• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Hakikat Matematika

Definisi dari matematika tidak dapat diterangkan secara pasti dan singkat. Banyak pendapat yang dapat mengungkapkan pengertian matematika, dimana satu sama lain saling melengkapi.

Poewodarminto (1995:6), mata pelajaran matematika adalah kumpulan bahan kajian dan simbolik yang terbagi dalam aritmatika, aljabar, geometri, trigonometri, statistik dan kalkulus, yang memberi bekal kemampuan kepada manusia untuk berpikir logis dan kritis.

Menurut Ruseffendi (1980:15), matematika dalam bekal studi yang dapat membantu pembentukan pribadi agar mempunyai bersifat kritis, kreatif, ilmiah, jujur, hemat, disiplin, dan tekun. Matematika merupakan salah satu

bidang eksakta yang paling mendasar, salah satu fungsi matematika adalah

sebagai salah satu unsur masukan instrumental yang memiliki objek dasar dalam mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan.

Menurut Jujun S. Sumantri (1985:63), matematika adalah bahasa yang dilambangkan dengan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan. Lambang-lambang matematika secara finansial yang baru, mempunyai arti setelah sebuah makna yang diberikan kepadanya, tanpa itu maka matematika merupakan kumpulan rumus yang mati.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah suatu bahasa yang dilambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan hingga dapat membantu dalam pembentukan pribadi siswa yang bersifat kritis, kreatif, ilmiah, jujur, hemat, disiplin, dan tekun yang terbagi dalam aritmatika, aljabar, geometri, trigonometri, statistik dan kalkulus.

B. Pengertian Belajar Matematika

Dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Jadi berhasil tidaknya suatu tujuan belajar mengajar sangat tergatung pada proses belajar yang dialami oleh siswa.

Berikut ini akan dibahas tentang pengertian belajar matematika, prinsip-prinsip belajar matematika, dan faktor-faktor belajar juga kemampuan berhitung.

1. Pengertian Belajar Matematika

Ada beberapa pengertian dari belajar. Menurut Winkel (1996: 53), belajar adalah aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap. Morgan (Purwanto 1984: 90) mengartikan belajar sebagai setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman.

Menurut Gagne (Tambunan, 1987:325), belajar matematika mempunyai dua objek, yaitu objek langsung dan objek tidak langsung. Objek langsung adalah belajar matematika dengan menggunakan benda-benda kongkret (yang dapat langsung dilihat oleh siswa). Sedangkan belajar matematika dengan objek yang tidak langsung adalah kemampuan menyelidiki dan kemampuan memecahkan masalah sendiri, bersikap positif terhadap matematika, tahu bagaimana belajar, dan operasi terhadap struktur matematika. Objek langsung belajar matematika merupakan materi dari pelajaran matematika itu sendiri. Menurut Gagne belajar matematika meliputi fakta, keterampilan, konsep, dan aturan, sehingga apabila terjadi kesulitan dalam mempelajari keempat objek tidak langsung tersebut.

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses ditimbulkannya/diubahnya perilaku seseorang (misalnya dari tidak tahu menjadi tahu) yang bersifat relatif menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat dengan menggunakan objek langsung maupun tidak langsung.

2. Prinsip-Prinsip Belajar Matematika

Ada beberapa prinsip belajar yang dijadikan suatu pegangan dalam melaksanakan proses belajar-mengajar. Menurut Tabrani, dkk (1992: 20), prinsip-prinsip belajar tersebut adalah:

a. Prinsip motivasi

Motiv adalah daya dari dalam pribadi seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Pendidik harus selalu menyelidiki motiv pendorong dari dalam diri seorang siswa yang rajin belajar maupun dari diri siswa yang malas belajar. Di sini pendidik hendaknya berperan sebagai pendorong atau motivator, motivasi dibagi menjadi dua yaitu: motivasi dari diri siswa (internal) dan motivasi dari luar diri siswa (eksternal). Motivasi dalam diri siswa dapat diciptakan dengan menimbulkan perasaan ingin tahu, sikap, minat dan keinginan untuk mencoba, sedangkan motivasi dari luar diri siswa dapat dilakukan dengan memberikan pujian, penugasan untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Motivasi sangat menentukan hasil belajar karena tanpa adanya motivasi, prestasi yang dicapai oleh siswa tidak dapat maksimal.

b. Prinsip latar atau konteks

Siswa mempelajari suatu objek yang baru, dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.Oleh karena itu pendidik harus menyelidiki/memilih kira-kira pengetahuan, keterampilan, sikap, dan

pengalaman apa yang telah dimiliki oleh para siswa. Perolehan ini dihubungkan dengan tahap pelajaran baru yang akan dipelajari oleh siswa, misalnya seorang pendidik yang akan mengajarkan penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai 50, maka sebaiknya pendidik mengaitkan dengan pengalaman para siswa dengan suatu alat yang kongkret seperti: lidi, sedotan, kerikil, gambar tiruan, yang ada di sekolah dan sekitar rumahnya sehingga para siswa akan lebih mudah menangkap dan memahami bahan pelajaran yang baru.

c. Prinsip hubungan sosial atau sosialisasi

Dalam belajar siswa harus dilatih untuk bekerjasama dengan teman-teman sebaya, dapat berkomunikasi dengan teman-teman sebaya, pendidik maupun orang tua, dapat menghargai perbedaan pendapat, misalnya dengan diskusi suatu masalah matematika. Latihan kerjasama, berkomunikasi, menghargai pendapat sangat penting dalam proses pembentukan kepribadian siswa dan dapat membantu proses belajar mengajar sehingga dapat tercipta pembelajaran yang menyenangkan.

d. Prinsip perbedaan perseorangan atau individu

Setiap siswa mempunyai perbedaan perorangan, misalnya: dalam hal kepintaran, kegemaran, bakat, sikap, kebiasaan, maupun latar belakang keluarga. Maka seorang pendidik tidak boleh memperlakukan siswa seolah-olah semua siswa itu sama. Jika

perbedaan setiap siswa dipelajari dan dimanfaatkan dengan tepat keberhasilan belajar siswa dapat dikembangkan

e. Prinsip menentukan

Para pendidik tidak perlu memberikan seluruh informasi kepada siswa. Namun berilah kesempatan pada diri siswa, untuk mencari dan menentukan sendiri informasi tersebut dengan yang ada di dalam diri siswa. Informasi yang benar-benar mendasar dan memancing siswa untuk “menggali” informasi yang lain. Jika siswa diberikan peluang untuk mencari dan menentukan sendiri maka mereka dapat membuat kegiatan belajar yang tidak membosankan.

f. Prinsip memecahkan masalah

Seluruh kegiatan siswa terarah jika didorong untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Guna mencapai tujuan tersebut para siswa dihadapkan pada situasi bermasalah agar mereka dapat peka untuk mencari cara melihat masalah, merumuskan masalah, dan memecahkan masalah sesuai dengan kemampuan siswa.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar Matematika

Prinsip-prinsip belajar hanyalah sebagai petunjuk umum untuk belajar. Apabila tujuan belajar berbeda maka dengan sendirinya cara belajar juga harus berbeda. Contohnya: belajar untuk memperoleh sikap berbeda dengan belajar untuk memperoleh pengetahuan. Perubahan sikap

dapat kita lihat (bersifat kongkret), sedangkan perubahan/perkembangan pengetahuan tidak dapat dilihat secara langsung (bersifat tidak kongkret). Oleh karena itu belajar yang efektif dipengaruhi oleh faktor-faktor kondisi yang ada.

Menurut Tabrani, dkk (1992:23), faktor-faktor belajar adalah:

a. Siswa harus melakukan banyak kegiatan dengan melibatkan panca

indera mereka, seperti melihat, mendengar, meraba/memegang, merasakan, maupun mencium dan juga kegiatan yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan sikap, kebiasaan, minat dan lain-lain.

b. Pengalaman masa lampau (bahan apersepsi) dan

pengertian-pengertian yang telah dimiliki oleh siswa besar peranannya dalam proses belajar mengajar. Pengalaman dan pengertian itu menjadi dasar untuk menerima pegalaman-pengalaman baru dan pengertian-pengertian baru.

c. Faktor kesiapan belajar. Siswa yang telah siap dalam kegiatan belajar

akan lebih mudah dan berhasil.

d. Faktor minat dan usaha. Belajar dengan minat dapat mendorong

siswa untuk belajar lebih baik daripada yang belajar tanpa minat. Karena hanya siswa yang dapat mengembangkan minat belajarnya, dan orang lain tidak dapat melakukannya karena minat merupakan masalah pribadi. Minat ini dapat timbul apabila siswa tertarik dengan sesuatu karena sesuai dengan kebutuhannya atau merasa bahwa

sesuatu yang makna dipelajari dirasakan bermakna bagi dirinya. Namun apabila minat itu tidak disertai dengan usaha yang baik maka belajar juga sulit berhasil.

e. Faktor fisiologis. Kondisi badan siswa yang belajar sangat

berpengaruh dalam proses belajar. Misalnya badanya lemah/lemas maupun sakit dapat menyebabkan perhatian siswa atau konsentrasi siswa tidak maksimal. Oleh karena itu faktor fisiologis sangat menentukan berhasil tidaknya siswa belajarnya.

f. Faktor intelektual. Siswa yang cerdas dapat lebih berhasil dalam

kegiatan belajar karena siswa lebih mudah menangkap dan memahami pelajaran dan lebih mudah mengingat pelajaran. Siswa yang cerdas lebih mudah berfikir kreatif dan cepat mengambil keputusan.

C. Kemampuan Berhitung

Menurut Pandoyo (1977: 19), berhitung merupakan cabang matematika yang berkenaan dengan sifat dan hubungan bilangan dengan perhitungan terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pengakaran dan penarikan logaritma.

Secara sistematis alur operasi hitung adalah:

Penjumlahan Pengurangan

Perkalian Pembagian

Perpangkatan Penarikan akar

Penarikan logaritma

: Berkebalikan

: Berulang

Penjumlahan merupakan dasar operasi hitung. Pengurangan berkebalikan dengan penjumlahan. Pembagian berkebalikan dengan perkalian. Penarikan akar dan penarikan logaritma, masing-masing berkebalikan dengan perpangkatan. Perkalian adalah penjumlahan yang berulang. Perpangkatan adalah perkalian yang berulang-ulang sedangkan pembagian adalah pengurangan yang berulang-ulang (Hirdjan, 2002:3).

Operasi-operasi tersebut memiliki kaitan yang cukup erat. Oleh karena itu pemahaman konsep dan keterampilan melakukan operasi yang satu akan mempengaruhi pemahaman konsep dan keterampilan melakukan operasi lainnya.

Kemampuan siswa dalam menghitung yang mengandung aljabar diberikan pada jenjang SD (Sekolah Dasar), dan diperkuat di sekolah lanjutan

seperti SMP, SMA, dan sampai di perguruan tinggi. Dalam hal ini siswa dapat melakukan perhitungan-perhitungan dengan cepat dan tepat sehingga prestasi belajar siswa akan semakin tinggi. Selain itu keterampilan siswa dalam menghitung juga sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.

Materi perkalian diberikan mulai di kelas rendah yakni di kelas II dan kelas III, dan akan semakin didalami di kelas tinggi. Di kelas II perkalian dimulai di semester II dengan tema tumbuhan dan hewan, dengan Standar Kompetensi: melakukan perkalian bilangan sampai dua angka, dan Kompetensi Dasar: melakukan perkalian bilangan yang hasilnya dua angka. Di kelas III dengan Standar Kompetesi: melakukan operasi hitung tiga angka, dan Kompetensi Dasar: melakukan perkalian yang hasil bilangannya tiga angka dan pembagian bilangan tiga angka, di mana siswa diminta untuk mengubah bentuk perkalian menjadi pembagian dan bentuk pembagian menjadi perkalian serta memecahkan masalah sehari-hari yang melibatkan perkalian dan pembagian.

Dalam hal ini kemampuan siswa dalam menghitung yang dimaksud adalah kemampuan siswa SD (Sekolah Dasar) dalam menghitung hasil perkalian bilangan.

Misalnya

1. 25 x 6 =…….

D. Keterampilan

Keterampilan artinya sama dengan kecepatan, terampil. Pengertian keterampilan biasanya lebih ditujukan pada hal-hal yang bersifat kegiatan-kegiatan/dapat berupa perbuatan yang dapat menghasilkan karya dan dapat dijadikan bekal hidupnya.

Sastro Winoto (1987: 24) mengemukakan bahwa yang dimaksud keterampilan adalah gerakan reflek yang bersyarat, syaratnya adalah telah terbentuknya alur reflek dengan cara melatih diri untuk berkonsentrasi/membuang kegiatan syarat yang tidak mengarah pada keterampilan yang dapat ia miliki. Misalnya seseorang tidak akan mengembangkan keterampilan yang negatif, seperti: mencopet, mencuri.

Menurut Julius (1995: 9), keterampilan adalah koordinasi motorik yang mendorong seseorang secara otomatis menggerakkan anggota badan untuk melaksanakan berbagai jenis pekerjaan dengan menggunakan kemampuan khusus.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan adalah suatu kegiatan/perbuatan yang dapat menghasilkan sebuah karya yang dapat terbentuk dari alur reflek yang ada pada diri seseorang sehingga keterampilan yang dia miliki dapat berkembang.

E. Perkalian

Perkalian merupakan salah satu operasi hitung dalam matematika. Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian perkalian, perkalian dasar, dan perkalian bersusun.

1. Pengertian Perkalian

Operasi perkalian didefinisikan sebagai

a x b = n (A x B) dimana A x B = {(a, b) | a A dan b B})

Dengan syarat a = n (A)

b = n (B)

a dan b adalah dua bilangan cacah. A dan B adalah dua himpunan berhingga.

Definisi kedua, apabila a dan b adalah bilangan cacah maka: a x b = b + b + b +… + b.

Penjumlahan berulang b sebanyak suku a. bentuk perkalian a x b dapat ditulis ab, a dan b faktor (St. Suwarsono dan Th. Sugiato, 2008: 11).

2. Perkalian Dasar

Perkalian di SD mulai diajarkan di kelas II semester 2. Sebagai pemula agar pembelajaran menjadi bermakna dan dapat memberikan kecakapan hidup, perlu adanya pendekatan kontekstual yang permasalahannya diambilkan dari cerita yang dekat dengan konteks kehidupan peserta didik. Perkalian merupakan topik yang sangat penting dalam pembelajaran matematika karena sering dijumpai terapannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya operasi yang lain, pembelajaran perkalian dipilah menjadi dua hal, yaitu perkalian dasar dan perkalian lanjut. Perkalian dasar adalah perkalian bilangan satu angka dengan bilangan satu angka. Sedangkan perkalian lanjut adalah perkalian yang melibatkan paling tidak bilangan dua angka dengan bilangan dua angka.

Secara matematika yang dimaksud dengan perkalian adalah penjumlahan berulang dari bilangan-bilangan yang sama pada setiap sukunya.

Di SD, perkalian pertama yang diajarkan adalah perkalian dengan hasil sampai dengan 45. Itu berarti terkali adalah bilangan 1 sampai dengan 5, sedangkan pengalinya adalah bilangan-bilangan dari 0 sampai dengan 9. Urutan mana yang didahulukan tidak begitu penting, yang penting peserta didik dapat mengikutinya secara menyenangkan.

3. Perkalian mendatar

Untuk menyelesaikan perkalian bilangan bilangan satu angnaka dengan bilangan tiga angka dengan menggunakan cara mendatar.

Langkah mengerjakan perkalian mendatar 7 x 395 = 7 x (300 + 90 + 5) = (7 x 300) + (7 x 90) + (7 x 5) = 2.100 + 630 + 35 = 2.000 + 100 + 600 + 30 + 35 = 2.000 + 700 + 65 = 2.765 (Sunardi, dkk, 2008: 24) 4. Perkalian Bersusun

Langkah mengerjakan perkalian bersusun

Contoh: Perkalian bilangan satu angka dengan bilangan tiga angka

a. Cara bersusun panjang

395 7

x

35 Diperoleh 7 x 5 satuan

630 Diperoleh dari 7 x 9 puluhan

2100 + Diperoleh dari 7 x 3 ratusan

b. Cara bersusun pendek 63 ← disimpan 395 7 x 2765

(M. Khafid dan Suyati, 2004:30)

F. Keterampilan Perkalian

1. Keterampilan Perkalian

Keterampilan perkalian adalah suatu prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau memperoleh suatu hasil perkalian. Misalnya saja kita diminta untuk menentukan hasil dari 34 x 46 tanpa menggunakan kalkulator. Prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau memperoleh hasil 34 x 46 dengan menggunakan perkalian besusun ataupun dengan menggunakan media matriks (Shadiq Fadjar, 2008: 5).

Keterampilan perkalian adalah kemampuan yang dimiliki oleh setiap anak di dalam mereka mengerjakan suatu persoalan perkalian. Cepat tidaknya siswa mengerjakan soal, dan benar tidaknya soal yang dikerjakan siswa, ini sangat mempengaruhi keterampilan yang telah dimiliki siswa, khususnya dalam perkalian.

Seorang siswa dinyatakan belum menguasai keterampilan jika ia tidak menghasilkan suatu penyelesaian yang benar atau tidak dapat menggunakan dengan tepat prosedur atau aturan yang ada. Sebagai

contoh siswa A dinyatakan belum menguasai keterampilam mengalikan jika pada langkah mengalikan pertama ia mengalikan 3 dengan 6. Begitu juga dengan siswa B dinyatakan belum menguasai keterampilan mengalikan jika ia sudah betul mengalikan 4 x 6 = 24, namun ia menuliskannya angka 2-nya dan menyimpan angka 4-nya di dalam pemikirannya.

2. Meningkatkan Keterampilan Perkalian

Siswa yang mempunyai motivasi untuk belajar sesuatu yang baru, maka iapun akan memperoleh keterampilan yang baru pula. Keterampilan matematika dapat meningkat apabila siswa secara teratur berlatih perkalian.

Keterampilan perkalian dapat pula meningkat, apabila siswa telah mengetahui dan dapat menggunakan media matriks dengan baik. Karena itu siswa harus mempelajari prosedur, aturan, maupun langkah-langkah yang harus mereka lakukan pada saat menggunakan media matriks. Di samping itu, siswa harus sudah hafal dan mengerti hasil perkalian dasar. Karena apabila siswa belum hafal dengan hasil perkalian dasar, maka hal tersebut dapat menghambat dia dalam mengerjakan soal perkalian. Sehingga keterampilan siswapun tidak dapat meningkat dengan baik.

Media matriks ini dapat digunakan siswa tanpa merasa takut pada besarnya bilangan-bilangan yang harus mereka kalikan. Namun dengan menggunakan media matriks ini siswa bisa bermain dengan angka-angka untuk mencari hasil kali bilangan.

G. Media

1. Pengertian Media

Komunikasi antara guru dan siswa yang berwujud pergaulan memungkinkan terjadinya proses pendidikan. Di dalam pendidikan modern, media komunikasi bukanlah barang yang mewah atau mengejutkan. Di mana salah satu syarat untuk berhasilnya suatu pembelajaran ialah dengan media yang baik dan tepat. Hal ini dapat terjadi dalam pendidikan formal, informal, maupun non formal yang biasa yang diberi mana media pendidikan.

Dalam dunia pendidikan atau pengajaran hal tersebut dinamakan alat peraga: istilah ini akhirnya di dalam pendidikan disebut media pendidikan, ada pula yang menyebut audio visual aid (AVA: alat bantu pandang dengar). Sesuai dengan namanya maka fungsinya membantu proses belajar mengajar melalui penglihatan dan pendengaran. Jangan

sampai AVA ini justru mengganggu tercapainya tujuan pembelajaran

Media pengajaran adalah suatu alat yang dapat mengkomunikasikan antara pelajaran yang diberikan oleh pendidik dan siswa yang menerima pelajaran. Menurut Winkel (1996:285), media pengajaran adalah suatu suasana (non personal/bukan manusia) yang digunakan atau disediakan oleh tenaga pengajar yang memegang peranan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan instruksional.

Menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (1990: 6-7), peranan media dalam proses pengajaran dapat ditujukan sebagai:

a. Alat untuk memperjelas bahan pengajaran pada saat guru

menyampaikan pelajaran. Dalam hal ini media digunakan guru sebagai variasi penjelasan verbal mengenai bahan pengajaran.

b. Alat untuk mengangkut/menimbulkan persoalan untuk mengkaji lebih

lanjut dan dipecahkan oleh para siswa dalam proses belajarnya, paling tidak pendidik dapat menempatkan media sebagai pertanyaan atau stimulasi belajar siswa.

c. Sumber belajar bagi siswa, artinya media tersebut berisikan

bahan-bahan yang harus dipelajari para siswa dan individual maupun kelompok. Dengan demikian media banyak membantu tugas pendidik dalam kegiatan belajar mengajar.

Walaupun demikian, media sebagai alat/sumber pengajaran tidak bisa menggantikan pendidik sepenuhnya. Artinya media tanpa pendidik suatu hal yang mustahil dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Peran

pendidik masih tetap diperlukan sekalipun media telah merangkum semua bahan pengajaran yang diperlukan oleh siswa.

2. Jenis-Jenis Media

Menurut Winkel (1996:287), ada beberapa sistematika pengkatagorian jenis-jenis media pengajaran, salah satu sistematika yang dapat digunakan adalah:

a. Media visual yang tidak menggunakan proyektor, misalnya papan tulis,

buku pelajaran, papan yang ditempeli gambar dan tulisan (display board), lembaran kertas yang dapat diganti-ganti (flip charts), kliping dari suratkabar atau majalah, poster atau model berskala besar atau kecil.

b. Media visual dengan menggunakan proyektor, misalnya: film, kaset,

video, proyektor untuk memantulkan hal dalam buku pada sebuah layar atau siaran televisi pendidikan.

c. Media audiktif, misalnya gramofon, kaset yang berisikan ceramah atau

wawancara dengan seseorang, kaset dengan ucapan bahasa asing, musik, dan siaran radio.

d. Media kombinasi visual audiktif yang diciptakan sendiri, seperti

serangkaian dia atau slide yang dikombinasikan dengan kaset audio/ diproduksi oleh perusahaan seperti disket video dan program komputer yang dapat bicara.

e. Media matriks, dengan menggunakan tabel yang berbentuk persegi (petak-petak) yang didalamnya diberi bilangan yang dapat dipakai untuk mempermudah dalam menghitung hasil perkalian.

Menurut Winarno Surakhmad (1980:140), ada 3 (tiga) golongan alat-alat pengajaran, ditinjau dari tingkat pengalaman siswa yaitu:

a. Alat-alat yang merupakan pengalaman siswa yaitu benda-benda real/

yang dipakai manusia dalam kehidupan sehari-hari.

b. Alat-alat yang merupakan benda-benda pengganti, sering kali dalam

bentuk tiruan benda yang sebenarnya. Benda-benda pengganti ini berfungsi sebagai alat-alat pengajaran bila mana karena suatu sebab benda ini lebih praktis digunakan dari pada benda-benda yang sebenarnya.

c. Bahasa, baik bahasa lisan maupun tulis. Bahasa memberikan

pengalaman verbal yang tinggi tingkat abstraksinya dibandingkan dengan golongan alat yang terdahulu.

Menurut Winkel (1996: 286), pada umumnya media pengajaran dapat digunakan untuk:

a. Merekam atau menyimpan data/informasi, misalnya bunyi suara

berbagai jenis burung dapat direkan dalam bentuk kaset recorder.

b. Memanipulasi aneka obyek, misalnya proses pembagian sel-sel pada

tumbuh-tumbuhan dapat diperlihatkan pada film dengan mempercepat atau memperlambat.

c. Menyebarluaskan data/informasi, misalnya melalui siaran televisi, yang disalurkan lewat satelit komunikasi dapat diketahui dengan cepat apa yang sedang terjadi di negara lain.

d. Mendampingi siswa dalam mengelola mata pelajaran baru atau

mengulang kembali materi pelajaran lama sehingga dimungkinkan siswa belajar mandiri untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan luas.

3. Kriteria-Kriteria dalam Memilih Media

Menurut Nana Sudjana dan Ahmad Rivai (1990:4-6), dalam pemilihan media untuk pengajaran sebaiknya memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut:

a. Ketepatan dengan tujuan pengajaran, artinya media pengajaran

dipilih atas dasar tujuan-tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Tujuan-tujuan instrusional yang berisikan unsur pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, lebih memungkinkan digunakannya media pengajaran.

b. Dukungan terhadap isi bahan pengajaran, artinya bahan pengajaran

yang sifatnya fakta, prinsip, konsep, dan generalisasi sangat memerlukan media agar mudah dipahami oleh siswa.

c. Kemudahan dalam memperoleh media, artinya media yang

diperlukan mudah didapat, setidak-tidaknya mudah dibuat pendidik pada waktu pengajaran. Media grafis umumnya dapat dibantu guru

tanda biaya yang mahal, di samping sederhana dan praktis penggunaannya.

d. Keterampilan pendidik dalam menggunakannya, apapun jenis media

yang diperlukan syarat utama adalah pendidik dapat menggunakannya dalam proses pembelajaran, nilai dan manfaat yang diharapkan bukan medianya tetapi dampak dari penggunaan oleh pendidik pada saat terjadinya interaksi belajar siswa dengan lingkungan. Adanya OHP, proyektor film, komputer, dan alat-alat canggih lainnya, tidak mempunyai arti apa-apa, apabila pendidik tidak dapat menggunakannya, sehingga media tersebut dapat dimanfaatkan bagi siswa selama pengajaran berlangsung.

e. Tersedianya waktu untuk berfikir, memilih media untuk pendidikan

dan pengajaran harus sesuai dengan taraf berpikir siswa, sehingga makna yang terkandung didalamnya dapat dipahami oleh siswa. Menyajikan grafik yang berisi data dan angka/proporsi dalam

Dokumen terkait