• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Keberadaan Pedagang Kaki Lima Sebagai Salah Satu Bentuk Sektor Informal

Sektor informal dianggap sebagai manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di wilayah perkotaan. Mereka yang memasuki kegiatan usaha berskala kecil di kota, bertujuan mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan (Pramono, 2003:25). sektor informal merupakan pilihan yang paling rasional dan mudah dimasuki bagi kaum marginal, untuk bertahan hidup di kota (economical survive strategy) yang bukan hanya sekedar kompetitif, tetapi membutuhkan tingkat pendidikan dan keterampilan tertentu.

Sektor ekonomi informal diperkotaan merupakan klaster masyarakat yang cukup rentan terkena imbas dari berbagai kebijakan. Pada umumnya sektor ini merupakan ruang terbuka bagi kelompok marjinal kota untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan dalam batas subsistensi.

Sektor informal kerap dianggap tidak memiliki masa depan. Ketika sektor ini didefinisikan dalam pengertian sektor yang kurang mendapat dukungan pemerintah, tidak tercatat secara resmi, dan beroperasi diluar aturan pemerintah, secara otomatis dukungan pemerintah akan diarahkan untuk mengformalisasi sektor ini. Pendekatan ini juga berasumsi bahwa satu-satunya hambatan sektor informal untuk tumbuh adalah sikap

negatif dari pemerintah terhadap sektor ini. Oleh karena itu, dukungan pemerintah dianggap bisa menjadi jaminan sukses (Bromley,1979).

Salah satu sektor informal dalam sektor perdagangan adalah Pedagang Kaki Lima (PKL), dimana dalam aktivitasnya dimungkinkan terjadinya mobilitas vertikal pada peningkatan taraf hidup, sehingga kegiatan sektor informal bukan lagi sekedar aktivitas untuk bertahan hidup. Keberadaan sektor ini mampu mengangkat stratifikasi sosial pelaku (Mustofa dalam Alisjahbana,2005:13).

PKL merupakan korban dari langkanya kesempatan kerja yang produktif di kota. PKL dipandang sebagai suatu jawaban terakhir yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkai dengan migrasi desa-kota yang besar, perkembangan kota, pertambahan penduduk yang pesat, pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat dalam sektor industri dan persiapan teknologi impor yang padat modal dalam keadaan kelebihan tenaga kerja (Bromley dalam Alisjahbana, 2005:35).

Dalam melaksanakan aktivitasnya ini pada dasarnya PKL memiliki unsur kreativitas yang terlihat pada pemilihan lokasi, penentuan waktu dagang serta penyediaan entitas dan variasi barang dagangan yang dijajakan. Selain itu, mereka juga kreatif dalam menciptakan jaringan usaha, menarik pembeli, mendekati pelanggan, dan memuaskan pelanggan dengan harga yang murah serta kualitas barang yang tidak begitu mengecewakan. Dengan demikian pada dasarnya PKL berjasa terutama bagi masyarakat perkotaan menengah ke bawah, antara lain dalam mendistribusikan barang dan jasa dengan harga terjangkau. Selain unsur kreativitas tersebut, dimensi kerakyatan juga tercermin dalam aktivitas PKL ini.

Adapun Permasalahan dalam PKL dibagi menjadi masalah eksternal dan internal. Masalah eksternal: banyaknya pesaing usaha sejenis, sarana dan prasarana perekonomian yang tidak memadai, belum adanya pembinaan yang memadai, keterbatasan mengakses kredit. Masalah internal: kelemahan dalam struktur permodalan, organisasi dan manajemen, keterbatasan komoditi yang dijual, minimnya kerjasama usaha, rendahnya pendidikan usaha dan kualitas SDM (Firdausy,1995).

Ciri-ciri dan permasalahan yang dihadapi PKL di empat kota ini tidak banyak berbeda dengan temuan di beberapa studi lainnya (Moir 1978; Sasono 1989; Sethuraman 1989; Ekasari 1993). Hal ini membuktikan bahwa dalam rentang waktu lebih dari 10 tahun, kebijakan dan program pemerintah masih belum mampu mengatasi berbagai masalah yang dialami sektor informal PKL.

Ketidakberhasilan kebijakan dan program pemerintah dalam mengembangkan PKL terkait dengan berbagai hal, seperti :

(1) pendekatan pemerintah yang masih bersifat “supplyside” oriented (pengaturan, penataan, dan bantuan terhadap PKL dilakukan tanpa melakukan komunikasi dan kerjasama dengan PKL sendiri),

(2) pelaksanaan kebijakan/program bagi PKL sarat dengan keterlibatan berbagai aparat pembina.

(3) penertiban dan pengendalian PKL lebih didasari pada adanya keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan proyek daripada semangat membangun sektor informal sebagai salah satu basis perekonomian rakyat (Sethuraman 1989; Sasono 1989).

(4) sedikitnya PKL yang pernah mengikuti pembinaan usaha karena kurangnya sosialisasi pemerintah mengenai program ini, dan penolakan relokasi.

2.2. Dilematis Pasar Tradisonal antara Pembangunan dan Penggusuran

Pembangunan fisik biasanya menjadi prioritas utama dalam berbagai program pembangunan yang dilakukan. Sehingga berimplikasi pada tidak humanisnya suatu program pembangunan. Membangun dan menggusur menjadi dua hal yang tak terpisahkan dalam perkembangan kota dewasa ini.

Pembangunan melalui penggusuran merupakan sebuah kebijakan yang tidak memperhatikan kaum marginal sebagai warga Negara yang berhak dilindungi. Sepertinya pembangunan dalam perspektif konvensional masih mendominasi berbagai kebijakan yang menyangkut kaum marginal saat ini. Walaupun pembangunan tipe itu sudah tidak relevan diterapkan dewasa ini.

Sektor informal kini menjadi kebijakan eksplisit dalam pembangunan Nasional, yang mana sektor informal diharapkan dapat berperan sebagai katup penyelamat dalam menghadapi masalah lapangan kerja bagi angkatan kerja yang tidak dapat terserap dalam sektor modern/formal. Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan Pedagang Kaki Lima, kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya dan sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya berbagai permasalahan. (http://faozangea.blogspot.com/2009/09/deskripsi-masalah-implementasi diakses pada hari Kamis 07-01-2011 15.45)

Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) pada saat ini memiliki permasalahan yang sangat dilematis. Hal ini disebabkan karena pada satu sisi PKL mampu mengatasi masalah pengangguran secara keseluruhan, namun disisi lain PKL mengakibatkan terganggunya aspek ketertiban umum yang menjadi salah satu syarat ideal suatu kota (Kurniadi dan Tangkisilan, 2006:1). Fenomena PKL sebagai suatu pekerjaan penting dan khas dalam sektor informal memberikan konsekuensi bagi Pemerintah Kota untuk dapat melaksanakan ketentuan yang berlaku untuk menjamin tertibnya kota.

Saat ini sektor informal di daerah perkotaan menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Membengkaknya sektor informal memiliki kaitan dengan berkurangnya sektor formal dalam menyerap pertambahan tenaga kerja di kota. Disisi lain pertambahan angkatan kerja sebagai akibat migrasi ke kota lebih pesat daripada pertumbuhan kesempatan kerja. Akibatnya terjadi pengangguran terutama di kalangan usia muda dan terdidik, yang diikuti membengkaknya sektor informal (Effendi, 1988:2)

PKL sebagai sektor informal perkotaan tumbuh tanpa terencana dan memiliki bentuk serta keragaman jasa pelayanannya, membuat karakter PKL menjadi beragam pula masalah yang timbul di wilayah berdagangnya. Setiap PKL akan memiliki tingkat gangguan berbeda terhadap kepentingan publik bilamana dia menetap ataupun bilamana PKL berpindah-pindah tempat. Permasalahan umum yang terjadi di negara berkembang seperti di Indonesia adalah bahwa sektor informal seperti PKL sering tidak diperhitungkan atau terpinggirkan dalam penataan ruang, sehingga seringkali PKL tidak memiliki alokasi ruang khusus yang mengakibatkan PKL sering berbenturan dengan ruang publik.

2.3. Kebijakan Pemerintah Kota Medan Terkait dengan Pedagang Kaki Lima

Pemko Medan melakukan penataan pedagang kaki lima (PKL) sesuai peraturan daerah (Perda) Kota Medan nomor 31 tahun 1993 dan Undang-undang nomor 7 tahun 2004 tentang pemakaian badan jalan, trotoar dan diatas parit tidak boleh dibangun. Ketentuan dalam beberapa pasal pada Perda No 31 Tahun 1993 terkesan kaku dan berpihak hanya pada pemerintah kota seperti yang terlihat dalam pasal 3 yang berbunyi:

“Stand, kios atau bangunan Pemerintah Daerah baik yang pembangunannya dibiayai oleh Pemerintah Daerah maupun swadaya masyarakat yang berada di dalam kompleks pasar milik Pemerintah Daerah yang digusur, ditertibkan, dibongkar guna peremajaan Pasar atau Kota dan penertiban lainnya tidak akan diberian ganti rugi dalam bentuk apapun kepada penyewa dengan ketentuan kepada penyewa diberikan prioritas untuk memperoleh tempat berjualan di lokasi atau tempat yang diremajakan atau tempat lain yang dihunjuk oleh pemerintah daerah”.

Di kota Medan penerapan peraturan daerah No.31.Tahun 1993 tentang Pemakaian Tempat Berjualan, belum dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya. Dimana para pedagang khususnya PKL sangat menentang keberadaan ketentuan peraturan peraturan tersebut, sehingga sebagian besar para PKL minta ditinjau kembali. Ketidaktegasan pemerintahan kota Medan dalam mengatur peruntukan ruang bagi para PKL menyebabkan para pedagang yang berjualan di tempat yang strategis dan potensial akan mengganggu ketertiban umum. Bilamana tim penertiban datang maka PKl tersebut melarikan diri, tetapi bila mana penertiban telah berlalu maka para pedagang kembali lagi melakukan

aktivitasnya. Usaha kecil merupakan bagian integral dunia usaha nasional yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan pembanguan nasional dan pembangunan ekonomi. Usaha kecil adalah usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi dalam peningkatan masyarakat.serta mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya (Limbong, 2005).

2.4. Dimensi Sosial Budaya Terkait dengan Permasalahan Pedagang Kaki Lima Para PKL adalah aset, sehingga sumberdaya manusia tersebut harus diberdayakan sesuai dengan kemampuannya. Selama ini para PKL tumbuh dan berkembang semat-mata hanya karena inisiatif dari pedagang sendiri. Hal tersebut dapat disebabkan karena interaksi social antara para PKL denhgan Pemerintah Kota tiak berjalan dengan baik.Suatu interaksi sosial terjadi apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

a. adanya kontak sosial (social contact) b. adanya komunikasi.

Kontak sosial dapat saja terjadi antara pihak Pemerintah Kota Medan dengan para PKL dimana para pedagang yang melakukan aktivitasnya di pasar tetapi mendapat tanggapan yang negatif dari pihak Pemko. Disamping itu, komunikasi diantara PKL dan pihak Pemko juga tidak sesuai dengan yang diharapkan.Pemerintah Kota tidak mampu membaca kehendak para PKL dan demikian juga dengan sebaliknya sehingga kedua belah pihak hanya bersikukuh pada keinginan masing-masing.Hal ini menyebabkan tidak berlangsung suatu interaksi sosial yang baik.

Sebagaimana disadari bahwa para PKL umumnya banyak berasal dari kelompok yang kurang mendapat pendidikan yang baik dan kurang terampil, tidak mempunyai pengetahuan hukum dan kesadaran terhadap ketertiban lingkungan yang cukup, serta miskin sehingga wajar bilamana interaksi sosial antara pihak Pemerintah Kota dengan PKL tidak memberikan hasil yang memuaskan. Apalagi kondisi ekonomi pun belum dapat memulihkan ekonomi masyarakat bahkan jumlah pengangguran cenderung semakin meningkat. Hal ini merupakan potensi yang akan mengancam kerawanan sosial misalnya pencurian dan perampokan. Oleh karena itu, penciptaan lapangan kerja melalui sektor informal terutama PKL harus mendapat respon yang positif dari Pemerintah Kota.

Kebijakan pemerintah yang melarang keberadaan sektor informal justru berpotensi menimbulkan kerawanan politik dan sosial. Hoebel dan Lywllyn menyatakan bahwa hukum mempunyai fungsi yang penting demi keutuhan masyarakat,yaitu;

a. menetapkan hubungan antara para warga masyarakat dengan menetapkan perilaku mana yang dipebolehkan dan mana yang dilarang;

b. membuat alokasi wewenang (authority) dan menentukan dengan seksama pihak-pihak yang secara sah dapat melakukan paksaan dengan sekaligus memilih sanki-sanksi yang tepat dan efektif;

c. penyelesian perselisihan;

2.5. Pelibatan Masyarakat Marginal dalam Perencanaan Pembangunan yang Pertisipatif dan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004 Menurut Munasinghe 1993), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu:

1. tujuan ekonomi (economic objective) 2. tujuan ekologi(ecological objective) dan 3. tujuan sosial (social objective).

Ketiga indikator dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah suatu kesatuan tujuan yang harus diperhatikan oleh pengambil kebijakan.

Dalam suatu pembangunan yang berkelanjutan, Setiap kebijakan memiliki efek atau dampak bagi pedagang kaki lima itu sendiri dan juga bagi lingkungan. Dua kriteria yang digunakan yaitu internal dan eksternal. Internal yaitu bagaimana dampak terhadap PKL dalam hal peningkatan ekonomi, rasa keadilan dan eksternal yaitu bagaimana keterkaitannya dengan lingkungan.

Adapun Dampak yang muncul pasca relokasi Pasar, yaitu terbagi menjadi tiga sub dampak yaitu ; pertama dampak sosial ekonomi, kedua sosial budaya dan ketiga dampak terhadap lingkungan.

Adapun dampak sosial ekonomi dan sosial budaya yang bersifat positif yaitu 1. meningkatnya kelayakan dan kenyamanan usaha

2. terbukanya kesempatan kerja

3. perubahan status PKL menjadi pedagang legal

4. menurunnya budaya premanisme (keamanan pasar stabil).

Adapun dampak sosial ekonomi dan sosial budaya yang bersifat negatif yaitu : 1. menurunnya modal dan pendapatan

2. meningkatnya biaya operasional

3. menurunnya aktivitas pasar (produksi, distribusi dan konsumsi), 4. melemahnya jaringan sosial (pelanggan)

5. menurunnya kesempatan pedagang untuk ikut dalam kelompok kelompok sosial nonformal.

Dampak terhadap lingkungan memberikan implikasi yang positif yaitu 1. tertatanya lingkungan dengan baik

2. pengolahan limbah pasar

3. penghijauan sekitar pasar reloksi, sehingga lingkungan pasar menjadi asri dan tidak terlihat kesan kumuh (ramah lingkungan).

Kebijakan mengenai relokasi pasar jika dikaitkan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan maka kebijakan tersebut tidak dapat digolong sebagai kebijakan pembangunan berkelanjutan, karena dari tiga syarat hanya satu syarat yang terpenuhi yaitu ramah lingkungan (environmental protection) atau tidak terjadinya degradasi lingkungan. Sebaliknya peningkatan ekonomi (economic growth) dan keadilan (social equity) tidak terpenuhi.

Pentingnya proses pelibatan masyarakat marjinal dalam perencanaan dan penganggaran partisipatif bagi pengembangan kapasitas masyarakat. Melalui proses ini telah terjadi alih dan akumulasi pengetahuan serta meningkatnya perasaan memiliki atas hasil yang diperoleh dan budaya berdiskusi. (Handayani, 2006) pada saat itu partisipasi masyarakat lebih sebagai jargon pembangunan, dimana partisipasi lebih diartikan pada bagimana upaya mendukung program pemerintah dan upaya-upaya yang pada awal dan konsep pelaksanaanya berasal dari pemerintah. Berbagai keputusan umumnya sudah diambil dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang tidak bisa ditolak. Sejalan dengan dikedepankannya prinsip tata pemerintahan yang baik terutama di tingkat Kabupaten/Kota, maka konsep perencanaan pembangunan partisipatif mulai digagas dan dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia

Keterlibatan dalam sektor informal lebih akibat keterpaksaan daripada pilihan (Hugo) karena tekanan dari sistem ekonomi yang tidak memberi tempat bagi mereka yang kurang berpendidikan dan ketrampilan . Terkait dengan partisipasi politik, pelaku sektor informal lebih dianggap sebagai obyek ketimbang partisipan. Padahal mereka merupakan sumber daya politik dan ekonomi. Sebagai sumber daya politik, mereka kerap dijadikan obyek yang dikendalikan oleh organisasi massa yang berafiliasi dengan partai pemerintah. Melalui cara ini, pemerintah melakukan kontrol terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berpotensi menimbulkan konflik dan masalah keamanan. Oleh karena itu, kaum informal hampir tidak pernah bisa memanfaatkan sumber daya politiknya. Sedangkan sebagai sumber daya ekonomi terkait dengan ketersediaan tenaga kerja yang murah. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk eksploitasi. Sebagai perbandingan, (Rachbini dan Hamid, 1994)

Dengan adanya pembangunan pertisipatif dan berkelanjutan memungkinkan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan yang memperhatikan kaum marjinal, tanpa mengabaikan aspek lingkungan. Dalam pembangunan partisipatif masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan dan penerima kebijakan, tetapi juga sebagai pengambil keputusan. Diharapkan dengan pembangunan yang partisipatif dapat menciptakan peraturan yang kondusif dan menghasilkan kebijakan yang tetap bertolak ukur pada ketiga indikator pembangunan berkelanjutan. Dan pembangunan yang partisipatif dan berkelanjutan juga dapat meminimalisir permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh PKL.

2.6 Efektivitas Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima

Meskipun pentingnya peranan Pedagang Kaki Lima dalam penyerapan tenaga kerja, kenyataannya tindakan pemerintah kota tampaknya bertentangan dengan pengakuan akan pentingnya peranan sektor ini. Demikian pula perencana kota masih memandang secara ambigu terhadap sektor ini. Bagi kebanyakan perencana dan penentu kebijakan kota, pelaku sektor informal, terutama PKL, dan kawasan kumuh perkotaan, adalah gangguan terhadap keindahan dan keteraturan kota. Pandangan modernis ini justru sering sejalan dengan pandangan golongan masyarakat atas dan menengah.

Perlu saatnya para perencana dan penentu kebijakan kota memikirkan alternatif-alternatif lain dalam memandang persoalan PKL dan kawasan kumuh ini. Pandangan alternatif ini antara lain seperti yang diungkapkan oleh Sandercock (1998) bahwa perencanaan kota seharusnya dapat mengenali suara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat. Kita dapat berspekulasi bahwa pemecahan akar persoalan

tumbuhnya kawasan kumuh dan pedagang kaki lima terletak di pedesaan (dan dengan demikian kebijakan tutup pintu diberlakukan supaya orang-orang tidak bermigrasi dari desa ke kota), akan tetapi tetap penting untuk mengenali bahwa kota adalah milik kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Pelaku sektor informal, termasuk PKL, adalah

bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kota.

diakses pada hari kamis 06-01-2010 pukul 16.10 WIB)

Penggusuran ataupun lebih dikenal dengan relokasi bukanlah merupakan jalan keluar yang tepat dalam menyelesaikan permasalahan PKL. Munculnya penggangguran adalah efek langsung penggusuran ini, karena pedagang eks PKL ini kehilangan pekerjaannya untuk menghidupi keluarga. Dan ini menjadi permasalahan baru yang harus difikirkan bagaimana solusinya, dan penggusuran ini hanya merupakan solusi sementara. Karena meskipun para pedagang kaki lima tidak kembali berjualan ke lokasi semula, karena masih dalam penjagaan Satpol PP, maka PKL tersebut membuka di tempat yang baru lagi.

Keberadaan PKL merupakan kegagalan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi warga negaranya. Padahal seperti yang tercantum dalam kovenan ekosob, hak untuk mendapatkan pekerjaan adalah salah satu hak asasi manusia yang

wajib dipenuhi oleh negara.

2.7. Pembangunan Jalan

Sektor pembangunan mendasar adalah pembangunan infrastruktur jalan raya, rencana pembangunan dan peningkatan ruas jalan yang ada. Pembangunan jalan secara umum menjadi sangat penting, mengingat jalan raya bagian dari sistem transportasi darat yang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan di berbagai sektor kehidupan masyarakat.

Pembangunan jalan sangat diperlukan untuk menopang pelaksanaan pembangunan di bidang lain, yang ditujukan untuk keseimbangan dan pemerataan pelaksanaan pembangunan serta pengembangan wilayah. Pembangunan jalan diperlukan dalam rangka pembentukan pola tata ruang dan struktur ruang. Pembangunan jalan baru akan membuka pergerakan ekonomi, menambah peluang kerja bagi masyarakat. Pembebasan tanah dengan harga tanah yang tinggi sekitar projek pembangunan jalan baru.

2.8. Teori Fenomenologi

Menurut Smith fenomenologi adalah sebuah upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama. Secara literal fenomenologi adalah studi tentang fenomena, atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala

sesuatu di sekitar kita. Setiap orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi.

Dengan demikian fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari sudut pandang subyektif orang terkait. Pendekatan ini tentu saja berbeda dengan pendekatan ilmu pengetahuan saraf (neuroscience), yang berusaha memahami cara kerja kesadaran manusia di dalam otak dan saraf, yakni dengan menggunakan sudut pandang pengamat. Neurosains lebih melihat fenomena kesadaran sebagai fenomena biologis. Sementara deskripsi fenomenologis lebih melihat pengalaman manusia sebagaimana ia mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama.

Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Dalam penelitian budaya, perkembangan pendekatan fenomeno-logi tidak dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam pendefinisian konsep kebudayaan. Dalam hal ini, fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir, 1998:12-13) menyatakan bahwa obyek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup fenomena yang tidak lain terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek yang menuntut pendekatan holistik, mendudukkan obyek penelitian dalam suatu kontsruksi ganda, melihat obyeknya dalam suatu konteks natural, dan bukan parsial. Karena itu dalam fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logik daripada sekedar linier kausal. Tujuan penelitian fenomenologi budaya adalah ke arah membangun ilmu ideografik budaya itu sendiri.

Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian.

Keterlibatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.

Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti menge-tahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti. Maka dari itu, inkuiri dimulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang diteliti. Yang ditekankan adalah aspek subyek dari perilaku orang.

Reza A.A Wattimena diakses pada hari Senin 07 Februauri 2011

2.9. Defenisi Konsep

Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah definisi, suatu abstraksi mengenai gejala atau realita atau suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala. Disamping mempermudah dan memfokuskan penelitian konsep juga berfungsi sebagai panduan bagi peneliti untuk menindaklanjuti kasus tersebut serta menghindari

timbulnya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalam penelitian. Definisi konsep merupakan unsur penelitian yang penting untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti (Singarimbun, 1999:33)

Beberapa konsep yang dibatasi dengan pendefinisiannya secara operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

2. Relokasi adalah pemindahan kelokasi yang baru

3. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan

Dokumen terkait