• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian teori A.

Bantuan Sosial Pangan sebagai Kebijakan dalam Pengentasan 1. Kemiskinan di Indonesia

Kebijakan publik dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai serangkaian program yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam rangka mencapai tujuan tertentu, yaitu untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi dan untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat Indonesia. Permasalahan yang masih terus menjadi sorotan pemerintah Indonesia adalah perihal kemiskinan. Kemiskinan dan kerentanan pangan di Indonesia merupakan tantangan yang dihadapi pemerintah dari masa ke masa (Rachman et al., 2018). Kemiskinan menjadi salah satu permasalahan kompleks yang memerlukan penanganan dan program secara terpadu dan berkelanjutan.

Sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan publik guna menyejahterakan masyarakat Indonesia terutama dalam hal pengentasan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Upaya pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial masyarakat dari pemerintah salah satunya adalah melalui kebijakan pemberian bantuan sosial. Kebijakan program bantuan sosial disebabkan salah satunya karena kurangnya pemerataan kesejahteraan sosial dengan masih banyaknya masyarakat miskin dan ketimpangan ekonomi

sehingga masyarakat mengalami kendala dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

Beberapa kebijakan terkait bantuan sosial pangan di Indonesia dilaksanakan pemerintah melalui program Subsidi Raskin, Program Beras Sejahtera, Program Bantuan Sosial Pangan Non Tunai (BPNT) dan program Sembako.

Program Subsidi Beras Miskin (Raskin) a.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas jaminan pemenuhan kebutuhan dasar (pangan) bagi masyarakat miskin atau tidak mampu berawal dari kebijakan pemerintah berupa Subsidi Raskin. Subsidi Raskin ini merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sekaligus untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin pada masyarakat Indonesia akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998. Program Raskin bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga, terutama rumah tangga miskin.

Pada awalnya Program Raskin ini disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi Raskin mulai tahun 2002. Program ini diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat. Penentuan kriteria penerima manfaat Raskin seringkali menjadi persoalan yang rumit. Dinamika data kemiskinan memerlukan adanya kebijakan lokal melalui musyawarah Desa/Kelurahan. Musyawarah ini menjadi kekuatan utama program untuk memberikan keadilan bagi sesama rumah tangga miskin.

Sampai dengan tahun 2006, data penerima manfaat Raskin masih menggunakan data dari BKKBN yaitu data keluarga prasejahtera alasan ekonomi dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi, jadi belum seluruh KK Miskin dapat dijangkau oleh program ini. Hal inilah yang menjadikan Raskin sering dianggap tidak tepat sasaran, karena rumah tangga sasaran berbagi dengan KK Miskin lain yang belum terdaftar sebagai sasaran (bantuan

sering dibagi rata). Mulai tahun 2007, digunakan data Rumah Tangga Miskin (RTM) BPS sebagai data dasar dalam penentuan sasaran program. Dari jumlah RTM yang tercatat sebanyak 19,1 juta RTS, baru dapat diberikan kepada 15,8 juta RTS pada tahun 2007, dan baru dapat diberikan kepada seluruh RTM pada tahun 2008. Dengan jumlah RTS 19,1 juta pada tahun2 008, berarti telah mencakup semua RTM yang tercatat dalam Survei BPS tahun 2005. Jumlah sasaran ini juga merupakan sasaran tertinggi selama Raskin disalurkan. Penggunaan data Rumah Tangga Sasaran (RTS) hasil pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2008 (PPLS-2008) dari BPS diberlakukan sejak tahun 2008 yang juga berlaku untuk semua program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah.

Realisasi Raskin selama 2005 - 2009 berkisar antara 1,6 juta ton - 3,2 juta ton. Besarnya subsidi adalah dengan harga tebus Rp.1.000/kg sampai dengan 2007 dan Rp.1.600/kg sejak tahun 2008. Perubahan harga tebus dari Rp.1.000/kg menjadi Rp.1.600/

kg juga dengan mempertimbangkan anggaran dan semakin banyaknya rumah tangga sasaran yang dapat dijangkau. Harga ini juga masih lebih rendah dari harga pasar yang saat itu rata-rata sekitar Rp.5.000–5.500/kg.

Raskin bukan hanya telah membantu Rumah Tangga Miskin (RTM) dalam memperkuat ketahanan pangan, namun juga sekaligus menjaga stabilitas harga. Raskin telah mengurangi permintaan beras ke pasar oleh sekitar 18,5 juta pada tahun 2009. Dampak Raskin terhadap stabilisasi harga terlihat pada saat Raskin hanya diberikan kurang dari 12 bulan (seperti pada tahun 2006 = 11 bulan dan tahun 2007 = 10 bulan). Harga beras akhir tahun 2006 dan awal 2007 serta akhir tahun 2007 dan awal 2008 meningkat tajam. Pada saat itulah, pemerintah melakukan Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus dari Cadangan Beras Pemerintah (OPK - CBP).

Beberapa kendala dalam pelaksanaan Raskin selama ini terutama dalam pencapaian ketepatan indikator maupun ketersediaan anggaran. Sampai dengan saat ini, jumlah beras yang

akan disalurkan baru ditetapkan setelah anggarannya tersedia.

Selain itu ketetapan atas jumlah beras raskin yang disediakan juga tidak selalu dilakukan pada awal tahun, dan sering dilakukan perubahan di pertengahan tahun karena berbagai faktor. Hal ini menyulitkan dalam perencanaan penyiapan stoknya, perencanaan pendanaan dan perhitungan biaya-biayanya.

Data RTS yang dinamis menjadi suatu kendala tersendiri di lapangan. Masih ada RTM di luar RTS yang belum dapat menerima Raskin karena tidak tercatat sebagai RTS di BPS.

Kebijakan lokal dan “keikhlasan” sesama RTM dalam berbagi, tidak jarang dipersalahkan sebagai ketidaktepatan sasaran.

Ketepatan harga terkendala dengan hambatan geografis. Jauhnya lokasi RTS dari Titik Ditsribusi mengakibatkan RTS harus membayar lebih untuk mendekatkan beras ke rumahnya. Harga tebus Raskin oleh RTS tidak lagi seharga Rp.1.000/kg atau 1.600/kg karena RTS harus membayar biaya-biaya lain untuk operasional dan angkutan dari Titik Distribusi (TD) ke rumah mereka. Peran Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membantu RTS mencapai tepat harga diwujudkan dengan upaya untuk menyediakan dana APBD untuk Raskin.

Program Bantuan Sosial Beras Sejahtera (Rastra) b.

Guna meningkatkan efektivitas dan ketepatan sasaran, maka pemerintah menetapkan kebijakan transformasi dari Program Subsidi Raskin menjadi Program Bantuan Sosial Pangan (Kemenko PMK, 2017). Bansos pangan di Indonesia dimulai sejak tahun 2016 melalui program Beras Sejahtera (Rastra) yang sebelumnya adalah Raskin. Perubahan Raskin menjadi Rastra merupakan bentuk perbaikan penyaluran bantuan yang belum maksimal. Pembagian Raskin untuk masyarakat selama ini masih kekurangan baik dari segi penyetaraan pembagian kartu, kualitas beras, dan proses pembagian.

Bansos Rastra bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dan meningkatkan akses masyarakat miskin dan rentan melalui pemenuhan kebutuhan pangan pokok yang

menjadi hak dasarnya. Bansos Rastra disalurkan setiap bulan dengan alokasi sebesar 15 kg beras untuk setiap Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RT-SPM) per bulan (sikapdaya.

kemsos.go.id, 2017). Program Rastra merupakan bagian dari Sistem Ketahanan Pangan Nasional yang dilaksanakan dalam mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan. Pemerintah Indonesia memberi prioritas besar terhadap kebijakan ketahanan pangan nasional, diantaranya melalui ratifikasi kesepakatan internasional terkait pangan, yaitu: Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996, dan Sustainable Development Goals (SDGs) (sustainabledevelopment.un.org, 2020).

Dalam pelaksanaan program Rastra kerapkali dihadapkan juga pada berbagai masalah, seperti waktu penerimaan kurang tepat, salah sasaran, jumlah bantuan yang diberikan secara merata sehingga tidak lagi mengenal kaya dan miskin karena semua diberi bantuan, adanya biaya tambahan dalam penerimaan bantuan, dan lain sebagainya (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2016; Rachman et al., 2018). Oleh karena itu, untuk lebih meningkatkan efektifitas dan ketepatan sasaran penyaluran bantuan sosial serta mendorong keuangan inklusif, dalam rapat terbatas tanggal 16 Maret 2016, Presiden Republik Indonesia memberikan arahan agar mulai tahun 2017 penyaluran Rastra dilakukan melalui kupon elektronik (e-voucer) berupa Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sehingga tepat sasaran dan terpantau.

KKS tersebut berhak dimiliki setiap Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan dan dapat digunakan untuk membeli beras serta bahan pangan bergizi sesuai jumlah dan kualitas yang diinginkan. KKS juga dapat digunakan untuk menebus bantuan program keluarga harapan dengan saldo sebesar Rp 1.890.000,- yang hanya dapat dicairkan sebanyak empat kali dalam jangka waktu satu tahun. Penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan beras (TNP2K, 2017).

Mulai tahun 2018, subsidi Rastra juga dialihkan menjadi pola bantuan sosial. Dengan demikian terdapat perubahan mendasar dalam pelaksanaannya, yaitu pada Bansos Rastra tidak terdapat harga/biaya tebus yang harus dibayar oleh KPM.

Artinya, bantuan pangan akan disalurkan secara non tunai ke kota/kabupaten dalam bentuk beras. Sebagian kota/kabupaten yang sarana prasarana non tunainya belum memadai akan tetap menyalurkan Rastra namun tanpa membebankan harga tebus pada KPM. Dalam pelaksanaan penyaluran, Perum BULOG mendapat tugas untuk mendistribusikan Bansos Rastra hingga titik distribusi (TD). Pemerintah Daerah Kabupaten/

Kota bertanggung jawab dalam pendistribusian ke titik bagi (TB). Penyaluran Bansos Rastra diharapkan secara rutin setiap tanggal 25 setiap bulannya, kecuali pada wilayah tertentu yang membutuhkan perlakuan khusus karena faktor geografis, transportasi dan keterbatasan sarana lainnya. Bantuan Sosial Beras Sejahtera ini diharapkan dapat memenuhi sebagian dari kebutuhan pangan KPM, sehingga bisa mengurangi pengeluaran dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Mekanisme pelaksanaan Bansos Rastra ini tidak mengalami banyak perubahan dengan Subsidi Beras Sejahtera yang dilaksanakan sampai dengan tahun 2017, kecuali dalam hal pertanggungjawaban penyaluran.

Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) c.

Presiden Republik Indonesia dalam Rapat Kabinet Terbatas tentang Keuangan Inklusif tanggal 26 April 2016 memberikan arahan agar bantuan sosial dan subsidi disalurkan secara nontunai. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang menyatakan, bahwa strategi pengelolaan keuangan dan keterhubungan masyarakat dengan perbankan merupakan upaya untuk mempercepat pengentasan kemiskinan.

Dari sisi penerima manfaat, penyaluran bantuan sosial non tunai ini akan mendorong perilaku produktif penerima bantuan dan

mewujudkan akumulasi asset masyarakat melalui fleksibilitas waktu (Kemenko PMK, 2017a).

Berdasarkan rapat tersebut, dihasilkan sebuah keputusan bahwa Tahun Anggaran 2017 penyaluran Rastra agar dilakukan melalui kupon elektronik (e-voucher) sehingga tepat sasaran dan lebih mudah dipantau. Konsep bantuan sosial pangan ini kemudian berubah menjadi Bantuan Pangan Non Tunai atau BPNT. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan ketepatan kelompok sasaran, memberikan gizi yang lebih seimbang, dan lebih banyak pilihan. Besaran BPNT adalah Rp. 110.000 untuk setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM) per bulan (Kemenko PMK, 2017a). Bantuan ini dapat digunakan untuk menebus beras dan atau telur di e-Warong/agen dengan harga yang berlaku.

Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) adalah bantuan sosial pangan dalam bentuk non tunai dari pemerintah yang diberikan kepada sasaran (penerima manfaat) setiap bulan melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di e-Warong/agen yang bekerjasama dengan bank. Bantuan pangan yang disalurkan secara non tunai diarahkan untuk meningkatkan efektivitas dan ketepatan sasaran program, ketepatan jumlah dan ketepatan waktu serta untuk mendorong inklusi keuangan. Program BPNT diharapkan dapat memberikan keleluasaan penerima manfaat progam dalam memilih jenis, kualitas, harga, dan tempat membeli bahan pangan. Program BPNT juga diharapkan dapat sekaligus meningkatkan ekonomi rakyat dengan memberdayakan ribuan kios/warung/toko yang ada sehingga dapat melayani transaksi secara elektronik melalui sistem perbankan. Penggunaan sistem perbankan berupa pemanfaatan keuangan digital dimaksudkan untuk mendukung perilaku produktif, dan memudahkan pengontrolan serta pemantauan untuk meminimalkan upaya penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Lebih jauh, penggabungan dengan program bantuan sosial lain melalui sistem perbankan akan memberikan kesempatan akumulasi aset yang berpotensi mendorong kegiatan ekonomi.

Penyaluran BPNT diharapkan membawa dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan penguatan ekonomi keluarga penerima manfaat melalui akses yang lebih luas terhadap layanan keuangan perbankan.

Penerima manfaat BPNT adalah keluarga yang selanjutnya disebut dengan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) BPNT dengan kondisi ekonomi 25% terendah di daerah pelaksanaan. Daftar KPM BPNT telah disampaikan oleh Menteri Sosial pada setiap bulan November. KPM BPNT adalah keluarga yang namanya termasuk di dalam Daftar KPM. Sumber Data KPM BPNT adalah Data Terpadu Penanggulangan Fakir Miskin (DT-PPFM) yang merupakan hasil pemutakhiran Basis Data Terpadu di tahun 2015. Daftar KPM selanjutnya diserahkan kepada Bank Penyalur dan Pemerintah Daerah oleh Kementrian Sosial maksimal 2 pekan setelah Keputusan Menteri Sosial tentang penetapan kuota program per Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Untuk setiap KPM, daftar KPM memuat informasi: 1) Nama Pasangan Kepala Keluarga (nama calon pemilik rekening); 2) Nama Kepala Keluarga; 3) Nama Anggota keluarga lainnya; 4) Alamat Tinggal;

5) Nomor Induk Kependudukan (NIK); 6) Kode Unik Keluarga dalam DT-PPFM; 7) Nama Gadis Ibu Kandung; dan 8) Nomor Peserta PKH. Nama calin pemilik rekening diutamakan atas nama perempuan di dalam keluarga, baik sebagai kepala keluarga atau oasangan kepala keluarga. Kepesertaan KPM di dalam program BPNT dapat diganti jika disebabkan: 1) meninggal dan berasal dari calon KPM beranggota tunggal; 2) berasal dari calon KPM yang seluruh anggotanya pindah ke Kabupaten/Kota lain; 3) berasal dari calon KPM yang menolak/ mengundurkan diri sebagai KPM; dan 4) tercatat ganda atau lebih (Kemenko PMK, 2017a).

Penyaluran BPNT dilaksanakan melalui jaringan sistem pembayaran elektronik interoperabilitas dan interkoneksi yang dapat melibatkan Bank Penyalur, Prinsipal, dan Perusahaan Switching. KPM dapat menukarkan BPNT mereka dengan bahan pangan melalui e-Warong/agen, yaitu usaha mikro, kecil, dan

koperasi, pasar tradisional. Warung, toko kelontong, e-Warong/

agen KUBE, Warung Desa, Rumah Pangan Kita (RPK), Agen Laku Pandai, Agen Layanan Keuangan Digital (LKD) yang menjual bahan pangan, atau usaha ecerean lainnya.

Program bantuan sosial pangan sebelumnya merupakan Subsidi Rastra, dan mulai ditransformasikan menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) pada 2017 di 44 kota terpilih. Perluasan cakupan BPNT tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan wilayah yang beragam, antara lain kesiapan infrastruktur pembayaran dan jaringan telekomunikasi, kesiapan pasokan bahan pangan dan usaha eceran, dan lain sebagainya.

Selanjutnya pada tahun 2018 program Subsidi Rastra secara menyeluruh ditransformasi menjadi program Bantuan Sosial Pangan yang disalurkan melalui skema nontunai dan Bansos Rastra. Hingga akhir tahun 2018, BPNT telah diterapkan pada 219 Kota/Kabupaten dengan 10.265.404 KPM, sedangkan sisanya 295 Kota/Kabupaten dengan 5.334.596 KPM masih menerapkan Rastra. Selanjutnya Pada akhir tahun 2019 program Bantuan Sosial Pangan sudah dilaksanakan di seluruh kabupaten/ kota di Indonesia dengan skema nontunai. BPNT merupakan upaya pemerintah untuk mentransformasikan bentuk bantuan menjadi nontunai (cashless) yakni melalui penggunaan kartu elektronik yang diberikan langsung kepada KPM.

Adapun tahapan yang dilalui dalam penyaluran BPNT ada lima tahap yang meliputi: (1) Tahap Persiapan, berupa: koordinasi pelaksanaan dr pusat, provinsi hingga Kota/Kabupaten;

penyerahan data penerima manfaat, dan persiapan e-Warong/

agen; (2) Tahap Edukasi dan Sosialisasi; (3) Tahap Registrasi dan/

Pembukaan Rekening Kartu Kombo, (4) Tahap Penyaluran, dan (5) Tahap Pemanfaatan.

Program Sembako d.

Pada tahun 2020 dalam rangka mewujudkan penguatan perlindungan sosial dan meningkatkan efektivitas program bantuan sosial pangan, maka program BPNT dikembangkan

menjadi Program Sembako. Program Sembako adalah program bantuan sosial pangan yang merupakan pengembangan dari program BPNT sebagai program transformasi bantuan pangan untuk memastikan program menjadi lebih tepat sasaran, tepat jumlah, tepat waktu, tepat harga, tepat kualitas, dan tepat administrasi (6T) dengan penambahan nilai bantuan dan jenis bahan pangan. Alat pembayaran elektronik untuk Program Sembako adalah Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Program Sembako diberikan melalui KKS yang memiliki fitur uang elektronik dan/ tabungan serta dapat digunakan sebagai media penyaluran bantuan sosial.

Indeks bantuan program Sembako yang semula sebesar Rp. 110.000,-/KPM/bulan naik menjadi Rp. 150.000,-/KPM/bulan dimulai sejak bulan Januari 2020 hingga Februari 2020. Program Sembako juga memperluas jenis komoditas yang dapat dibeli sehingga tidak hanya berupa beras dan telur seperti pada program BPNT. Hal ini sebagai upaya dari Pemerintah untuk memberikan akses KPM terhadap bahan pokok dengan kandungan gizi lainnya, tidak hanya karbohidrat namun juga protein hewani, protein nabati maupun vitamin dan mineral.

Perubahan indeks bantuan dari BPNT ke Program Sembako (dari Rp. 110.000,- ke Rp. 150.000,-) ini ditinjau lagi pada Maret 2019 karena merebaknya virus corona (COVID-19) yang sangat mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Dengan adanya kebijakan pemerintah untuk stay at home dalam rangka mencegah persebaran virus otomatis akan mempengaruhi pendapatan, terutama pada masyarakat miskin karena mereka tidak bisa bekerja dan memperoleh penghasilan sebagaimana biasanya. Respon pemerintah Indonesia terhadap permasalahan masuknya virus corona yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat ini adalah dengan mengeluarkan kebijakan sementara menaikkan indeks bantuan program Sembako dari Rp 150.000,-/KPM/bulan menjadi Rp.

200.000,-/KPM/bulan dimulai sejak bulan Maret 2020 hingga

Agustus 2020 dan terakhir, kebijakan tersebut diperpanjang hingga Desember 2020.

Wilayah pelaksanaan program Sembako dibedakan menjadi dua, yaitu wilayah kabupaten/ kota yang melaksanakan mekanisme reguler dan wilayah kabupaten yang menerapkan mekanisme khusus karena keterbatasan aksesibilitas dan infrastruktur nontunai. Lokasi pelaksanaan program Sembako dengan mekanisme khusus merupakan kabupaten wilayah perluasan BPNT bulan September 2019. Kecuali ada ketentuan/

kebijakan lain mengenai penentuan wilayah khusus program Sembako oleh tim pengendali.

Terkait Sistem dan Mekanisme Pelaksanaan Program Sembako, dapat dikemukakan, bahwa Perubahan Program BPNT menjadi Program Kartu Sembako terutama terjadi pada alur pelaksanaannya. Program Kartu Sembako ini terdiri dari tujuh tahapan, yang meliputi:(a) Persiapan, berisi kegiatan: penyiapan data KPM, pembukaan rekening kolektif dan penyiapan e-Warong/agen; (b) Edukasi dan Sosialisasi; (c) Registrasi dan Distribusi KKS; (d) Penggantian KPM; (e) Penyaluran Data Bantuan, (f) Pemanfaatan Dana Bantuan, dan (g) program Sembako untuk Wilayah Khusus.

Penerima manfaat program Sembako adalah keluarga dengan kondisi sosial ekonomi terendah di daerah pelaksanaan, selanjutnya disebut Keluarga Penerima Manfaat (KPM) program Sembako, yang namanya termasuk di dalam Daftar Penerima Manfaat (DPM) program Sembako dan ditetapkan oleh Kuasa Penerima Anggaran (KPA) di Kementrian Sosial. DPM program Sembako bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang dapat di akses oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota melalui aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation (SIKS-NG) menu Bantuan Sosial Pangan (BSP).

SIKS-NG menu BSP untuk setiap KPM memuat informasi tentang: 1) NIK pengurus KPM; 2) Nomor ID Pengurus KPM dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial; 3) Nomor ID BDT

KPM dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial; 4) Nomor rekening bansos (jika ada); 5) Nomor Kartu Keluarga Sejatera (KKS); 6) Nama Pengurus KPM (Calon Pemilik Rekening); 7) Nomor KK (jika ada); 8) Tempat lahir pengurus KPM; 9) Tanggal lahir pengurus KPM; 10) Nama gadis ibu kandung dari pengurus KPM; 11) Nomor peserta PKH (jika ada); 12) Status PKH (jika ada); 13) Nama Kepala Keluarga; 14) Nama anggota keluarga lainnya; 15) Alamat tinggal keluarga; dan 16) Kode wilayah (provinsi, kabupaten/kota, Kepanewon, desa/kelurahan). Jika salah satu kode wilayah kosong karena tidak tersedianya data, agar dapat diisi dengan kode ”999”.

Unit penerima manfaat program Sembako adalah keluarga. Namun, untuk kebutuhan penyaluran manfaat program Sembako perlu ditentukan satu (1) nama dalam KPM sebagai Pengurus KPM yang akan menjadi pemilik rekening bantuan pangan. Pengurus KPM diutamakan perempuan, baik sebagai kepala keluarga atau pasangan kepala keluarga. Jika tidak ada, maka pengurus KPM adalah anggota keluarga perempuan yang berumur di atas 17 tahun dan memiliki dokumen identitas kependudukan. Jika tidak ada, maka pengurus KPM adalah laki-laki kepala keluarga. Jika laki-laki-laki-laki kepala keluarga tidak ada maka laki-laki yang berumur > 17 tahun dan memiliki dokumen identitas kependudukan. Jika semua tidak ada, barulah pengurus KPM dapat diwakili oleh anggota keluarga lainnya di dalam satu KK atau walau yang belum terdaftar sebagai pengurus KPM (Kemenko PMK, 2019)

Transformasi Bansos Pangan dari BPNT Menjadi Program 2. Sembako

Adanya transformasi kebijakan bantuan sosial pangan dari program BPNT menjadi program Sembako, tentunya diikuti perubahan peraturan dan mekanisme pelaksanaan yang diterapkan. Perbedaan program BPNT dengan Program Sembako dilihat dari mekanisme pelaksanaan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Program BPNT & Program Sembako dilihat dari Mekanisme Pelaksanaan

no Tahapan BPnt Program

Sembako Deskripsi 1 Koordinasi Pemerintah pusat,

daerah/provinsi, dan

data Data KPM bersumber dari DT-PPFM, disiapkan oleh Pokja data lalu dikirim oleh Sekjen Kementerian

no Tahapan BPnt Program

no Tahapan BPnt Program

no Tahapan BPnt Program

no Tahapan BPnt Program

Sembako Deskripsi 8 Penyaluran

dana bantuan Waktu penyaluran bantuan setiap

no Tahapan BPnt Program kedua program yang dilaksanakan. Transformasi program dilatarbelakangi oleh semangat menyempurnakan program berdasar hasil evaluasi yang dilakukan. Demikian halnya dengan faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan program BPNT dapat teridentifikasi berdasarkan hasil evaluasi yang

dilakukan oleh penelitian sebelumnya (Hermawati dkk, 2018;

Word Bank, 2018). Untuk program Sembako faktor pendukung dan penghambat baru teridentifikasi setelah penelitian ini dilaksanakan.

Teori Perubahan (

3. Transformation)

Perkembangan dan perubahan menjadi dua fase yang tidak dapat dihindari bagi kehidupan suatu organisasi. Jika sebuah organisasi mengalami perubahan, maka perubahan tersebut akan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap organisasi lainnya. Kekuatan lingkungan global adalah salah satu faktor pendorong organisasi untuk melakukan perubahan.

Perubahan yang dilakukan secara konstan dan berkelanjutan dapat menyebabkan kinerja organisasi maju dengan pesat, sehingga mampu mencapai sebuah kesuksesan dalam organisasi tersebut (Pramadani & Fajrianthi, 2012). Sejalan dengan pendapat tersebut, P. Wibowo (2008) mengemukakan bahwa perubahan telah menjadi suatu kebutuhan primer bagi kehidupan organisasi dan dapat menjadi salah satu aspek yang paling kritis untuk menciptakan keefektifan manajemen organisasi.

Perubahan yang dilakukan secara konstan dan berkelanjutan dapat menyebabkan kinerja organisasi maju dengan pesat, sehingga mampu mencapai sebuah kesuksesan dalam organisasi tersebut (Pramadani & Fajrianthi, 2012). Sejalan dengan pendapat tersebut, P. Wibowo (2008) mengemukakan bahwa perubahan telah menjadi suatu kebutuhan primer bagi kehidupan organisasi dan dapat menjadi salah satu aspek yang paling kritis untuk menciptakan keefektifan manajemen organisasi.

Dokumen terkait