• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TUMBUH-KEMBANGNYA WACANA PRIBUMI-NON-PRIBUMI

A. Politik Etis: Identitas Non-Pribumi (Cina) dalam Kepentingan Ekonomis

A.1. Sosial dan Ekonomi

Politik Etis sebenar-benarnya dibangun di atas kegagalan sistemik Pemerintah Kolonial mengelola tanah jajahannya; kegagalan yang menciptakan jurang-jurang di dalam masyarakat yang lantas menjadi pagar pembatas kelas-kelas di atas tadi. Politik Etis adalah politik rasa bersalah dari Pemerintah Kolonial yang sebenarnya tak ingin dipersalahkan. Singkatnya, mereka butuh kambing hitam. Mereka yang termasuk dalam

Vreemde Oosterlingen atau Bangsa Asia Asing.54 Peng-kambing-hitam-an tersebut merupakan campuran antara kecemburuan Pemerintah Kolonial karena kelompok ini meraup keuntungan finansial besar semasa Cultuurstelstel dan zaman Liberal dan kenyataan bahwa mereka menjadi kelompok tersendiri yang juga karena pengkondisian kebijakan-kebijakan kolonial yang menjadikan mereka sebagai kelompok perantara penghubung antara petani dan Pemerintah sebagai pihak ekspor. Usaha peng-kambing-hitam-an ini diantaranya berbentuk pewacanan Bangsa Asia Asing, terutamanya Cina, sebagai Bloedzuiker Der Javanen (penghisap darah Bangsa Jawa) dan pewacanaan Gale Gevaar (Bahaya Epidemi Kuning).55

Sejurus dengan pewacanaan tersebut, kebijakan-kebijakan yang bersifat

memisahkan antara pribumi dan yang dianggap sebagai ‘penghisap’-nya, Bangsa Asia Asing, dan bertujuan melumpuhkan pengaruh ekonomis Bangsa Asia Asing, dijalankan. Pemerintah Kolonial, yang saat itu telah mampu menaklukkan dan mengawasi pulau-pulau di nusantara, lantas mengeluarkan undang-undang pass-en Wijkenstelsel tahun 1897. Undang-undang tersebut mengatur tentang residensi dan kewajiban kepemilikkan paspor perjalanan bagi Bangsa Asia Asing. Terkait dengan pengelompokkan tempat tinggal dan paspor, sebelumnya sebenarnya telah ada undang-undang yang mengatur ini

54

Kelompok masyarakat ini sebelumnya juga disebut sebagai Oostersche Vreemdelingen dan diubah menjadi Vreemde Oosterlingen pada tahun 1818. Lih. (Williams, 1960, p. 5); (Lohanda, 2002, p. 79) 55

60

di Hindia terutama setelah kejadian 1740 di Batavia.56 Namun, undang-undang tersebut kembali dihidupkan hanya kali ini dengan alasan ekonomi Etis. Di masa Etis, yang diawali di beberapa kebijakan di akhir masa Liberal, semua yang berbau Cina dibatasi dan diatur sedemikian rupa sehingga dikontrol secara terpisah. Beragam paspor dikeluarkan tergantung kepentingan bepergiannya. Kantor khusus didirikan (Chineesch Bestuur) didirikan untuk mengatur urusan-urusan yang terkait dengan Cina. Wilayah tempat tinggal para pemukim Cina dipisahkan beserta dengan segala fasilitasnya seperti klenteng, sekolah, rumah sakit, pasar, perkumpulan sosial, dll. Tempat khusus ini bernama Chineesch Kamp.57

Di sisi lain, yang undang-undang yang lebih blak-blakan ekonomis dikeluarkan. Tahun 1902, Pemerintah Kolonial mengakhiri lisensi pertanian opium dan pertanian sistem ngijo yang sebagian besar dipegang oleh Bangsa Asia Asing (Cina dan Arab di kasus ini). Hal tersebut dimulai dari daerah Madura dan Jawa Timur di tahun 1894.58 Di saat yang hampir bersamaan, Pemerintah mengambil-alih pertanian opium dan membuka Bank Simpan-Pinjam Rakyat.59 Dari sisi ekonomi ini terlihat bagaimana sebenarnya Politik Etis dan keinginan membalas budi hanyalah bahasa yang digunakan Pemerintah Kolonial untuk me-lipat-ganda-kan keuntungan dengan ‘menasionalisasi’

asset-aset yang ada. Dari sisi yang lain, kebijakan-kebijakan Etis ini mempromosikan

semacam segregasi yang mirip dengan “Warsaw Ghetto” untuk Yahudi atau kamar

mandi khusus kulit berwarna di Amerika tahun 1960-an.

56

Pada tahun 1740, terjadi pemberontakkan terhadap VOC oleh para buruh Cina di Batavia. Pemberontakkan ini disebabkan karena beberapa Kapitan Cina yang mengutil uang pajak dari para buruh dan kenaikan pajak. Saat itu, para buruh membunuh beberapa prajurit dan Kapitan Cina. Sebagai balasannya, prajurit-prajurit VOC mulai memburu para buruh dan membunuh mereka dengan cara memenggal kepala mereka di sisi Sungai Angke sehingga kepala yang lepas langsung terbawa arus sungai. Konon, sesaat setelah kejadian tersebut warna air sungai berubah menjadi merah darah. Tragedi 1740 memakan korban lebih dari seribu jiwa buruh asal Cina. Berikutnya, dengan alasan keamanan, sistem paspor dan pengelompokkan residensi diberlakukan. Lih., (Blusse, 2004)

57

Lih. (Lohanda, 2002, pp. 38-39) 58 Lih. (Williams, 1960, p. 19) 59

61

Pembagian kelas yang awalnya tak disengaja terbentuk di masa cultuurstelsel

dan masa Liberal, kini, di masa Politik Etis, diformalkan. Undang-undang Wijkenstelsel

menjadi tembok tebal pemisah antara Bangsa Eropa, Bangsa Asia Asing dan Pribumi. Lebih jauh, undang-undang tersebut tidak hanya membatasi hubungan pribumi-Bangsa Asia Asing secara fisik akibat dikuranginya kontak komunikatif namun juga membatasinya secara mental. Yang saya maksud dengan mental adalah tertanamnya stereotipe-stereotipe di antara mereka, yang saya percaya telah ada sebelumnya hanya kini diperkuat dan diberi ruang hidup. Dengan diletakkannya posisi pribumi dan Bangsa Asia Asing pada sebuah hubungan yang bersifat antagonis, tidak heran di kemudian hari banyak terjadi benturan fisik antara keduanya. Salah satunya adalah bentrokan antar kelompok-kelompok dagang berbasis etnis (Rekso Roemekso yang berangggotakan orang-orang Jawa dan Kong Sing yang beranggotakan orang-orang Cina) di Solo tahun 1920-an.60 Tapi, bagaimanapun, segregasi terus dijalankan.

A.2. Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu isu utama kebijakan-kebijakan Politik Etis. Sekolah-sekolah mulai banyak dibuka dan, sebagai konsekuensinya, guru-guru juga banyak didatangkan dari Belanda. Jenjang-jenjang sekolah juga mulai dirapikan. Bagi Pemerintah Kolonial, pendidikan menjadi ujung tombak bagi perbaikan nasib orang-orang jajahan; orang-orang jajahan dengan definisi Politik Etis tentu saja.

Di bidang pendidikan, perdebatan awal berkisar di isu-isu seputar gaya pendidikan dan obyek pendidikan. Terdapat dua pihak dengan dua jenis pendekatan yang muncul. Pihak pertama digawangi oleh Snouck Hurgronje dan J. H. Abendanon yang menjadi Direktur Pendidikan zaman Etis (1900-1905). Pihak pertama ini lebih menginginkan pendidikan yang bersifat lebih elit dan bergaya Eropa. Ia dimaksudkan bagi kaum priyayi agar tercipta kelas yang telah di-Barat-kan dan mampu menjalankan tugas-tugas administratif kolonial sehingga memotong biaya administrasi. Di sini,

60

62

sekarang kita tahu bahwa, lagi-lagi, Politik Etis bukan semata usaha balas budi namun juga usaha untuk mencari jalan lain untuk meneruskan penjajahan yang lebih manusiawi. Di pihak lain ada Idenburg and Gubernur Jendral van Heutsz (1904–1909). Keduanya memiliki pendekatan yang lebih praktis dan massal. Pendidikan ini akan ditujukan bagi seluruh rakyat Hindia dengan bahasa Melayu dan dimaksudkan untuk, secara langsung, meningkatkan kesejahteraan rakyat Hindia. Yang diberlakukan pada awalnya adalah pendekatan yang pertama karena memang saat itu Abendanon lebih berkuasa secara politik di bidang pendidikan karena jabatannya sebagai Direktur Pendidikan.

Pada masa Abendanon, di tataran sekolah dasar, terdapat dua jenis sekolah yaitu

Eerste Klass Indlandsche Scholen (sekolah bumiputra angka satu), yang diperuntukkan

bagi kaum priyayi dan kaum ‘berada’, dan Tweede Klass Inlandsche Scholen (sekolah bumiputra angka dua) yang diperuntukkan bagi kelas bawah.61 Kemudian, di tahun 1908, ia mengubah keduanya gar lebih sesuai dengan kebijakan-kebijakan Etis yang segregatif. Tweede Klass Inlandsche Scholen diubahnya menjadi Standaardscholen

(sekolah umum). Sedangkan Eerste Klass Indlandsche Scholen diubah menjadi HIS enam tahun kemudian. HIS ini lebih dimaksudkan oleh Pemerintah untuk persiapan memasukki sekolah tinggi dan sekolah ketrampilan (OSVIA dan STOVIA). Di sisi lain,

Standaardscholen memiliki orientasi yang lebih praktis. Sekolah ini diperuntukkan bagi mereka yang tercabut dari lingkaran kehidupan agraris dan mereka yang hidup di lingkaran perdagangan.62 Artinya, siapa lagi yang akan memasuki sekolah ini kalau bukan anak-anak Bangsa Asia Asing? Secara teoritis, pribumi memang mungkin saja memasukki sekolah ini, akan tetapi dengan kondisi finansial yang jauh lebih buruk dari saudara-saudara Cina mereka, tentu saja, hampir secara otomatis, mereka akan memilih untuk masuk ke sekolah-sekolah pedesaan. Di sini, lagi-lagi, Bangsa Asia Asing,

61 Lih. Ibid., hal. 38-39 62

63

terutama Cina, ditempatkan sebagai sesuatu yang ada di tengah-tengah dan dipisahkan dari pribumi.

Di tahun-tahun berikutnya setelah masa Abendanon, sekolah-sekolah menengah dan sekolah-sekolah berbasis ketrampilan khusus didirikan. HBS (sekolah menengah berbahasa Belanda), OSVIA (sekolah pelatihan calon pegawai negeri pribumi) dan STOVIA (sekolah pelatihan calon dokter pribumi dibuka) dibuka. Keduanya dimaksudkan sebagai kelanjutan sekolah dasar yang telah ada sejak 1893. Siapapun diperbolehkan mendaftar namun karena tingginya uang sekolah pada akhirnya hanya pihak priyayi sajalah yang dapat menikmatinya. Jika dilihat sepintas, dua sekolah tinggi ini diperuntukkan bagi pribumi saja. Memang semua orang yang mampu membayar uang sekolah dapat memasukkinya termasuk Bangsa Asia Asing, akan tetapi, seperti tersurat di nama sekolah ini, sekolah ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing pribumi. Lantas kemana anak-anak Cina pergi bersekolah setelah sekolah dasar baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah (Standaardscholen) atau oleh Tiong Hoa Hwe Koan (selanjutnya disingkat dengan THHK)?63

Tahun 1908, memantapkan kebijakan-kebijakan segregatifnya yang lain, Pemerintah Kolonial membangun sekolah menengah khusus anak-anak Cina:

Hollandsch-Chineesche School. Namun, karena sekolah ini menggunakan Bahasa Belanda sebagai media proses belajar-mengajar-nya, biayanya pun tinggi. Anak-anak

63

Tiong hoa Hwe Koan adalah organisasi kemasyarakatan yang digadang-gadang sebagai salah satu organisasi masyarakat modern pertama di Hindia. Awalnya, THHK hanyalah sebuah organisasi yang mengurusi perihal keagamaan dan fasilitas-fasilitas yang menunjangnya. Akan tetapi, hanya setahun setelah didirikan di tahun 1900, bersamaan dengan mulainya Politik Etis, THHK telah membuka sekolah bagi anak-anak keturunan Cina: Sekolah Tjina THHK. Tujuan awal sekolah ini adalah sebagai usaha resinisasi; sebuah usaha untuk mengikat kembali identitas mereka dengan tanah air mereka. Selain menggunakan bahasa Mandarin, sekolah ini juga mengintegrasikan ajaran-ajaran Konghucu ke dalam mata pelajarannya. Selain yang terkait dengan urusan keagamaan, hadirnya THHK dengan Sekolah Tjina THHK-nya juga menyuntikkan ideologi pada anak-anak ini. Ideologi yang dimaksud adalah nasionalisme Cina a la Kuo Min Tang yang saat itu, di bawah kepemimpinan Sun Yat Sen sedang mencoba

menggulingkan Kekaisaran Manchu yang disokong oleh Inggris. Dengan ideologi yang tentu anti-Barat ini, kehadiran THHK bukanlah kabar baik bagi Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Lih. (Lohanda, 2002, pp. 52-55, 72-73), (Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4, 2003, pp. 395-400)

64

kuli atau pedagang kecil-kecilan tak sanggup membayarnya. Mendapati hal tersebut, ditambah tekanan dari kaum Cina peranakan yang enggan menyekolahkan anak-anaknya di THHK karena terlalu berorientasi ke Cina Daratan, tahun 1927 Pemerintah Kolonial, yang tak terlalu suka dengan kehadiran THHK dengan orientasi politiknya, dengan senang hati, membuka Maleich-Chineesche School yang berbahasa Melayu.

Dengan dibukanya MCS, makin kuatlah segregasi yang coba dilakukan oleh Pemerintah Kolonial. Kini, anak-anak keturunan Cina dengan saudara-saudara Jawa atau Sundanya hampir tak pernah duduk di ruang kelas yang sama (apalagi dengan anak-anak meneer). Spesifikasi yang dilakukan Pemerintah Kolonial benar-benar membatasi komunikasi yang mungkin terjadi sejak dini.

A.3. Politik dan Hukum

Di sub bab mengenai kebijakan-kebijakan Politik Etis di bidang hukum ini terdapat dua isu besar: 1.) Status kewarganegaraan dan 2.) Sistem peradilan. Dari penjabaran dua bidang sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan Politik Etis membentuk adanya tiga kelas besar: Kulit putih, Bangsa Asia Asing (walaupun sebagian besar dari kelompok ini adalah para pemukim Cina), dan pribumi. Dari sudut pandang hukum, terutamanya hukum yang mengatur status kewarganegaraan, orang-orang kulit putih, dengan cukup pasti, merupakan subyek dari Kerajaan Belanda dan, meskipun dengan perlakuan yang berbeda, pribumi juga diletakkan di ketagori yang sama. Di sisi lain, para pemukim Cina, baik yang totok

maupun peranakan, secara ambigu diletakkan di antara keduanya “depending on how the dutch government looked at the matter fitted into the kolonial interest”.64

Terkadang mereka diletakkan sebagai subyek Kerajaan Belanda dan dianggap warga Negara Hindia-Belanda. Terkadang, mereka dianggap masih merupakan subyek Kekaisaran Cina karenanya Pemerintah Kolonial tak merasa perlu memberi fasilitas apapun seperti telah dijabarkan di penjabaran bidang pendidikan.

64

65

Berdasarkan catatan yang didapat Mona Lohanda terdapat tiga undang-undang (1854, 1892 dan 1910) dan satu surat perjanjian (1911) terkait dengan status kewarganegaraan warga Cina, baik yang totok maupun peranakan, selama masa Hindia-Belanda.65 Yang mengherankan, mungkin karena logika kebijakan politik Belanda yang berubah-ubah, undang-undang tersebut seringkali berbenturan satu dengan lainnya.

Benturan yang pertama terjadi ketika Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan tahun 1854, terutama ayat 109, yang menempatkan posisi pemukim Cina, khususnya yang lahir di Hindia (peranakan), pada kelompok yang sama dengan pribumi. Sehingga memiliki keterbatasan yang sama dengan pribumi dan tidak merasakan keuntungan-keuntungan berupa fasilitas bagi orang-orang Belanda atau kulit putih lainnya.66 Tapi, anehnya, pada undang-undang berikutnya, tahun 1892, warga Cina posisikan sebagai orang asing. Berikutnya, pada tahun 1902, di masa Politik Etis, dengan berbasis prinsip kwarganegaraan jus soli, Pemerintah mengembalikan status warga Cina sebagai subyek Pemerintah Hindia-Belanda. Artinya, kini, seharusnya, warga Cina ini tidak masuk ke dalam kelompok Bangsa Asia Asing. Benturan kedua, dengan anehnya, istilah Vreemde Oosterlingen tetap terus digunakan di Undang-undang Hukum Sipil (Wet op de Staatsinricht van Nederlandsch-Indie) yang dikeluarkan tahun 1925.67 Artinya, di masa Politik Etis, Pemerintah memiliki caranya sendiri kala

memaknai istilah ‘warga negara’ untuk warga Cina di Hindia-Belanda.

Jadi, dengan status kewarganegaraan yang mengambang tersebut, hukum mana yang harus diikuti oleh warga Cina di meja hijau? Menurut Buergerlijke Wetboek dan

Wetboek van Koophandel yang dikeluarkan tahun 1848, semua kasus legal yang terkait dengan Cina seperti “[t]rading business, bankruptcy, and inheritance should be handled under European Administration of Justice i.e. Raad van Justitie”.68

Namun terdapat pengecualian, jika kasus legal tersebut berkaitan dengan kasus kriminal, hukum yang

65

Lih. Ibid., hal 79. 66

Lih. (Willmott, 2009) 67 Lih. (Lohanda, 2002, p. 79) 68

66

dipakai adalah ayat-ayat di dalam Wetboek van strafrecht voor Inlanders dimana ayat-ayat tersebut dimaksudkan untuk pribumi sesuai dengan tajuknya dan pengadilannya adalah Landraad.

Untuk menambah semua ambiguitas pemposisian Cina yang terjadi, di ayat 3

dalam ‘Dienstplichtbesluit voor Nederlandch-Indie’ yang dikeluarkan tahun 1917, Pemerintah Hindia-Belanda mewajibkan semua laki-laki berbadan sehat yang tinggal di Hindia-Belanda untuk wajib militer. Akan tetapi, wajib militer dengan bentuk Indie Werbaar ini pun berbeda dengan milisi pribumi. Indie Werbaar ini mirip dengan tentara Gurkha milik Inggris atau legiun asal Aljazair milik Perancis yang meski diakui sebagai warga Perancis namun tetap dipisahkan. Peliknya, warga Cina ini juga dipisahkan dari milisi. Hal serupa juga terjadi dunia politik praktis Hindia-Belanda yang mana warga Cina memiliki perwakilan Volksraad-nya sendiri dan tidak menjadi satu bagian dengan perwakilan pribumi.

Singkatnya, politik segregasi yang dijalankan Pemerintah Kolonial selama masa Politik Etis, yang membagi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok berbasis etnis, adalah sebuah politik yang penuh dengan ambiguitas. Ambiguitas ini muncul karena, sejak awalnya, usaha pengangkatan ekonomi pribumi yang menjadi senjata utama Pemerintah Kolonial sesungguhnya adalah usaha melanjutkan dominasi mereka di segala bidang. Segregasi bukanlah demi kemajuan pribumi. Hal tersebut hanyalah bahasa yang digunakan untuk merengkuh dukungan pribumi. Pemerintah Kolonial adalah pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan tersebut.

B. Orde Baru: identitas ekonomis warisan kolonial dalam politik asimilasi

Setelah Indonesia merdeka, dalam artian dipimpin bukan oleh pemerintah kulit

putih, ternyata periihal “Chineesche Kwestie”, yang diperkenalkan Belanda melalui

Politik Etis, masih berlanjut terutamanya di masa kepemimpinan Jendral Soeharto yang baru berakhir tahun 1998. Bahkan, permasalan ini, di tataran kewarganegaraan masuk

67

ke dalam bagian yang dibahas di BPUPKI dan PPKI.69 Artinya, pembahasan mengenai siapa yang warga (bukan) Negara Indonesia serta (non-)pribumi terus menjadi penting. Lebih jauh, dapat dikatakan, bahwa hal tersebut merupakan salah satu wacana yang mengawali pembangunan Bangsa Indonesia. Tepat dari titik tersebut permasalahan yang semakin besar lahir, tumbuh dan berkembang.

Sub bab ini akan membahas wacana besar tentang hubungan antar-etnis yang ada di masa setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia. Fokus utamanya adalah masa Orde Baru (1966-1998). Orde Baru (selanjutnya disebut Orba) adalah masa ketika banyak kebijakan terkait kehidupan antar-etnik di Indonesia dikeluarkan. Itulah kenapa masa ini dijadikan fokusnya. Di masa tersebut serangkaian jalur birokrasi dibuat hanya khusus mengatur perihal hubungan antar-etnik. Sejak tahun 1966 hingga 1998, kebijakan-kebijakan memunculkan badan-badan yang mengatur masalah etnik ini dari yang bertataran nasional hingga regional, bahkan hingga tataran Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Tapi, yang menarik, ketika Pemerintah menyibukkan diri dengan urusan yang terkait dengan etnik, kebijakan-kebijakan yang hadir justru dimaksudkan agar masyarakat ‘melupakan’ permasalahan ini. Tentu dengan definisi kata ‘melupakan’ a la Orde Baru.

Sekarang ini sangatlah lazim kita membaca selebaran-selebaran, baik dalam bentuk salinan lunak di internet atau salinan keras di papan-papan pengumuman kampus, tentang lomba menulis yang, dalam peraturannya, mencantumkan tulisan:

“tulisan dilarang berbau SARA”. Secara spontan, saya seringkali bereaksi, “terus kalau

tidak berbau SARA, kita harus menulis apa? Apalagi ini Indonesia yang, katanya, majemuk di segala sisi!”. Nah, ini adalah salah satu warisan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada masa Orba yang masih dilestarikan. Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya kebijakan-kebijakan Orba. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan, dampak kebijakan-kebijakan Orba adalah yang kedua terkuat perngaruhnya terhadap kehidupan

69

68

kekinian setelah kebijakan-kebijakan masa Kolonial. Jadi, kini kita akan membaca lebih jauh tentang orde ini.

Rezim Orba, yang sangat ‘tertarik’ dengan masalah etnik, terdapat fakta menarik

bahwa orde ini diawali sekaligus diakhiri dengan gejolak di ranah politik yang, kemudian, berimbas ke permasalahan etnik dan berujung kekerasan. Jendral Soeharto, sebagai satu-satunya presiden di orde ini, dilantik menjadi presiden setelah dianggap mampu menyelesaikan gejolak-gejolak yang ada di pertengah dekade 60-an. Pelantikkan Soeharto diawali terlebih dahulu dengan sebuah surat yang memberi dirinya wewenang untuk menggunakan segala cara untuk mengatasi segala permasalahan kala itu. Setelah dianggap mampu mengatasi usaha ‘kudeta’ Partai Komunis Indonesia (PKI), dilantiklah ia menjadi presiden. Hingga saat ini, perihal ‘kudeta’ PKI dan

naiknya Soeharto menjadi presiden masih merupakan lahan yang menarik bagi para peneliti khususnya sejarah. Hal tersebut dikarenakan pada masa Orba kebanyakan buku sejarah yang dikeluarkan adalah sejarah yang menggunakan sudut pandang Soeharto sehingga banyak hal yang tetap tak tersentuh. Setelah jatuhnya Soeharto, buku-buku sejarah tentang hari-hari kelam di tahun 1965 dan beberapa tahun berikutnya mulai bermunculan. Walaupun demikian, usaha pemberangusan atas buku-buku tersebut masih terjadi.

Setelah dilantik menjadi presiden Republik Indonesia, Soeharto benar-benar merealisasikan wacananya yang ikut mengangkat dirinya ke tampuk kekuasaan tertinggi: Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Yang ia dahulukan adalah butir pertama dan kedua. Alasannya jelas karena dua butir ini lah yang memastikan kekuasaannya. Untuk butir pertama, melalui Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 Soeharto membubarkan PKI sekaligus, untuk memastikan ketidakberlanjutan PKI, melarang komunisme.70 Hal tersebut terbukti mujarab karena Ketetapan tersebut masih berlaku, hanya tindak-lanjut

70 https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDYQFjAB&u rl=http%3A%2F%2Fwww.tatanusa.co.id%2Ftapmpr%2F66TAPMPRS-XXV.pdf&ei=MWKTUZy6NMTRrQfv64H4DA&usg=AFQjCNESuksop2r7ZgNMJfidP6JvnW1H8g&sig2=hnVd a4O7wVplrqF2pGMc1Q&bvm=bv.46471029,d.bmk

69

berdasarkannya saja kini sedikit dikendurkan dan memanfaatkan bentuk-bentuk non-kenegaraan seperti Ormas. Kemudian, sebagai realisasi butir kedua, ia mengeluarkan semua anggota PKI dari parlemen dan membentuk parlemen sementara. Dengan tindakan tersebut, resmi lah Orba sebagai rezim baru; rezim anti-komunis berbasis militer.

Bagaimana dengan politik Orba yang terkait dengan etnik? Garis besarnya, kebijakan-kebijakan Orba memiliki arah yang hamper mirip dengan masa-masa akhir Kolonial (Politik Etis). Orba juga, meskipun dengan kepentingan dan latar belakang yang berbeda, mengarahkan kebijakan-kebijakan tentang etniknya pada orang-orang Cina. Dalam hal tersebut, bahkan, dapat dikatakan, bahwa Orba semacam melanjutkan kebijakan-kebijakan segregatif a la Politik Etis. Tapi, Orba jelas memiliki gayanya sendiri. Yang berbeda, di masa Orba, kebijakan-kebijakan tersebut tidak terpisahkan dengan logika anti-komunis-nya. Singkatnya, logika anti-komunis Orba menyatakan bahwa tidak hanya PKI yang dapat menyebarkan komunisme namun juga warga keturunan Cina karena Cina merupakan Negara berlandaskan komunisme. Tentu logikanya tak selalu seketat itu namun itu lah awalnya. Yang ada di kemudian hari adalah variannya.

Berbicara tentang logika pengaturan etnik, terutamanya pemposisian etnis Cina, terdapat sebuah perdebatan di masa awal Orba. Para birokrat Orba melihat ada dua jalan yang dapat digunakan untuk meletakkan etnis Cina di Indonesia: 1.) Asimilasi dan 2.) Integrasi.71 Yang dimaksud dengan asimilasi adalah menghilangkan semua tanda-tanda identitas ke-Cina-an di orang-orang keturunan Cina, seperti nama, perayaan, agama, bahasa dll., sehingga membuat mereka terlihat sama dengan penduduk Indonesia lain yang sejak masa Kolonial dilabeli pribumi (Inlander). Sedangkan integrasi dimaknai

Dokumen terkait