• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

Tinjauan pustaka membahas tentang teori-teori yang mendukung dan penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

1. Teori yang Mendukung

Bagian ini membahas mengenai beberapa topik yang berkaitan dengan judul yaitu tahap perkembangan siswa sekolah dasar, alat peraga matematika Montessori, metode Montessori, pembelajaran matematika, materi perkalian, dan prestasi belajar.

a. Tahap Perkembangan Siswa Sekolah Dasar

Tahap perkembangan siswa sekolah dasar memuat penjelasan mengenai teori perkembangan dan karakteristik siswa sekolah dasar. Teori perkembangan yang dihadirkan disini adalah teori belajar kognitif Piaget. Bagian karakteristik siswa sekolah dasar dijelaskan posisi siswa sekolah dasar pada tahap perkembangan menurut Piaget.

1) Teori perkembangan

Teori belajar kognitif milik Piaget (Yusuf, 2008: 6) terbagi tahap perkembangan meliputi empat tahap yaitu sensori motor, praoperasional, operasonal konkret, dan operasional formal seperi tampak dalam tabel 2.1. Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut piaget dimulai dari usia 0 tahun hingga dewasa. Tabel 2.1 juga menjelaskan mengenai deskripsi perkembangan untuk masing-masing periode yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Tabel 2.1

Tahap perkembangan menurut Piaget

Periode Usia Deskripsi Perkembangan

Sensori Motor 0 – 2 tahun

Pengetahuan diperoleh dengan cara melakukan interaksi fisik dengan orang atau benda di sekitarnya. Praoperasional 2 – 6 tahun Anak mulai mampu menggunakan

simbol-simbol seperti angka dan kata. Operasional Konkret 6 – 11 tahun Anak mulai menggunakan operasi

mental dari pengetahuan mereka. Operasional Formal 11 – hingga dewasa Anak mengalami operasi mental

tingkat tinggi.

Tabel 2.1 dijelaskan tahapan perkembangan mulai dari 0 tahun hingga dewasa. Anak mengawali perkembangannya pada tahap sensori motor di usia 0 – 2 tahun. Anak mengoptimalkan panca indera untuk melakukan interaksi fisik dengan orang atau benda disekitarnya pada tahap sensori motor. Anak menerapkan tahap sensori motor dengan cara yang sederhana seperti menggenggam atau menghisap.

Tahap kedua adalah tahap praoperasional. Tahap ini menunjukkan anak mulai mampu menggunakan simbol-simbol untuk merepresentasikan lingkungannya secara kognitif. Simbol-simbol tersebut dapat berupa kata atau

bilangan yang menggambarkan objek, peristiwa dan kegiatan. Tahap praoperasional terjadi pada anak yang berusia 2 6 tahun.

Tahap ketiga adalah tahap operasional konkret. Tahap ini terjadi pada usia 6 11 tahun. Anak mulai mampu menggunakan operasi mental dari pengetahuan mereka. Mereka mampu menambah, mengurangi dan mengubah. Pada tahap ini memungkinkan anak mampu memecahkan masalah secara logis.

Tahapan terakhir terjadi pada usia 11 tahun hingga dewasa. Tahapan tersebut adalah tahap operasional formal. Tahapan ini merupakan tahapan tertinggi dimana operasi mentalnya berubah menjadi operasi mental tingkat tinggi. Anak telah beranjak menjadi remaja yang sudah mampu berpikir abstrak dan memecahkan masalah melalui pengujian dari banyak pilihan yang ada.

2) Karakteristik siswa sekolah dasar

Siswa sekolah dasar adalah anak-anak dengan kisaran usia antara 6 – 12 tahun. Tabel 2.1 menjelaskan bahwa anak usia 6 – 11 tahun berada pada tahap operasional konkret. Sesuai dengan deskripsi perkembangan pada tabel 2.1, anak yang berada pada tahap operasional konkret sudah mampu berpikir logis namun anak belum mampu untuk berpikir abstrak.

Siswa sekolah dasar belum mampu berpikir abstrak oleh karena itu dibutuhkan gambaran konkrit, sehingga mampu menelaah persoalan (Budiningsih, 2005: 25). Gambaran konkret tersebut berupa alat peraga pembelajaran yang nyata dan dekat dengan kehidupan siswa. Budiningsih (2005: 25) berpendapat siswa membutuhkan interaksi yang intens dengan lingkungan sosialnya. Interaksi dengan lingkungan sosial memunculkan pemahaman dan pengetahuan yang baru.

b. Metode Montessori

Bagian ini akan dijelaskan mengenai sejarah metode Montessori dan karakteristik metode Montessori. Sejarah metode Montessori menjelaskan mengenai Maria Montessori dan langkah tercetusnya metode yang dikembangkan oleh Montessori. Karakteristik metode Montessori berisi penjelasan mengenai inti dan karakteristik metode Montessori.

1) Sejarah metode Montessori

Metode Montessori adalah metode pembelajaran yang dikembangkan oleh Maria Montessori. Montessori adalah seorang dokter wanita pertama di Italia, beliau lahir pada 31 Agustus 1870. Montessori mendapatkan ide untuk mengembangkan metode pendidikannya sendiri dari penelitian yang dilakukan Edward Séguin (1812-1881) dan Jean Marc Gaspard Itard (1775-1838) yang berhasil mendidik anak-anak yang terbelakang mentalnya maupun yang memiliki cacat indera semi permanen. Ada dua aspek yang menjadi fokus yaitu guru yang menjadi pengamat yang baik dan siswa yang diberikan ruang kemerdekaan (Montessori, 2002: 28-47).

Metode Montessori dikembangkan sewaktu Montessori menjadi asisten dokter psikiater di Universitas Roma. Metode ini merupakan hasil dari eksperimen yang dilakukan selama 2 tahun pada anak-anak yang secara intelektual sangat kurang di distrik kumuh di Roma (Montessori, 2002: 28-47). Montessori menggunakan metode dari Séguin untuk berinteraksi dengan anak-anak tersebut. Eksperimen dilakukan di Casa dei Bambini (Rumah Anak-anak) pada anak-anak usia 3- 6 tahun dan hasilnya jauh melampaui target. Pada tahun 1906 Direktur

Jenderal Asosiasi Roma untuk Perumahan yang Baik mengambil alih organisasi sekolah-sekolah untuk anak-anak usia 3-7 tahun di perumahan-perumahan susun kumuh di Roma. Sekolah pertama didirikan pada tanggal 6 Januari 1907 di distrik San Lorenzo yang diberi nama Casa dei Bambini (Rumah Anak-Anak). Setelah sekolah yang pertama berdiri kemudian banyak didirikan Casa dei Bambini di banyak tempat (Montessori, 2002: 28-47).

Para pendidik masih menyamaratakan metode pendidikan bagi anak normal dan bagi anak dengan intelektual rendah. Hal ini membuat anak-anak dengan intelektual rendah tidak mengalami kemajuan yang berarti. Ketika anak-anak tersebut tidak menunjukkan perkembangan, hal ini membuat beberapa pendidik menjadi putus asa dan semakin mengacuhkan anak-anak tersebut. Bagi Montessori yang terpenting adalah mengerti jiwa mereka melalui rasa kasih dan rasa menghormati (Montessori, 2002: 28-47).

2) Karakteristik metode Montessori

Montessori mengembangkan sistem yang berbeda dengan sistem yang ada dan berkembang pada saat itu. Montessori mengembangkan metode milik Séguin pada awalnya. Metode milik Séguin tersebut diringkasnya menjadi metode yang menggunakan sistem otot, sistem saraf dan sistem indera. Montessori semakin meyakini bahwa “dari pendidikan lewat panca indera menuju ke pengertian-pengertian umum, dari pengertian-pengertian-pengertian-pengertian umum ke pemikiran abstrak dari

pemikiran abstrak ke moralitas“ seiring dengan berhasilnya metode tesebut (Montessori, 2002:41).

Karakteristik metode Montessori adalah mengoptimalkan sistem indera (Montessori, 2002:41). Sistem indera membawa kepada kekhasan yang ingin diperlihatkan oleh Montessori. Metode Montessori adalah metode eksperimental (Montessori, 2002:41). Dua aspek yang menjadi fokus yaitu guru yang menjadi pengamat yang baik dan siswa yang diberikan ruang kemerdekaan untuk bereksperimen. Seseorang yang melakukan eksperimen tidak terpancang pada konsep-konsep yang ada sebelumnya dan dianggap benar. Eksperimen akan membuat seseorang justru akan menemukan kebenaran yang sifatnya tak terduga (Montessori,2002: 28-47)

c. Alat Peraga Matematika Berbasis Metode Montessori

Bagian ini menjelaskan mengenai empat hal yaitu pengertian alat peraga matematika, alat peraga matematika berbasis metode Montessori, karakteristik alat peraga matematika berbasis metode Montessori dan alat peraga matematika berbasis metode Montessori bola-bola penjumlahan. Pengertian alat peraga matematika berisi definisi alat peraga matematika yang merupakan gabungan dari beberapa sumber. Alat peraga matematika berbasis Montessori menguraikan esensi alat peraga dalam metode Montessori. Karakteristik alat peraga Montessori berisi keunggulan dan kekhasan alat peraga matematika berbasis metode Montessori. Alat peraga matematika berbasis metode Montessori bola-bola penjumlahan menjelaskan tentang ciri khas alat peraga Montessori yang ada pada alat peraga bola-bola penjumlahan.

1) Pengertian alat peraga matematika

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008) mendefinisikan alat peraga sebagai berikut :

“alat peraga merupakan sebuah barang yang digunakan untuk

mengerjakan sesuatu, mencapai suatu maksud tertentu, sedangkan peraga

merupakan alat media pembelajaran untuk menyajikan pembelajaran”. Alat peraga oleh Badan Nasional Standar Pendidikan (2006: 52) juga dinilai dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran. Pengertian alat peraga menurut Suherman (2003: 138) terdiri atas dua jenis yaitu media pembawa informasi dan media yang digunakan sekaligus sebagai alat untuk menanamkan konsep kepada siswa seperti alat-alat peraga matematika .

Pengertian mengenai alat peraga tersebut jika digabungkan dapat ditemukan hakikat dari alat peraga matematika yaitu barang yang digunakan untuk memperagakan pembelajaran dan bertujuan mencapai satu tujuan meningkatakan keefektifan pembelajaran matematika. Alat bantu atau alat peraga matematika sangat mempengaruhi penyerapan dan ingatan tentang pengetahuan matematika dan pengetahuan prosedural yang sangat penting untuk menguasai materi matematika (Silver, Brunsting, Walsh, & Thomas, 2013).

2) Alat peraga matematika berbasis metode Montessori

Montessori pada awalnya menggunakan alat peraga didaktis yang dibuat oleh Itard dan Seguin untuk anak-anak tunagrahita (Magini, 2013: 49). Montessori melakukan modifikasi terhadap alat tersebut dan mengamati bagaiman anak-anak Casa dei Bambini menggunakan alat peraga tersebut. Pengalaman yang diperoleh

Montessori sangat menarik minatnya, bahwa anak dengan penuh konsentrasi bermain dengan alat peraga tersebut dan membuahkan senyum lebar dan kepuasan batin yang tak ternilai (Magini, 2013: 49).

Lillard (1997:137) menyatakan bahwa :

“the Montessori math materials are not design to “teach math” but to aid

the development of the mathematical mind: an exploring mind that understand order, sequence, and abstraction and has the ability to put

together what is known and arrive at a new creation”.

Alat peraga matematika Montessori tidak didesain untuk mengajar matematika namun ditujukan untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan matematikanya, seperti memahami perintah, memahami urutan, mengenal hal yang abstrak dan memiliki kemampuan untuk menyatukan semuanya itu menjadi sebuah temuan yang baru. Alat peraga matematika Montessori memang didesain dengan sederhana dan menarik sesuai dengan konsep pemikiran Montessori sendiri (Montessori, 2002 : 169-175). Siswa diberi kesempatan secara utuh dan mandiri mengeksplorasi alat peraga tersebut dan melakukan perbaikan pada kesalahannnya sendiri tanpa harus dikoreksi orang lain. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa alat peraga matematika Montessori adalah alat peraga yang didesain khusus untuk mengajar matematika secara sederhana dan menarik sehingga menimbulkan minat siswa untuk mengeksplorasi secara utuh dan mandiri. 3) Karakteristik alat peraga matematika berbasis metode Montessori

Alat peraga Montessori memiliki empat karakteristik utama yaitu, 1) Menarik, 2) bergradasai, 3) auto education, 4) auto correction (Montessori, 2002 :

169-175) dengan tambahan ciri kontekstual sebagai usaha untuk semakin dekat dengan sistem pembelajaran di Indonesia. Karakteristik yang pertama adalah menarik, menarik disini memiliki arti alat peraga Montessori memiliki warna yang beragam. Warna yang beragam akan mengundang minat siswa untuk bermain menggunakan alat tersebut.

Karakteristik kedua adalah memiliki gradasi. Terdapat dua jenis gradasi menurut Montessori, yang pertama adalah mengenai gradasi umur gradasi ini membuat variasi alat peraga sesuai dengan jenjang kelas awal dan selanjutnya. Gradasi yang kedua adalah gradasi rangsangan, gradasi ini tampak pada penggunakan alat sensorial atau alat untuk melatih kepekaan indera.

Karakteristik yang ketiga adalah auto education. Penggunakan alat peraga Montessori memunculkan harapan agar anak dapat tumbuh menjadi anak yang mandiri baik dalam belajar maupun dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Hal ini dikarenakan alat peraga Montessori didesain sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak pada usianya.

Karakteristik alat peraga Montessori yang keempat adalah memiliki nilai pengendali kesalahan atau auto correction. Pengendali kesalahan dimaksudkan agar anak semakin mandiri. Anak diharapkan dapat mengetahui kebenaran atau memperbaiki kesalahan yang dia laukan tanpa diingatkan atau berinteraksi dengan orang lain.

Penerapan alat peraga matematika Montessori di Indonesia memunculkan karakteristik yang ke lima yaitu kontekstual. Karakteristik ini dihadirkan untuk menjembatani pembuatan alat peraga matematika berbasis metode Montessori

Karakteristik kontekstual berhubungan dengan bahan yang digunakan untuk pembuatan alat peraga berbasis metode Montessori. Nilai kontekstual juga diharapkan membuat anak merasa alat peraga tersebut semakin familiar dan dengan mudah dikenali dan digunakan.

4) Alat peraga berbasis metode Montessori Bola-bola penjumlahan

Alat peraga berbasis metode Montessori bola-bola penjumlahan merupakan replikasi dari alat peraga metode Montessori manik-manik emas. Alat peraga bola-bola penjumlahan memiki beberapa komponen yaitu manik satuan, manik puluhan, manik ratusan, kartu angka, alas kerja, simbol tanda sama dengan dan penjumlahan, dan tanda kurung.

Gambar 2.1 Alat peraga matematika berbasis metode Montessori bola-bola penjumlahan

Alat peraga pada Gambar 2.1 memiliki empat karakteristik alat peraga metode Montessori yaitu menarik, bergradasi, autoeducation dan autocorrection. Alat peraga bola-bola penjumlahan menarik dari segi warna. Bola-bola penjumlahan sendiri berwarna merah terang diengkapi dengan simbol-simbol operasi penjumlahan. Alat peraga ini memiliki karakteristik bergradasi yaitu gradasi usia, yaitu dapat digunakan untuk materi matematika di kelas I dan kelas II. Karakteristik autoeducation juga terdapat pada alat peraga ini. Siswa dapat belajar mandiri berlatih menggunakan kartu soal yang ada dan mencocokan jawabannya sendiri yang dapat ditemukan di balik kartu soal. Autocorrection pada alat ini terletak pada kunci jawaban yang ada pada bagian belakang kartu soal, sehingga siswa tahu kapan jawabannya benar dan ketika jawabannya kurang tepat siswa akan mengulangi aktivitas menghitung menggunakan bola-bola penjumlahan kembali. Penggunaan alat peraga matematika berbasis metode Montessori dapat dilihat pada lampiran 21.

d. Pembelajaran Matematika

Bagian pembelajaran matematika ini dijelaskan mengenai pengertian matematika dan tujuan pembelajaran matematika. Pengertian matematika menjelaskan mengenai definisi matematika gabungan dari beberapa sumber.

Tujuan pembelajaran matematika berisi penjelasan mengenai tujuan diadakannya mata pelajaran matematika.

1) Pengertian matematika

Matematika berasal dari bahasa latin yaitu mathematika yang mulanya diambil dari bahasa yunani mathematike yang berarti mempelajari. James & James

(dalam Suherman, 2001: 44) menjelaskan matematika adalah ilmu mengenai logika, yaitu meliputi bentuk susunan sebuah besaran dan konsep yang saling terhubung. Konsep yang saling terhubung tersebut membentuk suatu ikatan pemikiran yang logis.

Paling (dalam Suherman, 2001: 44 ) juga menyebutkan bahwa banyak pendapat mengenai matematika, salah satunya adalah matematika mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemikiran yang logis. Kesimpulan yang dapat diambil mengenai hakikat matematika adalah suatu ilmu yang tersusun secara beraturan, logis dan saling berhubungan sehingga materi awal menjadi landasan untuk materi yang lebih lanjut.

2) Tujuan pembelajaran matematika

Departemen Pendidikan Nasional mengungkapkan bahwa mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau logaritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, meyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model mateamtika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat

dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (BNSP, 2006: 417).

Tujuan pembelajaran matematika pada pendidikan sekolah dasar adalah supaya siswa dapat menggunakan matematika pada kehidupannya (Susanto, 2013: 189). Matematika sangat dekat dengan kehidupan kita. Penerapan ilmu matematika nampak dalam kegiatan seperti jual beli dan pengukuran. Banyak tujuan pembelajaran matematika yang diungkapkan, namun pada dasarnya ilmu matematika harus dikuasai untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

e. Materi sifat operasi pertukaran dan pengelompokan dalam penjumlahan

Materi sifat operasi pertukaran dan pengelompokan dalam penjumlahan adalah materi matematika kelas I semester genap pada tingkat sekolah dasar. Materi tersebut berada pada pada standar kompetensi 4. Melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan sampai dua angka dalam pemecahan masalah dan kompetensi dasar 4.5 menggunakan sifat operasi pertukaran dan pengelompokan (BNSP, 2006:241).

Materi sifat dalam penjumlahan ini biasanya diawali dengan melakukan penjumlahan. Penjumlahan ini melibatkan bilangan satu angka dan dua angka. Penjumlahan yang melibatkan bilangan dua angka meliputi penjumlahan dengan teknik tidak menyimpan dan teknik menyimpan. Cakupan angka pada sifat operasi pertukaran dan pengelompokan pada penjumlahan adalah berkisar 1-100.

f. Prestasi Belajar

Pada bagian pretasi belajar memuat penjelasan mengenai teori belajar, pengertian belajar, pengertian prestasi belajar, dan faktor-faktor yang

mempengaruhi pretasi belajar. Teori belajar berisi penjelasan tentang teori behavioristik, kognitif dan konstruktif. Pengertian prestasi belajar menjelaskan tentang persamaan definisi antara pretasi belajar dengan hasil belajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar menguraikan tentang sejumlah hal yang mampu meningkatkan pretasi belajar.

1) Teori belajar

Dorin, Demmin dan Gabel (1990 dalam Yulaelawati, 2004: 49) mendefinisikan teori sebagai suatu penjelasan umum yang diperoleh berdasarkan pengamatan yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Teori dapat dimodifikasi seiring perkembangan zaman, karena teori dapat menjadi usang atau penerapannya belum tentu sesuai untuk suatu kondisi tertentu. Penerapan teori tidak dapat dipaksakan apabila memang tidak memungkinkan. Sama halnya dengan penerapan teori dalam pembelajaran, untuk menentukan teori pembelajaran yang dipilih perlu diperhatikan agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan efisien. Desain pembelajaran mengenal dasar teori meliputi teori behavioris, kognitif dan konstruktif (Yulaelawati, 2004: 50).

Teori dasar yang pertama adalah teori behavioris, yaitu teori yang didasarkan pada perubahan perilaku (Yulaelawati, 2004: 50). Pelopor teori ini yang terkenal adalah Pavlov, Watson, Thorndike, dan Skinner. Ciri khas dalam teori ini adalah guru menekankan pada tingkah laku yang harus dikerjakan siswa bukan pemahaman akan materi (Yulaelawati, 2004: 52). Selanjutnya teori belajar kognitif, teori ini menerima sebagian konsep dari behavioris yaitu mengakui pentingnya penguatan dan balikan (ganjaran). Teori ini berdasarkan pada proses berpikir

dibelakang perilaku. Pelopor teori ini yang terkenal adalah Jean Piaget. Meneruskan dan bertitik tolak dari teori belajar kognitif lahirlah teori belajar konstruktivis. Schuman (1996 dalam Yulaelawati, 2004: 54) menjelaskan bahwa pengetahuan dapat diperoleh ketika seseorang berpikir secara aktif, dan dengan dasar pemikiran ini seseorang membangun pengetahuan itu berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang ada sebelumnya

Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa terdapat tiga dasar teori belajar yaitu behavioris, kognitif dan konstruktif , ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda namun saling berkesinambungan. Behavioris menekankan pada perubahan tingkah laku. Kognitif meneruskan behavioris bahwa ada proses berpikir di balik tingkah laku. Konstruktif mengacu pada kognitif, bahwa pengetahuan dapat dibangun berdasar pengalaman.

2) Pengertian belajar

Pengertian belajar yang diungkapkan para ahli tidak terlepas dari unsur perubahan individu dan pengalaman. Witherington (dalam Sumadinata, 2009: 27) yang mengartikan belajar merupakan perubahan yang terjadi dalam kepribadian manusia, yang diwujudkan dalam bentuk keterampilan, sikap, pengetahuan, dan kecakapkan sebagai pola respons yang baru. Pendapat lain disampaikan Hilgard (dalam Sukmadinata, 2009: 27) bahwa, “Belajar adalah suatu proses dimana suatu

perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap situasi”. Pendapat

yang hampir sama juga datang dari Slameto (2010: 16) bahwa belajar adalah usaha yang ditempuh seseorang untuk merubah perilakunya menjadi baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan.

Beberapa ahli ada juga yang menambahkan peranan dari pengalaman dalam

belajar. Vesta dan Thompson menyatakan “belajar adalah perubahan tingkah laku

yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman (Sukmadinata, 2009: 28). Fudyartanto (2002: 15) juga mengungkapkan hal senada bahwa belajar adalah suatu perubahan yang relatif konsisten dalam penguasaan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Kesimpulan dari definisi belajar adalah proses perubahan perilaku yang relatif tetap dan terjadi secara individual dengan tahap keseluruhan sebagai hasil pengalaman.

3) Pengertian prestasi belajar

Djamarah (2002: 19) berpendapat bahwa prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh dari aktivitas belajar berupa hal yang berkesan dan mengakibatkan perubahan dalam diri individu. Aktivitas belajar mampu menimbulkan hal yang positif sehingga menimbulkan kesan menarik. Kesan yang menarik inilah yang memicu perubahan pada individu. Prestasi belajar selalu diibaratkan sebagai hasil yang positif yang diperoleh melalui refleksi aktivitas yang dilakukan.

Prestasi belajar merupakan kondisi dimana siswa telah melakukan kegiatan belajar (Tohirin, 2005: 26). Prestasi belajar dimaknai sebagai saat yang sama ketika menerima pembelajaran. Adapun Abu Ahmadi (dalam Hapsari, 2005: 75) berpendapat prestasi belajar diartikan sebagai hasil yang dicapai dalam suatu proses belajar untuk mengadakan perubahan atau mencapai tujuan. Suatu proses belajar diharapkan membuahkan suatu hasil yang baik, hasil yang dapat membawa perubahan yang positif terhadap siswa pembelajar. Jadi prestasi belajar adalah hasil

yang dicapai dari melakukan aktivitas belajar dan mengakibatkan perubahan pada individu yang mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan.

4) Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Prestasi belajar dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor internal, faktor eksternal, dan faktor pendekatan belajar (Syah, 2001: 132). Faktor internal terdiri dari bakat, kecerdasan, minat dan motivasi. Bakat merupakan kemampuan seorang siswa untuk belajar (Slameto, 2010: 57). Bakat akan membantu siswa untuk belajar sesuatu yang ia pelajari. Siswa akan lebih mudah untuk mencapai prestasi belajar saat ia belajar sesuai dengan bakatnya.

Kecerdasan atau intelegensi merupakan potensi yang dimiliki oleh setiap siswa. Intelegensi dalam arti luas adalah kemampuan untuk mencapai prestasi sedangkan dalam arti sempit intelegensi adalah kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah (Winkel, 2012: 155). Intelegensi dalam dunia pendidikan biasa disebut dengan kemampuan akademik.

Faktor lainnya yaitu minat, minat menggambarkan ketertarikan atau perhatian pada suatu objek yang menetap dan didalamnya terdapat unsur perasaan senang (Slameto, 2010: 59). Minat ini kemudian memunculkan motivasi yaitu dorongan untuk berbuat atau belajar tentang sesuatu. Motivasi sangat mempengaruhi prestasi belajar dari seorang siswa (Slameto, 2010: 58). Siswa yang memiliki motivasi besar untuk belajar cenderung dapat memperoleh prestasi yang lebih baik daripada yang tidak.

Dokumen terkait