• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, konteks, tindak tutur, teori kesantunan, dan uraian tentang diskusi. Kerangka berpikir berisi tentang acuan teori yang berdasarkan pada penelitian yang relevan dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah.

2.1Penelitian yang Relevan

Untuk mendukung proses pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan, terdapat dua penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Oktafiana Kurniawati yang berjudul Analisis Pemanfaatan Prinsip Kesantunan Berbahasa Pada Kegiatan Diskusi Kelas Siswa Kelas XI SMAN 1 Sleman. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini Oktafiana mendiskripsikan pemakaian prinsip kesantunan berbahasa dan pemanfaatannya dalam kegiatan diskusi siswa kelas 2 SMA. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada pengkajian kesantunan berbahasa, sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitiannya. Penelitian dari Oktafiana ini bersumber pada tuturan dari siswa kelas 2 SMA, sedangkan penelitian saya bersumber pada tuturan dari mahasiswa angkatan 2014, dari uraian di atas membuktikan bahwa penelitian

ini belum pernah dikaji dan penelitian ini layak untuk diangkat sebagai penelitian.

Penelitian relevan yang kedua adalah penelitian dari Puspa Rinda Silalahi yang berjudul Analisis Kesantunan Berbahasa Siswa/i Di Lingkungan Sekolah SMPN 5 Binjai. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Dalam penelitian ini, Puspa mendeskripsikan semua tuturan yang terjadi di lingkungan sekolah baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Persamaan dengan penelitian ini terletak pada pengkajian kesantunan berbahasa, sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitiannya. Penelitian dari Puspa bersumber dari semua tuturan yang terjadi di SMPN 5 Binjai baik di kelas maupun di luar kelas, sedangkan penelitain saya bersumber dari tuturan diskusi yang terjadi di dalam kelas.

2.2Kajian Teoritis

2.2.1 Kesantunan Berbahasa

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu bidang kajian dalam pragmatik, dimana pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur. Dari hal tersebut, maka ketika seseorang mengkaji mengenai kesantunan berbahasa berarti juga membicarakan mengenai pragmatik.

2.2.1.1Pragmatik

Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) atau dapat dikatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Thomas

mendefinisikan pragmatik sebagai makna dalam interaksi. Menurutnya suatu makna bukanlah yang melekat pada suatu kata, tetapi merupakan proses dinamis yang melibatkan penutur dan petutur, konteks tuturan, dan makna potensial dari suatu tuturan (1996: 22). Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan terkondifikasikan sedemikian rupa sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan begitu saja dari struktur kebahasaannya. Karena yang dikaji adalah makna bahasa, pragmatik dapat dikatakan sejajar dengan semantik.

Akan tetapi, kedua disiplin ilmu ini memiliki perbedaan yang mendasar. Semantik menelaah makna sebagai relasi dua segi (diadic relation), sedangkan pragmatik menelaah makna sebagai relasi tiga segi (triadic relation). Makna yang dikaji semantik adalah makna linguistik (linguistic meaning) atau makna semantik (semantic sense), sedangkan makna yang dikaji pragmatik adalah maksud penutur (speaker meaning) atau (speaker sense) Parker dalam I Dewa Putu Wijana (1996: 3).

Analisis tuturan (1) dan (2) di bawah ini mengilustrasikan pernyataan tersebut.

(1) “Rokok saya habis.” (2) “Joko, helmnya di mana?”

Dilihat secara struktural, kedua tuturan itu masing-masing adalah tuturan berita dan pertanyaan. Secara semantis, tuturan (1) bermakna ‟seseorang yang kehabisan rokok‟ dan tuturan (2) bermakna ‟helmnya berada di mana‟. Tuturan (1) menginformasikan sesuatu kepada lawan tutur,

sedangkan penutur dalam tuturan (2) ingin mendapatkan informasi dari mitra tuturnya. Kedua tuturan itu bila dianalisis secara pragmatis dengan mencermati konteks pemakaiannya akan didapatkan hasil yang berbeda. Misalnya, tuturan (1) dituturkan oleh seorang pemuda kepada temannya yang sama-sama perokok sewaktu akan merokok. Tuturan tersebut dituturkan bukan semata-mata untuk menginformasikan sesuatu, tetapi dimaksudkan untuk meminta sebatang rokok kepada temannya. Demikian pula halnya bila tuturan (2) dituturkan oleh seorang bapak kepada anaknya, tuturan itu tidak dimaksudkan untuk mendapatkan informasi dari lawan tutur, melainkan dimaksudkan untuk menyuruh mitra tutur mengambilkan helm.

Jadi dapat dikatakan bahwa dalam melakukan studi pragmatik, seseorang harus mengupayakan maksud dari penutur, baik yang diekspresikan secara tersurat maupun yang diungkapkan secara tersirat di balik tuturan, juga konteks yang terjadi saat tuturan berlangsung. Konteks diperlukan oleh pragmatik. Tanpa konteks, analisis pragmatik tidak akan berjalan, karena daya pragmatik itu bergantung pada konteks yang berlangsung pada waktu tuturan diujarkan dalam sebuah peritiwa tutur. 2.2.1.1.1 Konteks

Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi (Mulyana: 2005: 21). Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, sangat bergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa. Pentingnya konteks dalam pragmatik ditekankan oleh Wijaya (1996: 2) yang

menyebutkan bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks, dan oleh Searle, Kiefer dan Bierwich dalam Nadar (2009: 5) yang menegaskan bahwa pragmatics is concerned with the way in which the interpretation of syntactically defined expression depend on the particular conditions of their use in the context (Pragmatik berkaitan dengan interpretasi suatu ungkapan yang dibuat mengikuti aturan sintaksis tertentu dan cara menginterpretasi unkapan tersebut tergantung pada kondisi-kondisi khusus penggunaa ungkapan tersebut dalam konteks). Jadi dalam melakukan studi pragmatik ataupun bidang kajian pragmatik, harus diperhatikan antara penutur, mitra tutur dan konteks. Dimana ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan dalam studi pragmatik. Ringkasnya, Leech (1993: 8) mendefinisikan pragmatik sebagai

“studi makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar”.

Leech (1993: 19–21) mengungkapkan bahwa situasi ujar/tutur terdiri atas beberapa aspek.

1. Penutur dan mitra tutur

Aspek-aspek yang perlu dicermati dari penutur dan mitra tutur adalah jenis kelamin, umur, daerah asal, tingkat keakraban, dan latar belakang sosial budaya lainnya yang dapat menjadi penentu hadirnya makna sebuah tuturan. 2. Konteks tuturan

Konteks tuturan dalam penelitian linguistik mencakup semua aspek fisik dan seting sosial yang relevan dari sebuah tuturan. Konteks yang bersifat fisik disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting sosial disebut konteks. Dalam kerangka pragmatik, konteks merupakan semua latar belakang

pengetahuan yang diasumsikan dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung untuk menginterpretasikan maksud penutur dalam tuturannya.

3. Tujuan tuturan

Bentuk-bentuk tuturan muncul karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dengan kata lain, penutur dan mitra tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Secara pragmatik, satu bentuk tuturan dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Sebaliknya, satu maksud atau tujuan tuturan akan dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda.

4. Tuturan sebagai bentuk tindakan

Pragmatik menangani bahasa dalam suatu tingkatan yang lebih konkret dibandingkan dengan gramatika. Tuturan disebut sebagai suatu tindakan konkret (tindak tutur) dalam suasana tertentu. Segala hal yang berkaitan dengannya, seperti jati diri penutur dan mitra tutur yang terlibat, waktu, dan tempat dapat diketahui secara jelas.

5. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan pada dasarnya adalah hasil tindak verbal dalam aktivitas bertutur sapa. Oleh sebab itu, tuturan dibedakan dengan kalimat. Kalimat adalah entitas produk struktural, sedangkan tuturan adalah produk dari suatu tindak verbal yang muncul dari suatu pertuturan.

2.2.1.1.2 Tindak Tutur

Dalam usaha untuk mengungkapkan diri mereka, orang-orang tidak hanya menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur-struktur gramatikal saja, tetapi mereka juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan itu (Yule, 2006: 81). Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan disebut tindak tutur.

Tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan akan mengandung tiga tindak saling berhubungan. (1) Tindak lokusi, yang merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna. (2) Tindak ilokusi, ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Kita membentuk tuturan dengan beberapa fungsi di dalam pikiran. Misalnya, kita menuturkan untuk membuat suatu pertanyaan, tawaran, penjelasan atau maksud-maksud komunikatif lainnya dari kalimat atau ujaran yang kita sampaikan kepada lawan tutur kita. (3) Tindak perlokusi merupakan akibat dari tuturan yang memiliki fungsi dari penutur, dengan bergantung pada keadaan, penutur berasumsi bahwa mitra tutur atau pendengar akan mengenali akibat yang ditimbulakan (misalnya untuk menerangkan aroma, atau meminta pendengar untuk meminum kopi yang telah dibuat).

Menurut George Yule (2006: 92-94), jenis-jenis tindak tutur ada 5 jenis yaitu, deklarasi, resentatif, ekspresif, direktif, dan komisif.

1. Deklarasi

Contoh:

Wasit : "Anda ke luar!".

Contoh di atas menggambarkan, penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pada waktu mengubah deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

2. Representatif

Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan (termasuk dalam modus berita). Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian.

Contoh: "Chomsky tidak menulis tentang kacang".

Pernyataan di atas merupakan pernyataan suatu fakta dan penegasan, bahwa Chomsky diyakini oleh penutur tidak menulis tentang kacang. Pada waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).

3. Ekspresif

Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ini mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan.

Contoh: "Sungguh saya minta maaf".

Pada contoh tersebut, tindak tutur itu disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuannya menyangkut

pengalaman penutur. Pada waktu menggunakan ekspresif penutur menyesuaikan kata-kata dengan dunia (perasaannya).

4. Direktif

Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran, yang bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif.

Contoh: Dapatkah anda meminjami saya sebuah pena?

Contoh di atas merupakan permohonan dari penutur terhadap mitra tutur. Pada waktu menggunakan direktif penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan kata (lewat pendengar).

5. Komisif

Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk meningkatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, ikrar, dan lain sebagainya. Tindak tutur ini dapat ditampilakan sendiri oleh penutur sebagai anggota kelompok.

Contoh: "Saya akan kembali".

Contoh di atas merupakan tindak tutur yang berupa janji. Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur).

Sejalan dengan itu Searle dalam Leech (1993: 163) mengklasifikasikan tindakan ilokusi berdasarkan pada berbagai kriteria. Secara garis besar, kategori Searle dalam Leech (1993: 164-165) ialah sebagai berikut.

1. Asertif

Pada ilokusi ini penutur terikan pada kebenaran tuturan yang diujarkan. Tuturan ilokusi ini misalnya, menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan.

2. Direktif

Ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan petutur. Ilokusi ini misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasehat.

3. Komisif

Pada ilokusi ini penutur sedikit banyak terikan pada suatu tindakan di masa depan. Ilokusi in misalnya, menjajikan, menawarkan, berkaul.jenis ilokusi ini tidak mengacu pada kepentingan penutur, tetapi pada kepentingan petutur.

4. Ekspresif

Ilokusi ini berfungsi untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Ilokusi ini misalnya, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.

5. Deklarasi

Jika pelaksanan ilokusi ini berhasil maka akan mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi tuturan dengan kenyataan. Ilokusi ini misalnya, mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat (pegawai) dan sebagainya.

Kelima fungsi umum tindak tutur beserta sifat-sifat kuncinya terangkum dalam tabel berikut Yule (2006: 94-95).

Tabel 1

5 Fungsi Umum Tindak Tutur

Tipe tindak tutur Arah penyesuaian P=penutur X=situasi

Deklarasi Kata mengubah dunia P menyababkan X Ref\presentatif/ Asertif Kata disesuaikan dengan dunia P menyakini X Ekspresif Kata disesuaikan dengan dunia P merasakan X Direktif Kata disesuaikan dengan kata P menginginkan X Komisif Kata disesuaikan dengan kata P memaksudkan X

Terdapat 3 bentuk struktural, yakni : deklaratif, interogatif, dan imperatif. Selain itu juga terdapat tiga fungsi komunikasi, yakni : pernyataan, pertanyaan, perintah. Jika terdapat hubungan antara struktur dengan fungsi, maka terdapat suatu tindak tutur langsung dan apabila ada hubungan tidak langsung antara struktur dengan fungsi maka terdapat suatu tindak tutur tidak langsung (Yule, 2006: 92-94).

Contoh:

Konteks : Kamar Putri begitu kotor, terlihat kertas-kertas berserakan dan lantai yang berdebu.

1. Bersihkan kamarmu! (tindak tutur langsung)

2. Apa tidak malu jika nanti temanmu datang ke kamar? (tindak tutur tidak langsung)

3. Biasanya kamar anak perempuan selalu bersih. (tindak tutur tidak langsung) Putu Wijana dan Rohmadi (2009: 28-30) membagi tindak tutur berdasarkan kesesuaian maksud pembicara dengan makna kata-kata yang menyusunnya, yang dimaksud disini adalah tindak tutur literal dan non literal :

1. Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya (makna secara semantis).

2. Tindak tutur nonliteral adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya.

Contoh tindak tutur literal:

Konteks : Ketika melewati rumah Reno, Siti melihat mobil Reno yang telah selesai dicucinya.

Wahyu : wah, mobilmu bersih sekali. Contoh tindak tutur nonliteral:

Konteks : Reno mengendarai mobilnya saat hujan turun dan melewati jalanan yang becek.

Terdapat beberapa macam tindak tutur lainnya yang timbul karena adanya persinggungan atau keterkaitan antara tindak tutur langsung-tidak langsung dengan tindak tutur literal-tidak literal. Bentuk-bentuk tindak tutur tersebut antara lain:

1. Tindak Tutur Langsung Literal

Tindak tutur langsung literal adalah tindak tutur yang modus tuturan (berkaitan dengan jenis kalimat yang digunakan) memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.

Contoh :

Konteks : Didalam kelas, para siswa membuat gaduh saat pelajaran berlangsung.

Guru : Anak-anak diam!

2. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal

Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur.

Contoh :

Konteks : Nia dan Riri akan melakukan perjalanan menuju rumah Reno, padahal cuaca saat itu mendung dan angin berhembus sangat kencang. Nia : Ri, dengan cuaca yang seperti ini, tidak mungkin kita melakukan perjalanan.

3. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal

Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.

Contoh:

Konteks : Riri dan Reno sedang duduk berdua di kantin. Riri sedang serius menghabiskan makanannya, tetapi Reno asik mencurahkan isi hatinya kepada Riri.

Riri : Bicara saja terus!

4. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal

Tindak tutur tidak langsung tidak literal merupakan tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan.

Contoh :

Konteks: Pukul 07:30 WIB, Nia baru sampai kelas. Padahal pelajaran sudah dimulai pukul 07:00 WIB.

Dosen : Sekarang jam berapa ?

2.2.1.1.3 Kaidah Kesantunan Berbahasa

Ada berbagai ukuran untuk menilai atau mengukur apakah sebuah tuturan dinilai santun atau tidak. Selain unsur bahasa, unsur di luar bahasa sangat berpengaruh dalam penentuan kesantunan berbahasa ini. Pranowo (2012: 51) mengungkapkan beberapa alasan mengapa fenomena kesantunan

dan ketidaksantunan terus terjadi di masyarakat, antara lain (1) tidak semua orang memahami kaidah kesantunan, (2) ada yang memahami kaidah tetapi tidak mahir menggunakan kaidah kesantunan, (3) ada yang mahir menggunakan kaidah kesantunan tetapi tidak mengetahui bahwa yang digunakan adalah kaidah kesantunan dan (4) tidak memahami kaidah kesantunan dan tidak mahir dalam kesantunan.

Kaidah dalam kesantunan memang sulit dibuat, karena jika kaidah kesantunan disusun, dalam praktiknya akan banyak dilanggar sehingga kaidah menjadi tidak efektif dan tidak fungsional. Kelaziman yang dipakai oleh para pakar pragmatik untuk menyebut istilah kaidah digunakan istilah lain, seperti prinsip (Grice,1975), keteraturan (Brown dan Levinson,1978), maksim (Leech, 1983).

Beberapa parameter yang dibuat para pakar pragmatik untuk mengetahui kesantunan tersebut akan diuraikan pada bagian di bawah ini. 1. Prinsip Kerja Sama Grice

Agar tuturan dapat diterima secara efektif, peserta tutur patut mempertimbangkan secara seksama aspek-aspek pragmatik yang terlibat atau mungkin terlibat dalam suatu proses komunikasi. Pertuturan akan berlangsung dengan baik apabila penutur dan lawan tutur dalam pertuturan itu menaati prinsip-prinsip kerja sama seperti yang dikemukakan oleh Grice dalam Chaer (2010: 34). Dalam kajian pragmatik, prinsip itu disebut maksim, yakni berupa pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran. Setiap penutur diharapkan untuk menaati empat maksim kerjasama, yaitu maksim kuantitas

(maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim cara (maxim of manner).

Grice menjabarkan prinsip kerja sama menjadi empat maksim dan beberapa submaksim seperti di bawah ini.

1. Maksim kuantitas: Berilah jumlah informasi yang tepat. (a) Buatlah sumbangan Anda seinformatif mungkin.

(b) Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif daripada yang diinginkan.

2. Maksim kualitas: Cobalah membuat sumbangan atau kontribusi Anda merupakan suatu yang benar.

(a) Jangan katakan apa yang Anda yakini salah. (b) Jangan katakan apa yang Anda tidak tahu persis. 3. Maksim relasi: Jagalah kerelevansian.

4. Maksim cara: Tajamkanlah pikiran. (a) Hindarilah ketidakjelasan ekspresi. (b) Hindarilah ketaksaan (ambiguitas).

(c) Berilah laporan singkat (hindarilah laporan yang bertele-tele). (d) Tertib dan rapilah selalu.

Berikut uraian maksim-maksim kerja sama satu per satu oleh Chaer (2010: 34-38).

1) Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menjelaskan bahwa setiap penutur diharapkan memberi informasi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tutur.

Bagian-bagian tuturan yang sama sekali tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur akan dapat menandai pelanggaran maksim ini bila dipaksa untuk disampaikan. Jadi, jangan berlebihan.

Contoh:

A : Ayam saya sudah bertelur

B : Ayam saya yang betina telah bertelur

Tuturan A di atas telah menaati maksim kuantitas, sedangkan tuturan B tidak, karena berlebihan. Dengan adanya kata betina pada tuturan B yang sebenarnya tidak perlu, karena semua ayam yang bertelur sudah pasti betina. Jadi, kata betina pada tuturan itu memberi informasi yang tidak perlu.

2) Maksim Kualitas

Maksim kualitas menjelaskan bahwa setiap peserta tutur diharapkan menyampaikan sesuatu yang benar-benar nyata atau hal yang sebenarnya, hal yang sesuai dengan data dan fakta.

Contoh:

1) A: Coba kamu Ahmad, kota Makassar ada di mana ? B: Ada di Sulawesi selatan, Pak.

2) A: Deny, siapa presiden pertama Republik Indonesia ? B: Jendral Suharto, Pak!

A: Bagus, kalau begitu Bung Karno adalah presiden kedua, ya.

Tuturan (1) sudah menaati maksim kualitas karena kata Makassar memang berada di Sulawesi Selatan. Namun, pada tuturan (2) A memberikan kontribusi yang melanggar maksim kualitas dengan mengatakan Bung Karno

adalah presiden kedua Republik Indonesia. Karena dengan kontribusi A yang melanggar itu, kemudian B secara cepat akan mencari jawaban mengapa A membuat pernyataan yang salah itu.

3) Maksim Relevansi

Maksim relevansi menjelaskan bahwa setiap peserta percakapan hendaknya memberikan kontribusi yang relevan dengan sesuatu yang sedang dipertuturkan.

(1) A: Bu, ada telepun untuk ibu ! B: Ibu sedang di kamar mandi, Nak.

(2) A: Pak, tadi ada tabrakan bajaj dan bemo di depan apotek B: Mana yang menang ?

Pada tuturan (1) sepintas jawaban B tidak berhubungan, namun bila disimak baik-baik hubungan itu ada. Jawaban (1) B mengimplikasikan atau menyiratkan bahwa saat itu si B tidak dapat menerima telepon secara langsung karena sedang berada di kamar mandi. Maka B secara tidak langsung meminta agar si A menerima telpon itu. Bandingkan dengan komentar (2) B terhadap si A tidak ada relevansinya, sebab dalam peristiwa tabrakan tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Kedua pihak sama-sama mengalami kerugian.

4) Maksim Cara

Maksim cara menjelaskan bahwa setiap peserta percakapan hendaknya selalu bertutur sapa secara langsung, secara jelas, tidak berlebih-lebihan, dan runtut.

Contoh:

(1) A: Kamu datang ke sini mau apa ? B: Mengambil hak saya.

(2) A: Barusan kamu dari mana ? B: Dari belakang, habis b-e-r-a-k

Pada tuturan (1) tidak menaati maksim cara karena bersifat ambigu. Kata hak saya bisa mengacu pada hak sepatu bisa juga pada sesuatu yang menjadi miliknya. Sedangkan pada tuturan (2) termasuk menaati maksim cara yaitu dengan mengeja huruf demi huruf kata berak. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengucapan kata tabu dan menjaga kesopanan.

Leech dalam Nadar (2008: 28) berpendapat bahwa prinsip kerja sama yang ditawarkan oleh Grice (1975) tidak selalu dapat menjawab pertanyaan mengapa dalam penuturan peserta tutur cenderung menggunakan cara yang tidak langsung untuk menyatakan apa yang mereka maksudkan, sehingga tidak mengindahkan maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice tersebut. Melihat hal tersebut, ada beberapa pakar linguis yang menelaah, tetapi tidak berteori, tentang ilokusi tidak langsung itu dalam kaitannnya