SKRIPSI
Oleh :
MERRY PRAMESTA WIRAYANTI 0743010053
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNI VERSI TAS PEMBANGUNAN NASI ONAL “VETERAN” JAWA TI MUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
viii
”REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM PASIR BERBISIK” (Study Semiotik Representasi Perempuan dalam Film Pasir Berbisik).
Oleh :
Merry Pramesta Wirayanti 0743010053
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal
Pembimbing Tim penguji:
1. Ketua
Dr. Catur Suratnoaji, M.Si Dr.Catur Suratnoaji, M.Si NPT. 3 6804 94 0028 1 NPT. 3 6804 94 0028 1
2. Sekretaris
Dra. Dyva Claretta, MSi
NPT. 3 6601 94 0025 1
3. Anggota
Yuli Candrasari, Msi NPT. 3 7107 94 0027 1
Mengetahui, DEKAN
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia
– Nya kepada penulis sehingga Skripsi dengan judul
:”PEREMPUAN DALAM
FILM PASIR BERBISIK” (Study Semiotik Representasi Perempuan dalam FilmPasir Berbisik) dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Catur
Surotnoadji, M.si selaku Dosen Pembimbing utama yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi kepada penulis.
Dan penulis juga banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik itu moril,
spiritual maupun materiil. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada :
1. Allah SWT karena telah melimpahkan segala karunia – Nya, sehingga
peneliti mendapatkan kemudahan selama proses penulisan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Ir. Teguh Sudarto, MP. Rektor UPN “Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Dra. Hj. Ec. Suparwati, MSi. Dekan Fisip UPN “Veteran” Jawa
TImur.
4. Bapak Juwito, S.Sos, MSi. Ketua Program Studi Studi Ilmu Komunikasi.
5. Bapak Drs. Syaifuddin Zuhri, MSi. Sekretaris Program Studi Ilmu
Komunikasi.
6. Seluruh dosen – dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan
ilmu selama perkuliahan dan dalam menyelesaikan proposal maupun
skripsi. Seluruh Staff dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Komunikasi.
iii
Serta tak lupa peneliti memberikan rasa terima kasih secara khusus kepada :
1. Lovely My Momm… atas segala bantuan, dukungan dan doanya.. Amiien..
mudah – mudahan anakmu menjadi orang yang sukses di dunia akhirat dan
bisa membahagiakan keluarga . Amiin….
2. Kakakku Bunda Pindy & Te ta serta adek – adek aku Puput, Yaya, Nadya,
terima kasih atas kasih sayang dan dukungannya selama ini.. truuss.... buat Tante, Om yang udah baik ngasih aku tinggal di surabaya.. n Mas
Deni yang selalu bantu aku kalau mbenerin komputernya pas lagi henk....
hhe . Thx U so much... I love U my Family....
3. Teman-temanku (Suliez, Nelly, Rizky, Ovi’) terima kasih buat supportnya.
4. Teman seperjuangan Sasya, Rizka n Rizka , Novi’, Mirna, Dian, Ajeng, Lussy, makasih atas dukungannya.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih banyak memiliki
kekurangan. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun agar Skripsi ini
dapat menjadi lebih baik.
Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi teman-teman Jurusan Ilmu
Komunikasi dan semua mahasiswa yang melakukan penelitian serta bagi penulis
khususnya.
Terima kasih
Surabaya, Juni 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
ABSTRAKSI ... vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 7
1.3.Tujuan Penelitian ... 7
1.4.Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori ... 9
2.1.1 Film ... 9
2.1.2. Representasi ... 16
2.1.3. Jenis Kelamin, Gender dan Feminitas ... 20
2.1.4. Perempan dan Media ... 25
2.1.5. Sejarah Perempuan Indonesia di Media ... 27
v
2.1.6. Film Sebagai Media Massa dalam Masyarakat ... 34
2.1.7. Pendekatan Semiotik dalam Film ... 37
2.2. Kerangka Berpikir ... 42
BAB III METODE PENELITIAN 3. 1. Metodelogi Penelitian ... 44
3.1.1. Waktu Penelitian ... 44
3. 2. Definisi Operasional ... 45
3.2.1. Film ... 45
3.2.2. Representasi ... 47
3.1.3. Perempuan ... 48
3.2. Jenis Data ... 48
3.3. Corpus ... 49
3.4. Unit Analisis ... 49
3.5. Teknik Pengumpulan Data ... 52
3.6. Teknik Analisis Data ... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Objek dan Penyajian Data ... 55
4.1.1. Gambaran Umum Objek ... 55
vi
4.1.2. Penyajian Data ... 56
4.2. Analisa Data ... 59
4.2.1. Level Realitas ... 59
4.2.1.1. Kostum dan Make up ... 59
4.2.1.2. Setting ... 62
4.2.1.3. Dialog ... 64
4.2.2. Level Representasi ... 78
4.2.2.1 Teknik Kamera ... 83
4.2.2.2. Pencahayaan ... 84
4.2.3. Level Ideology ... 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 91
5.2. Saran ………... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 95
Lampiran ... 98
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gb. Representasi Perempuan pada Film ………45 - 47
Gb. Analisa Data pada Level Realitas …………...………... 59 - 77
Gb. Analisa Data pada Level Representasi ………...…… 77 - 85
Gb. Analisa Data pada Level Ideologi ………...…. 88 - 89
Gb. Beberapa Scene lain yang Berhubungan dengan
Representasi Perempuan dalam Film Pasir Berbisik ... 98 - 103
ABSTRAKSI
MERRY PRAMESTA WIRAYANTI, REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM FILM PASIR BERBISIK (Study Semiotik Representasi Perempuan Dalam Film Pasir Berbisik).
Film Pasir Berbisik menceritakan perjuangan perempuan melawan keterikatn pada hubungan kekuasan yang menempatkan kedudukan yang lebih rendah dari pada laki – laki. Nilai, mitos, dan norma yang berkembang melali proses sosialisasi dalam keluarga maupun masyarakat pada umumnya sangat tidak menuntungkan posisi perempuan dalam sebuah relasi gender.
Kajian ini bertujuan menginterpretasikan atau memahami makna symbol – symbol dalam gambar film Pasir Berbisik dengan menggunakan teori John Fiske dimana ia menganalisis berdasarkan system realitas, representasi, dan ideology yang mengarahkan pada makna – makna cultural yang melibatkan symbol – symbol, histories, dan hal yang berhubungan dengan emosional, sehingga tafsiran makna yang tersurat dan tersirat dalam film Pasir Berbisik dapaat dihasilkan.
Pengambilan keputusan yang tidak rasional banyak digambarkan dalam film ini, yakni ketika seorang gadis harus aborsi karena takut ketahuan orang tuanya dan dari laki laki yang menghamili tidak mau bertanggung jawab. Pada penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotik. Pendekatan semiotikyang dikemukakan oleh John Fiske dengan analisis sinema film (grammar and tv culture) melalui level realitas, level representasi, dan level ideology.
Peran – peran produktif yang tecermin dalam film ini, ketika muncul kesatuan seksual yaitu lingkungan yang tak berujung, perempuan dikodratkan untuk hamil dan melahirkan. Secara social perempuan adalah nomor dua dibawah laki – laki, secara spiritual dia menerima dan mendukung laki – laki.
Film Indonesia merepresentasikan perempuan dalam perannya yang tergantung pad laki – laki dan film Indonesia harus dpat mengubah stereotype tersebut. Meskipun gambaran perempuan dalam film Indonesia yang hanya ada pada dua titik ekstrim yaitu lemah dan perkasa. Mungkin lebih disebabkan oleh “miskin”nya pola pikir tentang pemahaman tentang realitas, tak mengenal konsep perubahan dan lebih menikmati terhadap apa yang ada didalam benaknya sendiri.
Hasil temuan data menyimpulkan bahwa dalam Film Pasir Berbisi perempuan digambarkan sebagai sosok yang mandiri. Digambarkan sosok Berlian yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari dan sekaligus menjadi kepala rumah tangga.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perjuangan perempuan melawan keterkaitan pada hubungan kekuasaan yang
menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah di bandingkan laki-laki,
memang merupakan suatu perjuangan yang tiada henti. Pada dasarnya perempuan
Indonesia mempunyai kesulitan dan pengalaman yang getir yang sama seperti
saudara – saudaranya di negara – negara terbelakang yang masih mempertahankan
system patriarki atau struktur sosial yang menempatkan kekuasaan terpusat di tangan
laki – laki yang juga bergandengan dengan system budaya, ekonomi, sosial, dan
politik setempat.
Nilai, norma, serta mitos – mitos yang berkembang melalui proses sosialisasi
dalam keluarga maupun masyarakat pada umumnya, sangat tidak menguntungkan
posisi perempuan dalam sebuah relasi gender di masyarakat. Nilai – nilai tersebut
sangat kuat, sehingga menjadi hegemoni yang sangat sulit diubah tanpa upaya
kontruksi dari warga masyarakat. Terutama kaum perempuan menjadi syarat mutlak
untuk menghadapi tantangan tersebut.
Tidak adanya kesadaran perempuan akan posisisnya dalam relasi gender,
membuka peluang terjadinya penindasan, baik dalam bentuk fisik maupun mental.
Sebagian besar perempuan dalam masyarakat patriarki ini mengannggap
penafsiran terhadap norma-norma agamapun di jadikan dasar – dasar memperkuat
dominasi patriarki atas diri perempuan.
Idiologi patriarki terus melekat dalam masyarakat dan bahkan di pelihara
secara sadar, oleh kaum perempuan sendiri dan kaum laki – laki perempuan menjadi
sosok yang lemah. Di mata kaum laki – laki dia patut dan taat pada laki – laki.
Sehingga terkadang mereka hanya menumpang dalam dunia yang seutuhnya
didominasi oleh pria.
Berbicara tentang perempuan memang merupakan topik yang menarik karena
perempuan selalu menampakkan sisi- sisi yang dapat dijadikan objek untuk disimak.
Bahkan fenomena tentang perempuan sangat menarik untuk divisualisasikan dalam
bentuk film.
Film Pasir Berbisik menceritakan hubungan ibu dan anak yang sejak kecil
ditinggalkan ayahnya. Sebagai orang tua tunggal, ibunya sangat protektif terhadap
anak yang sudah mulai dewasa. Sang anak merasa terkungkung dengan keadaan yang
seperti ini. Hingga pada saat kedatangan Agus ayahnya, Berlian ibunya terpaksa
menerima. Karena ia tak kuasa melihat kegembiraan yang luar biasa terpancar dari
wajah anaknya.
Namun kedatangan sang ayah ibarat memperpanjang mimpi buruk. Melihat
situasi yang demikian Berlian kemudian mengatasi situasi tersebut dengan caranya
sendiri. Film ini mengisahkan bagaimana cinta ibu mengkungkung sekaligus
membebaskan jiwa seseorang, tetapi juga menggambarkan kekuatan dan keputusan
seseorang dalam menempuh hidupnya yang kadang kala tidak sesuai dengan norma
Dari gambaran sekilas film tersebut di atas telah di ketahui bahwa karakter
dari citra perempuan yang digambarkan begitu kuat. Pembentukan citra baru ataupun
lama tentang perempuan akan ditemui meskipun latar belakangnya menunjukkan
cerita dimasa lampau, dengan kebudayaan tradisional. Gambaran karakter yang kuat
dalam film Pasir Berbisik membuat penulis tretarik untuk melakukan penelitian atau
analisis tentang penggambaran perempuan dan kedudukannya di film – film sekarang
ini.
Film merupakan gambar bergerak, film dapat disebut sebagai transformasi
kehidupan masyarakat, karena dalam film kita dapat melihat gambaran atau cerminan
yang sebenarnya, yang bahkan kita terkadang tidak menyadarinya sebagai gambar
yang bergerak. Film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya.
Kebanyakan alur cerita di dalam film, menampilkan kehidupan nyata
dominasi simbolik laki – laki atas perempuan juga tampak dalam penilaian, bahwa
perempuan yang baik adalah yang berumah tangga, melahirkan, mendidik anak, dan
merawat rumah tangga. Tidak ada tempat bagi perempuan yang tidak kawin. Karena
itu, orang tua segenap kekuasaan yang dibungkus sopan santun adat atau tradisi
merasa berhak memaksa anak –anak perempuan mereka yang masih sangat muda
untuk kawin ( subandy, 1998:29 ).
Dalam karya sastra Indonesia, sosok perempuan sering muncul sebagai simbol
kehalusan, sesuatu yang bergerak lamban bahkan kadang berhenti. Perempuan
dengan idiom – idiom seperti keterkungkungan, ketertindasan dan bahkan pada
konsep yang terlanjur diterima dalam kultur masyarakat kita bahwa mereka adalah
Perempuan dalam kesenian kita ( film, sinetron, kesustraan, dan karya sastra
lainnya ) selalu ditempatkan pada posisi yang lemah, seakan – akan tidak ada sisi
yang menunjukkan perempuan sebagai subjek kehidupan ynag mendudukkan pada
titik yang ordinat. Kelemahan, ketertindasan yang menjadi alur dari cerita yang selalu
berkepanjangan, menjadikan perempuan layak untuk dijadikan obyek yang selalu
mengeluarkan air mata, berfikir keras untuk melakukan sesuatu yang terindah dari
kaum laki –laki.
Khrisna Sen dalam Prisma no. 7, Juli 1981 menjelaskan bahwa mayoritas
”genre” film Indonesia berkenaan dengan laki – laki dan apa yang didefinisikan film
sebagai dunia laki – laki adalah dunia tindakan. Meskipun setiap film menampilkan
karakter perempuan, namun dalam genre tersebut, lewat praktiknya produksi film
yang sudah berjalan lama tempat bagi perempuan hanyalah peran tambahan.
Sehingga citra dan tindakan perempuan fungsinya kecil dan tidak penting dalam
narasi. Dalam narasi – narasi trersebut perempuan tidaklah bertindak, melainkan
hanya bagian dari konteks dan rasional tindakan laki – laki.
Namun dalam film tersebut ada dua ” genre ” yang sangat penting yang
mempunyai bagian fundamental dalam dialog dan gambar yang membangun sebuah
film, yakni kisah cinta, remaja dan drama atau melodrama. Jadi dalam konteks cinta
romantis keluarga dapat ditemukan konstruksi utama feminitas, sambil menyerahkan
seluruh bidang lain tindakan sosial kepada protagonist laki – laki. Film – film
perempuan tersebut memiliki garapan yang sama, baik ”genre” kisah cinta maupun
drama secara keseluruhan, yakni mendefinisikan sifat perempuan. Sifat berarti nasib
menjalankan fungsi sebagai ibu terkunci dalam lingkungan keluarga ( Subandy,
1998:256 – 266 ).
Mencari tahu bagaimana wajah perempuan dalam perfilman Indonesia
bukanlah sesuatu yang susah, karena perempuan merupakan faktor yang mempuanyai
”kedudukan” yang sangat penting dalam setiap film dan perempuan merupakan
komoditi yang penting dalam sebuah film. Walaupun dalam prakteknya perempuan
hanya diposisikan sebagai subjek.
Posisi perempuan dalam perfilman Indonesia sudah direflesikan dari tahun
1970 – 1933 ( data diambil berdasarkan film yang laris di pasaran ) terdapat 100 lebih
film yang laris, diantaranya adalah film komedi, yang didominasi oleh film warkop.
Dalam film ini, perempuan ditampilkan lebih sebagai objek pemuas hawa nafsu.
Film komedi seperti itu menjadikan perempuan sebagai objek pemuas ketawa
dengan penyalahgunaan atas tubuh perempuan itu sendiri. Film Warkop dihiasi
perempuan – perempuan cantik, montok, yang bersedia menjadikan tubuhnya sebagai
seksualitas dan di permainkan.
Film yang laris lainnya adalah ”Inem Pelayan Seksi”. Film ini merupakan film
yang melekat di masyarakat dan menjadikan julukan para pembantu. Inem adalah
pembantu rumah tangga yang seksi, yang kemudian menikah dengan tuannya. Dalam
film ini ditonjolkan tokoh Inem dengan belahan dada yang tampak separuh dan
goyangan pantat sewaktu mengepel. Hal ini menunjukkan betapa tubuh perempuan
dapat digunakan sebagai alat pancing kepuasan dari penontonnya, dan alhasil film ini
sukses karena penampilan dari tokoh yang memberikan kepuasan mata para
Gambaran perempuan yang banyak terdapat di industri perfilman Indonesia,
diharapkan akan memperoleh simpati & cucuran air mata dari para penontonnya.
Miskinnya gambaran perempuan dalam film Indonesia yang hanya mengibaratkan
pada dua unsur yaitu lemah dan perkasa mungkin disebabkan karena kemiskinan pola
pikir para pembuat film, yang seolah – olah tidak mengenal realitas, tak mengenal
konsep perubahan, dan hanya meneruskan pola pikir masyarakat Indonesia (Subandy,
1998:29).
Indonesia mempuanyai sineas, novelis dan pengarang perempuan yang cukup
banyak, tetapi jarang dari mereka yang mampu menampilkan hasil karya yang dibuat
untuk menunjukkan posisi / tingkatan yang tinggi. Bahkan banyak dari mereka yang
secara tidak langsung mendukung adanya potret perempuan sebagai kaum lemah,
terindas oleh kaum laki – laki, perjuangan yang ditujukan oleh sastrawan perempuan
Indonesia sendiri belum tampak. Kalaupun ada sangatlah sederhana bentuknya dan
ini merupakan perjuangan simbolik sebagaimana ditunjukkan pada karya – karya
mereka. Para novelis, pengarang perempuan kita belum terlatih untuk memikirkan
persoalan kemasyarakatan yang ditinjau dari suatu pendekatan structural
kemasyarakatan dan kebudayaan kita.
Profesi sutradara bagi kaum perempuan memang dapat dibilang suatu hal yang
langka. Namun pada kenyataannya sineas perempuan mampu berebicara dalam hal
pembuat film. Berbicara tentang mimpinya, obsesinya, visi dan perpektifnya
kemudian diterjemahkan dalam bentuk penyutradaraan, pengadegaan, perspektif
akan berbeda dengan apa yang dikembangkan oleh sutradara pria
(www.sinarharpan.com).
Di era kebangkitan kita (* disebut era kebangkitan karena begitu lama
perfilman Indonesia mengalami keterpurukan *). Penulis mengambil sampel film
untuk dijadikan objek penelitian yakni Film Pasir Berbisik. Banyak beberapa prestasi
membanggakan telah mampu diraih Film Pasir Berbisik. Dalam ajang perhargaan
yang didapatkan antara lain seperti Festival Film Asia Pasific di tahun 2001, Festival
Film Internasional Singapura di tahun 2002 , Festival Film Asia di Deauville,
Perancis di tahun 2002, Festival Film Indonesia di tahun 2004.
1.2 Rumusan Masalah
Berangkat dari fenomena yang telah disebutkan diatas maka dapat diambil
rumusan sebagai berikut :”Bagaimana perempuan disimbolkan dalam ”Film Pasir
Berbisik”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggambaran
perempuan dalam pentokohan disimbolkan dalam ”Film Berbisik”. Memahami
tentang hubungan kekuasaan antara laki – laki dan perempuan dalam film sejajarkah
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Kegunaan Praktis
a. Diharapkan penelitian ini dapat menumbuhkan kesadaran tentang perempuan
dalam media film khususnya tentang keberadaan perempuan.
b. Dapat menjadi kontribusi bagi sineas muda agar melahirkan film yang peka
gender.
1.4.2 Kegunaan Teoritis
a. Memperkaya pengetahuan terutama yang terkait dengan semotik atas film
kontemmporer Indonesia.
b. Memperkaya wawasan tentang perpektif perempuan dalam film, khususnya film
Indonesia.
c. Menjadi landasan penelitian bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan
Bab II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Film
a. Perkembangan Dalam Film
Para teorikus film menyatakan, film yang kita kenal dewasa ini merupakan
perkembangan lanjut dari fotografi dan pada perjalanan penyempurnaan –
penyempurnaan fotografi, yang kemudian mendorong rintisan penciptaan film alias
gambar hdup. Dua nama yang penting dalam rintisan penemuan film ialah Thomas
Alva Edison dan Lumiere bersaudara.
Thomas Alva Edison ( 1847 – 1931 ) pada tahun 1887 merancang alat untuk
merekam dan memproduksi gambar, alat itu mirip dengan fungsi fonograf (
phonograph ) atau piringan hitam, untuk suara. Namun walaupun sudah tercipta
mekanisme, ia belum menemukan bahan dasar untuk membuat gambar. Akhir
masalah ini terpecahkan dengan bantuan George Eastman yang menawarkan
gulungan pita seluloid, mirip plastik tembus pandang yang cukup ulet sekaligus
mudah digulung. Ciptaan Edison itu disebut kinetoskop ( kinetoskope ). Bentuknya
menyerupai sebuah kotak berlubang untuk mengintip pertunjukan. Setelah
kinetoscope populer di Amerika Serikat pada tahun 1894 dan menyebar ke negara –
negara Eropa, Lumiere bersaudara mulai memikirkan kemungkinan untuk membuat
Bahkan mereka juga merancang perkembangan kinetoscope berupa piranti
yang mengkombinasikan kamera alat memproses film proyektor menjadi satu. Piranti
ini disebut sinematograf ( cinematographe ). Alat ini dipatenkan pada 28 Desember
1895, di sebuah ruang bawah tanah sebuah kafe di Paris, Perancis. Lumiere
bersaudara “memproyeksikan” hasil karya mereka di depan publik dengan membeli
tiket masuk. Inilah awal mula bioskop pertama di dunia lahir.
Konsep pertunjukan bioskop ( penayangan film ke layar dalam sebelah
ruangan yang gelap ), lambat laun menyebar ke seluruh dunia. Sekitar tahun 1905,
bioskop dengan sebutan nickleodeon tumbuh subur di Amerika Serikat.
Pengertian ”nickle” berkaitan dengan penonton yang harus membayar lima sen atau
nickel dan ”odeon” yang mempunyai arti dari kata latin yaitu gedung kecil
pertunjukan. (Marselli Sumarno, 1994:4)
Di masa depan, produksi film tidak akan menggunakan pita seluloid (proses
kimiawi), tapi memanfaatkan teknologi video (proses elektronik). Nmaun sekarang
masyarakat modern sudah mengembangkan memory card (proses digital) sebagai
media perekamnya. Perubahan proses produksi ini tentunya mempengaruhi konsep
bioskop masa depan. Namun apapun yang terjadi, yang akan dipertontonkan dan
menyerap perhatian publik tetap sama yaitu gambar hidup.
Setelah film ditemukan pada akhir abad 19, film mengalami perkembangan
seiring dengan perkembangan teknologi yang mendukung. Mula – mula hanya
dikenal film hitam putih dan tanpa suara. Pada akhir tahun 1920 – an. mulai di kenal
film suara dan menyusul film warna pada tahun 1930 – an. Peralatan produksi film
mampu menjadikan film sebagai tontonan yang menarik khalayak luas. Dalam hal
ini, ketika film ditemukan tidak langsung dianggap sebagai karya seni. Mula – mula
film hanya dianggap sebagai tiruan mekanik dari kenyataan atau paling – paling
sebagai sarana untuk memproduksi karya – karya seni yang telah ada sebelumnya
seperti teater.
Pencapaian film sebagai karya seni terjadi melalui pencapaina dalam
perjalanan sejarah film. Mula – mula dikenal pembuat – pembuat ffilm awal, seperti
George Melies dari Perancis, Edwin S Porter ( juru kamera Thomas Alva Edfison )
dan DW Grifth dari Amerika Serikat, seta RW Paul dan GW Smith dari Inggris,
menyusul dalam kurun waktu berlainan lahirlah gerakan – gerakan film seni secara
internasional, seperti di Jerman, Perancis, Rusia, Swedia, da Italia.
Pengakuan film sebagai karya seni selanjutnmya diperkuat denagn lahirnya
seniman – seniman film dari berbagai negara, dari dulu hingga sekarang seperti Akira
Kurosawa dari Jepang, Satyajit Ray dari India, Federico Fellini dari Italia, Jhon Ford
dari Ameriak Serikat, Ingmar Bergman dari swedia dan Umar Ismail dari Indonesia.
Dewasa ini terdapat berbagai ragam film. Meskipun cara pendekatannya
berbeda – beda, semula film dapat dikatakan mempunyai sasaran, yaitu menarik
perhatian orang terhadap muatan masalah –a masalkah yang dikandung. Selain itu,
film dapat dirancang untuk melayani keperluan publik yang seluas – luasnya.
Pada dasarnya film dapat dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar yaitu
kategori film cerita dan film non cerita. Pendapat lain suka menggolongkan menjadi
Film cerita adalah film yang di produksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan
dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film cerita bersifat komersial,
pertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau di putar di televisi dengan
dukungan sponsor iklan tertentu. Film non ceriat merupakan kategori film yang
mengambil kenyataan sebagai subjeknya, artinya merekam kenyataan cerita yang
benar – benar terjadi.
Film memiliki dua unsur utama di dalamnya yaitu gambar dan dialog. Film
disini dapat disebut citra (image) berbentuk visual bergerak dan suara dalam dialog
didalamnya. Citra menurut Barthes merupakan amanat ikronik (iconic massage) yang
dapat di lihat berupa adegan (scene) yang terekam (www.aber.ac.uk).
Kode – kode dalam film terbentuk dari kondisi sosial budaya dimana film
tersebut dibuat, serta sebaliknya kode tersebut dapat berpengaruh pada
masyarakatnya ketika seseorang menonton film, ia memahami gerakan, aksen, dialog,
mencontohkan gaya pakaian dan gaya hidup, kemudian disesuaikan dengan karakter
untuk memperoleh posisi struktur kelas atau dengan mengkonstruksikan apa yang ada
di film dengan lingkungannya (Graeme, 1999:79).
Kode dalam film merupakan serangkaian aturan, konvensi dan assosiasi yang
dianggap mampu mengkomunikasikan ide – ide atau emosi, perilaku, gaya pakaian,
logat bicara, arsitektur bangunan, suasana gerak, serta komposisi. Selain itu film
memiliki kode yang khas yang hanya dimiliki oleh film yaitu mise – en – seene dan
montage. Mise – en – seene berguna untuk menjawab pertanyaan apa yang harus di
shot, dan bagaimana menshotnya, sedangkan montage untuk menjawab pertanyaan
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural dan
semiotik, seperti dikemukakan Van Zoest (Zoest, 1993:109). Film dibangun sistem
tanda yang bekerjasama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.
Dijelaskan oleh Van Zoest menegenai hierarki antara sistem tanda yang satu
dengan yang lain yaitu :
” disini tentunya harus dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gaambar
(kata – kata yang diucapkan, deret pintu, dsb) dan musik film yang mengiringinya. Suara tipe
pertama sebenarnya secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan gambar –
gambarnya. Suara yang sama dengan gambar merupakan unsur dalam cerita film yang
dituturkan dan dapat disebutkan. Dikategorikan dan dianalisis dengan cara sebanding.
Suara sebagai tanda terjalin denagn sangat erat dengan tanda gambarnya. Suara bersama
dengan tanda gambar ini memang membentuk tanda – tanda kompleks. Tanda – tanda
kompleks ini memang ikonis, tetapi kekuatan keberadaanya pada akhirnya di peroleh di
indekidikalitas”.
SCENE, SHOT, DAN SEQUENCE Definisi scene :
Tempat atau setting dimana kejadian dilangsungkan jika didalam produksi
teater sebuah babak biasanya dibagi dalam sejumlah scene. Masing – masing
dilangsungkan pada sebuah lokasi yang berbeda. Satu scene atau sejumlah shot yang
menggambarkan peristiwa yang berkesinambungan.
Definisi Shot :
Suatu rangkaian gambar hasil rekaman kamera tanpa intrupsi. Tiap shot adalah
kesalahan teknik yang dramatis ) short ini dinamakan re – take. Jika set – up diubah,
kamera berpindah, lensa berubah atau action lain yang diambil bukan dinamakan re –
take.
Sequence :
Serangkaian atau shot – shot yang merupakan suatui kesatuan utuh. Sequence
biasanya berlangsung pada suatu setting atau beberapa setting, action harus berkaitan
secara tepat dalam sebuah sequence manakala terdiri dari sejumlah shot yang runtut,
sebuah sequence dapat dimulai sebagian adegan eksekutor (diluar) dan dilanjutkan ke
interior (dalam).
b. Film Suatu Cerminan Budaya
Film merupakan tranformasi dari kehiduapn manusia. Diamna gambaran –
gambaran nilai manusia terlihat jelas. Kehidupan manusia penuh dengan nilai simbol
– simbol yang mempunyai makna dan arti yang berbed – beda. Lewat simbol –
simbol tersebut film memberikan pesan melalui bahasa visualnya agar mempunyai
makn yang lain. Film juga merupakan sarana ekspresi indrawi yang jelas dan efisisen,
antara lain : mampu mengekspresikan emosi, aksi dan karakterisasi yang
dikomunikasikan dengan kemahiran mengekspresikan image – image yang
ditampilkan dalam film ynag kemudian menghasilkan makna – makna tertentu secara
konteksnya.
Film menjadi media yang menarik untuk menjadi bahan kajian tentang
berbagai hal yang terdapat didalamnya. Kajiannya terhadap film dilakukan karena
hubungan – hubungan antara image dan penonton, industri dan khalayak, narasi dan
budaya. Langkah yang dapat dilkukan dalam mengkaji film adalah dengan
menganalisis bahasa film sehingga dapat menghasilkan makna. ( Graemer, 1993:41 )
Tidaklah mengherankan bahwa film merupakan bidang kajian penerapan
semiotika. Film dibangun dengan tanda – tanda tersebut sebagai sistem tanda yang
bekerjasama dengan baik dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Dan yang
paling penting ialah gambar dan suara, kata yang diucapkan ( ditambah yang suara –
suara lain yang serentak mengiringi gambar – gambar ) dan musik film.
Dalam hal ini yang paling penting dalam sistem semiotika adalah proses
kerjanya timbul dari silih bergantinya gambar – gambar, pada film digunakan tanda –
tanda ikonis, yakni tanda – tanda yang menggambarkna sesuiatu. Ciri – ciri gambar
film adalah pesamaan dengan realita yang ditunjukan
Dalam study semiotika sinema, bukan berfokus pada pembuatan film atau
kehidupan bintang permainannya atau dukungan teknologi pada pembuatan film,
melainkan pada pemaknaan cerita dan penerimaannya juga teks sebagai system
penandaan, yang dikemas dalam bentuk sebuah film.
Christian Metz mengemukakn pendapat yang menyebutkan bahwa teks film
ditimbang sebagai satu kesatuan. Setiap film memiliki struktur khusus dimana
memiliki jaringan makna yang mengelilingi. ( Robert, 1992:50 ) Teks merupakan
kajian dalam analisis ”bahasa” film, yaitu teks dijelaskan sebagai system penandaan (
Signfiying system ) ( Greme, 1999:48 ). Film sebagai teks akan memberikan makna
untuk mengkontribusikan pandangan seseorang terhadap dunia, makna berdasarkan
kode – kode ini dapat diinterpretasi dengan kajian semiotik.
Semiotics offer us access to such activity because it allows us to separate
ideas from their representation (at least, theoretically ) in order to see how our view
of the word, or film construed, if does this by closely analysis a film ( or a view of the
word ) as the teks a set of from, relationships and meaning”. ( Greame, 1999:49 )
Image dalam film tidak berada dalam hubungan yang sewenang – wenang
terhadap objeknya, sebuah image tetaplah image yang lain tersendiri darinya. Image
yang termotivasi artinya signifier ditentukan oleh signified, mereka hamp[ir dapat
ditukar. Tanda yang termodifikasi merupakan sesuatu yang kroni. ( Graeme, 1999:15)
Hal – hal yang memiliki arti simbolis tidak terhitung dalam film,banyak cara
yang diberikan untuk memberikan muatan simbolis dalam film yaitu antara lain lewat
tokoh dalam film. ( Booggs, 1986:243 – 244 )
2.1.2. Representasi
Menurut Stuart Hall (1997), Representasi adalah salah satu praktek penting
yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas,
kebudayaan menyangkaut ’pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari
kebudayaan yang sama jika manusia – manusia yang ada disitu membagi
pengalaman yang sama, membagi kode – kode kebudayaan yang sama, berbicara
dalam ’bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep – konsep yang sama
Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai
sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini
karena ia beroprasi sebagai suatu sistem representasi. Lewat bahasa (simbol –
simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengungkapkan pikira, konsep,
dan ide- ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita
merepresentasikannya. Dengan mengamati kata – kata dan imej – imej yang kita
gunakan dalam merepresentasikan sesuatu, bisaa terlihat jelas nilai – nilai yang kita
berikan pada sesuatu tersebut (Juliastuti, 2000:http://kunci.or.id/teks/04re1.htm).
Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja,
kita bisa memakai tiga teori representasi. Pertama adalah pendekatan reflektif.
Disini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang
sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan
Internasional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu
sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah
pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percayabahwa kita
mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai (Juliastuti, 200 :
http//kunci.or.id/teks/04rep2.htm).
Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental,
yaitu konsep tentang ’sesuatu’ yang ada dikepala kita masing – masing (peta
konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua,
’bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak
kita dapat menghubungkan konsep dan ide – ide kita tentang sesuatu dengan tanda
dan simbol – simbol tertentu (Juliasti,2000:htttp://kunci.or.id/teks/04rep2.htm).
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem’peta
konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkostruksi seperangkat rantai
korespondensi antara ’peta konseptual’ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi
merepresentasikan konsep – konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ’sesuatu’,
peta konseptual’, dan ’bahasa/simbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat
bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama – sama
itulah yang dinamakan representasi (Juliasti,
2000:http://kunci.or.id/teks/04rep2.htm)
Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang
bagaimana seseorang, sebuah kelompok,atau sebuah gagasan ditunjukkan dalam
media massa (Eriyanto, 2001:113). Dalam film, alat – alat representasi itu bisa
berupa narasi besar (grand naration), cara bercerita, skenario, penokohan, dialog,
dan beberapa unsur lain dalam fil. Menurut Graeme Turner (1991:128), makna film
sebagai representasi dari realtas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai
refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah realitas
ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara, sebagai representasi dari realitas,
film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode – kode,
konvensi – konvensi, dan ideologi kebudayaanya (Irawanto, 1999:15).
Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi sosial dianggap memiliki
menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda
atau simbol (Piliang, Yasraff Amir, 2006:24). Representasi memiliki materialitas
tertentu, yang melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan
program televisi. Representasi diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami
dalam konteks tertentu (Barker, Chris, 2004:9).
Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan
suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep – konsep
ideologi yang abstrak dalam bentuk – bentuk yang kongkret. Representasi adalah
konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan
yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas,
representasi adalah produksi makna melalui bahasa
(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi .htm diakses 19 April 2011, 14:30 WIB).
Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya (circuit of
culture). Melalui representasi, maka makna (meaning) dapat berfungsi dan pada
akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui tanda – tanda (signs). Tanda
– tanda (signs) tersebut seperti bunyi, kata – kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian,
dsb merupakan bagian dari dunia material kita (Hall, 1997).tanda – tanda tersebut
merupakan media yang membawa makna – makna tertentu dan merepresentasikan
’meaning’ tertentu yang ingin disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui tanda –
tanda tersebut, kita dapat merepresentasikan pikiran, perasaan, dan tindakan kita.
Pembacaan terhadap tanda – tanda tersebut tentu saja dapat dipahami dalam konteks
(http://www.readingculture.net/index.php?option=comcontent&task=view&item.id
=43 diakses 19 April 2011, 15:01 WIB).
Representasi dalam film merupakan penggambaran suatu objek yang
ditampilkan dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda –
tanda, tanda – tanda yang dimaksudkan berarti tanda yang menjadi unsur sebuah
film. Unsur tersebut berupa dialog, sikap pemain, angel, kamera hingga musik.
Tanda dan unsur – unsur film ini akan dianalisis dan dicari maknanya, sehingga
makna dibalik tanda tersebut dapat diungkap.
Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan susunan kalimat dan
tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa ini terdiri atas semacam unsur yang akrab,
seperti pemotongan (cut), pengambilan gambar jarak dekat (close up), pengambilan
gambar dari dua arah (two shot), dll. Namun bahasa tersebut juga mencakup kode –
kode representasi yang lebih halus, yang mencakup dalam komplekstivitas dari
penggambaran visual yang harfiah hingga simbol – simbol yang paling abstrak dan
arbiter (berubah-ubah) (Sardar, 2001:156 dalam Sobur 2003:130).
2.1.3. Jenis kelamin, Gender, dan Feminitas
Banyak sekali penelitian ataupun analisis serta studi tentang gender yaitu salah
satu teknik yang memberi gambaran tentang adanya perbedaan maupun saling
ketergantungan peran perempuan dan laki – laki.
Adapun teknik gender memungkinkan kita untuk menunjukkan peran
reproduktif perempuan sebagai hal yang penting bagi peran produktif keluarga,
faktor – faktor sosial budaya yang menghambat dan mendorong kelangsungan dan
kehidupan perempuan dan laki – laki, melihat betapa pentingnya pengelola proyek –
proyek, mengerti peran gender agar dapat secara tepat menentukan masukan
diintevensi yang dibutuhkan ( ihromi, 1995 : 173 – 174 ).
Ada dua konsep yang harus dimengerti dalam usaha menelaah kaum
perempuan, yaitu membedakan dan memahami antara konsep jenis kelamin ( seks )
dan konsep gender. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian
dua jenis kelamin manusia yang tertentu. Misalnya, bahwa manusia laki – laki adalah
manusia yang memiliki sifat seperti berikut ini : laki – laki adalah manusia yang
memiliki penis, memiliki jakala, dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki alat
reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki
vagina, dan mempunyai alat untuk menyusui. Alat – alat tersebut secara biologis
melekat pada manusia jenis perempuan dan laki – laki, artinya tidak bisa
dipertukarkan dan tidak berubah sesuai dengan ketentuan Tuhan daan kodrat.
Gender adalah interpretasi mental karena perbedaan fisikal ini, laki – laki
cenderung didudukan secara antagonis. Sikap pasif emosional, mudah menangis dan
tergantung pada lawan jenisnya, dianggap sebagai ciri yang melekat pada perempuan.
Sementara laki – laki dipandang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Kedua :
perubahan yang terjadi dari waktu dan dari tempat ke tempat lain; misalnya zaman
dahulu perem[puan kuat dan sebaliknya, ketiga : adalah dari kelas – kelas masyarakat
yang lain dan juga berbeda. Pada perempuan kelas bawah di pedesaan pada tempat
lain, serta dari kelas – kelas lainnya, itulah yang disebut dengan konsep gender. (
Kadang – kadang interpretasi mental ini lebih merupakan keadaan yang idela
daripada apa yang seesungguhnya dilakukan dan dapat dilihat. Gender biasanya
digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja dianggap tepat bagi pria dan
perempuan, sering kali kegiatan didefinisikan sebagai milik laki – laki dan
perempuan yang diorganisasikan dalam hubunngan saling ketergantungan. ( Ihrohim,
1995:171 )
Konsep gender merupakan sifat melekat pada kaum laki – laki maupun
perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya perempuan
dikenal lemah lembut, emosional dan keibuan, sementara laki – laki dianggap kuat,
rasional, dan perkasa.
Gender terbagi dari beberapa elemen : ( 1 ) peranan gender yaitu peranan
sosial yang ditentukan oleh perbedaan kelamin; ( 2 ) pembagian kerja gender, yaitu
pola pembagian kerja dimana pria dan perempuan melakukan jenis kerja tertentu
sering menimbulkan ketimpangan yang merugikan; ( 3 ) diskriminasi gender, yaitu
system sosial dan budaya, peraturan – peraturan serta hukum dalam masyarakat yang
melegimitasi berdasarkan jenis kelamin; ( 4 ) ketimpangan struktural gender, yaitu
system diskriminasi gender yang dipengaruhi oleh adanya legitimasi oleh adat,
peraturan administrasi ataupun perundang – uindangan. ( Astuti, 1995: 2 – 3 )
Terbentukknya perbedaan gender dikarenakan beberapa hal, diantaranya
dibentuk melalui disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau
kultural. Kaum laki – laki harus bersifat kuat dan agresif, maka kaum laki – laki
kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju
perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja
berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi serta ideology kaum perempuan,
tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Karena
proses sosialisasi tersebut, mnejdai sulit dibedakanapakah sifat – sifat gender itu,
seperti kaum perempuan lemah lembut dan kaum laki – laki perkasa, dikonstruksikan
atau dibentuk oleh masyarakat atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan.
Perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan gender (gender inegualities),
baik bagi kaum laki – laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan
gender merupakan system dan struktur, bagi kaum laki – laki dan perempuan menjadi
korban dari system tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai
bentuk ketidakadilan yakni:
a). Gender dan marginalisasi perempuan : proses marginalisasi yang mengakibatkan
kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalm masyarakat dan negara yang
menimpa laki – laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian,
misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Marginalisasi kuam
perempuan tidak saja terjadi ditempat kerja, juga terjadi dalam rumah tangga,
masyarakat atau kultur dan bahkan negara.
b). Gender dan subordinasi : anggapan bahwa perempuan tidak bisa tampil dalam
memimpin. Berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak penting. Adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah yang tinggi.
Hal ini berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.
c). Gender dan beban kerja : adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat
bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum
perempuan konsekuensinya banyak kaum perempuan bekerja keras dan lama untuk
menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya.
d). Gender dan kekerasan : kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya
berasal dari berbagai sumber, nmaun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin
tertentu adalah disebabkan oleh gender. ( Fakih, 2001: 7 – 13 )
Ada beberapa macam dan bentuk kekerasan gender, diantaranya : (1) Bentuk
pemerkosaan, termasuk perkosaan dalam perkawinan, perkosaan ini terjadi jika
seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelan
yang bersangkutan. (2) Tindakan pemukulan dan serasngan fisik yang terjadi dalam
rumah tangga dan penyiksaan terhadap anak. (3) Bentuk penyiksaan mengarah pada
organ vital. (4 ) Kekerasan dalam bentuk pelacuran, pelacuran merupakan bentuk
pelacuran, pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang
diselenggarakan oleh mekanisme ekonomi ynag merugikan kaum perempuan. (5)
Kekerasan dalam bentuk pornografi, pornografi merupakan kekerasan terhadap
perempuan dalam bentuk nonfisik, yakni pelecehan terhadap tubuh perempuan yang
dijadikan sebagai objek demi keuntungan seseorang. (6) Kekerasan dalam bentuk
pemaksaan sterilisasi dalalm keluarga berencana. (7) Jenis kekerasan terselubung
(molestation) yakni memegang dan menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan
dimasyarakat yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexsual and emotional
harassment. ( Fakih, 2001 : 18 – 20 )
Tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik itu secara domestik maupun
perhatian secar proposional. Masalah ini yang merupakan pelanggaran hak asasi
perempuan sebagai manusia, tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang serius.
Aturan yang melindungi kaum perempuan masih sangat lemah. ( Imam, 2004 : 43 )
2.1.4. Perempuan dan Media
Citra perempuan ( image of women ) dengan tugasnya sebagai pengurus
rumah tangga yang sudah jauh lebih dahulu terbentuk ketimbang kemunculan media
massa. Ketika kita melihat iklan di televisi yang menayangkan perempuan sedang
memasak dengan memakai bumbu masak tertentu. Disitu kita disuguhi citra tentang
posisi sosial perempuan yang sudah baku dalam kehidupan masyarakat, yakni sebagai
pengelola utama kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Tayangan iklan ini itu tidak menampilkan sesuatu yang baru tentang citra
perempuan. Iklan itu hanya ”mengambilalih” sesuatu yang dianggap wajar dan
seharusnya terjadi dalam kehidupan, yakni salah satu jenis pekerjaan yang melekat
pada perempuan sebagai pemasak makanan untuk memenuhi kebutuhan makan
keluarga. Meskipun mungkin perempuan yang memasak itu memakai pakaian yang
bersih, baru dan modis, peralatan masaknya serba barucanggih, serta dapur yang luas
dan bersih, secara subtansial iklan itu tidak mengubah atau membuat kreasi baru
tentang citra perempuan. Iklan itu tidak hanya memperlihatkan tiruan langsung,
kemasan dari pola pembagian kerja antara laki – laki dan perempuan dalam realitas
histories masyarakat. Media, disana katakanlah hanya sekedar perpanjangan tangan
atau instrument yang dipakai untuk menyebarluaskan citra tentang perempuan yang
tersebut lebih merepresentasikan sisi normatif pandangan masyarakat tentang citra
perempuan. Media hanya menayangkan atau menggambarkan kembali melalui iklan,
berita, features, dan sebagainya. Sifat – sifat feminim yang dilekatkan pada diri
perempuan. Umpamanya keharusan untuk lebih mempertimbangkan emosi
ketimbang pikiran, berperilaku halus dan lemah lembut daripada kasar, serta peran
sosialnya yang mesti berkiprah rumah tangga ( domestik ) bukan di publik yang sejak
lama dibentuk masyarakat.
Melalui ragam media, citar perempaun ditampilkan dengan berbagai daya
tarik feminitasnya, apakah itu tubuhnya yang langsing, suaranya yang merdu,
pakaiannya yang modis dan up to date, serta perilaku yang mengesankan
keanggunan. Kalaupun ditampilkan maskulin, seperti agresif dan kasar serta
berpakaian layak laki – laki, hak itu akan dianggap sebagai penyimpangan belaka.
Demikian juga, kerapkali kita melihat ragam media yang menghidangkan tampilan
aktivitas perempuan yang sedang mencuci, mengasuh anak, memasak, serta menyapu
dan mengepel rumah dengan penuh keceriaan. Dan jika ditampilkan peekerjaan
perempuan di luar rumah, kalupun tidak disosialisakan dalam penyimpangan, selalu
dikaikan dengan pengertian seperti membantu menambah pendapatan suami atau
sekedar mengisi waktu senggang setelah pekerjaan di rumah selesai. Tetapi yang
lebih tendensius, perempuan yang bekerja di luar rumah itu digolongkan sebagai
”wanita karier” ambisius tidak peduli suami dan keluargaanya dan hanya
mengerjakan kepentingan sendiri.
Dengan mengambarkan atau menceritakan perilaku dan aktivitas perempuan
dibangun sebelumnya. Tampilan substansi media itu bukan sesuatu yang baru,
mungkin yang baru hanya pada tingkatan performance-nya, bukan isinya. Adakah
media yang menampilkan laki – laki yang mengasuh dan mengajari anak yang
memasak atau mencuci pakaian, dan yang sedang membersihkan rumah? Sangat
jarang sekali untuk tidak menyebutkan tidak ada. Dengan demikian, media tampak
lebih merepresentasikan citra yang sudah dibuat masyarakat, yang mengisahkan
identitas mental ( feminism dan maskulin ) dan pembagian kerja seksual ( ranah
domestic dan rana public ) antara laki – laki dan perempuan. Itu berarti ikut
memperkuat pembakuan stereotype yang sudah dikonstruksi masyarakat.
Suatu analisis mengenai peran media menyebutkan, media cenderung lebih
banyak memperkuta perilaku dari pada mengubahnya. Bahkan aktivitas suatu media
bisa saja tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan pada orang yang menjadi
sasarannya. Perubahan yang kecil sekalipun dapat terjadi tanpa aktivitas komunitas.
2.1.5. Perempuan dalam Film
Film merupakan bagian dari media massa yang menstranformasikan
kehidupan masyarakat kita didalamnya. Harus kita akui hubungan antara film dan
kehidupan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli
komunikasi. Dijelaskan pula oleh Dennis Mc. Quail; sebagai media massa, film
mempunyai fungsi penyebar hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta
menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknik lainnya kepada
Dewasa ini sangat gencar dibicarakan tentang sosok perempuan mengenai
keberadaannya dalam film Indonesia. Film sebagai tempat yang memungkinkan
untuk mempertanyakan dominasi nilai – nilai yang diacu oleh ideology dominan
dalam masyarakat, termasuk nilai – nilai patriarkhi. Film – film Indonesia dinilai
terpaku pada satu wajah yang sama ( Krishna Sen, Prisma 7 Juli 1981 : 31 ).
Perempuan dalam pandangan kebudayaan Indonesia menurut Krisna Sen adalah
perempuan yang kawin yang bernaung di bawah laki – laki.
Citra perempuan sebagai kaum yang lemah dan sebagi korban dalam
kehidupan adalah suatu citar yang ditempa sejak ratusan tahun silam. Budaya film
Indonesia pun melestarikan citra tersebut. ( Subandy, 1998 : 107 )
Film yang dipopulerkan tahun 70-an sudah menunjukkan bahwa keberadaan
perempuan selalu berada pada posisi yang dirugikan, misalnya dalam film ”Suci
Seorang Primadona” karya Arifin C Noer. Dalam film ini, suci menjadi bintang
penghibur dan penyayi yang mengadu nasib, menjadi objek ynag dikhianati oleh pria
dan mengarah pada suatu pelacuran. ( Subandy, 1998 : 270 )
Dalam film Indonesia terlihat sangat miskin perpektif tentang keberadaan
perempuan. Apabila kita lihat, kecenderungan penggambaran perempuan dalam film
– film produksi beberapa tahun belakang ini, gambaran yang muncul masih selalu
seputar perempaun yang beraitamnn dengan lingkungan domestiknya saja yang
akhirnya membawa mereka pada suatu kondisi yang merugikan karena intinya
mereka ingin berontak dan beanjak dari posisi yang membosankan bagi mereka.
bicara dan kuarang panjang akal, hal ini menjadi ciri yang utama bagi perempuan. (
Subandy, 1998 : 295 )
Tetapi Pasir Berbisik mengawali sebuah babak baru dalam film Indonesia
yaitu lahirnya fim Perempuan. Dalam kajian – kajian gender dan budaya, film
perempuan (women’s cinema) mendapat sebuah tempat sendirri. Pembuatan film
perempuan lahir sejak adanya industri film Barat. Pada tahun 1920-an dan 1930-an
lahir film perempaun melalui tanagn Dorothy Arzner dan Ida Lupino, misalnya.
Keinginan membuat film perempaun itu berangkat dari kenyatan bahwa film
menjadi sebuah industri yang dikuasai laki – laki. Perempaun, kalaupun ia tampil
menjadi tokoh utama film itu, menyampaikan dan menstranformasikan ideology yang
seksis dan membuatnnya tidak tampak, dan karenanya tampak alamiah. Claire
Johnstan dalam woman’s cinema as counter cinema (1999) menelusuri akar
stereotype perempuan didalam film melalui sejarah film itu sendiri di Hollywood.
Pertanyaan besarnya adalah mengapa stereotype primitive perempuan tidak
banyak berubah meskipun ada modifikasi, sementara laki – laki mengalami
diferensiasi sangat cepat. Banyak kajian tentang penstereotipan perempuan di dalam
film mengambil pandangan monolitik tentang media sebagai titik awalnya yaitu
media bersifat represif dan manipulatif.
Johnston meyebutkan stereotype didalam film ini berawal dari mulainya cerita
film. Pada massa awal penonton mengalami kesulitan mengartikan apa yang muncul
di layar. Pengikonan yang pasti dan tetap lalu diperkenalkan untuk memberikan
kepada penonton fakta – fakta dasar untuk memahami cerita. Pengikonan sebagai
Hollywood menurut Johston ikut bertanggungjawab terhadap terjadinya
penstereotipan di dalam film komersial.
Ketika dalam kenyataannya penstereotipan perempuan dalam film tidak
banyak beranjak dari film cerita pertama – tama diperkenalkan taplak bermotif kotak
– kotak menggambarkan keadaan miskin tetapi jujur, perkawinan yang berbahagia
tetapi terancam oleh peristiwa di masa lau digambarkan dengan istri menuangkan
kopi untuk suaminya, ciuman pertama disimbolkan oleh perempuan memainkan dasi
kekasihnya berhubungan dengan ideology yang seksis di Hollywood.
Menurut Johston mitos – mitos yang mengusai fim tidak berbeda dari mitos –
mitos yang berhubungan dengan produk budaya lainnya, yaitu berhubungan dengan
system nilai standar didalam sebuha system budaya di sebuha masyarakat tertentu.
Dengan mengutip penelitian Roland Barthes mengenai mitos sebagai penanda
sebuah ideology, Johnseston menjelaskan bagaimana sebuah mitos tentang
perempuan dipandang sebagai hal yang sebenarnya. Tnada bisa dihilangkan dari
tempat awalnya dan sebuah pengertian baru ditempelkan di tempat itu. Dengan cara
ini sebuah konotasi baru secara salah dipandang sebagai tanda yang dialami.
Christine Hakim mengatakan keinginannya membuat sebuah film perempuan
terbangkitkan ketika ia mengujungi Festival Film Kyoto tahun 1993, dan kemudian
seminar tiga hari tentang perempuan di dalam film dan televisi yang diadakan di
Australia.
Di Australia menurut Christine ternyata 30 persen dari pekerjaan film yang
menduduki posisi kunci mengambil keputusan dipegang oleh perempuan. Bila lebih
yang diproduksi juga akan lebih imbang dalam menyuarakan peran perempuan dalam
kehidupan.
Film Pasir Berbisik menuturkan apa yang Christine sebutkan sebagai suara
perempuan. Kekuatan perempaun digambarkan melalui keberanian Berlian untuk
meninggalkan kampungnya yang dibakar entah oleh siapa dan atas alasan apa, pada
keteguhannya untuk menyambung kehidupan dengan bekerja membuka warung dan
menyediakan jamu. Melindungi anak perempuannya tidak mengikuti jejak adik
perempuan berlin yang menjadi penari keliling dengan resiko harus dengan anak
perempuannya sendiri yang merindukan kehidupan baru.
Berlian adalah seorang peramu jamu, pekerjaan ini dilakukan banyak
perempuan melahirkan kehidupan baru. Dua pekerjaan itu dekat sekali dengan
perempuan karena perempuan memilik raim yang menggendong kehidupan. Film ini
menampilkan multidimensi perempuan yang hidup dalam system patriarkhi.
Pada Pasir Berbisik peran Suwito digambarkan sebagai seorang yang baik hati
dan sinterklas yang siap menolong. Bahkan keinginan seksualnya kepada Daya pun
tidak tersalurkan melalui sentuhan fisik sama sekali.
Boleh jadi sutradara tidak ingin menampilkan kekerasan secara telanjang
dalam film ini, tetapi komentar dari sejumlah orang yang juga menonton film ini bisa
menjadi bahwa pesan yang sampai bisa membingungkan bahkan menyesatkan.
Pada akhir cerita Berlian memutuskan untuk menyelesaikan persoalan dengan
mengakhiri hidup Agus yang dimunculkan melalui pemberian jamu dan keudian
gubuk tempat Agus tinggal tertimbun pasir. Tetapi, tidak ada penyelesaian untuk
muda lain selama ia memiliki uang dan ada orang yang juga seperti Agus yang tega
berbuat apa saja demi uang.
Keinginan untuk menampilkan film yang lahir dari tangan perempuan dan
menyuarakan perempuan, merupakan sebuah tandingan terhadap budaya patriarkhi
yang mendominasi media ini seperti yang dengan telanjang kita bisa lihat di media
elektronik dan cetak kita saat ini. Film, khususnya memiliki kekuatan untuk
menyeimbangkan gambaran tentang perempuan. Hal ini penting dalam
membicarakan film perempuan adalah ideology.
Menurut Johnston alat dan teknik didalam film itu sendiri, sebagai bagian dari
kenyataan, merupakan sebuah ekspresi dari ideology: mereka tidak netral, seperti
yang tmapaknya diyakini banyak pembuat film ” revolusioner ”. Menurut para idealis
bahwa kebenaran bisa ditangkap melalui kamera, atau sebuah kondisi pembuatan
film, misalnya film yang secara kolektif oleh para perempuan bisa dengan sendirinya
merefleksikan keadaan film yang diproduksi.
Sebuah arti baru, demikian Johnston mengatakan, harus diproduksi dalam teks
film. Lebih lanjut, bila pandangan bahwa film melibatkan produksi tanda – tanda,
maka pendapat bahwa tidak boleh ada campur tangan, menjadi tidak bisa diterima
karena tanda selalu merupakan sebuah produk apa yang ditangkap secara ”netral”
oleh kamera..
Johnston mencontohkan film yang dibuat oleh Dorothy Arzner pada tahun
1940 – an berjudul ”Dance, Girl, Dance ” ceritanya tentang gadis penari. Pemeran
utama, Bubbies dan Judy, menggambarkan ikonografi yang primitive tentang
Pemeran utama itu dimunculkan dalam dua stereotype keperempuanan yang
berhadapan, seksualitas versus keangguann dan kenaifan. Kontradiksi itu dituturkan
dalam film melalui hal yang akan dikenali semua perempuan yaitu kontradiksi antara
hasrat untuk menyenangkan ( laki – laki sebagai penonton ) dan hasrta menari
sebagai ekspresi diri.
Bubbles memilih untuk menyenangkan penontonnnya, sementara Judy
memilih ekspresi diri. Menjelang akhir cerita film Arzner menunjukkan apa yang
ingin disampaikan film itu : Judy dalam kemarahan berbalik kearah penontonnya dan
mengatakan apa yang dilihatnya dari penonton laki – lakinya.
Menurut Johnston ini adalah sebuah proses satu arah yang menunjukkan
serangan langsung kepada penonton di dalam / film dan penonton film itu, dengan
efek secara langsung menantang seluruh gagasan / tentang perempuan sebagai
penonton yang di dalam film mendominasi laki – laki dipandang tidak hadir. Dan
untuk bisa berhasil sebagai sebuah tontonan, film perempuan harus menyatukan ide
film sebagai alat politik sekaligus film sebagai hiburan.
Dalam hal ini Pasir Berbisik sedikit banyak telah mencoba melakukannya :
seksualitas perempuan tidak seluruhnya ditekan karena juga dimunculkan dalam
peran penari adil Berlian, gambar – gambar yang indah sepanjang film, dan kekuatan
perempuan ditampilkan pada puncaknya ketiak Berlian memutuskan bahwa ada akhir
kejahatan yang dilakukan Agus dan ia membunuh egoismenya dengan menyuruh
2.1.6. Film Sebagai Media Massa dalam Masyarakat
Film dan masyarakat mempunyai hubungan yang dipandang linier, artinya
film selalu memepengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan
(message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul
terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari
masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksiknnya kelayar
(Irawanto, 1999:13).
Film sebagai refleksi dari masyarakat, tampaknya menjadi perspektif yang
secara umum lebih mudah disepakati, sebagaimana yang dikemukakan Garth Jowett
(1971), yaitu :
”It’s more generally agr that mass media are capable of ’reflecting’ society
because they are forced by their commercialnature to provide alevel of content
which will guarantes the widest possible audience”
Proposisi Jowett ini menunjukkan bahwa kepentingan komersial justru
menjadi imperative bagi isi media massa (film) agar memperhitungkan khalaknya,
sehingga dapat diterima secara luas. Karakteristik film sebagai media massa mampu
membentuk semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena isi film
selalu bertautan dengan nilai yang ada dalam masyarakatnya. Kekuatan dan
kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial membuat para ahli percaya
bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya (Jowett, dalam
Graeme Turner menyebut perspektif yang dominan dalam seluruh studi
tentang hubungan film dan masyarakat diatas sebagai pandangan yang reflectionist.
Pandangan ini melihat film sebagai cermin yang memantul kepercayaan –
kepercayaan dan nilai dominan dalam kebudayaan. Perspektif ini dipandang sangat
’primitif’ dan mengemukakan metafor yang tidak memuaskan, karena
menyederhanakan prosses seleksi dan kombinasi yang selalu terjadi dalam setiap
komposisi ungkapan baik film, prosa atau bahkan percakapan. Diantara film dan
masyarakat sesungguhnya terdapat kompetisis dan konflik dari berbagai faktor yang
mnentukan baik bersifat kultural, subkultural, industrial, serta institusional
(Irawanto, 1999:13).
Untuk itu dapat dipahami jika Turner (dalam Irawanto, 1999:14) menolak
perspektif yang melihat film sebagai refleksi masyarakat dengan mengatakan
bahwa:
”film does not reflect even record reality; like any other medium of
representation, it construct and ’represent’ it’s picture of reality by way codes,
conventioons, myths, and ideologies of it’s culture as well as by way of the specific
signifying practices of the medium”.
Makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi turner,
berbeda dengan sekedar refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film
sekedar ’memindah’ realitas kelayar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu,
sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan ’menghadirkan kembali’
realitas berdasarkan kode – kode, konvensi – konvensi, dan ideologi dari
Film merupakan salah satu media massa yang erat kaitannya dengan
’representasi’. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Graeme Turner bahwa film
adalah representasi dari suatu realitas (Irawanto, 1999:13). Representasi mengacu
pada konstruksi media massa, termasuk film, yang mengkonstruksikan aspek –
aspek ’realitas’ seperti individu, tempat objek, peristiwa, identitas kultural dan
konsep – konsep abstrak lainnya. Representasi ini dapat dituangkan ke dalam
bentuk spech, writing, atau bahkan moving images yakni film. Representasi –
representasi tersebut dibuat sedemikian rupa agr terlihat ’natural’ dan sistem –
sistem yang ada pada representasi adalah inti yang termuati oleh ideologi – ideologi
tertentu (http://www.aber.ac.uk/media/documents/s4B/sem12a.htm).
Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili
realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk
imajinasi ataupun realitas dalamarti sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak
– jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi masa kini dan
keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam
perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan ’ citra bergerak’
(moving image), namun juga telah diikuti oleh muatan – muatan kepentingan
tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup
(http://situskunci.tripod.com/teks/victor1.htm).
Sebuah film membawa muatan – muatan ideologi yang mrupakan hasil
kostruksi film makernya, seperti yang dinyatakan oleh Gianetti :
”... the term (ideology) is generally associated with politics and party
enterprice – including film making. Virtually everyu movie presents us wih role
models, ideal ways of behaving negative traits, and an implied morality based on
the film maker’s sense of right and wrong” (ginetti, 1996:392).
Istilah ideology umumnya berkaitan dengan dunia politik dan program –
program partai, namun bias juga diartikan dengan dunia politik dan program –
program partai, namun bias juga diartikan sebagai bentuk penilaian yang tersirat
dalam setiap hasil/produk manusia termasuk didalam pembuatan sebuah film. Setiap
film menyajikan kepada kita model – model peran, nilai – nilai yang ideal dalam
bertindak, perilaku – perilaku negative sserta nilai – nilai moral, berdasarkan rasa
kebenaran dan kesalahan menurut si pembuat film tersebut.
Dalam perspektif Marxian, film sebagai institusi social dianggap memiliki
aspek ekonomis sekaligus ideologis. Film senantiasa berkisar pada produksi
representasi bagi masyarakat yang telah disiapkan untuk diharapkan memperoleh
kesenangan didalam sistem yang menjamin berputarnya kapital. Menurut Claire
Johnston (Turner, 1991), pentingnya kajian film dalam kebudayaan Marxist terletak
pada lokus film dan hubungannya dengan produksi, alih – alih pada konsumsi. Film
sebagai produksi makna melibatkan pembuat maupun penonton film. Bagaimana
juga Graeme Turner memandang bahwa hubungan antara film dan ideologi
kebudayaanya bersifat problematis, karena film adalah produk dari struktur sosial,
politik, dan budaya, serta sekaligus membentuk dan mempengaruhi dnamika
2.1.7. Pendekatan Semiotika Dalam Film
Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and Communication Studies,
disebutkan bahwa terdapat dua perspektifdalam mempelajari ilmu komunikasi.
Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transisi pesan. Sedangkan
perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna.
Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan
kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika. (Ilmu tentang tanda dan
makna, Fiske, 2006:9)
Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada
bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya
untuk dapatmenghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks
tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini sering kali menimbulkan kegagalan
berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima
pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan
kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal
dariperspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan semiotik.
Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda – tanda (Chandler,
2002:www.aber.ac.uk) studi ini tidak hanya mengarah pada ’tanda’ dlam kehidupan
sehari – hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda – tanda tersebut. Bentuk – bentuk
tanda disini antara lain berupa kata – kata, images, suara, gesture, dan objek. Bila kita
mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain
membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya