• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Penelitian dan Pengembangan (Research and Development/R&D)

Penggunaan metode R&D dalam dunia pendidikan dapat dikatakan terlambat. Keterlambatan penggunaan metode R&D dapat terjadi karena metode ini pertama kali muncul dan berkembang di dunia militer/pertahanan. Godin (dalam Putra, 2015) menjelaskan bahwa metode R&D pertama kali digunakan di Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Penggunaan terhadap metode R&D yang semakin tinggi, akhirnya membuat metode ini terus berkembang dan dimanfaatkan dalam bidang pendidikan. Robert M. Gagne, seorang ahli pendidikan yang terkemuka terkait karyanya yakni Instructional System Design (ISD) dan The Condition of Learning (TCL), akhirnya mencatatkan dirinya sebagai orang yang pertama kali menggunakan metode R&D di bidang pendidikan (Putra, 2015: 27). Gagne mengembangkan ISD dan TCL sewaktu masih bekerja sebagai ahli di Military Research and Development.

14 Proses terbentuknya metode R&D yang cukup panjang dan menyangkut beberapa bidang kehidupan, menjadikan pemahaman tentang pengertian metode R&D menjadi beragam. Beberapa ahli pendidikan, Borg and Gall (1983), Sukmadinata (2011: 164), Sanjaya (2013: 129-133), Putra (2015: 67) mendefinisikan metode penelitian dan pengembangan sebagai sebuah metode penelitian yang bertujuan untuk mencaritemukan, memperbaiki/mengembangkan produk yang telah ada, atau justru menghasilkan produk baru dan kemudian menguji keefektifan produk tersebut. Produk yang dikembangkan atau yang dihasilkan dapat berupa suatu buku, modul, alat, metode, prosedur, kurikulum, program komputer, atau model pembelajaran dengan harapan semakin unggul, efektif, efisien, dan bermakna.

Terdapat beberapa macam desain metode penelitian dan pengembangan dari beberapa ahli seperti Borg & Gall (1983) dan Dick & Carey (2003). Peneliti pun memutuskan untuk menggunakan desain penelitian dan pengembangan menurut Tomlinson. Tomlinson dianggap sebagai salah satu ahli terkemuka dunia pada pengembangan materi untuk pembelajaran bahasa (Aneheim University, 2016). Penelitian ini menggunakan metode pengembangan menurut Tomlinson dikarenakan lebih memfokuskan pada pengembangan materi pembelajaran. Terdapat 5 langkah kegiatan yang dapat dilakukan dalam desain pengembangan materi menurut Tomlinson (dalam Harsono, 2015).

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah analisis kebutuhan siswa

(Students’s need analysis). Pengembangan materi dilakukan dengan dasar pada analisis kebutuhan siswa. Identifikasi kebutuhan siswa terlebih dahulu dilakukan untuk mengetahui apa yang akan dan seharusnya diterima atau dipelajari dan apa yang tidak. Materi yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan siswa, tentunya akan memiliki pengaruh positif bagi perkembangan dan kemajuan diri siswa serta lebih bermakna. Desain (Design) merupakah langkah kedua yang dapat dilakukan setelah menganalisis kebutuhan siswa. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengawali desain pengembangan materi adalah dengan menyusun garis besar materi

15 pembelajaran. Garis besar pembelajaran sebaiknya disusun dan dipertimbangkan dengan silabus, kebutuhan siswa, dan prinsip-prinsip pengembangan materi.

Langkah ketiga yang perlu dilakukan adalah implementasi (Implementation). Garis-garis besar pembelajaran yang sudah disusun oleh guru, kemudian dilaksanakan/diimplementasikan kepada siswa dalam suasana belajar mengajar yang nyata. Hasil implementasi materi dalam suasana belajar mengajar yang nyata perlu untuk di analisis kelemahan dan kelebihannya. Proses analisis kelemahan dan kelebihan materi yang dilakukan merupakan bentuk langkah kegiatan keempat yakni evaluasi (Evaluation). Langkah terakhir yang dilakukan adalah melakukan revisi (Revision). Hasil dari evaluasi terhadap implementasi materi yang dikembangkan, dapat dijadikan sebagai bahan refleksi dan referensi untuk memperbaiki atau mengubah dan merevisi suatu materi. Kegiatan ini memungkinkan terbentuk dan berkembangnya suatu materi yang semakin berkualitas.

2.1.2 Pengembangan Materi

Tomlinson (2005) menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan pengembangan materi adalah pengembangan terhadap bahan-bahan apapun yang dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan pembelajaran. Materi tersebut dapat berbentuk seperti buku teks, buku kerja (LKS), kaset, CD-ROM, DVD, video, handout, dan dari internet. Pengembangan material pembelajaran perlu memenuhi setidaknya 16 prinsip sesuai dengan apa yang diringkas oleh Tomlinson. Prinsip-prinsip yang disampaikan oleh Tomlinson tersebut lebih dikhususkan kepada pengembangan material pembelajaran bahasa. Peneliti kemudian menentukan sepuluh (10) prinsip dari enam belas (16) prinsip yang diyakini relevan dengan penelitian ini.

Penelitian ini mengupayakan tercapainya ke sepuluh prinsip pengembangan materi menurut Tomlinson (2005: 1-24). Prinsip yang pertama yaitu memiliki pengaruh bagi pembelajar. Materi yang disusun diharapkan dapat memancing rasa keingintahuan, ketertarikan, dan perhatian pembelajar. Pengaruh dapat tercapai ketika suatu materi itu dipegang dan kemudian dibaca oleh pembelajar. Pembelajar pun akan

16 memperoleh kesempatan untuk menerima informasi-informasi yang dihadirkan dalam suatu materi yang nantinya akan diproses sebagai bentuk kegiatan berpikir. Materi yang disusun juga perlu mengupayakan prinsip kedua yakni diharapkan dapat membuat pembelajar merasa nyaman, senang, dan bahagia. Materi diharapkan dapat menumbuhkan rasa nyaman dan kemerdekaan hati sehingga nantinya akan muncul perasaan senang dan bahagia dalam diri pembelajar. Materi dapat membantu pembelajar untuk merasakan kenyamanan dan kebahagiaan jika memenuhi setidaknya beberapa kriteria antara lain berisikan teks dan ilustrasi/gambar, bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh pembelajar, dan berisikan contoh-contoh atau petunjuk.

Prinsip ketiga yang sebaiknya dipenuhi adalah dapat mengembangkan kepercayaan diri pembelajar. Dulay, Burt, dan Krashen (dalam Harsono, 2015: 171) menyampaikan bahwa kenyamanan dan kepercayaan diri berkembang lebih cepat. Pembelajar dapat dengan lebih mudah mengembangkan kepercayaan diri mereka jika materi yang diterima tidak terlalu rumit akan tetapi berpotensi untuk mengembangkan kemampuan mereka. Materi juga diharapkan relevan untuk pembelajar sehingga dapat memenuhi prinsip keempat. Materi yang diberikan sebaiknya disesuaikan dan memperhatikan latar belakang tingkat kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik, sosial, dan ekonomi pembelajar. Materi tersebut juga diharapkan dapat berguna bagi kehidupan pembelajar sehari-hari.

Prinsip kelima yang sebaiknya dipenuhi yaitu dapat membuat pembelajar tertarik. Pembelajar akan tertarik untuk mempelajari materi dengan diri mereka sendiri. Ketertarikan dari pembelajar terhadap materi dapat terjadi jika materi dapat memberikan penjelasan atau dengan kata lain dapat memenuhi prinsip keenam. Materi sebaiknya memberikan pencerahan bagi pembelajar dengan menghadirkan petunjuk atau nasihat kegiatan sehingga memudahkan pembelajar untuk memahaminya. Prinsip selanjutnya yang perlu dipenuhi adalah prinsip ketujuh yakni memperhatikan gaya belajar yang berbeda dalam diri masing-masing pembelajar. Tidak semua pembelajar memiliki gaya belajar yang sama. Materi sebaiknya

17 mengupayakan untuk menyediakan bentuk-bentuk kegiatan yang mengupayakan perkembangan seluruh kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan memanfaatkan sarana berpikir seperti panca indera pembelajar.

Materi juga diharapkan dapat memenuhi prinsip kedelapan yakni memperhatikan sikap afektif yang berbeda dalam diri masing-masing pembelajar. Materi perlu memperhatikan sikap afektif yang dimiliki oleh beragam pembelajar, oleh karena itu sebaiknya suatu materi dapat menyediakan bentuk kegiatan secara individual atau pun kelompok. Prinsip kesembilan yang sebaiknya dipenuhi adalah dapat memberdayakan kemampuan intelektual, estetika, emosional, dan menstimulasi otak kanan dan kiri. Materi dapat membantu pembelajar mengembangkan kemampuan berpikir, pengolahan emosi, estetika seni, dan menyediakan kegiatan yang melatih otak kanan dan kiri pembelajar. Prinsip terakhir atau prinsip kesepuluh yang sebaiknya dipenuhi adalah terwujudnya feedback. Materi mendorong siswa untuk memberikan respon positif atas informasi/kegiatan yang sudah diterima oleh pembelajar. Suatu materi yang dikembangkan berdasarkan 10 prinsip pengembangan materi menurut Tomlinson, diharapkan dapat membantu pelaksanaan pembelajaran sehingga memungkinkan terwujudnya proses pendidikan yang efektif dan bermakna. 2.1.3 Pendidikan

Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, yakni Prof. J. Sudarminto, SJ., pernah menyampaikan pandangannya mengenai konsep pendidikan yang baik untuk diterapkan di Indonesia dalam Seminar Peringatan Dies Natalies Universitas Sanata Dharma (USD) ke-58 dengan tema “Konsep Pendidikan

Driyarkara: Esensi, Sosial-Histori, dan Aktualisasi” yang diselenggarakan hari Kamis tanggal 12 Desember 2013. Sudarminto berpendapat bahwa salah satu konsep pendidikan yang dinilai relevan dengan kondisi Indonesia saat ini adalah konsep pendidikan menurut Prof. Driyarkara, SJ (Universitas Sanata Dharma, 2013, Wardhana dalam Solopos.com, 2013).

18 “Eidos” atau ide pokok dari pendidikan dalam pandangan Driyarkara (1980: 78) dimaknai sebagai sebuah proses memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf yang insani. Manusia muda dapat diartikan sebagai seorang anak kecil yang baru memasuki sebuah dunia dan belum mampu untuk menempatkan diri. Anak tersebut sedang berusaha untuk melakukan perjalanan ke arah kemanusiaannya, namun dipandang sebagai manusia yang belum mampu mencapai kemanusiannya. Pandangan ini didasarkan pada gambaran konkrit manusia seperti yang diharuskan sesuai kebudayaan yang ada menurut pendidik.

Pendidik pun bertanggungjawab untuk membantu anak dalam usaha untuk berbuat/bertindak sesuai kodratnya sebagai manusia sesuai dengan umur dan kemampuannya. Tindakan dari pendidik dan anak, akan menyatu dan menjelma menjadi sebuah perbuatan baru dalam diri anak sesuai ukuran mereka. Tindakan tersebut memungkinkan anak menjadi human atau sesuai dengan taraf insani. Dinamika yang terjalin antara pribadi pendidik dan pribadi anak didik, akan menyatukan mereka dalam pertemuan yang mendalam. Aku dari pendidik dan aku dari anak didik akan bersatu menjadi “kita”, dan mengangkat aku anak didik menjadi aku pendidik. Pengangkatan terhadap aku anak didik menjadi aku pendidik ini disebut sebagai proses hominisasi dan humanisasi.

Hominisasi dan humanisasi merupakan satu kesatuan dan tidak ada sekat/batasnya. Hominisasi dapat dimaknai sebagai sebuah usaha untuk memanusiakan manusia muda agar mampu berdiri, bergerak, bersikap, atau bertindak sebagai manusia dalam taraf yang minimal/sederhana. Namun demikian, manusia diharapkan tidak hanya menjadi homo (manusia), melainkan juga harus menjadi homo yang human (dalam artian berkebudayaan tinggi). Proses ini disebut sebagai humanisasi, yang artinya bahwa manusia muda diarahkan untuk mencapai taraf yang lebih sempurna. Tingkat humanisasi adalah tingkat kebudayaan yang lebih tinggi yang memungkinkan manusia mampu mengangkat alam menjadi alam manusiawi (Driyarkara, 1980: 74-90).

19 M.Heidegger seorang filsuf dari Jerman berpendapat bahwa pendidikan seyogyanya perlu untuk diperbaharui (membutuhkan renaissance) agar manusia dapat berkembang dengan lebih baik. Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Driyarkara, dipandang sebagai pilihan tepat untuk memperbaharui pendidikan di Indonesia, dikarenakan sangat mendukung dan menerapkan konsep pendidikan dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila (Sastrapratedja, 2013: 325).

Paidea sebagai konsep pendidikan yang termasuk tua dari Yunani, dapat dipahami sebagai proses pembangunan manusia. Orang Romawi menganggap bahwa pembangunan manusia dapat dilakukan melalui model pendidikan yang menerapkan prinsip humanitas. Prinsip pendidikan yang digagas oleh Driyarkara tentu selaras dengan model pendidikan humanitas, khususnya humanisme renaissance. Humanisme renaissance dapat diartikan sebagai sebuah proses pendidikan yang menekankan kebebasan manusia untuk membentuk dirinya sendiri (Sastrapratedja, 2013: iii-iv)

Prinsip humanisasi dalam pendidikan dapat kita temukan juga dalam konsep pendidikan menurut Paulo Freire, Ira Shor, Henry Giroux, dan Peter McLaren. Pendidikan yang ditawarkan oleh para ahli pendidikan tersebut dikenal dengan nama Pendidikan Emansipatoris. Mengutip pendapat Freire (Nouri dan Sajjadi, 2014), humanisasi dapat dipahami sebagai pemberdayaan kesadaran kritis yang dimiliki guru dan murid terhadap relasi mereka dengan dunia. Pembentukan dunia yang humanis menurut Freire, dapat dilakukan dengan dialog yang mengutamakan cinta, kerendahan hati, iman, keyakinan, harapan, dan pemikiran kritis.

Pendidikan Emansipatoris memungkinkan siswa dan guru saling belajar satu sama lain. Budaya baru yang ditawarkan oleh pendidikan emansipatoris adalah menjadikan guru dan murid sebagai pembelajar atau subjek yang sama-sama mempelajari objek yaitu materi pembelajaran. Dialog yang dibangun antara guru dan murid akan menumbuhkan pengetahuan dan pemahaman baru serta menjadikan guru dan murid bersama-sama saling memberdayakan satu sama lain. Dialog dalam pendidikan emansipatoris sebaiknya mengambil tema nyata dalam kehidupan

sehari-20 hari dan sesuai dengan tingkat perkembangan siswa (Sastrapratedja, 2013, Nouri dan Sajjadi, 2014, Winarti dan Anggadewi, 2015).

Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) atau Pedagogi Ignasian dianggap sebagai salah satu model pendidikan emansipatoris (Winarti dan Anggadewi, 2015: 54). Pendekatan ini merupakan bentuk Latihan Rohani yang diajarkan oleh Santo Ignatius dari Loyola. Terdapat lima bentuk kegiatan yang saling berkaitan sebagai siklus dalam PPR, antara lain yaitu konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi (Suparno, 2015: 11, 21-41, Peterson dan Nielsen dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 55).

Dalam tahapan konteks, pembelajar akan berusaha untuk mengidentifikasi sebuah konteks yang dihadirkan oleh pendidik. Pembelajar akan didorong untuk mengidentifikasi tentang keberadaan pribadi pembelajar dalam konteks dunia yang lebih luas. Pembelajar kemudian dihadapkan pada sebuah kegiatan yang berkaitan dengan konteks dengan tujuan untuk mendapatkan pengalaman. Pengalaman yang dihadirkan oleh guru, sebaiknya dilakukan dan dialami sendiri oleh pembelajar dengan harapan dapat menyentuh hati, pikiran, kehendak, dan perasaan pembelajar. Pembelajar akan terbantu untuk mendalami bahan dan mengambil makna yang mendalam dari bahan yang telah dipelajari melalui pengalaman tersebut.

Proses pengambilan makna yang mendalam dalam tahapan pengalaman, memungkinkan pembelajar untuk semakin menyadari pengalaman pribadinya hingga mencapai tahapan refleksi. Tahapan refleksi ini akan mendorong pembelajar untuk semakin menggali pengalaman mereka sedalam dan seluas-luasnya dan mengambil makna bagi hidup pribadi, hidup bersama, dan hidup bermasyarakat. Fakta lain dari kegiatan refleksi adalah membuat pembelajar semakin mampu dan berani menentukan pilihan-pilihan hidup serta menanggapi konsekuensinya.

Mengutip pendapat Mezirow (dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 55), bahwa melalui refleksi kritis yang dilakukan terus menerus akan membantu pembelajar untuk menemukan cara pandang baru hingga mengidentifikasi berbagai pilihan hidup. Tahapan aksi menjadi kegiatan lanjut setelah pembelajar menentukan

21 pilihannya. Aksi nyata yang dapat dilakukan oleh pembelajar antara lain bersikap untuk merubah hidup/kepribadian menjadi lebih baik atau berkarya bagi orang lain.

Seluruh proses PPR termasuk dalam proses pendidikan, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi untuk mengupayakan kebaikan leih bagi pendidik dan pembelajar. Melalui evaluasi, proses PPR yang belum berjalan baik akan diperbaiki dan bila sudah berjalan dengan baik maka akan dikembangkan. Pendekatan PPR diyakini dapat mengembangkan kesadaran dan memotivasi seorang pembelajar untuk berkarya bagi dirinya, bagi orang lain, dan lingkungan di sekitarnya.

2.1.4 Kesadaran dan Kepedulian

Dalam pandangannya mengenai kesadaran, Ginintasasi (2011) mendefinisikan kesadaran pada dasarnya adalah kegiatan berpikir. Seseorang dikatakan sadar jika memiliki kendali penuh atas dirinya terhadap stimulus-stimulus yang membentuk dirinya, baik stimulus internal dan eksternal (Solso & Maclin, 2008: 240). Bloom (dalam Jamanti, 2014: 24) membagi 3 ranah untuk menilai kesadaran seseorang, antara lain kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga ranah dari Bloom ini dimodifikasi menjadi pengetahuan, sikap, dan perilaku seiring perkembangannya (Notoatmodjo dalam Jamanti, 2014).

Pengetahuan merupakan ranah pertama yang dapat digunakan untuk menilai kesadaran seseorang. Pengetahuan didapatkan seseorang ketika orang tersebut telah melakukan pengindraan terhadap objek di sekitar mereka. Dalam ranah ini, terdapat 6 tingkatan aspek untuk menilai kesadaran, yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation).

Sikap merupakan ranah kedua yang dapat digunakan untuk menilai kesadaran seseorang. Bentuk kesiapan dan kesediaan diri untuk bertindak adalah pengertian sederhana dari sikap (Newcomb dalam Jamanti, 2014: 25). Dalam ranah ini, terdapat 4 tingkatan aspek untuk menilai kesadaran, aspek pertama yang dapat digunakan adalah menerima (receiving). Aspek ini dikatakan tercapai ketika seseorang (subjek)

22 bersedia dan memperhatikan stimulus yang ada dalam dirinya atau pun yang diberikan oleh lingkungan.

Merespon (responding) merupakan aspek kedua yang dapat digunakan. Contoh dari pencapaian atas aspek ini misalnya seseorang menjawab pertanyaan dari orang lain, menerima atau menolak gagasan dari orang lain, mengerjakan dan menyelesaikan tugas (tanpa memperhatikan kebenaran dari isi pekerjaannya). Aspek selanjutnya atau aspek ketiga adalah menghargai (valuing). Aspek ini dikatakan tercapai ketika seseorang mampu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah bersama. Bertanggungjawab (responsible) merupakan aspek terakhir yang dapat digunakan untuk menilai kesadaran. Seseorang yang bersedia untuk melaksanakan konsekuensi atas segala sesuatu yang terjadi dari pilihan yang sudah ditentukan menunjukkan bahwa dirinya sudah mencapai aspek keempat.

Ranah ketiga yang digunakan untuk menilai kesadaran adalah perilaku (tindakan). Dalam ranah ini terdapat 4 tingkatan aspek untuk menilai kesadaran, aspek pertama yaitu persepsi (perception). Seseorang yang mampu untuk mengenal, memilah, dan memilih berbagai objek yang berkaitan dengan keputusan yang akan diambil maka diyakini sudah mencapai aspek pertama. Aspek kedua yaitu respon terbimbing (guided response), seseorang diharapkan mampu untuk melakukan kegiatan secara urut dan sesuai dengan contoh. Aspek keempat adalah mekanisme (mechanism), seseorang yang mampu untuk melakukan kegiatan dengan benar dengan sendirinya dikarenakan sudah menjadi kebiasaan maka diyakini sudah mencapai aspek keempat. Adopsi (adoption) merupakan aspek terakhir atau aspek keempat yang dapat digunakan. Seseorang diharapkan mampu untuk mencontoh tindakan baik yang dilihat, didengar, dan dirasakannya serta mengembangkannya menjadi lebih baik.

Pendapat dari beberapa ahli pendidikan, Leininger, May, Swanson, Noddings, Bender, Boyatzis dan McKee (dalam Sihombing, 2015) mengenai kepedulian, dapat kita maknai bahwa kepedulian merupakan sebuah perasaan yang muncul dalam diri

23 manusia yang kemudian ditunjukkan dengan sikap dan perbuatan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Kepedulian berawal dari perasaan, namun demikian tidak berarti bahwa hanya berhenti pada perasaan. Kepedulian mendorong adanya perilaku sebagai bentuk dari hadirnya perasaan tersebut.

Terdapat 5 poin penting dalam kepedulian yang digagas oleh Swanson (Sihombing, 2015: 27). Poin pertama dari kepedulian adalah mengetahui. Pada aspek ini, seseorang berusaha untuk memahami kejadian yang bermakna dalam kehidupan orang lain, menilai lebih dalam dengan melihat isyarat verbal dan non-verbal. Poin edua dari kepedulian adalah turut hadir. Kita menunjukkan kehadiran diri kita dalam kehidupan orang lain dengan memberikan perhatian dan melakukan refleksi apakah kehadiran kita mengganggu orang tersebut atau tidak. Poin selanjutnya yakni poin ketiga yaitu melakukan. Kita diharapkan dapat memberikan perhatian yang lebih seperti menghibur, melindungi, menjadikan pribadi orang lain tersebut sebagai bagian dari kepentingan pribadi kita.

Poin keempat dari kepedulian adalah memungkinkan. Kita dimungkinkan untuk bisa menjadi pendengar dan pembicara yang baik, dengan mendengarkan segala keluh kesah dan cerita yang disampaikan, memberikan nasihat, dukungan, dan memberikan solusi kepada orang yang dipedulikan. Poin terakhir atau poin kelima dari kepedulian adalah mempertahankan keyakinan. Kita diharapkan dapat meneguhkan keyakinan dan keputusan yang diambil seseorang yang dipedulikan, agar orang tersebut selalu kuat dan memiliki harapan. Orang yang telah memiliki kepedulian, maka dapat memberikan respon positif terhadap kehadiran orang lain, mampu memahami apa yang dibutuhkan orang di sekitarnya dan kemudian mengekspresikannya dalam sebuah tindakan. Tindakan yang diekspresikan antara lain seperti rela mengorbankan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan yang terbaik bagi orang yang dipedulikan, mengutamakan kebutuhan dan perasaan orang lain, menghargai, rela memberi, membantu, dan berbelas kasih baik kepada orang lain dan lingkungan sekitarnya.

24 2.1.5 Lingkungan

Lingkungan adalah segala hal yang ada di sekitar manusia, mulai dari alam sampai manusia lainnya (Reksadjaja, 1979). Sejalan dengan pendapat di atas, Sarwono (1992: 6), Keraf (2014: 41-43) menambahkan bahwa lingkungan adalah sebuah ekosistem dan alam semesta yang dipahami sebagai oikos, dalam bahasa Yunani dipahami sebagai tempat tinggal atau rumah tempat tinggal. Oikos tidak hanya dipahami sebagai lingkungan di mana manusia hidup, melainkan sebagai keseluruhan alam semesta dan yang menunjang interaksi antara makhluk hidup yang terjalin di dalamnya.

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, manusia dipandang sebagai makhluk yang tidak bisa hidup tanpa kehadiran lingkungan sekitarnya (Winarti dan Anggadewi, 2015: 50-51). Lingkungan menyediakan seluruh kebutuhan hidup manusia, oleh karena itu manusia akan selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi yang dibangun oleh manusia dengan lingkungan akan berlangsung secara terus menerus. Manusia dapat belajar dari lingkungan dan kemudian dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi dapat pula mempengaruhi lingkungan. Pengaruh yang dibuat oleh manusia terhadap lingkungan dapat berlangsung dengan baik, tetapi dapat juga berlangsung dengan buruk. Dampak dari perlakuan manusia terhadap lingkungan tentu akan berpengaruh juga terhadap kualitas kehidupan manusia itu sendiri (Iskandar, 2013: v, Hamzah, 2013: 1).

Prof. Mawardi dalam Seminar Nasional: Symposium on Biologi Education (Symbion) 2016, berpendapat bahwa membangun perilaku manusia dapat dilakukan melalui proses pendidikan dan tidak bisa dilakukan secara singkat. Pendidikan memungkinkan untuk membentuk mental dan perilaku individu selaku manusia seperti yang diharapkan. Manusia dapat bersikap dan berperilaku yang selaras dengan alam ketika “Pendidikan Lingkungan” telah diberikan dan diberikan sepanjang hayat (Hamzah, 2013: 37,44).

Beberapa ahli pendidikan lingkungan, Davis (1998: 148), Stapp (1997: 34), NEEAC (dalam Thomson dan Hoffman, 2002: 6) memaparkan bahwa pendidikan

25 lingkungan merupakan sebuah proses untuk membentuk kesadaran, pemahaman, sikap, dan kebiasaan manusia agar lebih bertanggungjawab terhadap hubungan mereka dengan lingkungan. Individu maupun kelompok yang telah memperoleh pendidikan lingkungan tentunya akan mampu memahami bagaimana alam bekerja, bagaimana mengapresiasi kehadiran alam, dan bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan (Davis, 1998: 146-147).

Pendidikan lingkungan (environmental education) itu berbeda dengan ilmu lingkungan (ecology). Perbedaan yang dapat kita pahami secara sederhana adalah materi yang diberikan dalam ilmu lingkungan itu terbatas pada pengetahuan tentang lingkungan. Pendidikan lingkungan sendiri dapat menjadi sarana penyampaian pengetahuan lingkungan serta untuk mengupayakan peningkatan kesadaran dan kepedulian manusia terhadap kondisi lingkungan (Hamzah, 2013: 35-36). Neolaka (2008) mendefinisikan kesadaran lingkungan sebagai sebuah keadaan tergugahnya jiwa terhadap lingkungan dan dapat terlihat pada perilaku dan tindakan masing-masing individu. Keadaan tergugahnya jiwa inilah yang akan mendorong seseorang untuk menentukan pilihan mana yang baik dan yang buruk bagi lingkungan. Kepedulian lingkungan adalah sikap atau tindakan dengan tujuan untuk mencegah kerusakan pada lingkungan di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk mencegah kerusakan pada lingkungan alam (Narwanti, dalam Handayani, 2013: 25).

Metode yang dapat digunakan untuk memberikan pendidikan lingkungan salah satu diantaranya adalah dengan menyediakan suatu setting atau layanan pembelajaran yang dapat mengarahkan dan menguatkan terwujudnya tindakan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan pada diri siswa (Hungerford dan Volk dalam

Dokumen terkait