang berlaku di masyarakat
berkenaan dengan harkat dan martabat wanita
50
Sumber: diakses pada 25/03/2013, 11.32 Wib
51
kita lebih bersifat komunal, dan perkembangannya menuju nilai-nilai universal,
khususnya nilai keadilan yang semestinya diwujudkan melalui hukum, termasuk
keadilan jender.52
Logika konkret ketentuan di atas menyiratkan bahwa ada perlindungan
abstrak atau tidak langsung yang diberikan undang-undang sebagai kebijakan
formulatif kepada korban kejahatan. Perlindungan tersebut meliputi penjatuhan
hukuman oleh hakim dengan penetapan syarat umum dan syarat khusus berupa
ditentukan terpidana mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Akan
tetapi, ternyata aspek ini sifatnya abstrak atau perlindungan tidak langsung karena
sifat syarat khusus tersebut berupa penggantian kerugian adalah fakultatif,
bergantung kepada penilaian hakim. Oleh Karena itu, dengan asas keseimbangan Ketentuan KUHP memang ada memberikan perlindungan terhadap
korban kejahatan secara implisit. Aspek ini terlihat melalui ketentuan Pasal 14c
ayat (1) KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14 a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana, hakim boleh mangadakn syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagian saja, yang akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada itu juga, yang kurang pada masa percobaan itu.
52
individu dan masyarakat (Asas monodualistik) seharusnya perlindungan terhadap
korban kejahatan dalam KUHP sifatnya imperative. 53
Hakikatnya, dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat menurut
Pasal 14c KUHP hakim dapat menetapkan syarat khusus berupa mengganti
kerugian akibat tindak pidana sehingga seolah-olah ganti rugi tersebut berfungsi
sebagai pengganti pidana pokok. Barda Nawawi Arief menyebutkan penetapan
ganti rugi ini jarang diterapkan dalam praktik karena mengandung beberapa
kelemahan, antara lain:54
a. Penetapan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi
yang berdiri sendiri disamping pidana pokok, ia hanya dapat menjatuhkan
pidana bersyarat, jadi hanya sebagai syarat khusus untuk tidak menjalani
pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;
b. Penetapan syarat khusus berupa ganti rugi ini pun hanya diberikan apabila
hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana
kurungan.
c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanya bersifat
fakultatif, tidak bersifat imperatif.
KUHP menunjukkan pengaturan mengenai korban yang tidak memadai,
seperti ketentuan dalam Pasal 14c KUHP, Padahal, kerugian yang diderita korban
sangat berat. Perempuan korban perkosaan menanggung beban mental yang lebih
berat dibandingkan hukuman bagi pemerkosanya. Korban ada kemungkinan akan
mengalami cacat seumur hidup dan menerima tekanan dari masyarakatnya.
53
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm.262 54
Dampak lain menyangkut gangguan emosi sebagai beban psikologis dan
berpengaruh secara psikis (misalnya schizoprenia) dan fisik (physiological
disorder), ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidakbahagiaan, merasa terbuang,
cacat tubuh, serta kematian. Di samping itu, cemoohan dari masyarakat, perasaan
tertekan merasa dirinya telah kotor dan berdosa. Ditambah lagi tekanan-tekanan
yang timbul dari proses peradilan baik sebelum sidang, selama sidang, maupun
setelah sidang semakin menderitakan korban. Begitu juga vonis yang ringan
terhadap kasus perkosaan tidak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya.
Menurut asumsi Lilik Mulyadi ketentuan pasal 14a, b, dan c KUHP,
bentuk syarat khusus berupa ganti kerugian bukan salah satu jenis pidana
sebagaimana ketentuan Pasal 10 KUHP dan aspek ini tetap mengacu pada pelaku
tindak pidana (offender Oriented) dan bukan pada korban tindak pidana (victim)
yang lazimnya mengalami viktimisasi sekunder (secondary victimization), karena
itu dengan titik tolak agar korban kejahatan tidak terasing lagi, bukan sebagai
Cinderella dari hukum pidana maka penempatan pembayaran ganti rugi dan
pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang
hidup dalam masyarakat sesuai ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d,e Konsep RUU
KUHP diharapkan korban tidak terasing lagi. 55
1) Pidana tambahan terdiri atas:
Ketentuan Pasal 67 Konsep RUU KUHP Tahun 2006 berbunyi sebagai
berikut:
55
a. Pencabutan hak tertentu;
b. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. Pengumuman putusan hakim
d. Pembayaran ganti kerugian; dan
e. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut
hukum yang hidup dalam masyarakat
2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok,
sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana tambahan yang lain.
3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat
setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masayrakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat
dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.
4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan
adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.
Rumusan sanksi pidana dalam konsep RUU KUHP ini lebih baik bila
dibandingkan daripada rumusan dalam KUHP saat ini, karena ada diatur
mengenai ganti kerugian, pemenuhan kewajiban setempat.
Mengenai rumusan tindak pidana perkosaan RUU KUHP 1999/2000
Direvisi 2004/2005 merumuskannya pada pasal 489 bunyinya sebagai berikut:
1) dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana