• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teoritik

Saya percaya bahwa identitas seseorang bukanlah sesuatu yang terberi, dalam artian alamiah, dan bersifat tetap. Identitas merupakan bentukan dari kondisi di sekitar subyek dan bergerak seiring dengan perubahan kondisi yang terjadi. Pandangan semacam ini adalah paham para pemikir ilmu kemanusiaan yang oleh Suman Gupta, di bukunya yang mengelaborasi tentang politik identitas dan identitas politik di ranah kajian sastra, disebut sebagai ‘social constructionist’.16

Dalam tubuh pemikiran para pemikir social constructionists ini ada berbagai macam pendekatan dengan penekanan yang berbeda-beda. Yang saya ambil untuk saya jadikan sebagai pegangan di penelitian ini adalah sudut pandang Slavoj Zizek yang menghubungkan identitas subyek dengan ideologi. Titik berat pada ideologi untuk melihat identitas di pemikiran Zizek bukanlah sesuatu yang mengherankan mengingat tradisi pemikirannya yang berangkat dari Marxisme. Dan di tradisi pemikiran Marxis, konsep ideologi memang dekat dengan konsep identitas (kesadaran kelas). Ideologi, yang dianggap Marx sebagai sebuah

‘kesadaran palsu’ (false consciousness), berisi bukan semata seperangkat doktrin, namun juga cara seseorang memahami peran sosialnya dengan ide, nilai, etika dan gambaran tertentu.17 Disebut sebagai ‘kesadaran palsu’ oleh Marx karena dalam sistem kapitalis, buruh ‘diharuskan’ gagal melihat ke-buruh-annya dan menganggap bahwa tidak ada pembedaan dan antagonisme kelas di dalam masyarakat. Dimana posisi Zizek dalam melihat hubungan ideologi-identitas ini terutama dalam karya sastra? Bagaimana pula konsep identitas multikulturalisme, sebagai sebuah ideologi, menurut Zizek?

Di pendekatan Marxis yang kini banyak disebut sebagai pendekatan Marxis

‘ortodoks’ atau, menggunakan istilah Terry Eagleton, ‘vulgar’,18

karya sastra berada di wilayah yang disebut sebagai supra-structure (lantai atas) bersama dengan

institusi-institusi ‘non-ekonomi lain seperti sistem peradilan (hukum), Negara (politik), dan

16 Lih., (Gupta, 2007) 17 Lih., (Eagleton, 2006, p. 8) 18 Ibid.,

24

lain. Semua institusi tersebut, termasuk sastra bersama dengan seni secara keseluruhan, keberadaannya disokong oleh keberadaan sisi ekonomi yang disebut sebagai

infrastructure (lantai bawah) yang mana menentukan posisi kelas seseorang. Kata

‘disokong’ sebenarnya kurang tepat karena hubungan keduanya bersifat ‘directive

(mengatur). Artinya, institusi-institusi lantai atas tadi merupakan ekspresi dari kelas tertentu yang proses pembentukannya ada di lantai bawah. Ideologi sebuah institusi ditentukan oleh corak produksi kelas penciptanya. Dengan begitu, ideologi sebuah karya sastra dapat ditentukan dengan melihat latar belakang penciptaannya. Jadi, narasi dalam karya sastra adalah sebuah ekspresi kelas tertentu.

Aplikasi dari pendekatan semacam ini yang terbaik adalah buku-buku kritik sastra yang ditulis oleh kritikus sastra Marxis yang sangat berpengaruh, Georg Lukacs. Kritik Lukacs berkisar di permasalahan karya sastra sebagai bentuk (form). Di bukunya

The Theory of The Novel (1920), Lukacs melihat bahwa dalam karya sastra hubungan antara isi, materi cerita yang diambil dari kehidupan sehari-hari, dan bentuk terus berubah dari masa ke masa. Ia mencatat di Eropa ada tiga bentuk utama: 1.) Epik, 2.) Tragedi, dan 3.) Novel. Dasar dari kategorisasi Lukacs ini berdasarkan sudut pandang filosofis atas sejarah para penulisnya. Ketika menjelaskan tentang perbedaan antara

sastra epik dan novel, ia menyebutkan bahwa “[t]hese two major forms of great epic literature, differ from one another not by their authors’ intentions but by the given historico-philosophical realities with which the authors were confronted”.19 Dengan kata lain, ideologi karya adalah ideologi si pengarang, dalam melihat eksistensinya dan sejarah yang dibentuk oleh ideologi dominan di masanya. Dengan bentuk tertentunya, sebuah karya membawa ideologi dari masanya. Dan ideologi tersebut dibentuk seiring dengan perkembangan ekonomik dari masa ke masa. Sisi ekonomik sebagai ideologi ini Lukacs tunjukkan lebih rinci lagi di sebuah esainya, yang termaktub dalam buku Studies in European Realism (1950), tentang perkembangan realisme Eropa yang dibawa Tolstoy. Di esai tersebut, ia menyebutkan bahwa,

19

25

“[t]he principles he (Tolstoy –pen.) followed in his realism objectively represent a continuation of the great realist school, but subjectively they grew out of the problems of his own time and out of his attitude to the great problem of his time, the relationship between exploiter and exploited in rural Russia.”20

Artinya, yang membuat Tolstoy menarik adalah ia membawa ideologi, cara pandang tentang masanya dan sejarahnya, sehingga membuatnya menciptakan bentuk realisme-nya sendiri. Dengan begitu, kritik ideologi dalam fiksi dilakukan dengan membaca narasinya yang disandingkan dengan sisi ekstra-literernya seperti wacana dominan dan kehidupan sosial masyarakat.

Lebih jauh, seiring dengan perkembangan pemikiran di diri kaum Marxis, beberapa pemikir menganggap bahwa pendekatan Marxis seperti di atas terlalu mengagungkan sisi ekonomi dan melupakan gejolak yang ada di lantai atas. Louis Althusser adalah salah seorang pemikir yang memiliki pandangan lain tentang hubungan lantai atas-lantai bawah ini. Di filsafat Marxisme-Strukturalnya, yang dipengaruhi oleh pemikir strukturalis dan psikoanalisa, Althusser menganggap bahwa lantai atas memiliki peran dalam membentuk kelas (lantai bawah). Ia membaca-ulang konsep ideologi yang ada di tradisi pemikiran Marxis dengan konsep-konsep seperti interpelasi dan overdeterminasi. Baginya, ideologi adalah institusi-institusi yang ada di lantai atas. Mereka lah yang menciptakan apa yang disebut sebagai kesadaran kelas dengan cara menginterpelasi subyek-subyek yang bersentuhan dengannya. Interpelasi adalah sebuah konsep yang dipinjam, dan dikembangkan, dari psikoanalisa. Interpelasi, menurut Althusser, adalah proses pembentukan kesadaran subyek yang terjadi di dalam Aparatur Negara Ideologis (ideological state apparatus) seperti gereja, bank, kantor imigrasi dan lain-lain. Pembentukan kesadaran subyek ini dilakukan dengan

‘memanggil’ subyek yang mana melalui pemanggilan tersebut subyek diarahkan untuk

menjawab dengan cara tertentu sehingga membuatnya berada dalam posisi tertentu. Konsep ini dikembangkan, untuk diintegrasikan ke dalam Marxisme, oleh Althusser dari pemikiran Jacques Lacan. Interpelasi, dalam psikoanalisa Lacanian, adalah proses

20

26

yang terjadi dalam pertemuan subyek dengan Big Other yang memberi makna atas eksistensi si subyek. Hal tersebut dilakukan Big Other dengan cara menggambar-ulang kedirian (subyektifitas) si subyek – subyek ‘dipaksa’ menjalankan sederet aturan ketika

ingin menggapai sesuatu yang diinginkannya. Misalnya, ketika kita memasuki kantor pemerintahan untuk membayar pajak, di dalam prosesnya kita akan diarahkan untuk mengerti bahwa kita, sebagai warga Negara yang baik, harus membayar pajak. Dengan begitu, kita akan melihat diri kita sebagai warga Negara di sebuah Negara dengan sejumlah hak dan kewajibannya.

Di ranah kritik sastra, gagasan-gagasan Althusser dikembangkan oleh Pierre Macherey. Pierre Macherey, yang fokus pada produksi sebuah karya, setuju bahwa proses penciptaan karya sastra berada di wilayah supra-structure atau ideological state apparatuse yang berusaha menyuntikkan ideologinya. Dengan kondisi kesadaran pengarang yang seperi itu, Macherey mengungkapkan bahwa cara yang seharusnya dilakukan para kritikus ketika mengkaji narasi sebah karya adalah dengan mencari narasi yang absen. Kenapa? Karena si pengarang telah melalui proses interpelasi yang

membuat “[t]he text is, as it were, ideologically forbidden to say certain things”.21 Usaha mengungkapkan kebenaran versi pengarang selalu bertabrakan dengan batas-batas ideologis yang dibangun oleh ideologi dominan. Artinya, kritik ideologi atas karya sastra a la Macherey adalah kritik ideologi yang berusaha mengungkapkan batas-batas

ideologis kelas kapitalis. Menemukan ‘jarak’ (‘gaps’) dan ‘’kebungkaman’ (‘silence’)

dalam narasi berarti menemukan sesuatu yang hilang dari kesadaran ideologis kita. Perbedaan mendasar Macherey dengan Lukacs adalah konsentrasinya yang lebih pada makna (meaning) dalam narasi daripada bentuk (form) narasinya. Untuk studi berskala lebih kecil dengan jumlah karya dan rentan waktu yang terbatas, seperti penelitian yang saya lakukan saat ini, pendekatan Macherey jelas lebih bermanfaat.

21

27

Posisi kritik ideologi Zizek dalam sebuah karya seni cenderung lebih dekat dengan Althusser dan Macherey dibandingkan dengan Lukacs. Ia memiliki ketertarikan lebih pada narasi dan maknanya. Yang ia tidak setujui dari Althusser, dan tentu Macherey, adalah cara pandang tentang ideologi yang orthodoks. Bagi Zizek, tidak ada hal disebut kesadaran palsu tadi. Yang ada hanyalah kesadaran semata karena setiap kesadaran, pada intinya, sudah bersifat ideologis. Kesadaran ada karena ideologi. Ideologi sebagai kesadaran yang berlaku di keseharian adalah ideologi dalam bentuk termatangnya. Ia lebih kuat daripada dua bentuk lain dari ideologi: sebagai doktrin dan sebagai ideological state apparatus. Jadi, dalam pandangan Zizek, Althusser hanya sampai pada kritik atas ideologi dalam bentuk ideological state apparatus. Apa dampak dari perubahan konseptual mendasar ini? Dampaknya adalah kita tidak dapat dengan begitu saja menawarkan ideologi baru, katakanlah, komunisme untuk mengganti ideologi yang tengah berkuasa, katakanlah, kapitalisme karena jika kita melakukannya kita akan tetap memandang ideologi pengganti tadi dengan sudut pandang ideologi lama yang mana artinya perubahan tidak benar-benar terjadi. Jadi, yang harus dilakukan untuk melakukan kritik ideologi saat ini adalah dengan mengungkap apa yang ditutupi –

sisi tak sadar – ideologi lama tersebut. Begitu juga ketika berhadapan dengan karya sastra yang bukan lagi doktrin ataupun ideological state apparatus namun kesadaran keseharian yang dianggap lumrah.

Jalan masuk ke kritik ideologi, menurut Zizek, adalah symptom. Dalam sebuah narasi, yang harus diperhatikan adalah symptom-nya. Menurut Lacan, seperti dikutip Zizek di pembukaan buku perdananya (Sublime Object of Ideology, 1989), yang menemukan symptom untuk pertama kalinya adalah Marx meskipun istilah symptom

adalah istilah psikoanalisa.22 Rincian teoritik tentang symptom akan dibahas di bagian selanjutnya. Apakah temuan Marx menurut Lacan dan diamini oleh Zizek? Temuan Marx terkait symptom adalah konseptualisasinya tentang commodity fethitism (fetisisme komoditas). Fetisisme komoditas adalah kebiasaan masyarakat, yang hidup dengan

22

28

sistem kapitalis, yang menukarkan segala komoditas dengan menyetarakan antara nilai-tukar dan nilai-guna-nya padahal mereka tahu bahwa kedua jenis nilai tersebut jelas tidak sepadan. Namun, ada sesuatu yang membuat mereka terus melakukannya – ada sebuah nilai yang abstrak yang dipercaya – sehingga mereka terus melakukannya.23

‘Keanehan’ inilah konsep symptom di pemikiran Marx menurut Lacan. Jadi, symptom

adalah kontradiksi-kontradiksi atau kejanggalan-kejanggalan dalam sebuah fenomena sosial termasuk karya sastra. Untuk ia (symptom) terus hadir, ia membutuhkan penyangga agar kontradiksi-kontradiksi tadi tetap tak dipertanyakan. Penyangga tersebut bernama fantasi. Fantasi dalam pembayangan subyek atas apa yang dilakukannya yang sesungguhnya berbeda dengan apa yang ia benar-benar lakukan. Fantasi inilah kesadaran ideologis yang sebenar-benarnya. Jadi, langkah yang diambil dalam kritik ideologi Zizek adalah mencari kontradiksi-kontradiksi dan kemudian fantasi penyangganya. Dengan kata lain, pergeseran ideologis hanya dimungkinkan ketika fantasi ideologis yang lama telah hilang.

Terkait dengan identitas, sebuah identitas ada karena adanya ideologi yang membangunnya. Cara subyek mengidentifikasi orang lain adalah cara pandang yang disediakan lewat ideologi. Cara kita melihat dan memaknai sebuah kelompok masyarakat, katakanlah masyarakat Cina, sesungguhnya terus berubah dari masa ke masa. Hal tersebut dikarenakan pergeseran ideologi yang terjadi. Cina tidak pernah benar-benar ada di kepala kita jika Orde Baru tidak melakukan segala pelarangan atas ekspresi-ekspresi kultural masyarakat Cina. Melalui pelarangan-pelarangannya, Orde Baru menciptakan image di fantasi kita tentang masyarakat Cina di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat non-Cina di Indonesia juga mengidentifikasi dirinya sendiri dan

menjadi ‘pribumi’. Konsep pribumi-non-pribumi dengan segala image relasi sosialnya adalah fantasi ideologis Orde Baru. Singkatnya, subyek tidak pernah bertemu dengan liyan karena yang ia temui adalah fantasinya sendiri tentang liyan dan juga dirinya sendiri. Dalam enam karya sastra yang saya jadikan obyek penelitian ini, saya yakin

23

29

mereka merepresentasikan ideologi tertentu dengan fantasi tentang Cina yang khas. Hal tersebut saya yakin berkaitan dengan multikulturalisme sebagai wacana dominan saat ini ketika berbicara tentang hubungan antra etnis.

F.1. Multikulturalisme : sejarah, wacana dan kritik atasnya

Multikulturalisme, sebagai sebuah ‘kebutuhan’ pada awalnya, muncul setelah

Perang Dunia II berbarengan dengan meningkatnya kesadaran atas hak asasi manusia yang kemudian disahkan dalam bentuk sebuah piagam bertandatangan banyak pihak –

terutamanya pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Dunia ke-II. Akan tetapi, momen kemunculan sebenarnya multikulturalisme sebagai sebuah konsep adalah ketika masa

perjuangan orang kulit hitam dengan kesadaran atas identitas ‘hitam’-nya di tahun 1960-an. Pada masa tersebut, multikulturalisme banyak bersinggungan dengan wacana pasca-kolonialisme yang digunakan untuk membicarakan keunikan kondisi identitas masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat.24 Di masa tersebut, semangat aktivis(me) berbasis multikulturalisme, yang sampai sekarang ini masih terasa, adalah penghargaan dan pengangkatan identitas kelompok masyarakat minoritas yang seringkali diabaikan hak-haknya oleh Negara. Andrew Heywood dalam bukunya menyatakan bahwa

multikulturalisme “not only recognizes the fact of cultural diversity, but also holds that such differences should be respected and publicly affirmed; it practices the politics of recognition”.25

Dengan posisi semacam itu, pengakuan atas identitas minoritas adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi posisinya dan keberagaman dalam sebuah Negara (komunitas) adalah sebuah keharusan.

Dilihat dari latar kemunculannya, mulikulturalisme berangkat dari kesadaran atas perbedaan, keberagaman dan kemajemukan dalam sebuah komunitas masyarakat. Melihat gerakan awal yang membawanya, keberagaman di titik latar belakang kultural adalah titik beratnya pemikiran multikulturalisme. Karenanya gerakan masyarakat kulit

24 Lih. (Heywood, 2004, p. 215) 25

30

hitam di tahun 1960-an tersebut, seperti sering didengung-dengungkan oleh Malcolm X, mengedepankan identitas Afrika yang ada di diri orang kulit hitam Amerika. Sehingga, orang-orang kulit hitam, pada masa tersebut, belajar memiliki, sekaligus mempromosikan, kebanggaan identitas Afrika mereka. Bahkan tidak jarang kemudian mengadopsi nama Afrika dan pindah agama seperti yang dilakukan Malcolm X. Pada perkembangannya, gerakan-gerakan multikulturalis kemudian mulai melebarkan definisi mereka atas keberagaman. Kelompok-kelompok minoritas berdasarkan orientasi seks, gender dan kelas sosial-politik mulai digabungkan ke dalam jaringan gerakan multikulturalisme. Saat ini cukup sering kita melihat pawai-pawai atau demonstrasi-demonstrasi yang mengusung multikulturalisme sebagai pendekatannya melibatkan kelompok-kelompok masyarakat minoritas yang disebut terakhir tadi. Dengan kondisi

seperti di atas, multikulturalisme tampaknya mampu membawa “vibrancy and richness that stems from cultural interplay…and tolerance and respect for other cultures and religions26

seperti dikatakan oleh Andrew Heywood.

Secara konseptual, lagi-lagi saya mengacu pada buku Andrew Heywood, multikulturalisme sangat dekat dengan liberalisme meskipun beberapa pemikirnya berusaha melampaui ideologi tersebut. Kenyataan tersebut jelas tak lepas dari kemenangan Blok Barat, dengan Amerika Serikat sebagai salah satu anggota terkuatnya, atas Jerman di Perang Dunia ke II. Namun, yang lebih penting, liberalisme, yang mengagungkan kebebasan dan hak individu di atas segalanya, setuju dengan konsep penghargaan atas keberagaman dalam multikulturalisme. Di pihak yang lain, yang mencoba melampaui liberalisme, mereka menyatakan dan menekankan batas yang ada dalam liberalisme yang sesungguhnya berbahaya bagi keberagaman itu sendiri. Konsep yang dicatat karena sedikit berbahaya pada keberagaman ini, seperti dicatat oleh Andrew Heywood, adalah konsep toleransi – toleransi atas budaya dan kepercayaan orang lain yang berbeda. Berbahayanya ada di titik batas orang bisa mentolerir perbedaan tadi karena pada akhirnya yang terjadi adalah pembiaran (ketidakpedulian)

26

31

yang berujung pada tidak berjalannya komunikasi. Salah satu pemikir tentang multikulturalisme liberal yang mengangkat permasalahan ini adalah Thomas Scanlon di kumpulan esainya, The Difficulty of Tolerance, yang menyatakan, pada akhirnya, toleransi memiliki batasnya sehingga penilaian atas orang lain, yang berbeda budaya dan kepercayaannya, tidak berkembang.27 Dengan kata lain, rasisme akan tetap ada karena selalu ada sisi dimana kita tidak dapat menerima ekspresi kultural seseorang. Dan dari sana lah kekerasan dan konflik bersumber. Akan tetapi, Scanlon tetap mengedepankan pentingnya toleransi dengan mencoba mengkonsep-ulang toleransi dan

mencari ‘pure tolerance’ – sesuatu yang dapat membuat kita tidak setuju dengan seseorang namun tetap menghormati orang tersebut. Tujuannya adalah membatasi konflik yang jelas akan terjadi.28

Dengan konsep seperti di atas, kritik Scanlon atas multikulturalisme liberal berada jelas berdasarkan kekhawatirannya atas kekerasan yang mungkin terjadi. Namun, tampaknya dia tidak mempertimbangkan kekerasan dalam beragam definisnya. Ia jelas tidak menganggap stereotip sebagai sebuah kekerasan karena toleransi, yang masih tetap ia percayai, bagaimanapun juga membawa masalah identitas dan cara pandang terhadap kelompok masyarakat yang lain. Perihal kekerasan ini akan dibahas di bagian selanjutnya dari kerangka teoritik ini. Kembali ke pemikir-pemikir yang mengkritisi multikulturalisme dan wacana-wacana turunannya seperti toleransi, beberapa pemikir lain memiliki pendekatan yang berbeda dengan Scanlon. Umumnya pemikir-pemikir ini bukan penganut liberalisme dan mencoba keluar dari kekuasaan wacana-wacana multikulturalis. Salah satunya adalah Homi Bhabha, seorang pemikir pasca-kolonial, yang memfokuskan kritiknya atas multikulturalisme pada wacana identitas yang dibawanya. Di esainya yang termaktub di buku The Post-Kolonial Studies Reader (1995), ia, tidak seperti para pendukung multikulturalisme, lebih

27 (Scanlon, 2003, pp. 188-189) 28

32

mengedepankan cultural difference dan bukannya cultural diversity. Di esainya, ia menulis:

“[c]ultural diversity is the recognition of pre-given cultural ‘contents’ and customs, held in a time-frame of relativism; it gives rise to anodyne liberal notions of multiculturalism, cultural exchange, or the culture of humanity. Cultural diversity is also the representation of a radical rhetoric of the separation of totalized cultures that live unsullied by the intertextuality of their historical locations, safe in the Utopianism of a mythic memory of a unique collective identity. Cultural diversity may even emerge as a system of the articulation and exchange of cultural

signs in certain…imperialist accounts of anthropology.”29

Artinya, konsep keberagaman, seperti yang dibawa oleh multikulturalisme, mendasarkan dirinya pada sebuah konsep yang tetap (esensialis) tentang sebuah kebudayaan dan identitas-identitas di dalamnya yang besar kemungkinannya dibangun oleh wacana kolonial – catatan antropologis Barat terhadap Timur. Sedangkan konsep

cultural difference yang diajukannya mengandaikan bahwa masing-masing budaya dan identitas memiliki perjalanannya yang unik dan khusus yang membuatnya sulit jika dipandang menggunakan sebuah sudut pandang pengamat, katakanlah seperti antropolog-antropolog Barat. Cultural difference lebih mengedepankan proses penyuaraan (enunciation) atas sebuah identitas yang karenanya membuka ‘ruang ketiga’

atas identitas. Hal tersebut dikarenakan muncul identitas-identitas kultural tadi dipengaruhi banyak hal yang membuatnya menjadi sebuah campuran (hibrid) sehingga tak mungkin dilihat menggunakan nalar perbandingan seperti pada konsep cultural diversity.30 Menggunakan bahasa saya sendiri, kata ‘beragam’ menandakan adanya sebuah acuan dasar yang membuat hal lain seperti ragam – sesuatu yang lain - dari dirinya. Singkatnya, adalah esensialisme identitas yang dibawa oleh multikulturalisme lah yang ditentang paling keras oleh Homi Bhabha.

Lebih jauh tentang kritik Bhabha, selain esensialisme ia juga mempermasalahkan ahisorisme pendekatan multikulturalisme. Dengan titik berat pada

cultural diversity (keberagaman), multikulturalisme memiliki premis dasar bahwa

29 (Bill Ashcroft, 2002, p. 206) 30

33

identitas-identitas dan budaya-budaya yang ada di dalam keberagaman tadi akan tetap seperti itu seakan-akan terpisah dari relasi kekuasaan, seperti penjajahan di kasus Bhabha, yang menaunginya. Sebuah kebudayaan oleh ideologi multikulturalisme dianggap sebagai sebuah bentuk akhir. Apabila dikaitkan dengan obyek penelitian tesis ini, dengan ideologi multikulturalisme identitas Cina dianggap selalu sama dari masa ke masa. Jika kita melihat kenyataan multikulturalis sekarang ini, identitas Cina yang muncul ke permukaan, katakanlah dalam festival-festival atau perayaan-perayaan, adalah mereka yang merayakan imlek, berbaju merah dengan sentuhan warna emas,

etcetera yang di masa lalu, dengan acuan waktu tidak jelas, tidak boleh mengekspresikan bentuk-bentuk kebudayaan tadi karenanya perlu diberi tempat khusus untuk mengekspresikan dirinya saat ini. Apakah selalu seperti itu identitas masyarakat Cina di Indonesia? Apakah mereka selalu menjadi minoritas yang tertindas? Pertanyaan tersebut jelas bukan pertanyaan yang menjadi bagian dari logika multikulturalisme di Indonesia.

Bagi saya, untuk melihat identitas masyarakat Cina di Indonesia pendekatan Bhabha sangat masuk akal, bahkan lebih dari masuk akal. Pendekatan pasca-kolonial Bhabha adalah sudut pandang yang tak terhindarkan untuk mengkaji dengan lebih baik identitas masyarakat Cina. Penjajahan adalah faktor penting dalam terciptanya identitas Cina, dengan segala fiturnya, yang lekat dengan konsep non-pribumi. Cina yang terpisah dari pribumi dan masuk ke golongan kedua yang lebih diuntungkan, di atas pribumi, di dalam tatanan kolonial terkait erat dengan kepentingan sosial, ekonomi dan politik Pemerintah Kolonial Belanda. Menariknya, bahkan hingga akhir-akhir, kondisi penjajahan dan posisi privileged masyarakat Cina di masa itu sangat jarang dibicarakan bahkan oleh para peneliti tentang masyarakat Cina di Indonesia yang dianggap

34

masa Orde Baru.31 Di dalam buku berjudul Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia

Dokumen terkait