• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. KAJIAN TEORI

a. Pengertian Pendidikan Inklusi

Konsep pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang merepresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara (Ilahi, 2013: 24). Pernyataan tersebut didukung oleh Staub dan Peck (dalam Ilahi, 2013: 27) yang menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat

ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Sedangkan O’Neil

(dalam Ilahi, 2013: 27) menambahkan, pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya.

Rosilawati (2013: 9) memaparkan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberikan layanan kepada setiap anak tanpa terkecuali. Tiarni (2013: 4) berpendapat pendidikan inklusi dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan

khusus belajar dengan anak sebayanya di sekolah regular yang terdekat dengan tempat tinggalnya.

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang melayani anak berkebutuhan khusus di kelas regular bersama-sama teman seusianya untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara.

b. Tujuan Pendidikan Inklusi

Menurut Ilahi (2013: 39), tujuan pendidikan inklusi, yaitu :

1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

2) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Sembodo (2008: 7) menyebutkan beberapa manfaat pendidikan dibuat agar anak-anak istimewa belajar bersama-sama anak-anak lain diantaranya adalah :

1) Meningkatkan interaksi sosial

2) Lebih banyak tingkah laku normal yang dapat dicontoh oleh mereka

3) Meningkatkan perkembangan bahasa 4) Menjadikan mereka lebih mandiri

5) Perkembangan dan nilai guna pendidikan bergantung pada program dan intervensi yang dijalankan oleh guru

Rosilawati (2013: 10) menyatakan bahwa manfaat dan sisi positif lain yang diperoleh dari adanya pendidikan inklusi diantaranya :

1) Melibatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan informasi semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah.

2) Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.

3) Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan inklusi adalah

1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

2) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. 3) Meningkatkan interaksi sosial

5) Mengidentifikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran.

c. Karakteristik Pendidikan Inklusi

Direktorat Pendidikan Luar Biasa (dalam Ilahi, 2013: 44) menyatakan bahwa pendidikan inklusi memiliki empat karakteristik makna, antara lain: 1) Proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara

merespon karagaman individu.

2) Mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar.

3) Anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya.

4) Diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, ekslusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

d. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusi

Ilahi (2013: 48) menjelaskan bahwa prinsip dasar pendidikan inklusi sebagai sebuah paradigma pendidikan yang menekankan pada keterbukaan dan penghargaan terhadap anak berkebutuhan khusus. Salamanca Statement dan Framework for Action (dalam Ilahi, 2013: 49) menyatakan prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus adalah semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah tanpa memandang perbedaan latar belakang kehidupannya. Kedua pernyataan tersebut didukung oleh Florian (dalam Ilahi, 2013: 50)

yang menyatakan bahwa pendidikan inklusi lahir atas dasar prinsip bahwa layanan sekolah seharusnya diperuntukkan untuk semua siswa tanpa menghiraukan perbedaan yang ada, baik siswa dengan kondisi kebutuhan khusus, perbedaan sosial, emosional, kultural, maupun bahasa.

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip pendidikan inklusi adalah sebuah paradigma pendidikan yang menekankan pada keterbukaan dimana semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah tanpa menghiraukan perbedaan yang ada.

2. Sekolah Dasar Inklusi

Stainback dan Stainback (dalam Ilahi, 2013: 83) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Pernyataan tersebut didukung oleh perjanjian Salamanca Statement dan Framework for Action (dalam Kustawan, 2013: 17) bahwa sekolah regular dengan orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusi dan mencapai pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan. Menurut Rosilawati (2013: 18), sekolah inklusi merupakan tempat bagi setiap anak untuk dapat diterima menjadi bagian dari kelas, dapat mengakomodir dan merespon keberagaman melalui kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak dan bermitra dengan masyarakat. Bafadal

(2006: 03) menyatakan bahwa sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan enam tahun.

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa sekolah dasar inklusi adalah satuan pendidikan selama enam tahun yang menampung semua siswa di kelas yang sama dengan mengakomodir dan merespon keberagaman melalui kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak dan bermitra dengan masyarakat untuk memerangi sikap diskriminatif.

3. Anak Berkebutuhan Khusus

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Mulyono (dalam Ilahi, 2013: 137) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus dapat dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat atau yang menyandang ketunaan, dan juga anak potensial dan berbakat. Sunanto (dalam Ilahi, 2013: 137) mendukung pernyataan tersebut dengan menyatakan bahwa anak berkebutuhan khusus bukan berarti hendak menggantikan anak penyandang cacat atau anak luar biasa, melainkan memiliki pandangan yang lebih luas dan positif bagi anak dengan keberagaman yang berbeda.

Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens. Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai anak yang membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan

segala hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing individu (Ilahi, 2013: 138).

Sunan & Rizzo (dalam Subini, 2014: 13) memaparkan, anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki perbedaan dalam beberapa dimensi penting dari fungsi kemanusiaannya.

Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah sebagai anak yang membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan segala hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing individu karena dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat atau yang menyandang ketunaan, dan juga anak potensial dan berbakat.

b. Jenis-Jenis Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut Tiarni (2013: 24), dalam panduan penganganan ABK bagi pendaming orang tua, keluarga, dan masyarakat, jenis-jenis ABK ada 12 macam, antara lain:

1) Anak disabilitas penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan berupa kebutaan menyeluruh (total) atau sebagian (lowvision).

2) Anak disabilitas pendengaran adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran, baik sebagian maupun menyeluruh, dan biasanya memiliki hambatan dalam berbahasa dan bicara.

3) Anak disabilitas intelektual adalah anak yang memiliki inteligensi yang signifikan berada dibawah rata-rata anak seusianya dan sertai

dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku, yang muncul dalam masa perkembangan.

4) Anak disabilitas fisik adalah anak yang mengalami gangguan gerak akibat kelumpuhan, tidak lengkap anggota badan, kelainan bentuk, dan fungsi tubuh atau anggota gerak.

5) Anak disabilitas sosial adalah anak yang memiliki masalah atau hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial, serta berperilaku menyimpang.

6) Anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH) atau attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD) adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan, yang ditandai dengan sekumpulan masalah berupa gangguan pengendalian diri, masalah rentang atensi atau perhatian, hiperativitas, dan impulsivitas, yang menyebabkan kesulitan berperilaku, berpikir, dan mengendalikan emosi.

7) Anak dengan gangguan spektrum autisma atau autism spectrum disorders (ASD) adalah anak yang mengalami gangguan dalam tiga area dengan tingkatan berbeda-beda, yaitu kemampuan komunikasi dan interaksi sosial, serta pola-pola perilaku yang repititif dan stereotipi.

8) Anak dengan gangguan gada adalah anak yang memiliki dua atau lebih gangguan sehingga diperlukan pendampingan, layanan, pendidikan khusus, dan alat bantu pelajar yang khusus.

9) Anak lambat belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata tetapi belum termasuk gangguan mental. Mereka butuh waktu lama dan berulang-ulang dan untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik.

10) Anak dengan kesulitan belajar khusus atau specific learning

disabilities adalah anak yang mengalami hambatan atau

penyimpangan pada satu atau lebih proses psikologis dasar berupa ketidakmampuan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan berhitung.

11) Anak dengan gangguan kemampuan komunikasi adalah anak yang mengalami penyimpangan dalam bidang perkembangan bahasa wicara, suara, irama, dan kelancaran dari usia rata-rata yang disebabkan oleh faktor fisik, psikologis, dan lingkungan, baik reseptif maupun ekspresif.

12) Anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah anak yang memiliki skor inteligensi yang tinggi (gifted), atau mereka yang unggul dalam bidang-bidang khusus (talented) seperti musik seni, olah raga, dan kepemimpinan.

Permendiknas No 70 Tahun 2009 tentang Pendidik Inklusi Bagi Peserta Didik yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, bahwa peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah:

1) Tunanetra (hambatan indra penglihatan) tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.

2) Tunarungu (hambatan pendengaran) adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:

a) Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40dB) b) Gangguan pendengaran ringan (41-55dB)

c) Gangguan pendengaran sedang (56-70dB) d) Gangguan pendengaran berat (71-90dB)

e) Gangguan pendengaran ekstrim/tuli (di atas 91dB)

3) Tunawicara (hambatan bicara) adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti orang lain.

4) Tunagrahita (hambatan intelektual) adalah individu yang memiliki itelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.

5) Tunadaksa (kelainan motorik dan mobilitas) adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan

neuro-muskular dan struktur tulang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. 6) Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam

mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Public Law (dalam Hidayat, 2013:13) mengemukakan pengertian tunalaras dengan istilah gangguan emosi, yaitu gangguan emosi adalah suatu kondisi yang menunjukan salah satu atau lebih gejala-gejala berikut dalam satu kurun waktu tertentu dengan tingkat yang tinggi yang mempengaruhi prestasi belajar :

a) Ketidakmampuan belajar dan tidak dapat dikaitkan dengan faktor kecerdasan, pengindraan, atau kesehatan

b) Ketidakmampuan menjalin hubungan yang menyenangkan teman dan guru

c) Berperilaku yang tidak pantas dalam keadaan normal d) Perasaan tertekan atau tidak bahagia terus menerus

e) Cenderung menunjukan gejala-gejala fisik seperti takut pada masalah-masalah sekolah.

Karakteristik yang dikemukakan oleh Hallahan dan Kauffman (dalam Hidayat, 2013: 32-33) berdasarkan dimensi tingkah laku:

a) Anak yang mengalami kekacauan tingkah laku memperlihatkan ciri-ciri : suka berkelahi, memukul, menyerang, tidak mau bekerja sama, cemburu dan mudah terpengaruh.

b) Anak yang sering merasa cemas dan menarik diri, dengan ciri-ciri khawatir, cemas, ketakutan, sedih, dan kurang percaya diri.

c) Anak yang kurang dewasa, dengan ciri-ciri yaitu pelamun, kaku, pasif, dan pembosan.

d) Anak yang agresif bersosialisasi, dengan ciri-ciri, yaitu mempunyai kelompotan jahat, mencuru bersama kelompoknya, dan bolos sekolah.

7) Kesulitan belajar (learning disability) adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar yang melibatkan pemahaman atau atau penggunaan bahasa, lisan maupun tertulis, yang termanifestasikan dalam suatu kemampuan yang tidak sempurnauntuk mendengarkan, berpikir, bicara, membaca, menulis, mengeja, maupun melakukan perhitungan matematika. Jenis-jenis kesulitan belajar diantaranya dyscalculia, dysgraphia, dyslexia, dan dyspraxia.

8) Lambat belajar (slow learner) adalah mereka yang memiliki prestasi belajar rendah, di bawah rata-rata anak pada umumnya pada salah satu atau seluruh area akademik, tapi mereka ini bukan tergolong anak keterbelakang mental.

Anak lambat belajar atau slow learner adalah mereka yang memiliki prestasi belajar rendah atau sedikit dibawah rata-rata dari anak pada umumnya, pada salah satu atau seluruh area akademik. Jika dilakukan pengetesan pada IQ mereka menunjukkan skor antara 70-90. Wiley

(dalam Triani, 2013:3) menyebutkan karakteristik anak yang mengalami slow learner:

a) Inteligensi

Dari segi inteligensi anak-nak lambat belajar atau slow learner berada pada kisaran di bawah rata-rata yaitu 70-90 berdasarkan skala WISC

b) Bahasa

Anak-anak lambat belajar atau slow learner mengalami masalah dalam berkomunikasi.

c) Emosi

Dalam hal emosi, anak-anak lambat belajar atau slow learner memiliki emosi yang kurang stabil. Mereka cepat marah dan sensitif.

d) Sosial

Anak-anak lambat belajar atau slow learner dalam bersosialisasi biasanya kurang baik. Mereka sering memeilih jadi pemain pasif atau penonton saat bermain atau bahkan menarik diri.

e) Moral

Anak-anak lambat belajar atau slow learner tahu aturan yang berlaku tetapi mereka tidak paham untuk apa peraturan tersebut dibuat. (Triani. 2013: 10-12)

f) Autis (autism child) adalah keadaan anak yang mengalami gangguan autisme.

Menurut Tiarni (2013: 26-28), anak berkebutuhan khusus yang biasa masuk di sekolah inklusi antara lain anak yang:

1) Berkesulitan belajar

Adalah anak yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara, dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, disleksia, dan afasia perkembangan.

2) Lamban belajar

Jika anak yang berkesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata maka sebaliknya dengan anak-anak lamban belajar. Mereka memiliki IQ di bawah lancar. Ingatannya sangat pendek sekali.

3) ADHD

Attention Deficits and hiperactivity disorder, adalah gangguan yang berupa kekurangannya perhatian dan hiperaktivitas (aktivitas yang berlebihan).

4) Spectrum Autisma

Spectrum Autisma atau autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang dialami sejak lahir ataupun saat masa balita. Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis anak berkebutuhan khusus adalah tunanetra, tunarungu,

tunawicara, tunagrahita, GPPH, kesulitan belajar khusus, Slow learner, spectrum autis, gifted, tunalaras, tunadaksa.

4. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Sekolah Inklusi

a. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang Mengakomodasikan Semua Anak

Kustawan (2013: 90-91) menyatakan bahwa penerimaan peserta didik baru di SD/MI pada setiap tahun pelajaran perlu mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru, sekolah membentuk Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru yang dilengkapi dengan pendidik (guru pendidik khusus dan/ atau konselor) yang sudah memahami tentang pendidikan inklusi dan keberagaman karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus. Bagi sekolah yang memiliki psikolog atau bekerjasama dengan psikolog, maka psikolog tersebut dapat ikut serta dalam kepanitiaan PPDB. SD/MI Penyelenggara pendidikan inklusi menerima peserta didik berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah dan mengalokasikan kursi/quota untuk peserta didik berkebutuhan khusus. b. Identifikasi

Kustawan (2013: 93) menyatakan bahwa identifikasi adalah upaya guru (pendidik) dan tenaga kependidikan lainnya untuk menemukan dan mengenali anak yang mengalami hambatan/kelainan/gangguan baik fisik,

intelektual, mental, emosional dan sosial dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khususnya.

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (dalam Kustawan, 2013: 93) menjelaskan istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan asesmen dimaknai sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional/ tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai.

Buku Modul Pelatihan Pendidikan Inklusi (dalam Kustawan, 2013: 93) memaparkan, identifikasi dapat diartikan menemukenali. Identifikasi anak berkebutuhan khusus adalah suatu upaya menemukenali anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak berkelainan dengan gejala-gejala yang menyertainya.

Lerner (dalam Kustawan, 2013: 95) mengemukakan bahwa identifikasi dilakukan untuk lima keperluan yaitu penjaringan(screening), pengalihtanganan (referral), klasifikasi (classification), perencanaan pembelajaran (instructional planning), dan pemantauan kemajuan belajar (monitoring pupil progress).

Tujuan dilaksanakan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi atau data apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya, dimana hasil identifikasi

dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran yang disesuiakan dengan kebutuhan khususnya dan/atau untuk menyusun program dan pelaksanaan intervensi/penanganan/terapi berkaitan dengan hambatannya (Kustawan, 2013: 95).

c. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)

Kurikulum fleksibel yakni mengakomodasi anak dengan berbagai latar belakang dan kemampuan, maka kurikulum tingkat satuan pendidikan akan lebih peka mempertimbangkan keragaman anak agar pembelajarannya relevan dengan kemampuan dan kebutuhannya (Kustawan, 2013: 107). Pendapat tersebut didukung oleh Nasution (dalam Ilahi, 2013: 168) yang menyatakan, kurikulum merupakan salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan, dan kualitas hasil pendidikan. Pengembangan dan pembenahan kurikulum harus senantiasa dilakukan secara berkesinambungan dan menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Menurut Arifin (dalam Ilahi, 2013: 169), kurikulum tidak sekadar dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan anak didik oleh pendidiknya, tetapi juga segala kegiatan yang menyangkut kependidikan dan memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak didik dalam rangka mencapai hakikat tujuan pendidikan yang sebenarnya, terutama perubahan tingkah laku yang menjadi cerminan dari kualitas anak didik yang berkepribadian luhur.

d. Merancang Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran Yang Ramah Anak Guru yang baik akan melakukan pembelajaran yang interaktif agar perhatian anak didiknya terpusat penuh kepada guru. Guru juga harus menggunakan metode pembelajaran yang cocok bagi anak didiknya agar anak didiknya mampu berpartisipasi di dalam pelajaran. Jenis materi pelajaran yang digunakan oleh para guru dapat memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan akademis siswa-siswa penyandang disabilitas (Kustawan, 2013: 111). Ilahi (2013: 172-173) menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan mengajar yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-topik dan sub-sub topik tertentu yang mengandung ide pokok yang relevan dengan tujuan yang ditetapkan. e. Penataan Kelas Ramah Anak

Everton dan Weintein (dalam Friend, 2015: 285) mengemukakan bahwa pengelolaan ruang kelas mencakup semua hal yang dilakukan oleh para guru demi mengoptimalkan proses belajar-mengajar yang efektif, mulai dari mengatur siswa-siswa, ruang, waktu, hingga materi. Kerr dan Nelson (dalam Friend, 2015: 274) menyatakan bahwa cara penataan unsur-unsur fisik dalam suatu ruang kelas dapat berdampak pada proses belajar dan perilaku siswa di sejumlah area. Menurut Friend (2015: 270), penataan unsur-unsur fisik ruang kelas dapat mempengaruhi kondisi dan suasana belajar bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus dan anak yang

berkebutuhan khusus. Penataan unsur fisik mencakup penampilan ruang kelas dan pemanfaatan ruang kelas, yaitu meliputi area dinding, pencahayaan, area lantai serta ruang penyimpanan.

f. Asesmen

Asesmen didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi untuk memantau kemajuan dan mengambil keputusan pendidikan ketika diperlukan (Overton dalam Friend, 2015: 209). Triani (2013: 25) menambahkan asesmen merupakan kegiatan secara utuh dan menyeluruh untuk tujuan tertentu, kegiatan yang dilakukan dalam asesmen adalah mengumpulkan data dan informasi yang akan digunakan untuk bahan pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran.

a) Screening

Friend (2015: 210) menyatakan bahwa screening meliputi keputusan untuk menentukan jika proses kemajuan seorang siswa dianggap cukup berbeda dengan teman-teman sekelasnya sehingga patut untuk menerima perubahan pengajaran, atau pada akhirnya, asesmen yang lebih mendalam untuk menetapkan adanya kondisi disabilitas. Menurut Tiarni (2013: 22), screening dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan alat identifikasi anak berkebutuhan khusus.

b) Diagnosis

Keputusan besar yang terkait dengan diagnosis menyangkut kelayakan atas layanan pendidikan khusus, pertimbangan berdasarkan

ketentuan hukum bahwa siswa dianggap layak untuk dianggap menyandang disabilitas atau tidak (Friend, 2015: 211).

c) Penempatan program

Friend (2015: 215) mengemukakan bagian utama dari keputusan penempatan program berkenaan dengan ranah yang menjadi tempat berlangsungnya layanan pendidikan khusus yang diterima siswa, misalnya saja di ruang kelas pendidikan umum, ruang sumber, atau ruang kelas pendidikan khusus yang terpisah.

d) Penempatan kurikulum

Friend (2015: 216) mengungkapkan bahwa penempatan kurikulum meliputi keputusan mengenai level mana yang akan dipilih untuk memulai pengajaran siswa. Informasi mengenai penempatan kurikulum tentu juga dapat dijadikan sebagai patokan pengukuran bagi para guru untuk mengetahui sejauh apa siswa-siswa penyandang disabilitas mengakses kurikulum pendidikan umum yang juga menjadi tujuan tegas dari IDEA.

e) Evaluasi pengajaran

Keputusan dalam evaluasi pengajaran meliputi keputusan untuk melanjutkan atau mengubah prosedur pengajaran yang telah diterapkan pada siswa. Keputusan ini dibuat dengan memantau kemajuan siswa secara cermat (Friend, 2015: 217).

f) Evaluasi program

Friend (2015: 217) menjelaskan bahwa keputusan evaluasi program meliputi keputusan untuk menghentikan, melanjutkan, atau memodifikasi program pendidikan khusus seorang siswa.

g. Pengadaan dan Pemanfaatan Media Pembelajarn Adaptif

Kustawan (2013: 117) berpendapat bahwa media pembelajaran adaptif bagi anak berkebutuhan khusus hakekatnya adalah media yang dirancang, dibuat, dipilih dan digunakan dalam pembelajaran sehingga

Dokumen terkait