KAJIAN TEORI
A. Teori Pola Pembelajaran Tahfidz 1. Pengertian Pola pembelajaran
a. Pola Pembelajaran
Menurut, pola berarti gambar, contoh, dan model (Depdiknas: 2008, 1197). Sedang pembelajaran adalah proses, perbuatan, cara membina, pembaharuan, penyempurnaan, usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pembelajaran merupakan tugas yang terus menerus di dalam pengambilan keputusan yang berwujud suatu perintah khusus atau umum dan instruksi-instruksi dan bertindak sebagai pemimpin dalam suatu organisasi atau lembaga (Azmi, 2006: 54).
Pola pembelajaran adalah model atau gambaran dalam proses usaha tindakan dan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pembelajaran memberikan arah penting dalam perkembangan anak. Maka dari itu, pembelajaran bagi anak-anak sangat diperlukan sejak dini guns memberikan arah dan penentuan tujuan hidup serta pandangan hidupnya. Pola pembelajaran merupakan cara atau tekhnik yang dipakai oleh lembaga oleh lembaga atau pengasuh di dalam mendidik dan membimbing anak-anak .
11
Dapat di simpulkan bahwa pola pembelajaran adalah cara dalam mendidik dan membimbing serta memberikan pengalaman dan pengawasan kepada anak-anak agar menjadi orang yang berguna.
b. Jenis-jenis pola pembinaan
Terdapat beberapa jenis pola pembinaan yaitu: 1) Pola pembelajaran yang otoriter
Salah satu pola yang di pakai orang tua dalam berhubungan dan mendidik anak-anaknya salah satunya adalah pola pembelajaran otoriter. Menurut enung pola pembelajaran otoriter di tandai dengan ciri-ciri sikap orang tua yang kaku dan keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun kedisiplinan. Orang tua bersikap memaksa dengan menuntut anak agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki orang tua. Hal ini dikarenakan orang tua tidak memiliki pegangan mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbullah berbagai sikap orang tua dalam mendidik sesuai dengan yang dianggap terbaikoleh mereka sendiri, diantaranya adalah dengan berbagai hukuman dan sikap acuh tak acuh yang dapat menimbulkan ketegangan dan memungkinkan kericuhan dalam rumah (Fatimah, 2008: 85).
Menurut (Saphiro, 2009: 29) orang tua otoriter berusaha menjalankan rumah tangga yang didasarkan pada struktur dan
12
tradisi, walaupun dalam banyak hal tekanan mereka akan keteraturan dan pengawasan membebani anak.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pola pembelajaran otoriter mnegacu pada aturan-aturan dantradisi yang ada meskipun hal itu sering kali membuat tekanan pada anak.
2) Pola pembelajaran yang permisif
Dalam pola pembelajaran ini anak diberikan kebebasan yang penuh dan diijinkan membuat keputusan sendiri tanpa mempertimbangkan keputusan orang tua serta bebas mendapatkan apa yang diinginkan. Pola asuh ini dapat dikatakan juga tanpa adanya kedisiplinan sama sekali. Orang tua enggan bersifat terbuka terhadap gagasan dan tuntutan terhadap anak. Dalam pola asuh permisif orang tua memberikan kebebasan kepada anak sepenuhnya dan anak diijinkan membuat keputasn sendiri tentang langkah apa yang akan ia tempuh, orang tua tidak pernah memberikan pengarahan dan penjelasan kepada anak tentang apa yang sebaiknya anak lakukan. Dalam pola asuh ini hampir tidak ada komunikasi sama sekali antara orang tua dengan anak dan tidak ada kedisiplinan sama sekali (fatimah, 2008:85).
Dapat disimpulkan bahwa dalam pola asuh permisif tidak dapat menanamkan perilaku moral yang sesuai dengan standart
13
soaial anak. Karena orang tua bersifat masa bodoh atau longgar dan menuruti semua keinginan anak serta tidakadanya kedisiplinan pada anak.
3) Pola pembelajaran yang demokratis
Pola pembelajaran demokrasi adalah salah satu teknik atau cara mendidik dan membimbing anak, di mana orang tua atau pendidik bersikap terbuka terhadap tuntutan dan pendapat yang dikemukakan anak, kemudian mendiskusikan hal tersebut bersama-sama. Pola ini lebih memusatkan perhatian pada aspek pendidikan dari pada aspek hukuman, orang tua atau pendidik memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut (Hurlock, 2006: 99).
Pola asuh demokrasi ditandai dengan sikap menerima, responsif, berorientasi pada kebutuhan anak yang disertai dengan tuntutan, kontrol dan pembatasan. Sehingga penerapan pola asuh demokrasi dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan orang tua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada (Hurlock, 2006 102).
14
Jadi pola pembelajaran demokratis adalah pola asuh dimana pendidik atau orang tua lebih memusatkan pada pendidikan dan lebih terbuka dalam menerima endapat anak atau siswa akan tetapi masih ada kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada.
2. Tahfidz a. Pengertian
Tahfidz berasal dari kata اظفح ظفحي ظفح yang berarti menghafal. Secara etimologi, hafal merupakan lawan dari pada lupa, yaitu selalu ingat dan sedikit lupa. Sedangkan secara terminologi, penghafal adalah orang yang menghafal dengan cermat dan termasuk sederetan kaum yang menghafal (Nawabuddin dan
Ma’arif, 2005: 23).
Tahfidz Qur’an terdiri dari dua suku kata, yaitu tahfidz dan
Qur’an, yang mana keduanya mempunyai arti yang berbeda. yaitu
tahfidz yang berarti menghafal. Menghafal dari kata dasar hafal yang dari bahasa arab hafidza-yahfadzu-hifdzan, yaitu lawan dari lupa, yaitu selalu ingat dan sedikit lupa (Mahmud Yunus,1990: 105). Dari beberapa pengertian tahfidz di atas dapat disimpulkan bahwa thfidz adalah orang yang menghafal dengan cermat, teliti dan selalu ingat apa yang di hafalnya.
15 b. Metode tahfidz
Dalam menghafalkan ada beberapa metode yang dapat di gunakan untuk menghafal Al-Qur’an. Metode adalah cara kerja
untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Hamalik, 2001: 47). Diantara metode-metode yang dapat digunakan untuk menghafal Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1) Metode Wahdah
Yang di maksud dengan metode wahdah adalah menghafal satu persatu terhadap ayat-ayat yang hendak di hafalnya. Untuk mencapai hafalan awal setiap ayat bisa di baca sampai sepuluh kali, atau lebih sehingga proses ini mampu membentuk sebuah pola dalam bayangannya (Ahsin, 2005: 63). Dengan demikian penghafal akan mampu membentuk pola dalam bayangannya, namun bukan hanya bayangan saja tetapi juga membentuk gerak refleks pada lisannya. Setelah hafal baru di lanjutkan pada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang sama hingga mencapai satu halaman.
2) Metode kitabah
Metode kitabah artinya menulis. Dalam metode ini penghafal menulis terlebih dahulu ayat-ayat yang akan di hafal pada secarik kertas yang telah di sediakan untuknya, lalu ayat itu di baca hingga lancar dan benar bacaannya kemudian dihafalkannya (Ahsin, 2005: 63).
16
Menghafal dengan metode ini cukup praktis dan baik, karena di samping membaca dengan lisan, aspek visual menulis juga akan sangat membantu dalam mempercepat terbentuknya pola hafalan dalam bayangannya.
3) Metode Sima’i
Sima’i yaitu metode dengan mendengarkan sesuatu bacaan
untuk dihafalkannya. Metode ini akan sangat efektif bagi penghafal yang mempunyai daya ingat ekstra, terutama bagi penghafal tunanetra atau anak-anak yang masih dibawah umur yang belum mengenal baca tulis al- Qur’an (Ahsin, 2005: 63).
Metode ini dapat dilakukan dengan dua pilihan:
a) Mendengar dari guru atau yang membimbingya. Dalam hal ini guru atau pembimbing dituntut untuk lebih berperan aktif serta sabar dan teliti dalam membacakan satu persatu ayat-ayat untuk di hafal, sehingga penghafal mampu menghafal dengan sempurna baik bacaan ataupun pengucapannya. b) Merekam terlebih dahulu ayat-ayat yang akan di hafal sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuannya. Kemudian dengarkan dengan seksama dan ikuti secara perlahan. Dengarkan secara berulang-ulang sehingga ayat-ayat tersebut dapat dihafal dengan sempurna.
17 4) Metode Gabungan
Metode ini merupakan metode gabungan antara metode wahdah dengan metode kitabaah. Hanya saja tulisan disini lebih berfungs sebagai uji coba terhadap ayat-ayat yang telah di hafalnya (Ahsin, 2005: 65).
Dalam hal ini setelah penghafal menghafal ayat-ayat kemudian menuliskannya di atas kertas yang telah disediakan untuknya dengan hafalan juga. Ia telah mampu memproduksi ayat-ayat yang telah di hafalnya dalam bentuk tulisan, mka ia bisa melanjutkan kembali menghafal ayat-ayat berikutnya, tetapi jika penghafal belum mampu mereproduksi hafalannya ke dalam tulisan secara baik, maka ia kembali menghafalkannya sehingga ia benar-benar mencapai nilai hafalan yang valid. Kelebihan metode ini adalah adanya fungsi untuk memantapkan hafalan. Pemantapan hafalan dengan cara ini pun akan baik sekali, karena dengan menulis akan memberikan kesan visual yang mantap. 5) Metode Jama’
Metode jama’adalah cara menghafal yang dilakukan secara
kolektif, atau secara bersama-sama di pimpin oleh seorang guru atau pembimbing. Guru atau pembimbing membacakan satu ayat atau beberapa ayat kemudian penghafal menirukannya (Ahsin, 2005: 66). Guru atau pembimbing membimbingnya dengan mengulang kembali ayat-ayat tersebut dan santri mengikutinya.
18
Setelah ayat-ayat tersebut dapat mereka baca dengan baik dan benar, selanjutnya mereka mengikuti bacaan guru atau pembimbing dengan sedikit demi sedikit mencoba melepaskan mushaf (tanpa melihat mushaf) dan demikian seterusnya sehingga ayat-ayat yang sedang dihafalnya itu benar-benar sepenuhnya masuk dalam bayangan.
Setelah semuanya hafal, barulah kemudian diteruskan pada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang sama. Cara ini termasuk metode yang baik untuk dikembangkan, karena akan dapat menghilangkan kejenuhan, disamping akan membantu menghidupkan daya ingat terhadap ayat-ayat yang dihafalkannya.
Dari semua metode yang disebutkan di atas tidak semua metode efektif untuk digunakan dalam hafalan Qur’an siswa tuna rungu,
hanya sebagian metode yang bisa digunakan seperti metode wahdah, metode kitabah ataupun metode kitabah.
B. Anak Tuna Rungu
1. Pengertian tuna rungu
Tuna rungu adalah berasal dari kata tuna yang berarti kurang dan rungu yang berarti mendengar. Jadi yang dikatan tuna rungu adalah orang yang tidak mampu mendengar ataupun yang kurang mamapu mendengar (Wasita, 2012: 17).
19
Tuna rungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen (Aphroditta, 2015: 44).
Tuna rungu merupakan suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan kedalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantudengar dimana batas pendengaran yang dimilikinnya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaram (Winarsih, 2007: 22).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tuna rungu adalah seorang anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik yang kurang mampu mendengar ataupun yang tidak mampu mendengar permanen ataupun tidak permanen.
2. Jenis-jenis tuna rungu
Klasifikasi tuna rungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah sebagai berikut:
a. Gangguan pendengaran sangat ringan yaitu 27—40 dB. b. Gangguan pendengaran ringan yaitu 41—55 dB. c. Gangguan pendengaran sedang yaitu 56 – 70 dB. d. Gangguan pendengaran berat yaitu 71 – 90 dB.
20
e. Gangguan pendengaran ekstrem atau tuli yaitu diatas 91 dB (Aphroditta, 2015: 45 ).
Samuel A. Kirk dalam Somad (1996: 29) mengemukakan klasifikasi tuna rungu sebagai berikut:
a. 0 dB : Menunjukkan pendengaran optimal.
b. 0-26 dB : Menunjukkan masih mempunyai pendengaran normal.
c. 27-40 dB : Menunjukkan kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membuttuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi wicara.
d. 41-55 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas membutuhkan alat antu dengar dan terapi wicara (tergolong tuna rungu sedang).
e. 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari anak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa ekspresif ataupun reseptif dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengarserta dengan cara yang khusus (tergolong tuna rungu agak berat).
f. 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu mendengar (ABM) dan latihan bicara secara khusus (tergolong tuna rungu berat).
21
g. 91 dB keatas : mungkin sadar akan adanya bunyi ataupun suara dan getaran, banyak tergantung pada penglihatanya dari pada pendengarannya untuk proses menerima informasi dan dianggap tuli (tergolong tuna rungu berat sekali).
Menurut Boothroyd dalam Wasita (2012: 18-19), tuna rungu dapat diklasifiskasikan sebagai berikut:
a. Berdasarkan tingkat kehilangan mendengar percakapan orang, meliputi:
1) Kehilangan 15db – 30db (mild hearing losses) atau ketunarunguan rangan, daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal atau kemampuan mendengar untuk berbicara dan membedakan suara-suara atau sumber bunyi dalam taraf normal. Modalitas belajar menggunakan auditori dan alat bantu dengar. 2) Kehilangan 31db – 60db (moderat hearing losses) atau
ketunarunguan sedang, daya tangkap terhadap suara manusia hanya sebagian atau kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara hampir normal. Modalitas belajar menggunakan auditori dengan bantuan visual. Jika menggunakan alat bantu dengar kemampuan mendengar untuk bicaranya menjadi normal lagi. 3) Kehilangan 61db – 90db (severe hearing losses) atau
ketunarunguan berat, daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada atau kemampuan mendengar dan kapasitas membedakan suara tidak ada. Modalitas belajar menggunakan
22
visual. Jika menggunakan alat bantu dengar, kemampuan mendengar dapat menjadi normal dan kapasitas membedakan suara dapat menjadi baik.
4) Kehilangan 91db – 120db (profound hearing losses) atau ketunarunguan sangat berat, daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama sekali atau kemampuan bicara dan kapasitas membedakan sumber bunyi sudah tidak ada. Modalitas belajar dengan visual. Jika menggunakan alat bantu dengar kemampuan mendengar untuk bicaranya normal, sedangkan kapasitas membedakan suara buruk. Pada derajat ini masih mampu mengenal irama dan intonasi sehingga modalitas belajar dapat menngunakan auditori dengan bantuan penglihatan. 5) Kehilangan lebih dari 120db (total hearing losses) atau ketunarunguan total, daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali (tidak mampu mendengar) atau kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara tidak ada, walaupun dengan bantuan alat bantu dengar. Modalitas belajar mengandalkan pada alat bantu dengar.
b. Berdasarkan tempat terjadinya kehilangan, yaitu:
1) Kerusakan pada bagian tengah dan luar telinga menghambat buyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut telinga konduktif.
23
2) Kerusakan telinga bagian dalam dan hubungan saraf otak yang menyebabkan tuli sensoris.
c. Berdasarkan saat terjadinya kehilangan, yaitu:
1) Tunarungu bawaan artinya ketika lahir anak sudah mengalami atau menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi.
2) Tunarungu setelah lahir artinya terjadinya tunarungu setelah anak lahir yang diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit. d. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa, yaitu:
1) Tuli prabahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli sebelum dikuasainya suatu bahasa sekitar usia 1,6 tahun artinya anak menyamakan tanda atau signal tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk system lambang.
2) Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami sistem lambang yang berlaku di lingkungan. 3. Penyebab tuna rungu
Penyebab anak mengalami gangguan tunarungu dapat di klasifikasikan sebagai berikut (Wasita, 2012: 23-24):
a. Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (pre natal): 1) Faktor keturunan
24
3) Terjadi toxaemia (keracunan darah)
4) Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar 5) Kekurangan oksigen (anoxia)
b. Faktor saat anak dilahirkan (natal):
1) Faktor rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis 2) Anak lahir pre mature
3) Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang) 4) Proses kelahiran yang terlalu lama
c. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (post natal): 1) Infeksi
2) Meningitis (peradangan selaput otak)
3) Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan 4) Otitis media yang kronis
5) Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan
Anak yang mengalami tuna rungu memiliki penyebab yang berbeda-beda, ada beberapa penyebab tuna rungu menurut Trybus dalam Wasita (2012: 24) adalah:
a. Keturunan
b. Penyakit bawaan dari pihak ibu
c. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran d. Radang selaput otak (meningitis)
e. Otitis media atau radang pada bagian telinga tengah f. Penyakit anak-anak berupa radang atau luka.
25
Anak tuna rungu berbeda dengan anak-anak normal seperti biasanya, mereka memiliki karakteristik tersendiri, diantaranya adalah:
a. Sering keluar cairan dari liang telinga b. Bentuk daun telinga tidak normal
c. Sering mengeluh gatal atau sakit di liang telinga d. Jika bicara selalu melihat gerakan bibir lawan bicara e. Sering tidak bereaksi jika diajak bicara
f. Selalu minta diulang dalam pembicaraan (Wasita, 2012: 24).
Sedangkan menurut Uden dalam Wasita (2012: 25) menyebutkan bahwa karakteristik anak tunarungu adalah sebagai berikut:
a. Memiliki sifat egosentris yag lebih besar dibanding anak tanpa gangguan pendengaran. Sifat ini menyebabkan mereka sulit untuk menempatkan diri pada cara berfikir dan perasan orang lain serta kurang peduli terhadap efek perilaunya pada orang lain.
b. Memiliki sifat impulsive, yaitu tindakan tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jelas tanpa mengantisipasi akibat yang timbul dari perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi.
c. Memiliki sifat kaku (rigidity), yaitu kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas dalam kesehariannya.
d. Memiliki sifat suka marah dan mudah tersinggung. e. Selalu khawatir dan ragu-ragu.
26
4. Hambatan yang muncul akibat tunarungu
Ketunarunguan akan berdampak pada masalah kognisi dan bahasa anak (Wasita, 2012: 22). Secara rinci masalah tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:
d. Masalah kognisi anak tunarungu
1) Kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah daripada kemampuan verbal anak normal.
2) Performance IQ anak tunarungu sama dengan anak normal. 3) Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada
anak normal terutama pada informasi yang bersifatsuksesif atau berurutan.
4) Informasi serempak anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal.
5) Daya ingat jangka panjang anak tuna rungu tidak berbeda dengan anak normal walaupun prestasi akhir biasanya tetap lebih rendah. e. Masalah bahasa anak tunarungu
1) Miskin dalam kosa kata. 2) Terganggu bicaranya.
3) Dalam berbahasa dipengaruhi oleh emosi atau visual order (apa yang dirasakan dan apa yang dilihat).
4) Tunarungu cenderung pemata.
5) Bahasa merupakan hasil interaksi mereka dengan hal-hal yang konkret.
27