• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Kajian Pustaka

Tentu, saya bukanlah orang pertama yang meneliti tentang identitas Cina di Indonesia. Sebelum saya, banyak pemikir dan penulis yang telah mencoba menelaah permasalahaan Cina di Indonesia dengan berbagai pendekatan. Bagian ini adalah wadah yang saya khususkan untuk mengapresiasi pemikiran-pemikiran tersebut. Tidak lupa saya juga berharap dapat mendapatkan posisi yang strategis di antara hasil penelitian-penelitian tersebut agar analisa yang saya lakukan nantinya berhasil memberikan sesuatu dan tidak terjebak dalam pengulangan.

15

E.1. “Negara dan Etnis Tionghoa”5

Saya pikir cukup sulit untuk melakukan penelitian masyarakat Cina di Indonesia

– apapun obyek penelitian dan sudut pandangnya – tanpa terlebih dahulu menjabarkan hasil penelitian-penelitian Leo Suryadinata. Selain karena ia telah banyak menulis tentang masyarakat Cina sejak awal karir intelektualnya (tahun 1970-an), cakupan studinya tentang kondisi masyarakat Cina di Indonesia – bahkan beberapa di antaranya dilakukan melalui perbandingan dengan kondisi di Negara tetangga – sangatlah luas. Di satu sisi, ia dapat berbicara tentang sepak terjang masyarakat Cina di dunia politik serta peranan sosial mereka. Di satu sisi, ia juga dapat bercerita tentang kebudayaan dan tradisi sastra Melayu-Tionghoa di Indonesia. Jadi, saya kira saya harus mencermati terlebih dahulu tulisan-tulisan Leo Suryadinata sebelum melangkah lebih jauh.

Buku yang akan saya kaji di sini adalah Negara dan Etnis Tioghoa yang terbit tahun 2002. Saya memilih buku ini karena buku ini terdiri dari esai-esai Leo Suryadinata yang ditulis dari berbagai tahun dan kesempatan. Artinya, buku ini mencakup berbagai isu dari berbagai masa di Indonesia menggunakan sudut pandang yang mungkin beragam. Namun ada sebuah sudut pandang yang membuat esai-esai ini dapat dikumpulkan ke dalam satu buku tanpa membuat pembacanya kebingungan, yaitu semua esai ini menganalisa tentang tanggapan Negara terhadap masyarakat Cina. Di kesempatan ini saya tidak akan menjabarkan seluruh tulisan yang ada di buku. Saya hanya akan mengarahkan konsentrasi pada dua tulisan saja – Etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia dan Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia - karena kedua tulisan ini adalah tulisan paling komperhensif dan representatif di buku ini dilihat dari kedalaman data dan panjangnya. Di tulisan pertama dalam buku tersebut yang

5

Negara dan Etnis Tionghoa (2002) adalah buku yang ditulis Leo Suryadinata. Leo Suryadinata adalah seorang pakar etnisitas dan memiliki perhatian khusus terhadap kondisi etnis Cina di Indonesia. Tulisan-tulisannya seputar etnis Cina sudah tak terhitung jumlahnya. Buku ini sendiri merupakan kumpulan esainya yang mencakup permasalahan politik, sosial hingga kebudayaan di Indonesia dalam kaitannya dengan keberadaan etnis Cina.

16

diberi tajuk Etnis Tionghoa di Asia Tenggara dan Indonesia,6 Leo Suryadinata menunjukkan berbagai permasalahan terkait identitas Cina – yang terkadang dianggap non-pribumi – di negara-negara Asia Tenggara. Menurut Leo Suryadinata, masyarakat Cina pada awalnya memang adalah orang asing yang datang ke Negara-negara di Asia Tenggara untuk mencari penghidupan baru. Jumlahnya terus meningkat seiring dengan kolonialisme yang semakin mapan. Di bukunya Leo Suryadinata menulis, “[l]owongan kerja dan kesempatan baru ini menarik etnis Tionghoa ke daerah yang dulu dikenal sebagai Nanyang. Nanyang adalah istilah Tionghoa yang berarti Samudera Selatan”.7 Setelah Negara-negara di Asia Tenggara, menurut Leo Suryadinata, terjadi permasalahan dengan para pemukim Cina tersebut. Beberapa di antara mereka menjadi pribumi melalui proses pembauran. Akan tetapi, sebagian lainnya tetap dianggap menjadi non-pribumi alias warga asing. Karenanya pemerintah baru di Negara-negara tersebut – salah satunya Indonesia – membuat kebijakan-kebijakan terkait dengan identitas para pemukim asal Cina tersebut. Ternyata, beberapa pemerintah tidak selalu memiliki pendekatan yang sama dari waktu ke waktu terhadap pemukim asal Cina tadi sesuai dengan perkembangan politik dan konseptualisasi Negara dan bangsanya. Di beberapa negara seperti Filipina dan Thailand, perubahan kewarganegaraan para pemukim Cina tadi berjalan cenderung mulus “karena cenderung mendefinisikan bangsa dalam terminologi budaya”.8

Proses pembauran ini dimulai sejak tahun 1970-an. Akan tetapi di Negara lain seperti Vietnam permasalahannya lebih rumit. Setelah penggabungan antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, kebijakan luar negeri Vietnam yang telah bersatu berubah arah dan condong ke arah Anti-Komunis (Baca : Anti-Cina) – terima kasih pada perang Amerika di Vietnam – sehingga muncul sentimen pada warga asal Cina. Di sini terlihat sekali bahwa identitas pribumi dan non-pribumi yang dihadapi masyarakat Cina adalah masalah yang ditinggalkan oleh

6

Tulisan ini adalah makalah yang dipresentasikan pada sebuah sidang khusus pada Musyawarah Keluarga Besar Ke-I Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) di Batam pada tanggal 29 November 2000.

7 (Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, p. 8) 8

17

kolonialisme. Bagaimana kondisinya di Indonesia? Itu juga pertanyaan yang dilontarkan Leo Suryadinata ketika memulai membahas Indonesia.

Untuk kasus Indonesia, Leo Suryadinata memang membahasnya dengan rinci karena memang tujuan tulisan-tulisannya adalah untuk mencari pemecahan masalah identitas Cina di Indonesia. Leo Suryadinata membaca bahwa terus dipercayanya ke-non-pribumi-an masyarakat Cina merupakan dampak langsung dari proses kolonialisme di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan keduanya yang telah saya sebut di atas, di masa ketika Indonesia masih berada di bawah kekuasaan VOC, penduduk Hindia-Belanda dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan agama dan ras: Kristen, Islam dan Non-Kristen. Setelah kebangkrutan VOC dan Hindia-Belanda diambil-alih oleh Kerajaan Belanda, subyek-subyek kekuasaannya dibagi ke dalam empat kelompok: kulit putih, orang-orang asing yang disetarakan dengan kulit putih (orang Jepang adalah salah satunya), pribumi dan orang-orang asing yang dapat disetarakan dengan pribumi (masyarakat Cina termasuk ke dalam golongan ini). Di awal abad ke-20, pengelompokkan dikembalikan menjadi tiga kelompok lagi: kelompok teratas adalah orang kulit putih, di tengah adalah mereka yang disebut sebagai pemukim asing asal Asia (Cina, Arab dll.) dan yang paling dirugikan – seperti kata Leo Suryadinata – adalah pribumi.9 Dengan kondisi tersebut - ditambah beberapa sistem lain seperti sistem kapitan, surat jalan dan pemukiman terpisah yang memisahkan Cina dar pribumi –

menurut Leo Suryadinata, hampir tidak mungkin saat itu orang berpikir tentang identitas tanpa mendasarinya dengan konsep superioritas ras. Hal tersebutlah yang lantas terus terbawa hingga masa kemerdekaan.

Dari pemaparan Leo Suryadinata, ada beberapa jalan yang kemudian dijalankan oleh pemerintah Indonesia untuk menanggapi kondisi tersebut. Salah satu yang paling ternama adalah asimilasi. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia (masa Demokrasi Liberal), tidak ada kebijakan asimilasi. Konsep asimilasi baru dirumuskan, dikenalkan

9

18

dan dijalankan pada masa Orde Lama. Namun, menurutnya, asimilasi baru benar-benar dijalankan dengan gencar pada masa Orde Baru. Bahkan di masa Soeharto tersebut, menurutnya, yang terjadi bukanlah asimilasi namun absorpsi yaitu penghilangan identitas Cina. Arah kebijakan semacam itu kemudian berujung pada kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti pembatasan lapangan pekerjaan, pelarangan Konghucu, pembatasan jumlah mahasiswa dari etnis Cina, nomor seri yang berbeda dan perubahan

istilah dari ‘Tionghoa’ menjadi ‘Cina’. Pembacaannya – terutama terkait dengan perubahan istilah – kebijakan-kebijakan tersebut dikarenakan “pelampiasan ketidaksukaan pribumi kepada Tiongkok yang Komunis dan menghina etnis Tionghoa”.10 Terlihat di titik ia melihat semangat anti-komunis yang dipupuk di masa Orde Baru dengan subur membawa racial prejudice terhadap orang Cina.

Lebih lanjut, sebenarnya, menurut Leo Suryadinata, inti permasalahan terletak pada ketidakjelasan definisi Bangsa Indonesia - siapa yang dapat disebut sebagai pribumi atau orang Indonesia dan apa dasarnya. Dilihat dari sejarah tentang pemikiran identitas kebangsaan (di) Indonesia, seperti dituliskan oleh Leo Suryadinata, sebelum masa Orde Baru terdapat banyak pemikiran yang mendefinisikan Bangsa Indonesia tidak menggunakan ras namun menggunakan budaya dan orientasi politik seperti yang diperkenalkan oleh Soekarno, Hatta, Cipto Mangunkusumo, Raden Sutomo dan Amir Sjarifudin. Menurutnya, jika saat ini Indonesia mengembangkan dan menjalankan pemikiran-pemikiran Bangsa berdasarkan budaya dan politik tadi tentu tidak ada lagi permasalahan dengan identitas Cina. Sayangnya, semua itu berubah semenjak Orde Baru. Orde Baru memang tidak merumuskan konsep Bangsa berasarkan ras-nya namun kebijakan-kebijakan diskriminatifnya menjelaskan semuanya.

Dari pemaparan dua tulisan yang terlalu panjang jika disebut esai ini, saya melihat bahwa identitas non-pribumi pada masyarakat Cina adalah sebuah bentukan yang terus berubah dari masa ke masa. Masing-masing masa juga saling mempengaruhi

10

19

terutama di tataran ideologi. Seperti yang kini kita ketahui, ideologi asimilasi Orde Baru memang berusaha memasukkan masyarakat Cina ke dalam konsep Bangsa Indonesia dengan pribumisasi-nya. Akan tetapi, hal tersebut tetap dilakukan dengan memegang teguh konsep-konsep rasial warisan kolonialisme sehingga membuat banyak kondisi diskriminatif bagi masyarakat Cina. Walhasil, identitas Cina terus ada dan berbeda dari pribumi dalam kerangka rasial – tentu beserta dengan stereotipnya. Dengan begitu, dalam penelitian saya ini, saya akan mempertimbangkan kolonialisme lebih jauh ketika melihat wacana identitas yang dibangun dalam karya sastra beserta dengan pengaruhnya ke depan. Mengingat kuatnya ideologi kolonial, tentu saya juga akan melihat cara para pengarang menanggapinya. Saya merasakan adanya superioritas dan inferioritas yang muncul bergantian ketika Leo Suryadinata menjabarkan sejarah identitas Cina sebagaimana diberikan oleh Negara – VOC, Kerajaan Belanda, Soekarno dan Soeharto

– namun belum dianalisa dengan lebih jauh. Superioritas dan inferioritas adalah sesuatu yang sentimennya mampu menancap dengan dalam, jadi saya rasa karya sastra pasti terpengaruh olehnya. Saya ingin melihat apakah ideologi termutakhir kita (multikulturalisme) mampu mengatasinya. Kini saya akan melihat identitas Cina dari sudut pandang kajian representasinya dalam seni mengingat obyek penelitian saya adalah karya seni agar posisi studi saya lebih jelas.

E.2. “Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu”11

Buku di atas yang ditulis oleh Leo Suryadinata telah menjelaskan kepada kita perkembangan komunitas masyarakat Cina di Indonesia di hadapan kebijakan-kebijakan negara yang berubah-ubah. Di kesempatan ini saya akan masuk ke perkembangan sastra masyarakat Cina di Indonesia. Seperti yang telah saya tuliskan di atas bahwa perkembangan sastra – meskipun tak selalu sejalan dengan perkembangan kondisi sekitarnya – akan selalu dipengaruhi oleh kondisi sekitarnya. Buku yang ditulis oleh

11

20

Claudine Salmon ini saya pilih untuk dibahas lebih jauh salah satunya karena alasan tersebut. Alasan lain pemilihan buku ini adalah karena buku ini merupakan salah satu karya akademis pertama yang dengan meyakinkan meletakkan sastra Melayu-Cina (Melayu Lingua Franca) sebagai sebuah tradisi sastra di Indonesia dan merupakan bagian dari sejarah sastra Indonesia – sebuah ide yang di masa penulisan buku belum populer.

Lebih lanjut, buku ini digarap oleh Claudine Salmon berangkat dari keprihatinannya atas konsep dan sejarah sastra Indonesia yang masih sangat terpaku pada konsep-konsep yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda terutama melalui Balai Pustaka. Sejarah yang dimaksudkannya adalah sejarah bahwa puisi modern Indonesia dimulai oleh Muhammad Yamin dan prosa modern dimulai oleh Marah Rusli dengan Siti Nurbaya-nya seperti yang ditekankan oleh Teeuw. Karenanya ia, dengan semangat yang sama dengan Nio Joe Lan dan John B. Kwee untuk mengangkat tradisi sastra Melayu-Cina, berusaha dengan rinci membuat semacam ulasan singkat tentang tradisi ini. Hasilnya, ia berhasil mendapatkan data kuantitatif yang mengejutkan. Ada sekitar 800 pengarang dan penerjemah dengan jumlah karya lebih dari dua puluh ribu yang merupakan bagian dari apa yang ia sebut sebagai sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu.12 Dan karya-karya tersebut terdiri dari terjemahan, syair, prosa dan drama dengan pengarang Cina Peranakan yang berasal dari berbagai tempat di Nusantara. Namun, menurut Claudine Salmon, bukan itu saja yang membuat sastra Cina-Melayu tadi menjadi sebuah tradisi. Rentan waktu yang panjang adalah alasan lainnya. Claudine Salmnon mencatat bahwa tradisi sastra tersebut dimulai dari separuh akhir abad ke-19 hingga tahun 1960-an – sebuah hal yang harusnya dipertimbangkan ketika membicarakan sejarah sastra Indonesia.

Selain itu, setelah merampungkan buku ini, ada sebuah hal penting yang bisa kita dapat dari buku ini berkenaan dengan tradisi sastra Melayu-Cina. Hal tersebut

12

21

adalah pengaruh. Setelah membaca penjelasan-penjelasan Claudine Salmon, saya menangkap bahwa tradisi-tradisi kepenulisan yang mempengaruhi para pengarang Cina Peranakan ini adalah tradisi-tradisi yang juga mempengaruhi sastra Indonesia secara umum di kemudian hari. Beberapa pengaruh yang saya lihat tercatat di buku ini di antaranya adalah huruf Arab, Bahasa Melayu dan sastra dari Eropa. Kemiripan pengaruh ini membuat ide Claudine Salmon bahwa sastra Melayu-Cina ini adalah bagian dari sejarah sastra Indonesia modern tak terbantahkan sehingga lebih dari sekedar layak untuk dikaji bahkan hingga sekarang ini.

Lebih jauh, inti dari buku ini adalah pendataan sekaligus pembabakan tahap awal atas karya-karya yang masuk ke tradisi sastra ini. Menurut Claudine Salmon, ada empat masa – hingga tahun 1960-an – dalam tradisi sastra ini: masa awal mula hingga 1910, masa 1911-1923, masa 1924-1942, dan masa 1945-1960-an. Claudine Salmon melakukan pembabakan tersebut berdasarkan bahasa dan huruf yang digunakan, bentuk karya serta tema yang diangkat. Sebagai contoh, di masa awal mula, para pengarang dari masa tersebut sebagian masih banyak menggunakan huruf Arab dan baru akan beranjak ke penggunaan huruf latin. Fenomena yang terjadi di pertengahan hingga akhir abad ke-19 tersebut terjadi karena beberapa pengarang Cina berhubungan dekat dengan Islam, bahkan beberapa di antara seperti Abdoel Karim Tjiat, Intje Ismael, Kiai Hadji Koesta dan lain-lain telah memeluk Islam.13 Contoh lainnya adalah ketertarikan pada karya-karya sastra Melayu Klasik. Dengan pembabakan semacam itu, buku ini sangat membantu saya memulai penelitian ini. Alasannya, pembabakan tersebut – lengkap dengan penjabaran pengaruh-pengaruh dalam tradisi sastra Cina Peranakan – juga mengungkap bahwa tradisi sastra ini berubah seiring dengan perkembangan sosial, politik dan ekonomi; sebuah hal yang, pada dasarnya, coba saya buktikan di tesis ini terutamanya yang terkait dengan politik etnisitas di Indonesia.

13

22

Salah satu hal khusus yang juga saya dapati di buku ini adalah bahwa perkembangan sastra Cina Peranakan sangat terpengaruh dengan kondisi penjajahan di Indonesia; sebuah hal yang menguatkan kecurigaan saya bahwa pemasalahan masyarakat Cina di Indonesia terkait dengan penjajahan Belanda. Di masa awal mula hingga 1910 terjadi pergeseran penggunaan huruf (dari Arab ke Latin). Pergeseran ini tentu seiring dengan semakin menguatnya cengkeraman Belanda di Indonesia baik secara politik maupun ekonomi. Salah satu hal yang ditunjukkan Claudine Salmon terkait dengan pergeseran huruf tadi adalah berkembangnya dunia percetakan dan penerbitan yang rata-rata dimiliki oleh orang Belanda atau Cina. Sebagai contoh adalah Ta Teng Kie, yang merupakan seorang penyair, menulis puisi tentang dibukanya rel kereta api jurusan Cikarang-Kedung dan diterbitkan oleh seorang Belanda bernama Alex Regensburg. Beberapa fenomena serupa yang lain juga dicatat oleh Claudine Salmon.14 Artinya, kekuasaan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia turut berpartisipasi dalam perkembangan sastra Cina Peranakan. Lebih lanjut, di wilayah isi hal yang serupa juga terjadi. Tema mulai berubah di masa setelah 1910. Ketertarikan pada kejadian-kejadian khas kolonial seperti tingkah laku korup para pejabat, fenomena kawin antar Bangsa, kehidupan nyai dan lain-lain menjadi hal yang wajar ditemui di dalam karya sastra Cina Peranakan.15 Melalui pembabakan ini, menurut saya, Claudine Salmon benar-benar menunjukkan bagaimana kolonialisme mempengaruhi perhatian para pengarangnya.

Yang saya yakini kemudian adalah bahwa identitas masyarakat Cina di Indonesia terus berubah di bawah pengaruh ideologi dominan masanya. Di tesis ini, saya kembali ingin megkaji identitas tersebut dengan mempertimbangkan ideologi dominan masa kini. Dengan kata lain, saya ingin mengkaji babak lain yang belum termaktub dalam studi Claudine Salmon ini.

14

Lih. Ibid., Hal. 6-7 15

23

Dokumen terkait