• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Film

a. Perkembangan Dalam Film

Para teorikus film menyatakan, film yang kita kenal dewasa ini merupakan perkembangan lanjut dari fotografi dan pada perjalanan penyempurnaan – penyempurnaan fotografi, yang kemudian mendorong rintisan penciptaan film alias gambar hdup. Dua nama yang penting dalam rintisan penemuan film ialah Thomas Alva Edison dan Lumiere bersaudara.

Thomas Alva Edison ( 1847 – 1931 ) pada tahun 1887 merancang alat untuk merekam dan memproduksi gambar, alat itu mirip dengan fungsi fonograf ( phonograph ) atau piringan hitam, untuk suara. Namun walaupun sudah tercipta mekanisme, ia belum menemukan bahan dasar untuk membuat gambar. Akhir masalah ini terpecahkan dengan bantuan George Eastman yang menawarkan gulungan pita seluloid, mirip plastik tembus pandang yang cukup ulet sekaligus mudah digulung. Ciptaan Edison itu disebut kinetoskop ( kinetoskope ). Bentuknya menyerupai sebuah kotak berlubang untuk mengintip pertunjukan. Setelah kinetoscope populer di Amerika Serikat pada tahun 1894 dan menyebar ke negara – negara Eropa, Lumiere bersaudara mulai memikirkan kemungkinan untuk membuat film – film mereka sendiri dengan peralatan kinetoscope.

Bahkan mereka juga merancang perkembangan kinetoscope berupa piranti yang mengkombinasikan kamera alat memproses film proyektor menjadi satu. Piranti ini disebut sinematograf ( cinematographe ). Alat ini dipatenkan pada 28 Desember 1895, di sebuah ruang bawah tanah sebuah kafe di Paris, Perancis. Lumiere bersaudara “memproyeksikan” hasil karya mereka di depan publik dengan membeli tiket masuk. Inilah awal mula bioskop pertama di dunia lahir.

Konsep pertunjukan bioskop ( penayangan film ke layar dalam sebelah ruangan yang gelap ), lambat laun menyebar ke seluruh dunia. Sekitar tahun 1905, bioskop dengan sebutan nickleodeon tumbuh subur di Amerika Serikat.

Pengertian ”nickle” berkaitan dengan penonton yang harus membayar lima sen atau nickel dan ”odeon” yang mempunyai arti dari kata latin yaitu gedung kecil pertunjukan. (Marselli Sumarno, 1994:4)

Di masa depan, produksi film tidak akan menggunakan pita seluloid (proses kimiawi), tapi memanfaatkan teknologi video (proses elektronik). Nmaun sekarang masyarakat modern sudah mengembangkan memory card (proses digital) sebagai media perekamnya. Perubahan proses produksi ini tentunya mempengaruhi konsep bioskop masa depan. Namun apapun yang terjadi, yang akan dipertontonkan dan menyerap perhatian publik tetap sama yaitu gambar hidup.

Setelah film ditemukan pada akhir abad 19, film mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung. Mula – mula hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara. Pada akhir tahun 1920 – an. mulai di kenal film suara dan menyusul film warna pada tahun 1930 – an. Peralatan produksi film yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga sampai sekarang tetap

mampu menjadikan film sebagai tontonan yang menarik khalayak luas. Dalam hal ini, ketika film ditemukan tidak langsung dianggap sebagai karya seni. Mula – mula film hanya dianggap sebagai tiruan mekanik dari kenyataan atau paling – paling sebagai sarana untuk memproduksi karya – karya seni yang telah ada sebelumnya seperti teater.

Pencapaian film sebagai karya seni terjadi melalui pencapaina dalam perjalanan sejarah film. Mula – mula dikenal pembuat – pembuat ffilm awal, seperti George Melies dari Perancis, Edwin S Porter ( juru kamera Thomas Alva Edfison ) dan DW Grifth dari Amerika Serikat, seta RW Paul dan GW Smith dari Inggris, menyusul dalam kurun waktu berlainan lahirlah gerakan – gerakan film seni secara internasional, seperti di Jerman, Perancis, Rusia, Swedia, da Italia.

Pengakuan film sebagai karya seni selanjutnmya diperkuat denagn lahirnya seniman – seniman film dari berbagai negara, dari dulu hingga sekarang seperti Akira Kurosawa dari Jepang, Satyajit Ray dari India, Federico Fellini dari Italia, Jhon Ford dari Ameriak Serikat, Ingmar Bergman dari swedia dan Umar Ismail dari Indonesia.

Dewasa ini terdapat berbagai ragam film. Meskipun cara pendekatannya berbeda – beda, semula film dapat dikatakan mempunyai sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan masalah –a masalkah yang dikandung. Selain itu, film dapat dirancang untuk melayani keperluan publik yang seluas – luasnya.

Pada dasarnya film dapat dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar yaitu kategori film cerita dan film non cerita. Pendapat lain suka menggolongkan menjadi film fiksi dan film non fiksi.

Film cerita adalah film yang di produksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film cerita bersifat komersial, pertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau di putar di televisi dengan dukungan sponsor iklan tertentu. Film non ceriat merupakan kategori film yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya, artinya merekam kenyataan cerita yang benar – benar terjadi.

Film memiliki dua unsur utama di dalamnya yaitu gambar dan dialog. Film disini dapat disebut citra (image) berbentuk visual bergerak dan suara dalam dialog didalamnya. Citra menurut Barthes merupakan amanat ikronik (iconic massage) yang dapat di lihat berupa adegan (scene) yang terekam (www.aber.ac.uk).

Kode – kode dalam film terbentuk dari kondisi sosial budaya dimana film tersebut dibuat, serta sebaliknya kode tersebut dapat berpengaruh pada masyarakatnya ketika seseorang menonton film, ia memahami gerakan, aksen, dialog, mencontohkan gaya pakaian dan gaya hidup, kemudian disesuaikan dengan karakter untuk memperoleh posisi struktur kelas atau dengan mengkonstruksikan apa yang ada di film dengan lingkungannya (Graeme, 1999:79).

Kode dalam film merupakan serangkaian aturan, konvensi dan assosiasi yang dianggap mampu mengkomunikasikan ide – ide atau emosi, perilaku, gaya pakaian, logat bicara, arsitektur bangunan, suasana gerak, serta komposisi. Selain itu film memiliki kode yang khas yang hanya dimiliki oleh film yaitu mise – en – seene dan montage. Mise – en – seene berguna untuk menjawab pertanyaan apa yang harus di shot, dan bagaimana menshotnya, sedangkan montage untuk menjawab pertanyaan bagaimana shoot yang disajikan (James, 1984:184).

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural dan semiotik, seperti dikemukakan Van Zoest (Zoest, 1993:109). Film dibangun sistem tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.

Dijelaskan oleh Van Zoest menegenai hierarki antara sistem tanda yang satu dengan yang lain yaitu :

” disini tentunya harus dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gaambar (kata – kata yang diucapkan, deret pintu, dsb) dan musik film yang mengiringinya. Suara tipe pertama sebenarnya secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan gambar – gambarnya. Suara yang sama dengan gambar merupakan unsur dalam cerita film yang dituturkan dan dapat disebutkan. Dikategorikan dan dianalisis dengan cara sebanding. Suara sebagai tanda terjalin denagn sangat erat dengan tanda gambarnya. Suara bersama dengan tanda gambar ini memang membentuk tanda – tanda kompleks. Tanda – tanda kompleks ini memang ikonis, tetapi kekuatan keberadaanya pada akhirnya di peroleh di indekidikalitas”.

SCENE, SHOT, DAN SEQUENCE Definisi scene :

Tempat atau setting dimana kejadian dilangsungkan jika didalam produksi teater sebuah babak biasanya dibagi dalam sejumlah scene. Masing – masing dilangsungkan pada sebuah lokasi yang berbeda. Satu scene atau sejumlah shot yang menggambarkan peristiwa yang berkesinambungan.

Definisi Shot :

Suatu rangkaian gambar hasil rekaman kamera tanpa intrupsi. Tiap shot adalah satu take. Bila dibuat shot tambahan dari set up yang sama ( dikarenakan ada

kesalahan teknik yang dramatis ) short ini dinamakan re – take. Jika set – up diubah, kamera berpindah, lensa berubah atau action lain yang diambil bukan dinamakan re – take.

Sequence :

Serangkaian atau shot – shot yang merupakan suatui kesatuan utuh. Sequence biasanya berlangsung pada suatu setting atau beberapa setting, action harus berkaitan secara tepat dalam sebuah sequence manakala terdiri dari sejumlah shot yang runtut, sebuah sequence dapat dimulai sebagian adegan eksekutor (diluar) dan dilanjutkan ke interior (dalam).

b. Film Suatu Cerminan Budaya

Film merupakan tranformasi dari kehiduapn manusia. Diamna gambaran – gambaran nilai manusia terlihat jelas. Kehidupan manusia penuh dengan nilai simbol – simbol yang mempunyai makna dan arti yang berbed – beda. Lewat simbol – simbol tersebut film memberikan pesan melalui bahasa visualnya agar mempunyai makn yang lain. Film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang jelas dan efisisen, antara lain : mampu mengekspresikan emosi, aksi dan karakterisasi yang dikomunikasikan dengan kemahiran mengekspresikan image – image yang ditampilkan dalam film ynag kemudian menghasilkan makna – makna tertentu secara konteksnya.

Film menjadi media yang menarik untuk menjadi bahan kajian tentang berbagai hal yang terdapat didalamnya. Kajiannya terhadap film dilakukan karena film memberikan kepuasan dan arti tentang budaya mupun lingkungannya. Terhadap

hubungan – hubungan antara image dan penonton, industri dan khalayak, narasi dan budaya. Langkah yang dapat dilkukan dalam mengkaji film adalah dengan menganalisis bahasa film sehingga dapat menghasilkan makna. ( Graemer, 1993:41 )

Tidaklah mengherankan bahwa film merupakan bidang kajian penerapan semiotika. Film dibangun dengan tanda – tanda tersebut sebagai sistem tanda yang bekerjasama dengan baik dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Dan yang paling penting ialah gambar dan suara, kata yang diucapkan ( ditambah yang suara – suara lain yang serentak mengiringi gambar – gambar ) dan musik film.

Dalam hal ini yang paling penting dalam sistem semiotika adalah proses kerjanya timbul dari silih bergantinya gambar – gambar, pada film digunakan tanda – tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkna sesuiatu. Ciri – ciri gambar film adalah pesamaan dengan realita yang ditunjukan

Dalam study semiotika sinema, bukan berfokus pada pembuatan film atau kehidupan bintang permainannya atau dukungan teknologi pada pembuatan film, melainkan pada pemaknaan cerita dan penerimaannya juga teks sebagai system penandaan, yang dikemas dalam bentuk sebuah film.

Christian Metz mengemukakn pendapat yang menyebutkan bahwa teks film ditimbang sebagai satu kesatuan. Setiap film memiliki struktur khusus dimana memiliki jaringan makna yang mengelilingi. ( Robert, 1992:50 ) Teks merupakan kajian dalam analisis ”bahasa” film, yaitu teks dijelaskan sebagai system penandaan ( Signfiying system ) ( Greme, 1999:48 ). Film sebagai teks akan memberikan makna berdasarkan kode – kode yang dimilikinya, sehingga film dapat dijadikan media

untuk mengkontribusikan pandangan seseorang terhadap dunia, makna berdasarkan kode – kode ini dapat diinterpretasi dengan kajian semiotik.

Semiotics offer us access to such activity because it allows us to separate ideas from their representation (at least, theoretically ) in order to see how our view of the word, or film construed, if does this by closely analysis a film ( or a view of the word ) as the teks a set of from, relationships and meaning”. ( Greame, 1999:49 )

Image dalam film tidak berada dalam hubungan yang sewenang – wenang terhadap objeknya, sebuah image tetaplah image yang lain tersendiri darinya. Image yang termotivasi artinya signifier ditentukan oleh signified, mereka hamp[ir dapat ditukar. Tanda yang termodifikasi merupakan sesuatu yang kroni. ( Graeme, 1999:15)

Hal – hal yang memiliki arti simbolis tidak terhitung dalam film,banyak cara yang diberikan untuk memberikan muatan simbolis dalam film yaitu antara lain lewat tokoh dalam film. ( Booggs, 1986:243 – 244 )

2.1.2. Representasi

Menurut Stuart Hall (1997), Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkaut ’pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia – manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode – kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ’bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep – konsep yang sama (Juliastui, 2000:http://kunci.or.id/teks/04rep1.htm).

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroprasi sebagai suatu sistem representasi. Lewat bahasa (simbol – simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikira, konsep, dan ide- ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita merepresentasikannya. Dengan mengamati kata – kata dan imej – imej yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu, bisaa terlihat jelas nilai – nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut (Juliastuti, 2000:http://kunci.or.id/teks/04re1.htm).

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi. Pertama adalah pendekatan reflektif. Disini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan Internasional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percayabahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai (Juliastuti, 200 : http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm).

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang ’sesuatu’ yang ada dikepala kita masing – masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, ’bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ’bahasa’ yang lazim, supaya

kita dapat menghubungkan konsep dan ide – ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol – simbol tertentu (Juliasti,2000:htttp://kunci.or.id/teks/04rep2.htm).

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem’peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkostruksi seperangkat rantai korespondensi antara ’peta konseptual’ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep – konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ’sesuatu’, peta konseptual’, dan ’bahasa/simbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama – sama

itulah yang dinamakan representasi (Juliasti, 2000:http://kunci.or.id/teks/04rep2.htm)

Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok,atau sebuah gagasan ditunjukkan dalam media massa (Eriyanto, 2001:113). Dalam film, alat – alat representasi itu bisa berupa narasi besar (grand naration), cara bercerita, skenario, penokohan, dialog, dan beberapa unsur lain dalam fil. Menurut Graeme Turner (1991:128), makna film sebagai representasi dari realtas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode – kode, konvensi – konvensi, dan ideologi kebudayaanya (Irawanto, 1999:15).

Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi sosial dianggap memiliki aspek ekonomis sekaligus ideologis. Representasi merupakan tindakan yang

menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, Yasraff Amir, 2006:24). Representasi memiliki materialitas tertentu, yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Representasi diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks tertentu (Barker, Chris, 2004:9).

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep – konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk – bentuk yang kongkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi .htm diakses 19 April 2011, 14:30 WIB).

Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya (circuit of culture). Melalui representasi, maka makna (meaning) dapat berfungsi dan pada akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui tanda – tanda (signs). Tanda – tanda (signs) tersebut seperti bunyi, kata – kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian, dsb merupakan bagian dari dunia material kita (Hall, 1997).tanda – tanda tersebut merupakan media yang membawa makna – makna tertentu dan merepresentasikan ’meaning’ tertentu yang ingin disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui tanda – tanda tersebut, kita dapat merepresentasikan pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Pembacaan terhadap tanda – tanda tersebut tentu saja dapat dipahami dalam konteks

(http://www.readingculture.net/index.php?option=comcontent&task=view&item.id =43 diakses 19 April 2011, 15:01 WIB).

Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu objek yang ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda – tanda, tanda – tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsur sebuah film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga musik. Tanda dan unsur – unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya, sehingga makna dibalik tanda tersebut dapat diungkap.

Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan kalimat dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pengambilan gambar jarak dekat (close up), pengambilan gambar dari dua arah (two shot), dll. Namun bahasa tersebut juga mencakup kode – kode representasi yang lebih halus, yang mencakup dalam komplekstivitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol – simbol yang paling abstrak dan arbiter (berubah-ubah) (Sardar, 2001:156 dalam Sobur 2003:130).

2.1.3. Jenis kelamin, Gender, dan Feminitas

Banyak sekali penelitian ataupun analisis serta studi tentang gender yaitu salah satu teknik yang memberi gambaran tentang adanya perbedaan maupun saling ketergantungan peran perempuan dan laki – laki.

Adapun teknik gender memungkinkan kita untuk menunjukkan peran reproduktif perempuan sebagai hal yang penting bagi peran produktif keluarga, mengungkapkan profil aktivitas perempuan dalam rumah tangga, mengidentifikasi

faktor – faktor sosial budaya yang menghambat dan mendorong kelangsungan dan kehidupan perempuan dan laki – laki, melihat betapa pentingnya pengelola proyek – proyek, mengerti peran gender agar dapat secara tepat menentukan masukan diintevensi yang dibutuhkan ( ihromi, 1995 : 173 – 174 ).

Ada dua konsep yang harus dimengerti dalam usaha menelaah kaum perempuan, yaitu membedakan dan memahami antara konsep jenis kelamin ( seks ) dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang tertentu. Misalnya, bahwa manusia laki – laki adalah manusia yang memiliki sifat seperti berikut ini : laki – laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala, dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat untuk menyusui. Alat – alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki – laki, artinya tidak bisa dipertukarkan dan tidak berubah sesuai dengan ketentuan Tuhan daan kodrat.

Gender adalah interpretasi mental karena perbedaan fisikal ini, laki – laki cenderung didudukan secara antagonis. Sikap pasif emosional, mudah menangis dan tergantung pada lawan jenisnya, dianggap sebagai ciri yang melekat pada perempuan. Sementara laki – laki dipandang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Kedua : perubahan yang terjadi dari waktu dan dari tempat ke tempat lain; misalnya zaman dahulu perem[puan kuat dan sebaliknya, ketiga : adalah dari kelas – kelas masyarakat yang lain dan juga berbeda. Pada perempuan kelas bawah di pedesaan pada tempat lain, serta dari kelas – kelas lainnya, itulah yang disebut dengan konsep gender. ( Fakih, 1996; 8-9 )

Kadang – kadang interpretasi mental ini lebih merupakan keadaan yang idela daripada apa yang seesungguhnya dilakukan dan dapat dilihat. Gender biasanya digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja dianggap tepat bagi pria dan perempuan, sering kali kegiatan didefinisikan sebagai milik laki – laki dan perempuan yang diorganisasikan dalam hubunngan saling ketergantungan. ( Ihrohim, 1995:171 )

Konsep gender merupakan sifat melekat pada kaum laki – laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan dikenal lemah lembut, emosional dan keibuan, sementara laki – laki dianggap kuat, rasional, dan perkasa.

Gender terbagi dari beberapa elemen : ( 1 ) peranan gender yaitu peranan sosial yang ditentukan oleh perbedaan kelamin; ( 2 ) pembagian kerja gender, yaitu pola pembagian kerja dimana pria dan perempuan melakukan jenis kerja tertentu sering menimbulkan ketimpangan yang merugikan; ( 3 ) diskriminasi gender, yaitu system sosial dan budaya, peraturan – peraturan serta hukum dalam masyarakat yang melegimitasi berdasarkan jenis kelamin; ( 4 ) ketimpangan struktural gender, yaitu system diskriminasi gender yang dipengaruhi oleh adanya legitimasi oleh adat, peraturan administrasi ataupun perundang – uindangan. ( Astuti, 1995: 2 – 3 )

Terbentukknya perbedaan gender dikarenakan beberapa hal, diantaranya dibentuk melalui disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural. Kaum laki – laki harus bersifat kuat dan agresif, maka kaum laki – laki kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju kesifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat tersebut, sebaliknya kaum

perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideology kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Karena proses sosialisasi tersebut, mnejdai sulit dibedakanapakah sifat – sifat gender itu, seperti kaum perempuan lemah lembut dan kaum laki – laki perkasa, dikonstruksikan atau dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan.

Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan gender (gender inegualities), baik bagi kaum laki – laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan system dan struktur, bagi kaum laki – laki dan perempuan menjadi korban dari system tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan yakni:

a). Gender dan marginalisasi perempuan : proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalm masyarakat dan negara yang menimpa laki – laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Marginalisasi kuam perempuan tidak saja terjadi ditempat kerja, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara.

b). Gender dan subordinasi : anggapan bahwa perempuan tidak bisa tampil dalam memimpin. Berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah yang tinggi.

Dokumen terkait