• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TERDAHULU DAN KERANGKA PIKIR

B. Kajian Pustaka

1. Teori Struktural

Sebuah penelitian sastra tidak terlepas dari pemahaman struktural. Pemahaman secara struktural merupakan sebuah model pendekatan atau teori yang menjadi pijakan awal untuk meneliti sebuah teks sastra. Pendekatan struktural memandang karya sastra sebagai sebuah karya yang memiliki struktur bangun yang tertib dan memiliki relasi kekhasan dalam menggali cermat, detail, teliti, serta dalam mengenai keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (A Teeuw, 1988:135).

Pendekatan struktural mengasumsikan karya sastra sebagai sebuah fenomena yang memiliki struktur dan saling terkait satu sama lain. Relasi antarstruktur dalam sebuah karya sastra membentuk sebuah sistem yang baku dan bersifat otonom. Hal ini memiliki arti bahwa pemahaman karya sastra dapat

commit to user

dilihat dan diteliti dari teks sastra itu sendiri dengan merealisasikan unsur pembangun karya sastra yang membentuk sebuah makna secara utuh. Burhan Nurgiyantoro (2005:37) menambahkan bahwa analisis struktural dilakukan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan masing-masing unsur tersebut sehingga secara bersama membentuk totalitas kemaknaan yang padu.

Novel sebagai karya sastra memiliki unsur internal pembangunnya dan saling berhubungan satu sama lain dalam membentuk satu kesatuan makna yang utuh. Unsur-unsur pembangun tersebut adalah unsur alur, tokoh, latar, tema dan amanat.

Seluruh unsur tersebut merupakan dasar pemahaman teoretis yang digunakan dalam sebuah penelitian. Hal ini juga berkaitan dengan penganalisisan teori psikologi sastra.

a. Alur

Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Dalam pengertian, alur mengatur tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, cara tokoh-tokoh yang digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua terkait dalam satu kesatuan waktu (Attar Semi, 1993:43)

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Plot merupakan urutan peristiwa atau kejadian yang

commit to user

dihubungkan oleh hubungan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 2005:119).

Dalam menganalisis alur Muchtar Lubis membedakan tahapan alur menjadi lima bagian.

a. Tahap situation (tahap penyituasian) merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

b. Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik) merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

c. Tahap rising action (tahap peningkatan konflik) merupakan tahap di mana konflik yang muncul mulai berkembang. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan, masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.

d. Tahap climax (tahap klimaks). Konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks.

e. Tahap denounment (tahap penyelesaian). Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri (dalam Burhan Nurgiantoro, 2005:149-150).

commit to user

Plot dapat dibedakan dalam dua kategori berdasarkan kriteria urutan waktu: kronologis dan tak kronologis. Yang pertama disebut sebagai plot lurus, maju atau dapat juga dinamakan progresif, sedang yang kedua adalah sorot-balik, mundur,flash-back, atau dapat juga disebut regresif.

1) Plot Lurus, Progresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa(-peristiwa) yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau, secara urutan cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot progresif tersebut akan berwujud sebagai berikut.

A --- B --- C --- D --- E

Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B – C – D melambangkan kejadian-kejadian berikutnya, tahap tengah, yang merupakan inti cerita, dan E merupakan tahap penyelesaian cerita

2) Plot Sorot-balik, Flash-back. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Jika digambarkan dalam bentuk skema, plot sorot-balik tersebut sebagai berikut.

commit to user

D1 merupakan awal penceritaan, A, B, dan C adalah peristiwa-peristiwa yang disorot balik, D2 (sengaja dibuat demikian untuk menegaskan pertalian-kronologisnya dengan D1) dan E merupakan kelanjutan langsung peristiwa-cerita awal D1.

3) Plot Campuran. Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak berplot lurus-kronologis atau seballiknya sorot-balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot-balik. Demikian pula sebaliknya. Skema plot campuran dapat digambarkan sebagai berikut.

E --- D1 --- A --- B --- C --- D2 Adegan A – B – C yang berisi inti cerita novel, diceritakan secara runtut-progresif–kronologis. Adegan tersebut mengantarai adegan D1 dan D2 yang juga lurus–kronologis. Adegan E yang menunjukkan kelanjutan langsung dari peristiwa D2 justru ditempatkan di awal cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2005:153-156).

Dengan beberapa pendapat di atas, maka dapat dijelaskan bahwa alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang ada dalam cerita yang berurutan dan membangun tulang punggung cerita baik secara lurus, balik, ataupun keduanya. Dalam pengembangan sebuah alur, unsur yang amat esensial adalah peristiwa, konflik, dan klimaks.

b. Tokoh

Dalam suatu karya sastra, masalah tokoh merupakan satu hal yang kehadirannya amat sangat penting dan bahkan menentukan, karena tidak akan

commit to user

mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita (Attar Semi, 1993:36).

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh mempunyai peranan penting dalam cerita. Kehadiran tokoh dalam cerita berkaitan dengan terciptanya konflik dalam sebuah cerita rekaan. Penggambaran tokoh yang baik adalah penggambaran watak yang wajar, dapat dipertanggungjawabkan secara nalar baik dari dimensi psikologis, sosiologis, maupun fisiologis.

Tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam tiga dimensi. Tiga dimensi yang dimaksud adalah dimensi psikologis, dimensi sosiologis, dan dimensi fisiologis. Dimensi fisiologis merupakan ciri fisik seperti usia yang menggambarkan kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh dan ciri fisik yang khas yang menguatkan karakter tokoh. Dimensi sosiologis meliputi ciri atau pola kehidupan sosial yang digambarkan seperti status, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat serta tingkat pendidikan, penghasilan, pandangan hidup, agama, dan ciri sosial yang mampu memberi nilai lebih terhadap dimensi ini. Dimensi psikologis meliputi latar belakang kejiwaan yang memiliki ukuran mentalitas, moral untuk membedakan mana yang baik dan buruk, temperamen, kecerdasan, tingkah laku, keinginan, IQ, keahlian khusus dalam satu bidang dalam dan ciri psikologis yang lain ( Herman J. Waluyo, 1994:171).

Dilihat dari segi perwatakan, tokoh dibagi menjadi dua jenis, yaitu tokoh sederhana (simple/flat character)dan tokoh kompleks (coplexs/round characters).

commit to user

personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisinya saja. Yang termasuk dalam kategori tokoh sederhana atau datar adalah semua tipe tokoh yang sudah biasa, yang sudah familier, atau yang stereotip dalam fiksi. Tokoh kompleks atau tokoh bulat adalah tokoh yang dapat dilihat semua sisi kehidupannya. Dibandingkan dengan tokoh datar, tokoh bulat memiliki sifatlifelikekarena tokoh itu tidak hanya menunjukkan gabungan sikap dan obsesi yang tunggal (Suminto A. Sayuti, 2000:78)

Attar Semi berpendapat bahwa ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dalam fiksi. Pertama secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Kedua secara dramatik, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan secara langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh, penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya. Selain itu dapat dilihat melalui dialog, yaitu dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain (1993:40).

c. Latar

Latar atau setting adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Latar yang digarap dengan teliti dan hati-hati oleh pengarang dimaksudkan untuk mengesani pembaca agar karya itu tampak realistis, terlihat sungguh-sungguh diangkat dari latar faktual disebut latar tipikal. Latar tipikal yang digunakan dalam novel memberikan kesan mendalam dan imajinasi konkret

commit to user

terhadap unsur latar seperti tempat, waktu, serta ruang lingkup kepada pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2005:222).

Unsur latar dibedakan dalam beberapa indikator. Abrams dalam Zainuddin Fanani (2002:99) berpendapat, latar dibedakan menurut tiga indikator yaitu,

general locate(tempat secara umum), historical time(waktu historis), dan social

circumstance(lingkungan sosial).

Senada dengan Abrams, dalam Burhan Nurgiyantoro (2005:227) juga membedakan latar menjadi tiga kategori.

a) Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

b) Latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

c) Latar sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Latar tidak hanya menunjukkan di mana dan kapan cerita itu terjadi. Lebih dari itu, latar juga harus sesuai dengan situasi sosial dan diagesis atau logika ceritanya. Hal ini diungkapkan oleh Zainuddin Fananie (2002:99) bahwa dalam telaah setting atau latar sebuah karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat hanya sekedar tempat terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa, dan situasi sosialnya, melainkan juga konteksdiagesis-nya, kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak tokohnya sesuai dengan situasi pada saat karya itu diciptakan. Karena itu, dari telaah yang dilakukan harus diketahui sejauh mana

commit to user

kewajaran, logika peristiwa, perkembangan karakter pelaku sesuai dengan pandangan masyarakat yang berlaku saat itu.

d. Tema dan Amanat

Seorang pengarang tentu mempunyai ide dasar dalam karya yang ditulisnya. Ide dasar dalam cerita juga disebut sebagai tema. Definisi tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap atau pun tidak (Panuti Sudjiman, 1988:74).

Tema dan amanat sangat erat kaitannya. Amanat merupakan pemecahan persoalan yang terkandung dalam tema. Amanat juga merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam rangka menyelesaikan persoalan yang ada.

Tema dan amanat dalam karya sastra dapat disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung atau implisit. Secara langsung, apabila pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan, dan sebagainya berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita. Secara implisit apabila jalan keluar atau ajaran moral yang disampaikan pengarang hanya diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh atau peristiwa.

2. Teori Psikologi Kepribadian Carl Gustav Jung

Psikologi digunakan sebagai alat penelaah jiwa seseorang secara luas dan mendalam, baik dari sifat maupun sikap manusia. Psikologi dalam penelitian ini merupakan ilmu bantu yang digunakan untuk mengetahui kepribadian tokoh utama dan yang menyebabkan menjadi homoseksual. Psikologi sastra adalah

commit to user

kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan (Suwardi Endaswara, 2008: 96).

Teori kepribadian dengan pendekatan psikologi analitis dikembangkan oleh Carl Gustav Jung. Dalam memandang manusia, Jung menggabungkan pandangan teleologi dan kausalitas. Jung memandang bahwa tingkah laku manusia ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu dan rasi (kausalitas) tetapi juga oleh tujuan dan aspirasi individu (teleologi). Menurut Jung masa lampau individu sebagai potensialitas sama-sama membimbing tingkah laku individu (orang).

Pandangan Jung tentang kepribadian adalah prospektif dan retrospektif. Prospektif dalam arti bahwa ia melihat kepribadian itu ke depan ke arah garis perkembangan sang pribadi di masa depan dan retrospektif dalam arti bahwa ia memperhatikan masa lampau sang pribadi.

Bagi Jung, dalam hidup ini ada perkembangan yang konstan dan sering kali kreatif, pencarian ke arah yang lebih sempurna serta kerinduan untuk lahir kembali. Jung melihat kepribadian individu sebagai produk dan wadah sejarah leluhur. Manusia modern dibentuk kedalam bentuknya yang sekarang oleh pengalaman kumulatif generasi masa lampau yang merentang jauh ke belakang sampai asal manusia yang samar dan tidak diketahui. Dasar kepribadian bersifat arkhaik, primitif, bawaan, tak sadar dan mungkin universal.

Jung menjelaskan adanya kepribadian kolektif yang dibentuk berdasarkan ras yang secara selektif menjangkau dunia pegalaman yang diterima individu.

commit to user

Kepribadian individu merupakan hasil daya batin yang mengenai dan dikenai oleh daya dari luar individu.

1.) Struktur Kepribadian

Jung berpendapat bahwa kepribadian itu adalah seluruh pemikiran, perasaan, dan perilaku nyata baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Adapun struktur kepribadian manusia terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi kesadaran dan dimensi ketidaksadaran. Kedua dimensi ini saling mengisi dan mempunyai fungsi masing-masing dalam penyesuaian diri.

a.) Dimensi Kesadaran Kepribadian

Dimensi kesadaran dari kepribadian ini adalah ego. Ego adalah jiwa sadar yang terdiri dari persepsi, ingatan, pikiran, perasaan sadar manusia. Ego melahirkan perasaan identitas dan kontinuitas seseorang.

Dimensi kesadaran manusia mempunyai dua kelompok pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa, yang masing-masing mempunyai peranan penting dalam orientasi manusia dalam dunianya. Fungsi jiwa adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan secara teori tidak berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan empat fungsi jiwa yang pokok yaitu, pikiran, perasaan, pendriaan, dan intuisi. Pikiran dan perasaan adalah fungsi jiwa yang rasional. Sedangkan kedua fungsi jiwa yang irrasional yaitu pendriaan dan intuisi. Pada dasarnya setiap manusia memiliki keempat fungsi jiwa itu, akan tetapi biasanya hanya salah satu fungsi saja yang paling berkembang (dominan). Fungsi yang paling berkembang itu merupakan fungsi superior dan menentukan tipe

commit to user

kepribadian orangnya. Jadi ada tipe pemikir, tipe perasa, tipe pendria, dan tipe intuitif.

Komponen kedua dari dimensi kesadaran manusia adalah sikap jiwa. Sikap jiwa adalah arah dari energi psikis atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah aktivitas energi psikis itu dapat keluar atau ke dalam diri individu. Setiap orang mengadakan orientasi terhadap dunia sekitarnya. Namun demikian, dalam caranya mengadakan orientasi itu setiap orang berbeda-beda.

Berdasarkan atas sikap jiwanya, manusia dapat digolongkan menjadi dua tipe yaitu manusia yang bertipe ekstravers dan manusia yang bertipe introvers. Orang yangekstravers terutama dipengaruhi oleh dunia objektif, yaitu dunia luar di luar dirinya. Orientasinya terutama tertuju ke luar. Pikiran, perasaan, dan tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non-sosial. Orang yang bertipe ekstravers bersikap positif terhadap masyarakatnya, hatinya terbuka, mudah bergaul, dan hubungan dengan orang lain efektif. Adapun bahaya orang bertipe ektravers ini ialah apabila keterkaitan kepada dunia luar itu terlampau kuat, sehingga ia tenggelam di dalam dunia objektif, kehilangan dirinya atau asing terhadap dunia subjektifnya sendiri.

Orang yang bertipe introvers terutama dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasinya terutama tertuju ke dalam dirinya. Pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan ditentukan oleh faktor subjektif. Penyesuaian dengan dunia luar kurang baik, jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berhubungan dengan orang lain, dan kurang dapat menarik

commit to user

hati orang lain. Penyesuaian dengan batinnya sendiri baik. Bahaya tipe kepribadian introvers ini ialah kalau jarak dengan dunia objektifnya terlalu jauh, maka orang tersebut lepas dari dunia objektifnya. Jadi orang yang kesadarannya bertipe pemikir maka ketidaksadarannya adalah perasa. Orang yang kesadarannya

ekstravers, ketidaksadarannya bersifatintravers.

Apa yang telah dikemukakan di atas adalah keadaan kehidupan alam sadar yang sebenarnya. Masih ada suatu permasalahan lagi yaitu bagaimana orang itu dengan sadar menampakkan diri ke luar. Cara ini oleh Jung disebut persona. Persona merupakan kompromi antara individu dan masyarakat; antara strutur batin sendiri dengan tuntutan sekitar mengenai bagaimana seharusnya orang berbuat. Apabila orang dapat menyesuaikan diri ke luar dengan baik, maka persona itu akan merupakan selubung yang elastis, yang dengan lancar dapat dipergunakan. Akan tetapi apabila penyesuaian diri ke dunia luar itu kurang baik, maka persona dapat merupakan topeng yang kaku dan beku dalam menyembunyikan kelemahan dirinya.

b.) Dimensi Ketidaksadaran Kepribadian

Dimensi ketidaksadaran kepribadian seseorang mempunyai dua lingkaran, yaitu, ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran pribadi berisi hal yang diperoleh individu selama hidupnya namun tertekan dan terlupakan. Ketidaksadaran pribadi terdiri dari pengalaman yang disadari tetapi kemudian ditekan, dilupakan, diabaikan, serta pengalaman yang terlalu lemah untuk menciptakan kesan sadar pada pribadi seseorang. Ketidaksadaran pribadi berisi hal yang teramati, terpikirkan, dan terasakan di bawah ambang kesadaran.

commit to user

Ketidaksadaran pribadi berisi kompleks (konstelasi) perasaan, pikiran, persepsi, igatan yang terdapat dalam ketidaksadaran pribadi. Kompleks memiliki inti yang bertindak seperti magnet menarik berbagai pengalaman ke arahnya.

Ketidaksadaran kolektif atau transpersonal adalah gudang bekas ingatan laten yang diwariskan dari masa lampau leluhur seseorang. Masa lampau itu tidak hanya sejarah ras manusia sebagai suatu spesies tersendiri tetapi juga leluhur pramanusiawi atau nenek moyang binatangnya. Ketidaksadaran kolektif adalah sisa psikis perkembangan evolusi manusia yang menumpuk akibat dari pengalaman yang berulang selama banyak generasi. Ketidaksadaran kolektif hampir sepenuhnya terlepas dari segala segi pribadi dalam kehidupan seseorang dan nampaknya bersifat universal.

Ketidaksadaran kolektif merupakan landasan ras yang diwariskan dalam keseluruhan struktur kepribadian. Kesadaran kolektif ini berperan dalam mengarah atau menyeleksi tingkah seseorang sejak awal kehidupannya. Pengalaman seseorang tentang dunia sebagian besar dibentuk olek ketidaksadaran kolektif, walaupun tidak sepenuhnya. Ini menyebabkan adanya variasi dalam perkembangan seseorang.

Ketidaksadaran adalah hal yang tidak disadari. Untuk mengenal dan mengetahui ketidaksadaran, diperoleh secara tidak langsung melalui manifestasinya. Manifestasi ketidaksadaran dapat berbentuk simtom dan kompleks, mimpi, fantasi, khayalan, dan arketipe e.

Simtom adalah gejala dorongan jalannya energi yang normal yang dapat berbentuk kejasmanian maupun kejiwaan. Simtom adalah tanda bahaya yang

commit to user

memberi tahu ada sesuatu dalam kesadaran yang kurang. Kompleks adalah bagian dari kejiwaan yang telah terpecah dan lepas dari kontrol kesadaran dan mempunyai kehidupan sendiri dalam kegelapan alam ketidaksadaran yang dapat menghambat atau memajukan prestasi. Mimpi sering timbul dari kompleks yang mempunyai hukum dan bahasa sendiri. Dalam mimpi sebab akibat, ruang dan waktu tidak berlaku, bahasanya bersifat lambang dan untuk memahaminya perlu penafsiran. Disamping mimpi Jung juga mengemukakan tentang fantasi dan khayalan sebagai bentuk manifestasi (perwujudan) ketidaksadaran. Fantasi dan khayalan ini berkaitan dengan mimpi dan timbul pada taraf kesadaran rendah. Variasi fantasi dan khayalan itu tidak terhingga mulai dari mimpi siang hari serta mimpi tentang keinginan sampai khayalan khusus orang-orang yang dalam keadaan kegirangan yang luar biasa.

Adapun arketipe adalah bentuk pendapat instinktif dan reaksi instinktif terhadap situasi tertentu yang terjadi di luar kesadaran. Arketipe itu dibawa sejak lahir dan tumbuh pada ketidaksadaran kolektif selama perkembangan manusia. Jadi arketipe tidak bergantung pada manusia perseorangan. Arketipe merupakan pusat serta medan tenaga dari ketidaksadaran yang dapat mengubah sikap kehidupan sadar manusia.

Terdapat beberapa bentuk khusus dari isi ketidaksadaran yaitu, bayang-bayang, proyeksi atau imago, animus dan anima. Bayang-bayang yaitu segi lain dari kepribadian yakni kekurangan yang tidak disadari. Bayang-bayang ini terbentuk dari fungsi inferior serta sikap jiwa yang inferior yang karena pertimbangan lain dimasukkan ke dalam ketidaksadaran karena tidak serasi

commit to user

dengan kehidupan alam sadarnya. Bayang-bayang merupakan suatu pecahan kepribadian yang tidak terikat kepada individu (Syamsu Yusuf & Juntika, 2008: 83).

Proyeksi atau imago diartikan menempatkan isi batin sendiri pada obyek lain di luar dirinya secara tidak sadar. Imago yang terpenting pada orang dewasa adalah animus bagi orang perempuan dan anima pada orang laki-laki yaitu sifat atau kualitas jenis kelamin lain yang ada dalam ketidaksadaran manusia. Setiap manusia itu bersifat biseksual, jadi setiap manusia itu mempunyai sifat yang tedapat pada jenis kelamin lawannya. Orang laki-laki ketidaksadarannya adalah perempuan dan orang perempuan ketidaksadaranna adalah laki-laki (Syamsu Yusuf & Juntika, 2008: 84).

Anima dan animus mempunyai hubungan yang langsung dengan persona. Persona menyesuaikan diri ke luar, sedangkan animus menyesuaikan diri ke dalam. Jadi persona adalah fungsi perantara antara aku dan dunia luar, sedangkan anima dan animus adalah fungsi perantara antara aku dan dunia dalam. Makin kaku persona maka makin rendah diferensiasi anima atau animus dan makin

Dokumen terkait