• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK SOSIAL TRANSFORMASI BANTUAN SOSIAL PANGAN DARI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI (BPNT) MENJADI PROGRAM SEMBAKO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAMPAK SOSIAL TRANSFORMASI BANTUAN SOSIAL PANGAN DARI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI (BPNT) MENJADI PROGRAM SEMBAKO"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

B2P3KS Press Yogyakarta

SOSIAL PANGAN DARI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI (BPNT) MENJADI

PROGRAM SEMBAKO

Dr. Istiana Hermawati, M.Sos., dkk

KEMENTERIAN SOSIAL RI

BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PELAyANAN KESEJAhTERAAN SOSIAL

yOGyAKARTA 2020

(3)

DARI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI (BPNT) MENJADI PROGRAM SEMBAKO

Penulis : Istiana Hermawati, Sri Yuni Murtiwidayanti, Murdiyanto, Tri Gutomo, Suryani, Lidya Nugrahaningsih Ayal, Nuzul Solekhah, Supriyadi, Johanis Risambessy, Rosyita Anindyarini

Konsultan/Editor : Prof. Dr. Phil Janianton Damanik Setting/Lay Out : Tim B2P3KS Press

Desain Cover : Tim B2P3KS Press

Hak Cipta © 2020, pada penulis

Hak publikasi pada Penerbit B2P3KS Press

Dilarang memperbanyak, memperbanyak sebagian atau seluruh isi dari buku dalam bentuk apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit

Cetakan ke 1: Desember Tahun : 2020

Diterbitkan oleh B2P3KS Press

Jl. Kesejahteraan Sosial Nomor.1 Sonosewu Yogyakarta Telp (0274) 377265, 373530 Fax (0274) 373530 Email : b2p3ks_press@yahoo.co.id

Anggota IKAPI DIY ISBN: 978-979-698-471-8

(4)

Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang memerlukan penanganan dan program secara terpadu serta berkelanjutan. Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, Undang-Undang RI No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Kemiskinan, mengamanatkan Kementerian Sosial Republik Indonesia sebagai salah satu kementerian yang bertanggung jawab dalam menangani kemiskinan dengan memanfaatkan potensi dan sumber kesejahteraan sosial setempat. Hal ini merupakan salah satu strategi nasional dalam mewujudkan keadilan sosial serta melindungi hak asasi manusia, terutama bagi masyarakat yang kurang beruntung agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup secara layak.

Beberapa program Kementerian Sosial dianggap memberikan pengaruh besar terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia. Salah satunya adalah program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). BPNT adalah bantuan sosial pangan dalam bentuk non tunai dari pemerintah (Kemensos) yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) setiap bulan melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di e-Warong yang bekerjasama dengan bank. Program BPNT ini mulai diluncurkan pemerintah pada tahun 2017 dengan indeks bantuan sebesar Rp. 110.000,- per bulan, dapat dipergunakan untuk mengakses bantuan berupa beras dan telur.

Sebagai bentuk pengembangan dan upaya untuk lebih meningkatkan kemanfaatan program bantuan sosial pangan bagi KPM, mulai Januari 2020 program BPNT bertransformasi menjadi program sembako. Transformasi ini dilakukan dalam

(5)

meningkatan efektivitas program bantuan sosial pangan kepada KPM. Program Sembako memberikan keleluasaan kepada KPM dalam memilih jenis, kualitas, harga, dan tempat membeli bahan pangan. Dalam program sembako terdapat empat kebutuhan yang harus terpenuhi oleh masyarakat yakni: karbohidrat, protein hewani, protein nabati, vitamin dan mineral. Sementara dalam program BPNT hanya terdapat dua kebutuhan yang harus terpenuhi oleh masyarakat yakni karbohidrat dan protein hewani (telur). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin, indeks program bantuan sosial dinaikan dari Rp. 110 ribu menjadi Rp.150 ribu. Selanjutnya respon pemerintah melalui Kementerian Sosial terhadap dampak Corona Virus Disease (Covid 19) di tahun 2020, yaitu dengan mengeluarkan kebijakan sementara terkait indeks besaran bantuan dinaikkan dari Rp.150.000,- menjadi Rp.

200.000,-.

Penelitian ini mengkaji kesiapan berbagai pihak dalam melakukan transformasi bantuan sosial pangan dan mengukur dampak transformasi bansos pangan bagi KPM. Penelitian dilaksanakan di Provinsi D.I. Yogyakarta, yakni di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo. Kajian yang dilakukan menghasilkan rekomendasi pada Kementerian Sosial dan pemerintah daerah berupa penyempurnaan kebijakan progam bantuan sosial pangan.

Kepada Prof. Dr. Phil Janianton damanik, M.Si. selaku konsultan, diucapkan terima kasih atas bimbingan yang diberikan. Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang membantu terselenggaranya penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini membawa manfaat bagi perbaikan kebijakan.

Yogyakarta, 31 Desember 2020 Dr. Oetami Dewi

(6)

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas diterbitkannya buku dengan judul “Dampak Sosial Transformasi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) menjadi bantuan sosial Sembako”. Bantuan sosial menjadi sesuatu hal yang

“menarik” banyak pihak karena banyak yang berkepentingan terhadap keberadaan bantuan sosial itu sendiri. Pemerintah membutuhkannya sebagai bentuk program kebijakan yang harus dilakukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. DPR atau Wakil Rakyat melihatnya sebagai pelaksanaan kewajiban pemerintah dan perhatian mereka terhadap rakyat yang sudah memilihnya. Sedangkan masyarakat/kelompok masyarakat membutuhkannya untuk kepentingan sosial dan kesejahteraan.

Terkait bantuan sosial pangan, pada tahun 2020 dalam rangka mewujudkan penguatan perlindungan sosial dan meningkatkan efektivitas program bantuan sosial pangan, maka program program BPNT ditransformasi menjadi program sembako. Dalam transformasi bantuan sosial sembako ini, indeks bantuan ditingkstksn dan jenis komoditas bantuan diperluas, sehingga KPM tidak hanya bisa memanfaatkan bantuan sosial pangan yang diterimanya untuk membeli beras dan telur saja (seperti pada program BPNT), namun KPM juga dapat membeli komoditas pangan lainnya yang mengandung sumber karbohidrat, protein hewani, protein nabati maupun vitamin dan mineral.

Hal ini sebagai upaya pemerintah untuk memberikan akses KPM terhadap bahan pokok dengan kandungan gizi lainnya.

Buku ini merangkum hasil penelitian terkait kesiapan berbagai pihak (stakeholder, pendamping, kesiapan e warung dan

(7)

BPNT menjadi Program Sembako. Di samping itu, buku ini juga memaparkan hasil penelitian terkait dampak sosial transformasi bantuan sosial pangan bagi KPM.

Penerbit memberikan apresiasi kepada penulis, dan berharap dengan terbitnya buku ini dapat memperkaya perbendaharaan khasanah ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan tentang Dampak Sosial Transformasi Bantuan Sosial Pangan Non Tunai (BPNT) menjadi bantuan sosial Sembako. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dalam penelitian ini diucapkan terima kasih.

Yogyakarta, Desember 2020 Penerbit

B2P3KS Press

(8)

Kata Pengantar ... iii

Pengantar Penerbit ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Batasan Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11

A. Kajian Teori ... 11

1. Bantuan Sosial Pangan sebagai Kebijakan dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia 11 2. Transformasi Bansos Pangan dari BPNT Menjadi Program Sembako ... 22

3. Teori Perubahan (Transformation) ... 29

4. Teori Kesiapan (Readiness) ... 30

5. Implementasi Kebijakan/Program ... 22

6. Teori Dampak Sosial ... 39

B. Kerangka Pikir Penelitian ... 46

(9)

A. Jenis Penelitian ... 51

B. Lokasi Penelitian ... 51

C. Penentuan Sampel Penelitian ... 52

D. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian .. 53

E. Teknik Pengumpulan Data ... 54

F. Teknik Analisis Data ... 55

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN ... 57

A. Deskripsi Kemiskinan di Lokasi Penelitian ... 57

1. D.I. Yogyakarta ... 57

2. Kabupaten dan Kota ... 62

B. Deskripsi Program Bantuan Sosial Pangan Sembako 77 1. D.I. Yogyakarta ... 77

2. Kabupaten dan Kota ... 79

C. Profil Demografi, Sosial, dan Ekonomi Responden 87 1. Jenis Kelamin ... 87

2. Umur dan Status Perkawinan ... 89

3. Tingkat Pendidikan ... 90

4. Jenis Pekerjaan ... 91

5. Jumlah Anak dan Tanggungan Keluarga ... 92

6. Penghasilan dan Pengeluaran Rata-Rata per Bulan . 93 BAB V GAMBARAN UMUM KESIAPAN AKTOR DI D.I. YOGYAKARTA ... 95

A. Kesiapan Transformasi Berdasar Indikator ... 95

B. Kesiapan Aktor dalam Transformasi Program Sembako ... 99

1. Kesiapan e-Warong/Agen ... 100

2. Kesiapan Pendamping ... 105

3. Kesiapan Tim Koordinasi (Tikor) ... 109

(10)

BAB VI DAMPAK SOSIAL TRANSFORMASI PROGRAM

SEMBAKO ... 119

A. Analisis Deskriptif Dampak Transformasi Program Sembako ... 119

1. Indikator: Input, Activities, Output, Outcome ... 120

2. Indikator Input ... 120

3. Indikator Activities ... 121

4. Indikator Output ... 122

5. Indikator Outcome ... 122

B. Analisis Dampak Transformasi Program Sembako per Indikator ... 124

1. Indikator Input ... 124

2. Indikator Activities ... 125

3. Indikator Output ... 126

4. Indikator Outcome ... 127

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 131

A. Kesimpulan ... 131

B. Rekomendasi ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 137

(11)

Tabel 1. Program BPNT & Program Sembako dilihat dari

Mekanisme Pelaksanaan ... 23

Tabel 2. Indikator untuk Mengukur Kesiapan Program Sembako ... 35

Tabel 3. Panduan Pengukuran Dampak Sosial ... 46

Tabel 4. Distribusi Jumlah Sampel ... 53

Tabel 5. Standar Penilaian & Kategori Hasil Analisis ... 55

Tabel 6. Kriteria Analisis Deskriptif ... 56

Tabel 7. Garis Kemiskinan & Sumbangan Garis Kemiskinan di D.I Yogyakarta... 61

Tabel 8. Distribusi Responden Penelitian ... 88

Tabel 9. Distribusi Kategorisasi Input, activities, output, outcome 120 Tabel 10. Distribusi Kategorisasi Input ... 121

Tabel 11. Distribusi Kategorisasi Activities ... 121

Tabel 12. Distribusi Kategorisasi Output ... 122

Tabel 13. Distribusi Kategorisasi Outcomes ... 123

Tabel 14. Ringkasan Hasil Statistik Deskriptif Dampak Transformasi Program Sembako ... 123

(12)

Gambar 1. Relationship Between Content, Process, Context, & Individual Attributes With Readiness ... 34 Gambar 2. Basic Social Impact Measurement ... 43 Gambar 3. Kerangka Pikir Penelitian ... 50 Gambar 4. Tren Kemiskinan D.I. Yogyakarta dalam Lima Tahun Terakhir ... 58 Gambar 5. Jumlah Penduduk Miskin di D.I. Yogyakarta

dalam Lima Tahun Terakhir ... 58 Gambar 6. Data Kemiskinan Kabupaten Kulon Progo dalam Lima Tahun Terkhir ... 63 Gambar 7. Data Kemiskinan Kabupaten Bantul dalam Lima Tahun Terkhir ... 66 Gambar 8. Data Kemiskinan Kabupaten Gunungkidul dalam Lima Tahun Terakhir ... 69 Gambar 9. Data Kemiskinan Kabupaten Sleman dala Lima Tahun Terakhir ... 72 Gambar 10. Data Kemiskinan Kota Yogyakarta dalam Lima Tahun Terakhir ... 74 Gambar 11. Responden Berdasar Jenis Kelamin ... 89 Gambar 12. Responden Berdasar Usia dan Status Perkawinan 90 Gambar 13. Responden Berdasar Tingkat Pendidikan ... 90 Gambar 14. Responden Berdasar Jenis Pekerjaan ... 92 Gambar 15. Responden Berdasar Jumlah Anak dan

Tanggungan Keluarga ... 92

(13)

Gambar 17. Responden Berdasar Pengeluaran per Bulan .. 94 Gambar 18. Kesiapan Transformasi Program Sembako per Indikator ... 96 Gambar 19. Kesiapan Transformasi Program Bansos Pangan Berdasar Indikator ... 98 Gambar 20. Kesiapan Aktor dalam Transformasi Program Sembako di D.I. Yogyakarta ... 99 Gambar 21. Kesiapan e-Warong/Agen dalam Transformasi Program Sembako D.I. Yogyakarta ... 101 Gambar 22. Kesiapan Pendamping dalam Transformasi

Program Sembako di D.I.Yogyakarta ... 105 Gambar 23. Kesiapan Tim Koordinasi dalam Transformasi Program Sembako ... 110 Gambar 24. Kesiapan KPM dalam Transformasi Program Bansos Pangan di DIY ... 113 Gambar 25. Dampak Sosial Transformasi Program Sembako di D.I. Yogyakarta... 124 Gambar 26. Dampak Sosial Transformasi Program Sembako dari Indikator Input ... 125 Gambar 27. Dampak Sosial Transformasi Program Sembako dari Indikator Activities ... 126 Gambar 28. Dampak Sosial Program Transformasi Basos dari Indikator Output ... 127 Gambar 29. Dampak Sosial Transformasi Program Sembako dari Indikator Outcome... 128 Gambar 30. Dampak Sosial Transformasi Program Sembako di D.I. Yogyakarta per Indikator ... 129

(14)

PendAhuluAn

latar Belakang A.

Setiap negara di dunia mengalami permasalahan gizi.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan triple ganda permasalahan gizi, yaitu defisiensi kalori dan protein (stunting), defisiensi gizi mikro (wasting) dan kelebihan kalori (overweight).

Persentase penduduk Indonesia yang mengalami stunting berupa gizi buruk dan gizi kurang, menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 sebesar 17,7%. Sedangkan penduduk yang mengalami wasting berupa anemia pada ibu hamil sebesar 48, 9%. Adapun penduduk yang mengalami overweight berupa gizi lebih pada balita sebesar 8% dan gizi lebih pada penduduk usia > 18 Tahun ada sebesar 28.9%.

Pola makan merupakan faktor resiko nomor satu yang berkontribusi pada kematian dan kecacatan di Indonesia.

Sementara konsumsi pangan penduduk Indonesia masih didominasi oleh padi-padian. Sedangkan konsumsi bahan pangan hewani dan sayur serta buah masih rendah. Pola makan ini terkait dengan kemampuan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan, sehingga terpenuhinya kebutuhan dasar pangan merupakan salah satu indikator kesejahteraan penduduk. Ini berarti, pemenuhan kebutuhan pangan berkorelasi secara signifikan dengan tingkat kesejahteraan penduduk.

Semakin tinggi tingkat kesejahteraan penduduk, maka semakin baik pola makan yang dikonsumsi. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kesejahteraan penduduk, maka semakin terbatas/buruk

(15)

pola makan yang dikonsumsi. Ini merupakan alasan kenapa kasus stunting dan wasting banyak dialami oleh orang dengan tingkat kesejahteraan rendah atau miskin.

Menurut Badan Pusat Statistik (2015), indikator tingkat kesejahteraan penduduk salah satunya dapat dilihat dari tingkat kecukupan gizi yang mencakup konsumsi kalori dan protein.

Keluarga miskin di Indonesia diukur berdasarkan konsep kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dengan konsep ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori per kapita per hari yang diwakili oleh 52 jenis paket komoditi, yakni padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahnan, minyak dan lemak, dan lain-lain. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik terlihat bahwa ternyata Garis Kemiskinan Makanan (GKM) turut berkontribusi terhadap pembentukan garis kemiskinan sebesar Rp 324.911 atau 73,75 persen pada bulan September 2019 (Badan Pusat Statistik, 2019)

Kemiskinan atau kurang sejahtera ditandai dengan lapar, sakit, lemah, kurang makan, kerja yang kurang, daya tawar rendah, kemampuan kerja yang kurang, dibayar rendah, keuangan terbatas serta akses kesehatan yang minim. Selain itu, masyarakat miskin juga ditandai dengan ketidakberdayaan untuk memenuhi kebutuhan dasar, melakukan usaha produktif, menjangkau sumber daya sosial dan ekonomi, menentukan nasib sendiri, serta membebaskan diri dari mental dan budaya miskin (Narayan & Patesch, 2007). Kemiskinan ini sangat terkait erat dengan masalah sosial yang lain yakni ketunaan, keterasingan, kerentanan, serta keterlantaran yang disandang oleh masyarakat, yang menyebabkannya mengalami keterbatasan dalam pemenuhan kesejahteraan sosial.

(16)

Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, Undang- Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Kemiskinan mengamanatkan Kementerian Sosial Republik Indonesia sebagai salah satu kementerian yang bertanggungjawab dalam menangani kemiskinan, yang diharapkan dapat memanfaatkan potensi dan sumber kesejahteraan sosial setempat. Hal ini merupakan salah satu strategi nasional dalam mewujudkan keadilan sosial serta melindungi hak asasi manusia, terutama bagi masyarakat yang kurang beruntung agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup secara layak. Bappenas (2018) menegaskan, bahwa kemiskinan merupakan masalah kompleks yang memerlukan penanganan dan program secara terpadu serta berkelanjutan.

Badan Pusat Statistik (2020) menyatakan bahwa persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22 persen, turun 0,44 persen dibandingkan September 2018. Persentase jumlah penduduk tersebut merupakan persentase yang paling rendah jika dibandingkan tahun sebelumnya. BPS mencatat adanya perbaikan pemerataan pendapatan pada periode September 2018 yang ditunjukkan dengan penurunan indeks perkotaan sebesar 6,56 persen dan pedesaan sebesar 12,60 persen. Angka kemiskinan Indonesia per September 2019 tercatat sebesar 9,22 persen atau setara dengan 24,79 juta jiwa. Tingkat kemiskinan turun dari posisi Maret 2019 yakni 9,41

Beberapa program Kementerian Sosial dianggap memberikan pengaruh besar terhadap penurunan kemiskinan di Indonesia. Salah satunya adalah program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) untuk keluarga miskin (Kompas.com, 2018).

BPNT adalah bantuan sosial pangan dalam bentuk non tunai dari pemerintah (dalam konteks ini Kemensos) yang diberikan kepada sasaran (penerima manfaat). BPNT dilaksanakan setiap bulan melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di e-Warong/agen yang telah bekerjasama dengan bank. Program BPNT ini mulai diluncurkan pemerintah pada tahun 2017 dengan indeks bantuan sebesar

(17)

Rp. 110.000,- per bulan dan dapat digunakan untuk mengakses bantuan berupa beras dan telur. Bantuan ini merupakan bentuk perlindungan sosial masyarakat akan pangan yang diberikan oleh pemerintah kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau keluarga miskin dan rentan.

Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Tim Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (2018) terhadap implementasi program BPNT yang dilaksanakan oleh Direktorat Fakir Miskin Kementerian Sosial, menunjukkan bahwa Ketercapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) di semua wilayah tergolong sangat tinggi (sangat efektif) dengan rerata sebesar 89,78%. Hal ini mengindikasikan, bahwa secara keseluruhan program BPNT sudah memenuhi ketepatan sasaran, harga, jumlah, kualitas, waktu, administrasi, dan manfaat. Nilai kemanfaatan program BPNT menurut KPM tergolong kategori sangat tinggi, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Dari segi ekonomi, tingkat kemanfaatan program BPNT bagi KPM sebesar 96,26% sedangkan dari segi sosial sebesar 96,34%. Di samping itu, KPM merasa puas terhadap program Bansos Rastra dengan tingkat kepuasan sebesar 80,12%.

Sebagai bentuk pengembangan dan upaya untuk lebih meningkatkan kemanfaatan program bantuan sosial pangan bagi KPM, mulai Januari tahun 2020 program Bantuan sosial pangan nontunai (BPNT) bertransformasi menjadi program Sembako.

Transformasi bantuan sosial pangan menjadi program Sembako dilakukan dalam rangka mewujudkan penguatan perlindungan sosial dan meningkatan efektifitas program bantuan sosial pangan kepada keluarga penerima manfaat (Tempo.co, 2020).

Perubahan BPNT menjadi Program Sembako (dalam beberapa terminologi disebut Kartu Sembako karena bantuannya bersifat non tunai (kartu elektrik) yang digunakan untuk mengakses bantuan Sembako di e-Warong/agen yang sudah ditentukan) berlaku di seluruh Indonesia sesuai program, arahan, dan peraturan Kementerian Sosial. Perubahan ini dalam rangka

(18)

penyempurnaan pogram BPNT yang selama ini telah diberikan kepada masyarakat. Dalam program Sembako ini terdapat empat kebutuhan yang harus terpenuhi oleh masyarakat yakni:

Karbohidrat seperti beras jagung sagu; protein Hewani: ikan ayam, daging; protein Nabati: kacang-kacangan, tahu dan tempe;

serta vitamin dan mineral: sayur-sayuran dan buah-buahan.

Sementara dalam program BPNT hanya terdapat dua kebutuhan yang harus terpenuhi oleh masyarakat yakni karbohidrat dan protein hewani (telur). Tidak hanya penambahan kebutuhan, dalam program Sembako pemberian bantuan non tunai bagi masyarakat juga mengalami kenaikan yang sebelumnya Rp. 110 ribu menjadi Rp.150 ribu. Adapun pencairan dana satu bulan sekali sekitar tanggal 10-12 setiap bulan yang nantinya bisa digunakan masyarakat guna memenuhi empat kebutuhan dan sistem belanja harus di E-warung yang telah ditentukan menjalin kerjasama karena apabila semua warung, takutnya tidak dibelikan empat kebutuhan yang telah ditentukan. Seperti halnya program BPNT, program Sembako diharapkan memberikan pilihan kepada keluarga penerima manfaat dalam memilih jenis, kualitas, harga, dan tempat membeli bahan pangan (Tim Pengendali Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai, 2020).

Sasaran dari program Sembako adalah keluarga dengan kondisi sosial ekonomi terendah di daerah pelaksanaan yang namanya termasuk di dalam Daftar Penerima Manfaat (DPM) program Sembako dan ditetapkan oleh KPA di Kementerian Sosial. Melalui program Sembako diharapkan KPM terpenuhi kebutuhan gizi menjadi lebih baik. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial, jumlah KPM yang menerima program Sembako tahun 2020 sebanyak 15.301.581 KPM (Pusdatin.Kemsos.go.id, 2020).

Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin (Dirjen PFM) Kemensos Andi ZA Dulung menjelaskan, bahwa di tahun 2020 KPM akan menerima besaran bantuan non tunai sebesar Rp.

150.000 per bulan atau naik Rp. 40.000 dari tahun sebelumnya, yakni Rp. 110.000. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa

(19)

Program Sembako dapat memberikan dampak yang lebih besar terhadap pemenuhan kebutuhan pangan bagi KPM. Jenis bahan pangan yang dapat dibeli oleh KPM tahun ini mendapatkan penambahan sumber protein selain beras dan telur. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa Program Sembako memiliki empat tujuan.

Pertama, dapat membantu belanja KPM selama 7-10 hari sehingga dapat mengurangi beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan. Kedua, memberikan gizi yang lebih seimbang kepada KPM. Ketiga, meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, jumlah, harga, kualitas, dan administrasi. Keempat, memberikan pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan. Disamping itu, program Sembako juga memiliki beberapa manfaat baik secara umum maupun khusus.

Pertama, dapat memberikan pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan. Kedua, meningkatkan efisiensi penyaluran bantuan sosial. Ketiga, meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan dan perbankan (Kontan.

co.id, 2020). Besaran bantuan non tunai yang diberikan secara tiba- tiba mengalami transformasi sebagai upaya pemerintah dalam mencegah dampak merebaknya virus corona di Indonesia.

Menteri Sosial Juliari P. Batubara menyatakan bahwa bantuan sosial Program Sembako dapat terus berkontribusi terhadap pengurangan angka kemiskinan (Kemsos.go.id, 2020a).

Hal yang sama juga katakan Muhadjir Effendi, bahwa Program Sembako diharapkan dapat menurunkan persentase penduduk miskin dan ketimpangan pengeluaran penduduk di Indonesia, dimana jumlah penduduk miskin 9,4% ditargetkan turun menjadi 9% (CNBCIndonesia.com, 2019) serta akan ada penajaman dalam pembagian Program Sembako berdasarkan kritik dan saran dari DPR RI bahwa di lapangan masih ada keluarga yang tergolong pantas menerima bantuan tetapi justru tidak menerima, begitu pun sebaliknya (ekbis.sindonews.com, 2019). Dengan demikian, Program Sembako akan mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin dan rentan dalam hal makanan, sehingga dapat dipastikan

(20)

bahwa sebagian kebutuhan dasar masyarakat miskin dan rentan dapat terpenuhi sehingga meningkatkan gizi masyarakat.

Respon pemerintah melalui Kementerian Sosial terhadap dampak Corona Virus Disease (COVID 19) di tahun 2020 adalah dengan mengeluarkan kebijakan sementara terkait indeks besaran bantuan non tunai program Sembako. Besaran bantuan non tunai dinaikkan dari Rp.150.000,- menjadi Rp. 200.000,-.

Kebijakan ini berlaku selama bulan Maret hingga Agustus 2020, dan diperpanjang hingga Desember 2020 (Kemsos.go.id, 2020).

Langkah tersebut diharapkan mampu mengatasi perlambatan ekonomi Indonesia serta menjaga konsumsi pangan lapisan masyarakat bawah. Lapisan masyarakat bawah merupakan kelas yang rentan ketika dihadapkan pada bencana alam maupun sosial. Sosiolog Jerman, Clarke & Beck (1994) dalam karyanaya Risk Society; Toward A New Modernity menjelaskan, bahwa dalam masyarakat modern baru, kekayaan akan terakumulasi di kelas atas, sebaliknya kerentanan dan resiko akan terakumulasi di kelas bawah. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Sosial hadir untuk membantu masyarakat kelas bawah dalam meminimalisir kerentanan yang dihadapi oleh masyarakat kelas bawah di tengah krisis pandemi COVID-19.

Bantuan sosial pangan yang disalurkan melalui Program Sembako tentu mengalami sejumlah kendala. Permasalahan tersebut pun timbul sebelum mengalami transformasi, yakni ketika bansos pangan masih BPNT. Hal ini didukung oleh pernyataan Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin, Andi ZA Dulung yang menyatakan, bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota belum mengoptimalkan verifikasi dan validasi data penerima bantuan sosial (Kemsos.go.id, 2019). Masalah yang serupa juga dikemukakan Komisi VII DPR RI bahwa terdapat berbagai permasalahan implementasi BPNT, seperti penerima bantuan yang tidak terdapat saldo dalam kartu BPNT, pergantian data penerima BPNT, dan penerima bantuan yang belum tepat sasaran (dpr.go.id, 2019). Selain itu, permasalahan lainnya yakni penyelewengan mekanisme penyaluran dana bantuan yang

(21)

diterima KPM dengan melakukan negosisasi dengan penjaga e-Warong/agen agar dapat mencairkan bantuan yang diberikan (antaranews.com, 2020).

Timbulnya berbagai permasalahan di atas salah satunya terkait dengan faktor kesiapan. Holt et al., (2007) mengemukakan bahwa kesiapan dalam menghadapi perubahan adalah sebuah konstruk multidimensi yang dipengaruhi oleh keyakinan diantara anggota organisasi bahwa mereka mampu menerapkan perubahan yang diusulkan, perubahan yang diusulkan sesuai dengan kebutuhan organisasi, para pemimpin berkomitmen terhadap perubahan yang diusulkan (adanya dukungan dari manajemen), dan perubahan yang diusulkan bermanfaat bagi anggota organisasi. Sedangkan menurut Weiner (2009), kesiapan organisasional lebih mengarah pada shared psychological state, suatu kondisi psikologis yang terdistribusi pada anggotanya sehingga mereka merasa berkomitmen dan memiliki kemampuan kolektif yang sama. Suatu perubahan membutuhkan perubahan perilaku untuk memproyeksikan manfaat yang akan didapat.

Kedua referensi tersebut di atas menekankan pentingnya aspek kesiapan dalam menghadapi suatu perubahan. Perubahan itu akan efektif mencapai tujuan apabila sesuai dengan kemampuan (bisa diterapkan), sesuai dengan kebutuhan, mendapat dukungan dari pengambil kebijakan (pimpinan) dan beberapa pihak terkait, menumbuhkan komitment dari berbagai pihak yang terlibat serta perubahan tersebut bermanfaat atau berdampak bagi anggota organisasi (penerima manfaat). Untuk mengetahui manfaat atau dampak dari suatu proses transformasi bansos pangan dari program BPNT ke program Sembako perlu dilakukan analisis dampak sosial.

Analisis dampak sosial menurut International Association for Impact Assessment (2005) merupakan sebuah proses mengidentifikasi konsekuensi yang akan terjadi dari suatu tindakan atau program yang akan/sedang berjalan. Analisis dampak sosial merupakan komponen penting dalam suatu proses perubahan kebijakan, namun sering diabaikan. Aspek

(22)

sosial dapat menjadi pemicu gagalnya pencapaian tujuan sebuah kebijakan, khususnya dalam hal pemanfaatan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, perlu dilakukan pengkajian terkait kesiapan berbagai pihak dalam transformasi bantuan sosial pangan dari program bantuan pangan non tunai (BPNT) menjadi program Sembako. Kesiapan ini merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan program. Di samping itu juga, perlu dilakukan analisis dampak program sosial dari transformasi program bantuan sosial yang dilakukan. Analisis dampak sosial ini penting dilakukan agar dapat diketahui efektif atau tidak efektifnya transformasi bansos pangan terhadap keluarga penerima manfaat di bandingkan program sebelumnya.

Rumusan Masalah B.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bagaimanakah tingkat kesiapan KPM, pendamping, tikor, 1.

dan e-Warong/agen dalam menghadapi transformasi bantuan sosial pangan dari BPNT menjadi program Sembako?

Bagaimanakah dampak sosial transformasi bantuan sosial 2.

pangan dari BPNT menjadi program Sembako?

Tujuan Penelitian C.

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

Mendeskripsikan tingkat kesiapan KPM, pendamping, 1.

tikor, dan e-Warong/agen dalam menghadapi transformasi bantuan sosial pangan dari BPNT menjadi program Sembako.

Mengukur dampak sosial transformasi bantuan sosial 2.

pangan dari BPNT menjadi program Sembako.

Manfaat Penelitian d.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara praktis maupun teoritis

(23)

Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi 3.

masukan bagi Kementerian Sosial, khususnya Direktorat Penanganan Fakir Miskin sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan terkait transformasi program bantuan sosial pangan dari BPNT menjadi program Sembako.

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat menjadi 4.

referensi bagi peneliti dan praktisi terkait dampak sosial transformasi bantuan sosial pangan dari BPNT menjadi program Sembako.

(24)

KAjIAn PustAKA

Kajian teori A.

Bantuan Sosial Pangan sebagai Kebijakan dalam Pengentasan 1. Kemiskinan di Indonesia

Kebijakan publik dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai serangkaian program yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia dalam rangka mencapai tujuan tertentu, yaitu untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi dan untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat Indonesia. Permasalahan yang masih terus menjadi sorotan pemerintah Indonesia adalah perihal kemiskinan. Kemiskinan dan kerentanan pangan di Indonesia merupakan tantangan yang dihadapi pemerintah dari masa ke masa (Rachman et al., 2018). Kemiskinan menjadi salah satu permasalahan kompleks yang memerlukan penanganan dan program secara terpadu dan berkelanjutan.

Sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan publik guna menyejahterakan masyarakat Indonesia terutama dalam hal pengentasan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Upaya pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial masyarakat dari pemerintah salah satunya adalah melalui kebijakan pemberian bantuan sosial. Kebijakan program bantuan sosial disebabkan salah satunya karena kurangnya pemerataan kesejahteraan sosial dengan masih banyaknya masyarakat miskin dan ketimpangan ekonomi

(25)

sehingga masyarakat mengalami kendala dalam pemenuhan kebutuhan pangan.

Beberapa kebijakan terkait bantuan sosial pangan di Indonesia dilaksanakan pemerintah melalui program Subsidi Raskin, Program Beras Sejahtera, Program Bantuan Sosial Pangan Non Tunai (BPNT) dan program Sembako.

Program Subsidi Beras Miskin (Raskin) a.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas jaminan pemenuhan kebutuhan dasar (pangan) bagi masyarakat miskin atau tidak mampu berawal dari kebijakan pemerintah berupa Subsidi Raskin. Subsidi Raskin ini merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sekaligus untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin pada masyarakat Indonesia akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998. Program Raskin bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga, terutama rumah tangga miskin.

Pada awalnya Program Raskin ini disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi Raskin mulai tahun 2002. Program ini diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat. Penentuan kriteria penerima manfaat Raskin seringkali menjadi persoalan yang rumit. Dinamika data kemiskinan memerlukan adanya kebijakan lokal melalui musyawarah Desa/Kelurahan. Musyawarah ini menjadi kekuatan utama program untuk memberikan keadilan bagi sesama rumah tangga miskin.

Sampai dengan tahun 2006, data penerima manfaat Raskin masih menggunakan data dari BKKBN yaitu data keluarga prasejahtera alasan ekonomi dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi, jadi belum seluruh KK Miskin dapat dijangkau oleh program ini. Hal inilah yang menjadikan Raskin sering dianggap tidak tepat sasaran, karena rumah tangga sasaran berbagi dengan KK Miskin lain yang belum terdaftar sebagai sasaran (bantuan

(26)

sering dibagi rata). Mulai tahun 2007, digunakan data Rumah Tangga Miskin (RTM) BPS sebagai data dasar dalam penentuan sasaran program. Dari jumlah RTM yang tercatat sebanyak 19,1 juta RTS, baru dapat diberikan kepada 15,8 juta RTS pada tahun 2007, dan baru dapat diberikan kepada seluruh RTM pada tahun 2008. Dengan jumlah RTS 19,1 juta pada tahun2 008, berarti telah mencakup semua RTM yang tercatat dalam Survei BPS tahun 2005. Jumlah sasaran ini juga merupakan sasaran tertinggi selama Raskin disalurkan. Penggunaan data Rumah Tangga Sasaran (RTS) hasil pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2008 (PPLS-2008) dari BPS diberlakukan sejak tahun 2008 yang juga berlaku untuk semua program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah.

Realisasi Raskin selama 2005 - 2009 berkisar antara 1,6 juta ton - 3,2 juta ton. Besarnya subsidi adalah dengan harga tebus Rp.1.000/kg sampai dengan 2007 dan Rp.1.600/kg sejak tahun 2008. Perubahan harga tebus dari Rp.1.000/kg menjadi Rp.1.600/

kg juga dengan mempertimbangkan anggaran dan semakin banyaknya rumah tangga sasaran yang dapat dijangkau. Harga ini juga masih lebih rendah dari harga pasar yang saat itu rata- rata sekitar Rp.5.000–5.500/kg.

Raskin bukan hanya telah membantu Rumah Tangga Miskin (RTM) dalam memperkuat ketahanan pangan, namun juga sekaligus menjaga stabilitas harga. Raskin telah mengurangi permintaan beras ke pasar oleh sekitar 18,5 juta pada tahun 2009. Dampak Raskin terhadap stabilisasi harga terlihat pada saat Raskin hanya diberikan kurang dari 12 bulan (seperti pada tahun 2006 = 11 bulan dan tahun 2007 = 10 bulan). Harga beras akhir tahun 2006 dan awal 2007 serta akhir tahun 2007 dan awal 2008 meningkat tajam. Pada saat itulah, pemerintah melakukan Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus dari Cadangan Beras Pemerintah (OPK - CBP).

Beberapa kendala dalam pelaksanaan Raskin selama ini terutama dalam pencapaian ketepatan indikator maupun ketersediaan anggaran. Sampai dengan saat ini, jumlah beras yang

(27)

akan disalurkan baru ditetapkan setelah anggarannya tersedia.

Selain itu ketetapan atas jumlah beras raskin yang disediakan juga tidak selalu dilakukan pada awal tahun, dan sering dilakukan perubahan di pertengahan tahun karena berbagai faktor. Hal ini menyulitkan dalam perencanaan penyiapan stoknya, perencanaan pendanaan dan perhitungan biaya-biayanya.

Data RTS yang dinamis menjadi suatu kendala tersendiri di lapangan. Masih ada RTM di luar RTS yang belum dapat menerima Raskin karena tidak tercatat sebagai RTS di BPS.

Kebijakan lokal dan “keikhlasan” sesama RTM dalam berbagi, tidak jarang dipersalahkan sebagai ketidaktepatan sasaran.

Ketepatan harga terkendala dengan hambatan geografis. Jauhnya lokasi RTS dari Titik Ditsribusi mengakibatkan RTS harus membayar lebih untuk mendekatkan beras ke rumahnya. Harga tebus Raskin oleh RTS tidak lagi seharga Rp.1.000/kg atau 1.600/kg karena RTS harus membayar biaya-biaya lain untuk operasional dan angkutan dari Titik Distribusi (TD) ke rumah mereka. Peran Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membantu RTS mencapai tepat harga diwujudkan dengan upaya untuk menyediakan dana APBD untuk Raskin.

Program Bantuan Sosial Beras Sejahtera (Rastra) b.

Guna meningkatkan efektivitas dan ketepatan sasaran, maka pemerintah menetapkan kebijakan transformasi dari Program Subsidi Raskin menjadi Program Bantuan Sosial Pangan (Kemenko PMK, 2017). Bansos pangan di Indonesia dimulai sejak tahun 2016 melalui program Beras Sejahtera (Rastra) yang sebelumnya adalah Raskin. Perubahan Raskin menjadi Rastra merupakan bentuk perbaikan penyaluran bantuan yang belum maksimal. Pembagian Raskin untuk masyarakat selama ini masih kekurangan baik dari segi penyetaraan pembagian kartu, kualitas beras, dan proses pembagian.

Bansos Rastra bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran dan meningkatkan akses masyarakat miskin dan rentan melalui pemenuhan kebutuhan pangan pokok yang

(28)

menjadi hak dasarnya. Bansos Rastra disalurkan setiap bulan dengan alokasi sebesar 15 kg beras untuk setiap Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RT-SPM) per bulan (sikapdaya.

kemsos.go.id, 2017). Program Rastra merupakan bagian dari Sistem Ketahanan Pangan Nasional yang dilaksanakan dalam mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan. Pemerintah Indonesia memberi prioritas besar terhadap kebijakan ketahanan pangan nasional, diantaranya melalui ratifikasi kesepakatan internasional terkait pangan, yaitu: Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996, dan Sustainable Development Goals (SDGs) (sustainabledevelopment.un.org, 2020).

Dalam pelaksanaan program Rastra kerapkali dihadapkan juga pada berbagai masalah, seperti waktu penerimaan kurang tepat, salah sasaran, jumlah bantuan yang diberikan secara merata sehingga tidak lagi mengenal kaya dan miskin karena semua diberi bantuan, adanya biaya tambahan dalam penerimaan bantuan, dan lain sebagainya (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2016; Rachman et al., 2018). Oleh karena itu, untuk lebih meningkatkan efektifitas dan ketepatan sasaran penyaluran bantuan sosial serta mendorong keuangan inklusif, dalam rapat terbatas tanggal 16 Maret 2016, Presiden Republik Indonesia memberikan arahan agar mulai tahun 2017 penyaluran Rastra dilakukan melalui kupon elektronik (e-voucer) berupa Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sehingga tepat sasaran dan terpantau.

KKS tersebut berhak dimiliki setiap Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan dan dapat digunakan untuk membeli beras serta bahan pangan bergizi sesuai jumlah dan kualitas yang diinginkan. KKS juga dapat digunakan untuk menebus bantuan program keluarga harapan dengan saldo sebesar Rp 1.890.000,- yang hanya dapat dicairkan sebanyak empat kali dalam jangka waktu satu tahun. Penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran Keluarga Penerima Manfaat (KPM) melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan beras (TNP2K, 2017).

(29)

Mulai tahun 2018, subsidi Rastra juga dialihkan menjadi pola bantuan sosial. Dengan demikian terdapat perubahan mendasar dalam pelaksanaannya, yaitu pada Bansos Rastra tidak terdapat harga/biaya tebus yang harus dibayar oleh KPM.

Artinya, bantuan pangan akan disalurkan secara non tunai ke kota/kabupaten dalam bentuk beras. Sebagian kota/kabupaten yang sarana prasarana non tunainya belum memadai akan tetap menyalurkan Rastra namun tanpa membebankan harga tebus pada KPM. Dalam pelaksanaan penyaluran, Perum BULOG mendapat tugas untuk mendistribusikan Bansos Rastra hingga titik distribusi (TD). Pemerintah Daerah Kabupaten/

Kota bertanggung jawab dalam pendistribusian ke titik bagi (TB). Penyaluran Bansos Rastra diharapkan secara rutin setiap tanggal 25 setiap bulannya, kecuali pada wilayah tertentu yang membutuhkan perlakuan khusus karena faktor geografis, transportasi dan keterbatasan sarana lainnya. Bantuan Sosial Beras Sejahtera ini diharapkan dapat memenuhi sebagian dari kebutuhan pangan KPM, sehingga bisa mengurangi pengeluaran dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Mekanisme pelaksanaan Bansos Rastra ini tidak mengalami banyak perubahan dengan Subsidi Beras Sejahtera yang dilaksanakan sampai dengan tahun 2017, kecuali dalam hal pertanggungjawaban penyaluran.

Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) c.

Presiden Republik Indonesia dalam Rapat Kabinet Terbatas tentang Keuangan Inklusif tanggal 26 April 2016 memberikan arahan agar bantuan sosial dan subsidi disalurkan secara nontunai. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang menyatakan, bahwa strategi pengelolaan keuangan dan keterhubungan masyarakat dengan perbankan merupakan upaya untuk mempercepat pengentasan kemiskinan.

Dari sisi penerima manfaat, penyaluran bantuan sosial non tunai ini akan mendorong perilaku produktif penerima bantuan dan

(30)

mewujudkan akumulasi asset masyarakat melalui fleksibilitas waktu (Kemenko PMK, 2017a).

Berdasarkan rapat tersebut, dihasilkan sebuah keputusan bahwa Tahun Anggaran 2017 penyaluran Rastra agar dilakukan melalui kupon elektronik (e-voucher) sehingga tepat sasaran dan lebih mudah dipantau. Konsep bantuan sosial pangan ini kemudian berubah menjadi Bantuan Pangan Non Tunai atau BPNT. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan ketepatan kelompok sasaran, memberikan gizi yang lebih seimbang, dan lebih banyak pilihan. Besaran BPNT adalah Rp. 110.000 untuk setiap Keluarga Penerima Manfaat (KPM) per bulan (Kemenko PMK, 2017a). Bantuan ini dapat digunakan untuk menebus beras dan atau telur di e-Warong/agen dengan harga yang berlaku.

Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) adalah bantuan sosial pangan dalam bentuk non tunai dari pemerintah yang diberikan kepada sasaran (penerima manfaat) setiap bulan melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di e-Warong/agen yang bekerjasama dengan bank. Bantuan pangan yang disalurkan secara non tunai diarahkan untuk meningkatkan efektivitas dan ketepatan sasaran program, ketepatan jumlah dan ketepatan waktu serta untuk mendorong inklusi keuangan. Program BPNT diharapkan dapat memberikan keleluasaan penerima manfaat progam dalam memilih jenis, kualitas, harga, dan tempat membeli bahan pangan. Program BPNT juga diharapkan dapat sekaligus meningkatkan ekonomi rakyat dengan memberdayakan ribuan kios/warung/toko yang ada sehingga dapat melayani transaksi secara elektronik melalui sistem perbankan. Penggunaan sistem perbankan berupa pemanfaatan keuangan digital dimaksudkan untuk mendukung perilaku produktif, dan memudahkan pengontrolan serta pemantauan untuk meminimalkan upaya penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Lebih jauh, penggabungan dengan program bantuan sosial lain melalui sistem perbankan akan memberikan kesempatan akumulasi aset yang berpotensi mendorong kegiatan ekonomi.

(31)

Penyaluran BPNT diharapkan membawa dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan penguatan ekonomi keluarga penerima manfaat melalui akses yang lebih luas terhadap layanan keuangan perbankan.

Penerima manfaat BPNT adalah keluarga yang selanjutnya disebut dengan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) BPNT dengan kondisi ekonomi 25% terendah di daerah pelaksanaan. Daftar KPM BPNT telah disampaikan oleh Menteri Sosial pada setiap bulan November. KPM BPNT adalah keluarga yang namanya termasuk di dalam Daftar KPM. Sumber Data KPM BPNT adalah Data Terpadu Penanggulangan Fakir Miskin (DT-PPFM) yang merupakan hasil pemutakhiran Basis Data Terpadu di tahun 2015. Daftar KPM selanjutnya diserahkan kepada Bank Penyalur dan Pemerintah Daerah oleh Kementrian Sosial maksimal 2 pekan setelah Keputusan Menteri Sosial tentang penetapan kuota program per Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Untuk setiap KPM, daftar KPM memuat informasi: 1) Nama Pasangan Kepala Keluarga (nama calon pemilik rekening); 2) Nama Kepala Keluarga; 3) Nama Anggota keluarga lainnya; 4) Alamat Tinggal;

5) Nomor Induk Kependudukan (NIK); 6) Kode Unik Keluarga dalam DT-PPFM; 7) Nama Gadis Ibu Kandung; dan 8) Nomor Peserta PKH. Nama calin pemilik rekening diutamakan atas nama perempuan di dalam keluarga, baik sebagai kepala keluarga atau oasangan kepala keluarga. Kepesertaan KPM di dalam program BPNT dapat diganti jika disebabkan: 1) meninggal dan berasal dari calon KPM beranggota tunggal; 2) berasal dari calon KPM yang seluruh anggotanya pindah ke Kabupaten/Kota lain; 3) berasal dari calon KPM yang menolak/ mengundurkan diri sebagai KPM; dan 4) tercatat ganda atau lebih (Kemenko PMK, 2017a).

Penyaluran BPNT dilaksanakan melalui jaringan sistem pembayaran elektronik interoperabilitas dan interkoneksi yang dapat melibatkan Bank Penyalur, Prinsipal, dan Perusahaan Switching. KPM dapat menukarkan BPNT mereka dengan bahan pangan melalui e-Warong/agen, yaitu usaha mikro, kecil, dan

(32)

koperasi, pasar tradisional. Warung, toko kelontong, e-Warong/

agen KUBE, Warung Desa, Rumah Pangan Kita (RPK), Agen Laku Pandai, Agen Layanan Keuangan Digital (LKD) yang menjual bahan pangan, atau usaha ecerean lainnya.

Program bantuan sosial pangan sebelumnya merupakan Subsidi Rastra, dan mulai ditransformasikan menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) pada 2017 di 44 kota terpilih. Perluasan cakupan BPNT tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan wilayah yang beragam, antara lain kesiapan infrastruktur pembayaran dan jaringan telekomunikasi, kesiapan pasokan bahan pangan dan usaha eceran, dan lain sebagainya.

Selanjutnya pada tahun 2018 program Subsidi Rastra secara menyeluruh ditransformasi menjadi program Bantuan Sosial Pangan yang disalurkan melalui skema nontunai dan Bansos Rastra. Hingga akhir tahun 2018, BPNT telah diterapkan pada 219 Kota/Kabupaten dengan 10.265.404 KPM, sedangkan sisanya 295 Kota/Kabupaten dengan 5.334.596 KPM masih menerapkan Rastra. Selanjutnya Pada akhir tahun 2019 program Bantuan Sosial Pangan sudah dilaksanakan di seluruh kabupaten/ kota di Indonesia dengan skema nontunai. BPNT merupakan upaya pemerintah untuk mentransformasikan bentuk bantuan menjadi nontunai (cashless) yakni melalui penggunaan kartu elektronik yang diberikan langsung kepada KPM.

Adapun tahapan yang dilalui dalam penyaluran BPNT ada lima tahap yang meliputi: (1) Tahap Persiapan, berupa: koordinasi pelaksanaan dr pusat, provinsi hingga Kota/Kabupaten;

penyerahan data penerima manfaat, dan persiapan e-Warong/

agen; (2) Tahap Edukasi dan Sosialisasi; (3) Tahap Registrasi dan/

Pembukaan Rekening Kartu Kombo, (4) Tahap Penyaluran, dan (5) Tahap Pemanfaatan.

Program Sembako d.

Pada tahun 2020 dalam rangka mewujudkan penguatan perlindungan sosial dan meningkatkan efektivitas program bantuan sosial pangan, maka program BPNT dikembangkan

(33)

menjadi Program Sembako. Program Sembako adalah program bantuan sosial pangan yang merupakan pengembangan dari program BPNT sebagai program transformasi bantuan pangan untuk memastikan program menjadi lebih tepat sasaran, tepat jumlah, tepat waktu, tepat harga, tepat kualitas, dan tepat administrasi (6T) dengan penambahan nilai bantuan dan jenis bahan pangan. Alat pembayaran elektronik untuk Program Sembako adalah Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Program Sembako diberikan melalui KKS yang memiliki fitur uang elektronik dan/ tabungan serta dapat digunakan sebagai media penyaluran bantuan sosial.

Indeks bantuan program Sembako yang semula sebesar Rp. 110.000,-/KPM/bulan naik menjadi Rp. 150.000,-/KPM/bulan dimulai sejak bulan Januari 2020 hingga Februari 2020. Program Sembako juga memperluas jenis komoditas yang dapat dibeli sehingga tidak hanya berupa beras dan telur seperti pada program BPNT. Hal ini sebagai upaya dari Pemerintah untuk memberikan akses KPM terhadap bahan pokok dengan kandungan gizi lainnya, tidak hanya karbohidrat namun juga protein hewani, protein nabati maupun vitamin dan mineral.

Perubahan indeks bantuan dari BPNT ke Program Sembako (dari Rp. 110.000,- ke Rp. 150.000,-) ini ditinjau lagi pada Maret 2019 karena merebaknya virus corona (COVID-19) yang sangat mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Dengan adanya kebijakan pemerintah untuk stay at home dalam rangka mencegah persebaran virus otomatis akan mempengaruhi pendapatan, terutama pada masyarakat miskin karena mereka tidak bisa bekerja dan memperoleh penghasilan sebagaimana biasanya. Respon pemerintah Indonesia terhadap permasalahan masuknya virus corona yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat ini adalah dengan mengeluarkan kebijakan sementara menaikkan indeks bantuan program Sembako dari Rp 150.000,-/KPM/bulan menjadi Rp.

200.000,-/KPM/bulan dimulai sejak bulan Maret 2020 hingga

(34)

Agustus 2020 dan terakhir, kebijakan tersebut diperpanjang hingga Desember 2020.

Wilayah pelaksanaan program Sembako dibedakan menjadi dua, yaitu wilayah kabupaten/ kota yang melaksanakan mekanisme reguler dan wilayah kabupaten yang menerapkan mekanisme khusus karena keterbatasan aksesibilitas dan infrastruktur nontunai. Lokasi pelaksanaan program Sembako dengan mekanisme khusus merupakan kabupaten wilayah perluasan BPNT bulan September 2019. Kecuali ada ketentuan/

kebijakan lain mengenai penentuan wilayah khusus program Sembako oleh tim pengendali.

Terkait Sistem dan Mekanisme Pelaksanaan Program Sembako, dapat dikemukakan, bahwa Perubahan Program BPNT menjadi Program Kartu Sembako terutama terjadi pada alur pelaksanaannya. Program Kartu Sembako ini terdiri dari tujuh tahapan, yang meliputi:(a) Persiapan, berisi kegiatan: penyiapan data KPM, pembukaan rekening kolektif dan penyiapan e-Warong/agen; (b) Edukasi dan Sosialisasi; (c) Registrasi dan Distribusi KKS; (d) Penggantian KPM; (e) Penyaluran Data Bantuan, (f) Pemanfaatan Dana Bantuan, dan (g) program Sembako untuk Wilayah Khusus.

Penerima manfaat program Sembako adalah keluarga dengan kondisi sosial ekonomi terendah di daerah pelaksanaan, selanjutnya disebut Keluarga Penerima Manfaat (KPM) program Sembako, yang namanya termasuk di dalam Daftar Penerima Manfaat (DPM) program Sembako dan ditetapkan oleh Kuasa Penerima Anggaran (KPA) di Kementrian Sosial. DPM program Sembako bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang dapat di akses oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota melalui aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation (SIKS-NG) menu Bantuan Sosial Pangan (BSP).

SIKS-NG menu BSP untuk setiap KPM memuat informasi tentang: 1) NIK pengurus KPM; 2) Nomor ID Pengurus KPM dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial; 3) Nomor ID BDT

(35)

KPM dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial; 4) Nomor rekening bansos (jika ada); 5) Nomor Kartu Keluarga Sejatera (KKS); 6) Nama Pengurus KPM (Calon Pemilik Rekening); 7) Nomor KK (jika ada); 8) Tempat lahir pengurus KPM; 9) Tanggal lahir pengurus KPM; 10) Nama gadis ibu kandung dari pengurus KPM; 11) Nomor peserta PKH (jika ada); 12) Status PKH (jika ada); 13) Nama Kepala Keluarga; 14) Nama anggota keluarga lainnya; 15) Alamat tinggal keluarga; dan 16) Kode wilayah (provinsi, kabupaten/kota, Kepanewon, desa/kelurahan). Jika salah satu kode wilayah kosong karena tidak tersedianya data, agar dapat diisi dengan kode ”999”.

Unit penerima manfaat program Sembako adalah keluarga. Namun, untuk kebutuhan penyaluran manfaat program Sembako perlu ditentukan satu (1) nama dalam KPM sebagai Pengurus KPM yang akan menjadi pemilik rekening bantuan pangan. Pengurus KPM diutamakan perempuan, baik sebagai kepala keluarga atau pasangan kepala keluarga. Jika tidak ada, maka pengurus KPM adalah anggota keluarga perempuan yang berumur di atas 17 tahun dan memiliki dokumen identitas kependudukan. Jika tidak ada, maka pengurus KPM adalah laki- laki kepala keluarga. Jika laki-laki kepala keluarga tidak ada maka laki-laki yang berumur > 17 tahun dan memiliki dokumen identitas kependudukan. Jika semua tidak ada, barulah pengurus KPM dapat diwakili oleh anggota keluarga lainnya di dalam satu KK atau walau yang belum terdaftar sebagai pengurus KPM (Kemenko PMK, 2019)

Transformasi Bansos Pangan dari BPNT Menjadi Program 2. Sembako

Adanya transformasi kebijakan bantuan sosial pangan dari program BPNT menjadi program Sembako, tentunya diikuti perubahan peraturan dan mekanisme pelaksanaan yang diterapkan. Perbedaan program BPNT dengan Program Sembako dilihat dari mekanisme pelaksanaan dapat dilihat pada tabel 1.

(36)

Tabel 1. Program BPNT & Program Sembako dilihat dari Mekanisme Pelaksanaan

no Tahapan BPnt Program

Sembako Deskripsi 1 Koordinasi Pemerintah pusat,

daerah/provinsi, dan kabupaten/kota)

Pemerintah pusat, daerah / provinsi, dan kabupaten/ kota

Antara BPNT dan Sembako memiliki mekanisme yang sama dalam implementasi proses koordinasi 2 Penyiapan

data Data KPM bersumber dari DT-PPFM, disiapkan oleh Pokja data lalu dikirim oleh Sekjen Kementerian Sosial kepada Bupati/

Walikota.

Data KPM dilaksanakan melalui aplikasi SIKS-NG menu BSP (Bantuan Sosial Pangan), yang diberikan merupakan tanda KPM yang menerima manfaat PKH.

Data KPM SIKS-NG pada Program Sembako merupakan penyempurnaan data BPNT sebelumnya, terutama dari aspek mekanisme.

3 Pembukaan rekening kolektif

Bank penyalur melakukan :

Registrasi rekening

1.

bagi seluruh KPM Pencetakan kartu

2.

Kombo dilakukan untuk KPM yang belum memiliki rekening Membuatkan

3.

Sub-akun uang elektronik khusus untuk BPNT pada kartu Kombo yang dicetak untuk program PKH

Pembukaan

1.

rekening kolektif bagiw ditetapkan sebagai penerima program.

Bagi KPM

2.

yang telah memiliki rekening BPNT tidak perlu membuka rekening baru

Pembukaan rekening pada Program Sembako hanya untuk KPM yang baru

(37)

no Tahapan BPnt Program

Sembako Deskripsi 4 Penyiapan

e-Warong/

agen

Memastikan stok

1.

bahan pangan melalui jaringan informasi antara agen/ toko dengan distributor

Menjual beras dan/

2.

atau telur sesuai harga pasar.

Berlogo beras dan

3.

telur pada spanduk agen laku pandai.

Distributor

1.

terpilih mampu menjamin kualitas dan keter-sediaan bahan pangan dalam jangka panjang Menjual bahan

2.

pangan sesuai dengan harga pasar.

Mencetak

3.

dan mema- sang penanda warung yang bertuliskan

“SEMBAKO”

dengan ukuran 50 cmx50cm yang berlogo karbo- hidrat,protein hewani dan nabati, vitamin dan meneral.

Penetapan

1.

kriteria yang lebih ketat dan kompetitif terhadap distributor Perbedaan

2.

hanya pada penggunaan logo sebagai penanda simbolis transformasi BPNT Menjadi Program Sembako

(38)

no Tahapan BPnt Program

Sembako Deskripsi 5 Edukasi dan

sosialisasi Memberikan pemaha-man kepada pemangku kepentingan baik pusat maupun daerah, dan kepada KPM tentang kebijakan, mekanisme pengaduan, dan meka-nisme pemanfaatan program BPNT

Memberikan

1.

pema-haman kepada bank penyalur, Tenaga Bansos Pangan, pemilik/

pengelola e-Warong/agen sesuai dengan tugas dan tupoksinya Materi

2.

sosialisasi tentang pentingnya pemenuhan gizi pada seribu hari pertama kehidupan (KHP) untuk mencegah stunting melalui pemanfaatan bantuan program Sembako

Edukasi dan Sosi-alisasi Program Bantuan Sembako lebih mene-kankan pentingnya kebutuhan gizi, yang mana hal ini belum banyak diberikan pada program BPNT

(39)

no Tahapan BPnt Program

Sembako Deskripsi 6 Registrasi

dan distribusi KKS

Registrasi untuk pembukaan rekening pertama dilakukan secara kolektif, kemudian memastikan pencetakan Kartu Kombo untuk penerima KPM yang belum memiliki rekening

Proses /

1.

registrasi KKS untuk pelaksanaan bagi KPM ditetapkan sebagai penerima program Bansos tahun 2020

KKS yang

2.

dimiliki KPM dari program BPNT dan/

atau PKH tetap digunakan untuk mendapatkan dan

memanfaatkan dana bantuan

KKS tetap digunakan oleh penerima Program Bantuan Sembako.

7 Penggantian

KPM Keluarga yang

berhak sebagai KPM pengganti adalah keluarga dari data terpadu kesejahteraan sosial berdasarkan hasil musdel/muskel dan/

atau musyawarah Kepanewon

Keluarga yang berhak sebagai KPM pengganti adalah keluarga dari data terpadu kesejahteraan sosial berdasarkan hasil musdel/

muskel dan/atau musyawarah Kepanewon

Antara BPNT dan Sembako memiliki mekanisme yang sama dalam penggantian KPM

(40)

no Tahapan BPnt Program

Sembako Deskripsi 8 Penyaluran

dana bantuan Waktu penyaluran bantuan setiap tanggal 25, dengan besaran bantuan sebesar 110.000 melalui kartu kombo

Waktu penyaluran bantuan setiap tanggal 10, dengan besaran bantuan sebesar 150.000/200.000 melalui kartu Sembako

Transformasi terjadi pada tanggal dan besaran bantuan, serta kartu yang digunakan

9 Pemanfaatan dana Sembako untuk wilayah khusus

Dana bantuan untuk wilayah khusus belum diterapkan pada program ini

Dana bantuan untuk wilayah baru diterapkan secara khusus pada: penyiapan data KPM pada SIKS-NG, penyiapan eWarong, Registrasi dan distribusi KKS, penyaluran dana bantuan, dan pemanfaatan dana bantuan

Transformasi baru terjadi pada wilayah-wilayah yang mengalami kendala secara geografis dan infrastruktur khususnya pada program Sembako

(41)

no Tahapan BPnt Program

Sembako Deskripsi 10 Faktor

pendukung dan

penghambat implementasi

Hambatan:

Adanya temuan

1.

saldo kosong, kendala pada pemutakhiran data, kendala geografis dan infrastruktur (jaringan, sinyal) Masih adanya

2.

meka-nisme pemaketan bahan pangan yang tidak sesuai kebutuhan KPM.

Pendukung : Adanya

1.

dukungan APBN dan APBD Koordinasi yang

2.

baik antara pemerintah Pusat, Pemda dan pendamping.

E-Warong/

3.

agen pro-aktif terhadap KPM ber-kebutuhan khusus (disabilitas dan lansia)

Menunggu hasil pengumpulan data dan analisis

Menunggu hasil pengumpulan data dan analisis

Data pada Tabel 1 menggambarkan miniatur dari kedua program yang dilaksanakan. Transformasi program dilatarbelakangi oleh semangat menyempurnakan program berdasar hasil evaluasi yang dilakukan. Demikian halnya dengan faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan program BPNT dapat teridentifikasi berdasarkan hasil evaluasi yang

(42)

dilakukan oleh penelitian sebelumnya (Hermawati dkk, 2018;

Word Bank, 2018). Untuk program Sembako faktor pendukung dan penghambat baru teridentifikasi setelah penelitian ini dilaksanakan.

Teori Perubahan (

3. Transformation)

Perkembangan dan perubahan menjadi dua fase yang tidak dapat dihindari bagi kehidupan suatu organisasi. Jika sebuah organisasi mengalami perubahan, maka perubahan tersebut akan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap organisasi lainnya. Kekuatan lingkungan global adalah salah satu faktor pendorong organisasi untuk melakukan perubahan.

Perubahan yang dilakukan secara konstan dan berkelanjutan dapat menyebabkan kinerja organisasi maju dengan pesat, sehingga mampu mencapai sebuah kesuksesan dalam organisasi tersebut (Pramadani & Fajrianthi, 2012). Sejalan dengan pendapat tersebut, P. Wibowo (2008) mengemukakan bahwa perubahan telah menjadi suatu kebutuhan primer bagi kehidupan organisasi dan dapat menjadi salah satu aspek yang paling kritis untuk menciptakan keefektifan manajemen organisasi.

Terkait dengan perubahan, Davidson (2005) menjelaskan, bahwa perubahan merujuk pada terjadinya sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya. Perubahan dapat bermakna melakukan hal- hal dengan cara baru, mengikuti jalur baru, mengadopsi teknologi baru, memasang sistem baru, mengikuti prosedur-prosedur manajemen baru, penggabungan (merging), dana atau melakukan reorganisasi akibat terjadinya peristiwa yang bersifat mengganggu (disruptive) yang signifikan. Holt et al., (2007) menyatakan, bahwa anggota organisasi yang dinyatakan siap untuk berubah akan menunjukkan perilaku menerima, merangkul, dan mengadopsi rencana perubahan. Sebelum anggota organisasi berada pada posisi siap, mereka harus telah merefleksikan content, context, process, dan individual mempersepsikan dan mempercayai perubahan yang akan dilakukan organisasi.

Isu yang diangkat dalam penelitian ini adalah perubahan/

transformasi kebijakan dalam program pengentasan kemiskinan

Gambar

Tabel 1. Program BPNT & Program Sembako dilihat dari Mekanisme  Pelaksanaan
Gambar 1. Relationship Between Content, Process, Context,
Tabel 2. Indikator untuk Mengukur Kesiapan Program Sembako
Gambar 2. Basic Social Impact Measurement
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis mengenai Implementasi Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Desa Jegulo Kecamatan Soko Kabupaten Tuban dari pemaparan sebelumnya maka

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka agar Pelaksanaan Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dalam Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan Medan Johor dapat

Pemprov dan Pemkab/Pemkot dapat menganggarkan pada APBD belanja bansos untuk menambah Pagu Penerima Bansos Pangan bagi keluarga yang dianggap miskin dan tidak termasuk dalam Daftar

Bantuan Pangan Non Tunai BPNT adalah bantuan sosial pangan dalam bentuk non tunai dari pemerintah yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat KPM setiap bulannya melalui mekanisme

SKRIPSI PENYALURAN BANTUAN PANGAN NON TUNAI BPNT DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KELURAHAN LEMOE KECAMATAN BACUKIKI PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI ISLAM OLEH RAHMA DWI

Kesimpulan : Berasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian, maka dapat disimpulkan : -Pelaksanaan program Bantuan Pangan Non Tunai di Desa Karanganyar Kecamatan Kalibening Kabupaten

KPM menerima bantuan sembako nontunai dari Program Bantuan Pangan Non Tunai yang dikembangkan pemerintah bersama dengan bank penyalur untuk menciptakan sistem pembayaran elektronik yang

Bantuan Pangan Non Tunai atau di singkat BPNT adalah salah satu bentuk kebijakan dari program bantuan sosial pangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam bentuk non tunai yang