• Tidak ada hasil yang ditemukan

•Fetus •Bayi •Anak-anak

KAJIAN PAPARAN

Faktor lain: •Status gizi •Pekerjaan •Status kesehatan •Umur •Jenis kelamin Waktu paparan: •Seumur hidup •Tahunan •Bulanan •Mingguan •Harian

•Satu kali konsumsi Data konsumsi pangan

(termasuk air minum) •Konsumsi tertinggi •Rata-rata (pengkonsumsian) •Rata-rata (seluruh populasi) Karakterisasi risiko:

•Dosis respon akut •ADI

•PTWI/PTDI •AKG

Dari persamaan tersebut terlihat dua pendekatan utama dalam kajian paparan yaitu data konsentrasi bahan kimia dan data konsumsi pangan. Data konsumsi pangan yang digunakan sebelumnya banyak berhubungan dengan kajian nutrisi saja sehingga data ini kurang sesuai digunakan dalam kajian paparan bahan-bahan kimia lainnya. Data konsumsi pangan dapat dikumpulkan di tingkat nasional, rumah tangga atau individu. Data yang dikumpulkan pada tingkat individu merupakan data yang paling sesuai untuk digunakan dalam kajian paparan. Data konsumsi pangan di tingkat rumah tangga dan nasional dapat membantu dalam kajian paparan terutama menyediakan informasi awal pola konsumsi di tingkat nasional.

Dalam kajian paparan sangat penting untuk menentukan keakuratan konsentrasi bahan kimia dalam bahan pangan sehingga teknik sampling dan prosedur analisis merupakan tahap yang kritis untuk mendapatkan keakuratan data-data yang diperoleh. Selain melalui analisis bahan kimia, data konsentrasi bahan kimia dapat diperoleh dari berbagai sumber misalnya data konsentrasi secara coba-coba (estimasi), data pengawasan pemerintah atau data surveilan dan data survei industri (WHO 1997).

Konsentrasi bahan kimia yang digunakan dalam kajian paparan di tingkat internasional harus relevan dengan peraturan Codex. Salah satu fungsi standar Codex adalah sebagai acuan perdagangan pangan yang aman, oleh karena itu tingkat penggunaan bahan kimia tertinggi yang diijinkan, merupakan indikator keamanan bahan tersebut. Penggunaan metode konsentrasi tertinggi diperbolehkan dalam kajian paparan, namun harus dipahami tidak semua orang mengonsumsi makanan dengan konsentrasi cemaran bahan kimia tertinggi. Codex menyarankan penggunaan data konsentrasi bahan kimia hasil analisis untuk menentukan konsentrsi bahan kimia dalam produk yang sebenarnya (WHO 1997).

Pada kajian paparan bahan kimia tingkat risiko akibat konsumsi makanan dengan cemaran bahan kimia dilihat dari nilai paparannya. Nilai paparan adalah tingkat konsumsi makanan dengan cemaran bahan kimia setiap hari per kg berat badan (mg/kg BB), yang dibandingkan dengan tingkat konsumsi bahan kimia yang aman setiap harinya (JECFA ADI). Semakin besar

paparan maka semakin besar pula risiko terkena bahaya akibat konsumsi makanan dengan cemaran bahan kimia (JECFA 2001).

Pada kajian risiko residu pestisida dengan metode TDS (Total Diet

Study), penentuan data konsentrasi residu pestisida pada sayuran dilakukan

dengan menganalisis residu pestisida pada sayuran, sedangkan untuk kajian paparan residu pestisida maka konsentrasi bahan aktif pestisida pada sayuran ditentukan dengan menggunakan standar batas maksimum residu (BMR) pestisida pada hasil pertanian berdasarkan SNI dan Codex Maksimum Residue Limits untuk hasil pertanian.

Menurut petunjuk JECFA (2001), beberapa pertimbangan yang digunakan dalam kajian paparan dan harus selalu dicantumkan dalam laporan sebagai berikut:

• Perkiraan paparan kronis (jangka panjang) sebaiknya didasarkan pada data konsumsi populasi umum.

• Kajian paparan pada suatu kelompok populasi tertentu diperlukan apabila kelompok tersebut dicurigai terkena suatu risiko bahaya yang didasarkan pada evaluasi toksikologis.

• Paparan kronis dihitung dengan membandingkan tingkat konsumsi makanan dengan cemaran bahan kimia setiap hari per kg berat badan dan tingkat konsumsi amannya (ADI).

• Ketika konsumsi cemaran bahan kimia pada kelompok bahan pangan tertentu diperkirakan melebihi nilai ADI, maka sebaiknya dilakukan kajian pada kelompok bahan pangan tersebut.

• Kajian yang didasarkan pada data konsumsi pangan nasional dan tingkat cemaran bahan kimia yang diijinkan pada peraturan nasional, harus dicantumkan apakah estimasi cemaran bahan kimia dilakukan pada keseluruhan kategori pangan atau hanya pada kategori pangan tertentu yang diijinkan berdasarkan peraturan nasional.

• Data bahan pangan seharusnya dikelompokkan pada sistem klasifikasi pangan.

Survei Konsumsi Pangan Untuk Kajian Paparan Bahan Kimia

Menurut Sahardjo dan Riyadi (1990), survei konsumsi pangan merupakan suatu kegiatan survei yang dimaksudkan untuk mengetahui keadaan konsumsi pangan baik dilihat dari jenis maupun jumlah yang dikonsumsi, termasuk bagaimana kebiasaan makannya. Survei konsumsi pangan dapat digunakan untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi mupun nongizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu, survei konsumsi pangan dapat menghasilkan informasi yang bersifat kualitatif , kuantitatif atau kedua-duanya.

CCFAC (Codex Committee on Food Additive and Contaminants) telah mengembangkan metode-metode yang digunakan dalam survei konsumsi pangan untuk kajian paparan cemaran. Tidak ada satu pun metode survei konsumsi pangan yang dapat digunakan secara umum karena adanya variasi konsumsi pangan secara individu (perorangan) atau kelompok individu (populasi). Adanya variasi ini tidak boleh dilupakan dalam pemilihan metode survei konsumsi pangan dan interpretasi data yang diperoleh (WHO 1985).

Terdapat dua pendekatan yang umum digunakan untuk mendapatkan informasi pola konsumsi pangan baik secara individu maupun populasi yaitu (1) berdasarkan dugaan perpindahan dan kehilangan bahan pangan di suatu daerah atau rumah tangga, dan (2) berdasarkan data jumlah pangan yang benar-benar dikonsumsi secara langsung oleh individu atau rumah tangga. Secara ringkas metode yang biasa digunakan dapat dilihat pada Tabel 5. Pemilihan metode survei konsumsi pangan harus mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya usia, tingkat pendidikan dan motivasi dari populasi target, serta biaya dan sumber daya manusia yang diperlukan (WHO 1985).

Program-program survei konsumsi pangan nasional lebih banyak dikembangkan berdasarkan data konsumsi pangan di tingkat rumah tangga daripada individu. Pada kajian paparan pestisida ini digunakan metode survei konsumsi pangan dengan pendekatan konsumsi pangan individu. Penggunaan data konsumsi pangan individu akan menghasilkan perkiraan paparan yang lebih akurat karena menghitung jumlah bahan pangan yang benar-benar dikonsumsi (WHO 1997).

Tabel 5 Metode yang digunakan dalam pengumpulan data konsumsi pangan dari kelompok populasi dan individu.

Kajian Metode

Individu Metode buku harian konsumsi pangan (Food diary method) Metode penimbangan pangan (Food weighting method) Metode porsi pangan duplikat (Duplicate portion method)

Metode mengingat-ingat konsumsi pangan (Dietary recall method)

Metode perulangan konsumsi pangan (Food frequency method) Populasi Metode buku harian konsumsi pangan (Food diary method)

Metode penimbangan pangan (Food weighting method)

Metode mengingat-ingat konsumsi pangan (Dietary recall method)

Metode perulangan konsumsi pangan (Food frequency method) Metode pangan tak terlihat (Food disappearance method): a). Rumah tangga

b). Nasional

Sumber: WHO (1985)

Metode Mengingat-ingat Konsumsi Pangan (Dietary recall method)

Pada metode ini individu ditanya mengenai jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsinya pada waktu yang lalu (biasanya 24 jam yang lalu). Suatu jumlah bahan pangan yang dikonsumsi menggunakan URT (Ukuran Rumah Tangga) yang biasa digunakan dalam rumah tangga misalnya potong, sendok, gelas dan lain-lain. Dalam metode ini digunakan petugas pencacah yang telah dilatih untuk mewawancarai responden. Untuk melakukan pencacahan konsumsi pangan selama 24 jam yang lalu, biasanya dapat dilakukan dengan wawancara yang berlangsung kurang lebih 20 menit. Pencacah harus membatu responden untuk kembali mengingat komsumsi pangannya dan mencatatnya pada sebuah kuesioner konsumsi pangan. Wawancara dapat pula dilakukan melalui telepon. Untuk responden dibawah lima tahun maka yang diwawancara adalah orang tua atau pengasuhnya. Metode ini dapat dilakukan sampai dengan 7 hari. Metode ini merupakan metode terbaik yang dapat diterapkan pada survei yang berskala besar karena memberikan beban yang sedikit dan tingkat kesanggupan yang tinggi bagi responden.

Metode ini tidak secara nyata mencerminkan pola konsumsi pangan individu selama periode waktu survei karena adanya variasi konsumsi pangan individu, oleh karena itu perlu diambil beberapa pola pangan individu di dalam suatu populasi sebab rata-rata konsumsi pangan individu di dalam populasi tidak terlalu bervariasi. Untuk meningkatkan validitas metode ini maka dapat digabungkan dengan metode lain yang cocok untuk survei berskala besar misalnya metode buku harian konsumsi pangan (Food diary method). Kualitas sumber daya manusia (petugas pencacah) yang digunakan dalam metode ini harus cukup tinggi karena karakteristik dan tingkat pendidikan responden yang diambil bervariasi dalam suatu populasi dan responden-responden tersebut juga harus mencerminkan keadaan demografi populasi tersebut yang meliputi umur, jenis kelamin, pendapatan, dan lain lain.

Pestisida

Dalam upaya meningkatkan produksi pertanian, senantiasa ditemui beberapa hambatan utama. Salah satu permasalahan yang juga merupakan hambatan yang perlu diperhatikan adalah serangan hama dan penyakit tanaman. Sebegitu jauh penggunaan pestisida sintetis merupakan pilihan utama bagi para petani untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang pertanaman mereka, meskipun disadari atau pun tidak disadari, penggunaaan pestisida sintetis berpengaruh negatif terhadap ekosistem pertanian, kesehatan dan lingkngan serta akumulasi residu pestisida pada produk pertanian (WCED 1988; Wilkinson 1987; UNEP 1992).

Keamanan produk pertanian segar merupakan tuntutan globalisasi. Dalam putaran Uruguay 1994/WTO dengan perjanjian SPS, menginginkan adanya jaminan kualitas dan keamanan produk segar dan hak untuk menerapkan aturan untuk melindungi manusia, hewan, tanaman dan lingkungan. Negara-negara eksportir dan importir produk pertanian juga menempatkan keamanan sebagai syarat utama seperti Uni Eropa dengan persyaratan ketatnya dalam HACCP mandatory dan EurepGAP. Demikian juga negara-negara importir lainnya yang mengharuskan pengendalian mutu produk pertanian segar

berdasarkan deteksi residu pestisida untuk memberikan jaminan kualitas produk segar terutama jaminan terhadap keamanan konsumen.

Good Agricultural Practices (GAP) mencakup praktek-praktek

budidaya yang harus diikuti pada produksi primer, untuk memastikan produk yang aman dan utuh sambil juga meminimalkan dampak negatif dari praktek-praktek budidaya tersebut terhadap lingkungan dan kesehatan pekerja (Sulaiman 2007).

Penerapan GAP di Indonesia merupakan komponen penting dari Sistem Sertifikasi Pertanian Indonesia (SiSakti) yang merupakan sistem sertifikasi jaminan mutu dan keamanan produk pertanian/pangan yang diberlakukan bertahap dalam bentuk sertifikat Prima III, Prima II, dan Prima I sesuai dengan tingkat pencapaian sistem jaminan mutunya (tingkat pencapaian terhadap GAP) (Sulaiman 2007).

Residu Pestisida

Penggunaan pestisida pada beberapa jenis tanaman sayuran di dataran rendah di Jawa Barat dan di Jawa Tengah yaitu kangkung, bayam, terung, kacang panjang, bawang merah, cabai, dan bawang putih ternyata perlu mendapat perhatian yang serius. Hasil pemantauan residu yang dilakukan bulan Juli 1988 menunjukkan bahwa 16 sampel dari 26 sampel diperiksa mengandung residu pestisida (profenofos, klorpirifos, monokrotofos) melampaui batas maksimum yang diijinkan (Rustaman dan Anna 1988).

Hasil pemantauan residu pada tanaman kubis dan tomat di Bandung dan Garut menunjukkan, bahwa penggunaan insektisida deltametrin dan permetrin pada tanaman tomat, serta sipermetrin, permetrin, deltametrin dan profenofos pada tanaman kubis (konsentrasi formulasi 0.2% dengan interval penyemprotan tiga hari sekali, ternyata meninggalkan residu yang dapat membahayakan konsumen (Soeriatmadja dan Sastrosiswojo 1988).

Dari hasil rangkuman deteksi residu pestisida pada tanaman sayuran dapat disimpulkan adanya beberapa indikasi bahwa sebagian petani masih menggunakan pestisida berlebih yang dibuktikan dengan ditemukannya residu pestisida yang cukup tinggi. Hasil deteksi ini bila dikaitkan dengan masalah

mutu produk pertanian segar yang merupakan syarat utama dalam perdagangan ekonomi bebas, akan menjadi masalah berat. Hal ini berarti kesiapan produk sayuran dalam menghadapi persaingan ekonomi bebas akan menjadi tanda tanya. Untuk memperbaiki kualitas produk pertanian segar, dapat dilakukan dengan menekan serendah mungkin kadar residu pestisida.

Hasil penelitian residu pestisida pada produk pertanian (sayuran) di Indonesia dari tahun 1986 – 1993 dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil penelitian menemukan adanya residu pestisida dalam gabah, beras, kedelai dan sayuran di berbagai daerah di Jawa, Bali, Sumatra, dan Sulawesi. Pada umumnya residu pestisida tersebut masih di bawah Batas Maksimum Residu (BMR), namun sebagian ada yang diatas BMR. Berbagai program penanganan dan pengelolaan residu pestisida sedang dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari keputusan pemerintah tentang BMR (Soejitno 2002).

Tabel 6 Deteksi level maksimum residu pestisida pada beberapa sayuran di Indonesia, 1986-1993

Pestisida Level maksimum residu pestisida (ppm)

Kubis Tamot Kentang Cabai Wortel Buncis Anggur Dithiocarbamates Carbaryl Diazinon Chlorpyrifos MIPC DDT Carbofuran Fenitrothion Cypermetrin Permetrin Fenhoate Cyhalothrin 1.663 - 0.105 0.003 0.006 0.085 0.085 0.051 1.261 0.010 0.061 0.001 4.913 - 0.105 - 0.020 0.447 0.212 0.003 0.234 0.015 0.003 0.039 0.570 0.017 0.062 0.013 - 0.687 0.550 0.004 0.030 - - 0.001 0.160 - 0.348 0.046 - - - 0.002 - - - - 0.145 - 0.029 0.015 - 0.634 - 0.007 - - - - - - 0.036 0.015 - 0.007 - - 0.013 - - - 0.090 0.040 0.009 - - - - - - - 0.003 - - : Tidak terdeteksi

Sumber: Untung (1998), Laksanawati et al. (1994) yang dikutip oleh Soejitno (2002)

Pengaruh keracunan pestisida tidak terbatas pada daerah pemakaian pestisida, tetapi bisa meluas melalui rantai makanan, seperti air susu ibu (ASI), air, sayuran, buah-buahan, dan produk lainnya (Rengam 1990; Sumatra 1991; Sutamihardja et al. 1982). Sebagian besar (90%) pestisida terserap oleh manusia melalui rantai makanan (Susilo 1986).

Di alam, residu pestisida dapat hilang atau terurai, melalui penguapan, pencucian oleh air hujan, pengaruh sinar matahari, dan pelapukan. Residu permukaan dapat pula hilang karena perlakuan pencucian (pembilasan), penggosokkan, dan hidrolisis (Matsumura 1985; Tarumingkeng 1992 ). Tetapi kandungan residu pestisida di dalam sayuran masih bisa tertinggal lama karena dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia bahan aktif pestisida. Oleh sebab itu dalam pemakaiannya untuk mencegah dan mengendalikan hama serta penyakit tanaman, dosisnya harus sesuai dengan anjuran, dengan demikian residu pestisida yang tertinggal dalam sayuran masih di bawah ambang batas yang diperkenankan untuk dikonsumsi, baik ditinjau dari ADI maupun BMR yang ditetapkan FAO/WHO.

Beberapa laporan BALITHORT Lembang menyatakan bahwa insektisida golongan fosfat organik dan klor organik yang daya tinggalnya (persistensi) di jaringan tanaman sayuran cukup lama, hingga jenis insektisida tersebut seringkali selalu hadir pada analisis residu pestisida (Dibiyantoro dan Rustaman 1993)

Selain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, penggunaan pestisida secara intensif juga mengakibatkan meningkatnya biaya produksi. Dengan demikian, kesempatan bagi petani untuk memperoleh peluang imbalan ekonomi yang tinggi akan hilang (Adiyoga et al. 1999). Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menerapkan konsepsi dan teknologi PHT. Disarankan penggunaan biopestisida yang ramah lingkungan dan juga efektif mengendalikan hama dan penyakit tanaman perlu digalakkan sebagai salah satu metode alternatif.

Dengan diberlakukan perdagangan bebas, membawa konsekuensi berupa tekanan untuk menghasilkan produk yang bermutu, bergizi, aman dikonsumsi, menyehatkan, dan diproses dengan teknologi ramah lingkungan.

Hal ini karena semakin tingginya kesadaran konsumen akan produk pangan yang bergizi dan sehat, bebas cemaran residu pestisida atau bahan kimia lain, tidak sekedar lezat dimakan.

Tipe Pestisida yang Berbahaya

Jenis pestisida yang paling beracun adalah yang mirip dengan gas syaraf, yaitu jenis organofosfat dan metilcarbamat. Pestisida jenis ini sangat berbahaya karena mereka menyerang cholinesterase, suatu bahan yang diperlukan oleh sistem syaraf kita agar dapat berfungsi dengan normal. Pestisida jenis ini menurunkan kadar cholinesterase dan hal inilah yang memunculkan gejala-gejala keracunan. Pestisida gas syaraf menyebabkan kematian yang paling banyak di seluruh dunia dibanding pestisida jenis lain.

Beberapa jenis pestisida gas syaraf yang paling berbahaya adalah: azinophosmethyl, demeton methyl, dichlorvos/DDVP, disulfoton, ethion, ethyl parathion/parathion, fenamiphos, fensulfothion, methamidophos, methidathion, methyl parathion, mevinphos, phorate, sulfotepp, terbufos, aldicarb, carbofuran, fomentanate, methomyl, oxamyl, propoxur, organofosfat metilcarbamat (PANAP 1999).

Dampak Kesehatan Akut Pestisida

Pangan yang tidak aman dapat disebabkan karena pangan yang sudah tercemar patogen akibat rendahnya kualitas sanitasi dan higiene atau pangan yang tercemar bahan kimia seperti tingginya residu pestisida yang dapat menyebabkan foodborne diseases. Kerugian pangan tercemar adalah dapat menggangu kesehatan penduduk sehingga menyebakan kesakitan bahkan kematian, menurunnya produktivitas, membebani negara dan merugikan perekonomian. Sering terjadinya kasus keracunan membawa pengaruh dan dampak bagi citra negara dalam perdagangan internasional.

Semua pestisida mempunyai bahaya potensial bagi kesehatan. Ada dua tipe keracunan, yaitu keracunan langsung (akut) dan jangka panjang (kronis). Keracunan akut terjadi bila efek-efek keracunan pestisida dirasakan langsung pada saat itu. Keracunan kronis terjadi bila efek-efek keracunan pada kesehatan

membutuhkan waktu untuk muncul atau berkembang. Efek-efek jangka panjang ini dapat muncul setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah terkena pestisida. Beberapa efek kesehatan akut adalah sakit kepala, pusing, sakit dada, kudis, mual, muntah-muntah, sakit otot keringat berlebihan, kram, diare, sulit bernafas, kematian, pandangan kabur.

Menurut Fanany (1996), rendahnya kadar residu pestisida dalam makanan, jelas tidak akan menimbulkan keracunan kronis maupun akut, tetapi dapat menimbulkan efek subtil (subte effect) yaitu efek lanjut jangka panjang yang terjadi pada dosis rendah yang berkali-kali. Efek subtil dapat berupa perubahan histologis dan patologis, efek karsinogenik, tumorigenik, metagenik, dan tetratogenik pada manusia.

Batas Maksimum Residu Pestisida (BMRP)

Pada prinsipnya penetapan batas maksimum residu pestisida dimaksudkan untuk: (1) mengurangi penggunaan pestisida dalam mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) melalui penerapan teknik budidaya yang baik sesuai dengan konsep pengendalian hama terpadu (PHT); (2) menjamin kualitas dan keamananan produk pertanian dari kandungan residu pestisida yang membahayakan terhadap kesehatan manusia (Direktorat Perlindungan Tanaman 2000).

Dalam Keputusan Menteri Pertanian No 881 Tahun 1996, telah dimuat: 1) Batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian meliputi tanaman

pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan baik yang dapat langsung dikonsumsi maupun tidak langsung dikonsumsi.

2) Hasil pertanian yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi batas maksimum.

3) Hasil pertanian yang dimasukkan dari luar negeri yang mengandung residu pestisida melebihi batas BMRP harus ditolak.

4) Analisis residu pestisida pada hasil pertanian dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan atau Menteri Pertanian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan baik sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pencemar yang dapat memberikan pengaruh toksikologis.

Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum residu pestisida yang secara hukum diizinkan atau diketahui sebagai konsentrasi yang dapat diterima dalam atau pada hasil pertanian, bahan pangan atau bahan pakan ternak. Konsentrasi tersebut dinyatakan dalam mg residu pestisida per kg hasil pertanian.

BMR untuk berbagai jenis pestisida dan produk pertanian tertentu secara internasional ditetapkan oleh JMPR (Joint FAO/WHO Meeting on

Pesticide Residues). Banyak data yang diperlukan untuk menetapkan BMRP

termasuk hasil pemeriksaan tingkat residu pada percobaan lapangan terawasi berdasarkan pada GAP (Good Agriculture Practices), perkiraan pemasukan harian residu pestisida melalui makanan (predicted daily intake of pesticide residues), toksikologi dan ekotoksikologi pestisida, dan lain lain.

Tujuan pengawasan pestisida adalah melindungi kesehatan manusia, melindungi kelestarian alam dan lingkungan hidup, menjamin mutu efektifitas pestisida, dan memberikan perlindungan kepada produsen, pengedar dan pengguna pestisida.

Suatu negara dalam menetapkan BMRP dapat melakukannya dengan mengadopsi seluruh ketetapan BMRP menurut Codex, mengharmonisasikan BMRP dengan negara-negara se-regional (ASEAN), atau menetapkan sendiri berdasarkan percobaan terawasi di lapangan dan perkiraan pemasukan harian residu pestisida berdasarkan pola makan khas nasional/daerah. Batas Maksimum Residu (BMR) Pestisida pada hasil pertanian dapat di lihat pada Lampiran 6.

Nilai ADI (Acceptable Daily Intake) Pestisida

Pengembangan ADI untuk suatu bahan kimia harus didasarkan pada informasi ilmiah yang tersedia dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan pada

hewan percobaan dan manusia dengan menggabungkan faktor keamanan (safety

factor). ADI merupakan tingkat asupan bahan kimia yang tidak memberikan

risiko (no appreciable risk). Dengan majunya pengetahuan, dapat diperoleh lebih banyak profil toksikologi yang lengkap untuk setiap bahan kimia. Ini berarti bahwa kajian risiko cemaran bahan-bahan kimia akan dievaluasi kembali jika tersedia data toksikologi yang baru atau penggunaan baru (BPOM 2004). Nilai ADI (Acceptable Daily Intake) Pestisida pada hasil pertanian dapat di lihat pada Lampiran 7.

Pengaruh Pengolahan terhadap Residu Pestisida

Tabel 7 menunjukkan hasil analisis residu pestisida pada tomat dan kubis setelah mengalami beberapa perlakuan. Perlakuan pencucian belum dapat menekan kandungan residu pestisida sampai di bawah ambang batas, tetapi melalui pncucian yang diikuti oleh pemasakan dapat menekan residu pestisida sampai di bawah ambang batas (Ameriana et al. 2000).

Tabel 7 Residu pestisida pada tomat dan kubis setelah dicuci; dikuliti; direbus

Perlakuan Inhibisi residu pestisida

Insektisida (%) Fungisida (%)

Tomat tanpa dicuci Tomat dicuci

Tomat dicuci + direbus Kubis tanpa dicuci Kubis dikuliti + dicuci

Kubis dikuliti + dicuci + direbus

61,17* 60,18* 6,62 32,28* 26,71* 11,06 70,64* 50,28* 18,41 12,41 10,68 4,78

Angka yang diakhiri dengan tanda *, menunjukkan kandungan residu melebihi ambang batas toleransi

Sumber: Ameriana et al. (2000)

Gambaran Umum Kabupaten Banggai

Kabupaten Banggai terletak pada posisi astronomi 0°30’-2°20’ LS dan 122°23’- 124°20’ BT, dengan luas wilayah 9.672,70 Km² yang terdiri dari 13 Kecamatan dan 218 Desa dan 22 Kelurahan. Topografi wilayah 85,97% dengan

ketinggian < 500 m; 7,80% dengan ketinggian 500 – 700 m dan 6,23% dengan ketinggian > 700 m di atas permukaan laut (dpl). Batas -batas wilayah:

• Sebelah Utara : Teluk Tomini

• Sebelah Timur : Laut Maluku dan Kabupaten Banggai Kepulauan • Sebelah Selatan : Teluk Tolo

• Sebelah Barat : Kabupaten Tojo Una-Una dan Kabupaten Morowali Suhu udara maksimum 31,9°C dan minimum 23,1°C dengan

kelembaban rata-rata per bulan antara 75,8%. Tinggi curah hujan per bulan 87,6 mm. Hari hujan per bulan 14 hari. Curah hujan tertinggi antara Maret sampai Juli. Kecepatan angin rata-rata antara 5,7 Knot, tertinggi pada Juli – September (BPS Kabupaten Banggai 2005).

Tabel 8 Jumlah dan kepadatan penduduk per desa, per km² dan RT menurut kecamatan di Kabupaten Banggai

Kecamatan Jumlah Kepadatan Penduduk

Desa Luas (Km2) RT Penduduk Per Desa Per Km2 Per RT

Toili 20 982,96 12.101 44.612 2.231 45 4 Toili Barat 15 994,66 5.160 19.614 1.308 20 4 Batui 19 1.390,33 6.244 24.825 1.307 18 4 Bunta 24 822,69 7.302 30.425 1.268 37 4 Nuhon 15 1.106,00 4.041 16.120 1.075 15 4 Kintom 14 518,72 3.909 12.478 891 24 3 Luwuk 21 518,4 15.839 62.185 3.109 120 4 Luwuk Timur 9 216,3 3.019 10.674 1.186 49 4 Pagimana 35 1.102,78 5.850 23.457 670 21 4 Bualemo 16 855 4.638 16.268 1.017 19 4 Lamala 18 446,66 3.440 12.165 676 27 4 Masama 9 231,64 3.152 10.385 1.154 45 3 Balantak 26 485,5 4.051 13.446 517 28 3 Jumlah 240 9.670,65 78.746 296.654 1.236 31 4

Kecamatan Berdasarkan Akses terhadap Pangan dan Pendapatan

Dokumen terkait