i
POLA PEMBELAJARAN TAHFIDZ AL- QUR’AN
ANAK TUNARUNGU DI RUMAH ABATA KAV. ARGODEWI
KECAMATAN MUNGSENG KABUPATEN TEMANGGUNG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Abdin Nur Khaqiqi 111-14-329
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
vi MOTTO
ِساَّنلِل ْمُهُعَفْنَأ ِساَّنلا ُرْيَخ
“sebaik
-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang
lain”
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis susun dan persembahkan kepada:
1. Kedua orang tuaku, bapak Ismail dan ibu Rondiyah yang selalu menyayangi, memberikan semangat, dan senantiasa memberikan doa restu serta dukungan baik secara moral maupun material terhadap keberhasilan
dan kesuksesan penulis.
2. Saudaraku, Ahmad Kharir yang tersayang yang selalu berpartisipasi
memberikan dukungan, support, dan doanya
3. Ibu Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si. yang sudah membimbing dan mengarahkan
sampai skripsi ini dapat tersusun dengan baik
4. Bapak Rasimin, S. Pd. I, M. Pd. yang sudah membimbing dari semester pertama sampai semester akhir
5. Bapak Drs. KH. Nasafi, M. Pd. I dan sekeluarga di PONPES NURUL ASNA yang telah sudi menampung dan mendidik penulis selama kuliah
6. Teman-teman PAI, khususnya PAI I Angkatan 2014
7. Sahabat-sahabat PPL SMK Telekomunikasi Tunas Harapan dan KKN Krobokan Posko 94, Juwangi.
8. Sahabat-sahabatku, Tika Ade Septiani, Muslikhatun, Ela Efiana, Gandi Cahyotto, Muhammad Nasichun yang telah banyak membantu dan
memberikan dukungan penulis.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahi robbil’aalamiin, puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya yang telah diberikan kepada hambanya yang lemah ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “ Aktivitas Keagamaan Mahasiswa Muslim Anggota
Organisasi Mahasiswa Islam Salatiga di Universitas Kristen Satya Wacana”
Shalawat beserta salam senantiasa tersanjungkan kehadirat Nabiyullah
Muhammad saw, sebagai nabi akhir zaman yang mampu memberikan syafa’atnya
kepada seluruh umatnya. Besar harapan agar dapat menjadi salah satu golongan
umat beliau yang memperoleh syafa’at agung di hari kiamat nanti. Aamiin
Dalam penulisan skripsi ini, banyak sekali berbagai cobaan, godaan dan
rintangan yang penulis hadapi. Namun berkat dorogan, bimbingan dan bantuan berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat tersusun. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. B apak Dr. H. Rahmat Hariyadi M. Pd, Ketua IAIN Salatiga 2. Bapak Suwardi M. Pd, Ketua Dekan Tarbiyah IAIN Salatiga
3. Ibu Hj. Siti Rukhayati M. Ag selaku Dosen Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga 4. Bapak Rasimin, S. Pd. I, M. Pd.selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang
membimbing penulis dari semester pertama sampai semester akhir
x
ABSTRAK
Khaqiqi, Abdin Nur. 2018. Pola Pembinaan Tahfidz Qur’an Anak Tunarungu Di
Rumah Abata Kav. Agrodewi Kecamatan Mungseng Kabupaten Temanggung. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Hj. Lilik Sriyanti, M.Si.
Kata Kunci: Pola Pembelajaran, Tahfidz Qur’an, Anak Tunarungu
Latar belakang penelitian ini adalah Rumah Abata merupakan yayasan khusus untuk anak tunarungu yang berbasis islam, menyediakan asrama serta memiliki metode pembelajaran yang unik yaitu metode abata. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang: 1. Bagaimana sistem pembelajaran Tahfidz bagi anak tunarungu di Rumah Abata? 2. Apakah faktor penghambat dan pendukung pembinaan tahfidz? 3. bagaimana dampak dari
pembinaan tahfidz Qur’an bagi anak tunarungu?. Diharapkan setelah diadakan penelitian ini, masyarakat lebih mengetahui tentang sistem pembelajaran Tahfidz bagi anak tunarungu di Rumah Abata, faktor penghambat dan pendukung
pembinaan tahfidz serta dampak dari pembinaan tahfidz Qur’an bagi anak
tunarungu.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif yang dilakukan di Rumah Abata. Sumber data dalam penelitian ini adalah pendidik, terapis, pengasuh serta pendamping. Metode yang digunakan peneliti untuk memperoleh data adalah wawancara, pengamatan dan dokumentasi kemudian data ditranskrip menjadi data yang lengkap.
xi
PENGESAHAN KELULUSAN ... V
MOTTO ... Vi
G. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II KAJIAN TEORI... ... 10
A. Teori Pola pembelajaran Tahfidz... 10
B. Anak Tunarungu... 18
xii
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan ... 27
B. Lokasi Penelitian ... 28
C. Sumber Data... 28
D. Teknik Pengumpulan Data... 29
E. Analisis Data... 31
F. Pengecekan Keabsahan Data... 32
G. Tahap-tahap Penelitian... 33
BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN... 34
A. Paparan Data... 38
1. Profil Lembaga…...………... 39
2. Proses Pembelajaran di Rumah Abata ... 41
B. Temuan Penelitian ... 43
1. Sistem Pembelajaran Tahfidz Qur’an Anak Tunarungu ... 43
2. Faktor Penghambat dan Pendukung... 48
3. Dampak Pembinaan Tahfidz Anak Tunarungu... 54
BAB V PENUTUP ... 59
A. Kesimpulan ... 59
B. Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Transkrip Wawancara
Lampiran 2 : Dokumentasi
Lampiran 3 : Riwayat Hidup
Lampiran 4 : Daftar Nilai SKK
Lampiran 5 : Surat Ijin Melakukan Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang individu dilahirkan dalam keadan fitrah, kemudian dia akan belajar melalui panca indera, lingkungan dan masyarakat (Hafidz dan
Kastolani, 2009: 5). Karakter, perilaku bahkan pengetahuan anak akan terbentuk tergantung dari orang tua, masyarakat serta pendidik yang
mengajarkan kepada mereka. Anak yang dilahirkan pada awalnya tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Sebagaimana dikatakan dalam QS. An-Nahl ayat 78:
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Tidak semua orang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan normal, adapula mereka yang kurang beruntung lahir dengan keadaan kurang, seperti memiliki kekurangan dalam hal penglihatan, pendengaran, bahkan
dalam hal intelegensi. Diindonesia sendiri jumlah penyandang disabilitas sampai saat ini lebih dari 1,6 juta orang, baru 18% yang mendapatkan
2
anak tunarungu di Indonesia sudah mendapatkan pendidikan yang tepat, bahkan banyak dari mereka yang belum mendapatkan pendidikan
sama sekali.
Setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan, begitu pula dengan
penyandang cacat tuna rungu, mereka memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan karena pada hakekatnya mereka memiliki potensi yang sama
dengan orang yang normal. Seperti dalam firman Allah QS. ‘Abasa ayat 1
-4:
1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling 2. karena telah datang seorang buta kepadanya
3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) 4. Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi
manfaat kepadanya.
Untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya agar mampu
bertahan hidup dengan layak, maka sangat dibutuhkan perhatian dan bantuan dari orang lain yang mampu membimbingnya, terlebih lagi bagi penyandang tuna rungu, karena mereka memiliki karakteristik dan
kekurangan tersendiri, diantaranya keterbatasan dalam pendengaran yang mengakibatkan mereka tidak bisa berbicara, emosi yang tidak stabil serta
3
bersifat kepada spiritual. Anak tuna rungu lebih membutuhkan rasa kasih sayang. Dengan dasar kasih sayang yang tulus diharapkan timbul upaya
yang nyata untuk mendidik anak tuna rungu, agar mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal, berguna bagi masyarakat dan
tidak menjadi beban bagi orang lain.
Pendidikan sangat penting bagi manusia, lebih khususnya lagi pendidikan AL-Qur’an, karena sebagai umat Islam AL-Qu’an merupakan
pedoman hidup bagi manusia. Pembelajaran AL-Qur’an saat ini telah ditempuh melalui pendidikan formal (sekolah), informal (keluarga) maupun
nonformal (masyarakat). Namun bagi anak-anak tuna rungu belum banyak sekolah-sekolah formal ataupun nonformal yang mengarahkan kepada pendidikan Al-Qur’an. Kebanyakan di Sekolah-sekolah khusus untuk
tunarungu hanyalah mengajarkan pendidikan dasar dan bagaimana cara seorang tunarungu bisa berkomunikasi dengan lingkungannya serta
pengembangan potensi yang dimiliki. Dalam mengajarkan pendidikan
AL-Qur’an bagi anak tuna rungu tentunya di butuhkan pola pendidikan dan
pembelajaran yang berbeda dengan anak-anak normal lainnya.
Berdasarkan dari observasi awal di Rumah Abata Kav. Agrodewi Kecamatan Mungseng Kabupaten Temanggung melalui wawancara
diperoleh beberapa informasi yang menarik yaitu: Pertama, Rumah Abata Kav. Agrodewi Kecamatan Mungseng Kabupaten Temanggung merupakan lembaga pendidikan khusus bagi anak tunarungu yang mengarahkan
4
Agrodewi Kecamatan Mungseng Kabupaten Temanggung menyediakan asrama bagi anak-anak tunarungu sehingga setiap kegiatan diawasi
langsung oleh pembimbing. Ketiga, metode pembelajaran yang di gunakan merupakan metode baru yang unik yaitu menggabungkan metode
pembelajaran dengan terapi wicara yang disebut metode Abata.
Berdasarkan realita yang terjadi di Rumah Abata Kav. Agrodewi Kecamatan Mungseng Kabupaten Temanggung yang merupakan lembaga
pendidikan khusus bagi anak tunarungu dan mengharuskan semua anak yang pada dasarnya memiliki kekurangan untuk menghafalkan Al-Qur’an,
penulis tertarik melakukan penelitian untuk mencari tahu lebih mendalam tentang bagaimana pola pendidik sebagai pembimbing dan pengarah anak dalam pembelajaran tahfidz, yakni di Rumah Abata Kav. Agrodewi
Kecamatan Mungseng Kabupaten Temanggung. Penelitian ini dilaporkan dengan judul “POLA PEMBELAJARAN TAHFIDZ QUR’AN ANAK
TUNARUNGU DI RUMAH ABATA KAV. AGRODEWI
KECAMATAN MUNGSENG KABUPATEN TEMANGGUNG”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pembelajaran Tahfidz bagi anak tuna rungu di Rumah Abata Kav. Agrodewi Kecamatan Mungseng Kabupaten Temanggung?
5
3. Bagaimana dampak pembelajaran Tahfidz bagi anak tunarungu di Rumah Abata Kav. Agrodewi Kecamatan Mungseng Kabupaten
Temanggung. C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sistem pembelajaran Tahfidz Qur’an bagi anak tunarungu di Rumah Abata Kav. Agrodewi Kecamatan Mungseng Kabupaten Temanggung.
2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan pendukung dalam pembelajaran tahfidz anak tunarungu di Rumah Abata Kav. Agrodewi
Kecamatan Mungseng Kabupaten Temanggung.
3. Untuk mengetahui dampak pembelajaran Tahfidz Qur’an bagi anak tunarungu di Rumah Abata Kav. Agrodewi Kecamatan Mungseng
Kabupaten Temanggung. D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat dijadikan acuan untuk pendidik dalam mengajarkan
Al-Qur’an bagi tunarungu.
b. Sebagai landasan pengembangan wawasan pengetahuan secara ilmiah terkait dengan metode hafalan Al-Qu’an bagi anak
tunarungu.
6 2. Manfaat Praktis
a. Menjadi masukan atau saran yang berharga sehingga menjadi acuan
dalam rangka pendidikan agama Islam anak tunarungu.
b. Menjadi acuan yang baik dalam metode Tahfidz anak tunarungu,
sehingga bisa diterapkan pada anak tunarungu yang lain. E. Penegasan Istilah
Penegasan istilah ini dimaksudkan utuk memperjelas dan mempertegas
kata-kata kunci yang diberikan dalam judul POLA PEMBELAJARAN TAHFIDZ QUR’AN ANAK TUNARUNGU KAV. AGRODEWI
KECAMATAN MUNGSENG KABUPATEN TEMANGGUNG. Istilah-istilah tersebut adalah:
1. Pola Pembelajaran
Pola berarti gambar, contoh, dan model (Depdiknas: 2008, 1197). Pembelajaran merupakan segala upaya yang dilakukan oleh guru
(pendidik) agar terjadi proses belajar pada diri siswa (Sutikno, 2009: 32).
Jadi pola pembelajaran merupakan gambaran atau model dalam
suatu usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk mengupayakan adanya proses belajar pada diri siswa.
2. Tahfidz Qur’an
Tahfidz berarti menghafal yaitu selalu ingat dan sedikit lupa. Menghafal adalah proses pengulangan sesuatu baik dengan membaca
7
Jadi pembelajaran tahfidz Qur’an merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar teratur, serta terarah untuk belajar menghafal
Al-Qur’an dengan membaca atau mendengar dengan diulang-ulang.
3. Anak Tuna Rungu
Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan Undang-Undang perkawinan
menetapkan batas usia 16 tahun (Huraerah, 2006: 19)
Tuna rungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus (Salim,1984 : 8)
Anak tunarungu adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah yang mempunyai kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus.
Jadi, pola pembelajaran tahfidz Qur’an bagi anak tunarungu dalam penelitian ini adalah suatu usaha seorang pendidik dalam membina
8 F. Tinjauan Pustaka
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini adalah
Pertama, Nurfarida 2009 dalam penelitian yang berjudul “Metode Bimbingan Agama bagi Anak Tunarungu di Panti Sosial Bina Rungu
Wicara Melati Bambu Apus Jakarta Timur”. Hasil penelitian ini yakni
metode yang digunakan dalam pemberian bimbingan agama antara lain
syahadat, sholat, iqra’, puasa, dan akhlak.
Kedua, Selviana 2015 dalam penelitian yang berjudul “Upaya Guru Pendidikan Agama Islam dalam Meningkatkan Kemampuan Membaca
Al-Qur’an Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri
(SDLBN) Campurdarat Tulungagung”. Hasil penelitian ini yakni adanaya
program peningkatan membaca Al-Qur’an yaitu adanya metode, media,
penghargaan anak, hukuman, dan motivasi.
Ketiga, Nurcahyo 2009 dalam penelitian yang berjudul
“Pembelajaran AL-Qur’an Terhadap Anak Tunarungu di SLB Negeri I
Wonosari Gunungkidul”. Hasil penelitian ini yakni guru telah berusaha
menggunakan multi metode dalam pembelajaran. Metode yang digunakan
guru dalam pembelajaran yakni cermah, tanya jawab, drill, abjad jari, tartil dan resitasi.
9
anak tuarungu, sedangkan perbedaannya yaitu terletak pada metode yang digunakan serta tinjauan penelitiannya yaitu tahfidz anak tunarungu.
G. Sistematika Penulisan
Urutan logis sistematika penelitan skripsi ini adalah:
Bab I : Pendahuluan
Pendahuluan meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujua n penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan. BAB II: Pembahasan Teoritik
Teori-teori yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah teori
mengenai upaya pendidik, pembelajaran tahfidz dan anak tunarungu. Bab III: Metode Penelitian
Pada bab ini akan di bahas mengenai metode yang di gunakan dalam penelitian ini. Mulai dari jenis penelitian, waktu dan lokasi penelitian
sampai pengecekan keabsahan data.
Bab IV: Paparan Data dan Temuan Penelitian
Pembahasan dalam bab empat yaitu meliputi data-data mengenai
gambaran umum Rumah Abata serta tentang hasil penelitian yaitu proses pembelajaran di Rumah Abata, materi pembelajaran, strategi, metode serta
sarana dan prasarana, faktor pendukung dan penghambat pendidik dalam pembelajaran tahfidz anak tunarungu dan dampak dari pola pembelajaran tahfidz siswa tunarungu di Rumah Abata.
10 BAB II
KAJIAN TEORI
A. Teori Pola Pembelajaran Tahfidz 1. Pengertian Pola pembelajaran
a. Pola Pembelajaran
Menurut, pola berarti gambar, contoh, dan model (Depdiknas: 2008, 1197). Sedang pembelajaran adalah proses,
perbuatan, cara membina, pembaharuan, penyempurnaan, usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan
berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pembelajaran merupakan tugas yang terus menerus di dalam pengambilan keputusan yang berwujud suatu perintah khusus atau
umum dan instruksi-instruksi dan bertindak sebagai pemimpin dalam suatu organisasi atau lembaga (Azmi, 2006: 54).
Pola pembelajaran adalah model atau gambaran dalam proses usaha tindakan dan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Pembelajaran memberikan arah
penting dalam perkembangan anak. Maka dari itu, pembelajaran bagi anak-anak sangat diperlukan sejak dini guns memberikan arah
dan penentuan tujuan hidup serta pandangan hidupnya. Pola pembelajaran merupakan cara atau tekhnik yang dipakai oleh lembaga oleh lembaga atau pengasuh di dalam mendidik dan
11
Dapat di simpulkan bahwa pola pembelajaran adalah cara dalam mendidik dan membimbing serta memberikan pengalaman
dan pengawasan kepada anak-anak agar menjadi orang yang berguna.
b. Jenis-jenis pola pembinaan
Terdapat beberapa jenis pola pembinaan yaitu: 1) Pola pembelajaran yang otoriter
Salah satu pola yang di pakai orang tua dalam berhubungan dan mendidik anak-anaknya salah satunya adalah pola
pembelajaran otoriter. Menurut enung pola pembelajaran otoriter di tandai dengan ciri-ciri sikap orang tua yang kaku dan keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun
kedisiplinan. Orang tua bersikap memaksa dengan menuntut anak agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki orang tua.
Hal ini dikarenakan orang tua tidak memiliki pegangan mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbullah berbagai sikap orang tua dalam mendidik sesuai
dengan yang dianggap terbaikoleh mereka sendiri, diantaranya adalah dengan berbagai hukuman dan sikap acuh tak acuh yang
dapat menimbulkan ketegangan dan memungkinkan kericuhan dalam rumah (Fatimah, 2008: 85).
Menurut (Saphiro, 2009: 29) orang tua otoriter berusaha
12
tradisi, walaupun dalam banyak hal tekanan mereka akan keteraturan dan pengawasan membebani anak.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pola pembelajaran otoriter mnegacu pada aturan-aturan
dantradisi yang ada meskipun hal itu sering kali membuat tekanan pada anak.
2) Pola pembelajaran yang permisif
Dalam pola pembelajaran ini anak diberikan kebebasan yang penuh dan diijinkan membuat keputusan sendiri tanpa
mempertimbangkan keputusan orang tua serta bebas mendapatkan apa yang diinginkan. Pola asuh ini dapat dikatakan juga tanpa adanya kedisiplinan sama sekali. Orang tua enggan
bersifat terbuka terhadap gagasan dan tuntutan terhadap anak. Dalam pola asuh permisif orang tua memberikan kebebasan
kepada anak sepenuhnya dan anak diijinkan membuat keputasn sendiri tentang langkah apa yang akan ia tempuh, orang tua tidak pernah memberikan pengarahan dan penjelasan kepada anak
tentang apa yang sebaiknya anak lakukan. Dalam pola asuh ini hampir tidak ada komunikasi sama sekali antara orang tua
dengan anak dan tidak ada kedisiplinan sama sekali (fatimah, 2008:85).
Dapat disimpulkan bahwa dalam pola asuh permisif tidak
13
soaial anak. Karena orang tua bersifat masa bodoh atau longgar dan menuruti semua keinginan anak serta tidakadanya
kedisiplinan pada anak.
3) Pola pembelajaran yang demokratis
Pola pembelajaran demokrasi adalah salah satu teknik atau cara mendidik dan membimbing anak, di mana orang tua atau pendidik bersikap terbuka terhadap tuntutan dan pendapat yang
dikemukakan anak, kemudian mendiskusikan hal tersebut bersama-sama. Pola ini lebih memusatkan perhatian pada aspek
pendidikan dari pada aspek hukuman, orang tua atau pendidik memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut
(Hurlock, 2006: 99).
Pola asuh demokrasi ditandai dengan sikap menerima,
responsif, berorientasi pada kebutuhan anak yang disertai dengan tuntutan, kontrol dan pembatasan. Sehingga penerapan pola asuh demokrasi dapat memberikan keleluasaan anak untuk
menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan orang tua tidak
14
Jadi pola pembelajaran demokratis adalah pola asuh dimana pendidik atau orang tua lebih memusatkan pada pendidikan dan
lebih terbuka dalam menerima endapat anak atau siswa akan tetapi masih ada kontrol dan pembatasan berdasarkan
norma-norma yang ada. 2. Tahfidz
a. Pengertian
Tahfidz berasal dari kata اظفح ظفحي ظفح yang berarti menghafal. Secara etimologi, hafal merupakan lawan dari pada lupa,
yaitu selalu ingat dan sedikit lupa. Sedangkan secara terminologi, penghafal adalah orang yang menghafal dengan cermat dan termasuk sederetan kaum yang menghafal (Nawabuddin dan
Ma’arif, 2005: 23).
Tahfidz Qur’an terdiri dari dua suku kata, yaitu tahfidz dan
Qur’an, yang mana keduanya mempunyai arti yang berbeda. yaitu
tahfidz yang berarti menghafal. Menghafal dari kata dasar hafal yang dari bahasa arab hafidza-yahfadzu-hifdzan, yaitu lawan dari
lupa, yaitu selalu ingat dan sedikit lupa (Mahmud Yunus,1990: 105). Dari beberapa pengertian tahfidz di atas dapat disimpulkan
15 b. Metode tahfidz
Dalam menghafalkan ada beberapa metode yang dapat di
gunakan untuk menghafal Al-Qur’an. Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan (Hamalik, 2001: 47). Diantara metode-metode yang dapat digunakan untuk menghafal Al-Qur’an adalah sebagai berikut: 1) Metode Wahdah
Yang di maksud dengan metode wahdah adalah menghafal satu persatu terhadap ayat-ayat yang hendak di hafalnya. Untuk
mencapai hafalan awal setiap ayat bisa di baca sampai sepuluh kali, atau lebih sehingga proses ini mampu membentuk sebuah pola dalam bayangannya (Ahsin, 2005: 63). Dengan demikian
penghafal akan mampu membentuk pola dalam bayangannya, namun bukan hanya bayangan saja tetapi juga membentuk gerak
refleks pada lisannya. Setelah hafal baru di lanjutkan pada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang sama hingga mencapai satu halaman.
2) Metode kitabah
Metode kitabah artinya menulis. Dalam metode ini
penghafal menulis terlebih dahulu ayat-ayat yang akan di hafal pada secarik kertas yang telah di sediakan untuknya, lalu ayat itu di baca hingga lancar dan benar bacaannya kemudian
16
Menghafal dengan metode ini cukup praktis dan baik, karena di samping membaca dengan lisan, aspek visual menulis juga
akan sangat membantu dalam mempercepat terbentuknya pola hafalan dalam bayangannya.
3) Metode Sima’i
Sima’i yaitu metode dengan mendengarkan sesuatu bacaan
untuk dihafalkannya. Metode ini akan sangat efektif bagi
penghafal yang mempunyai daya ingat ekstra, terutama bagi penghafal tunanetra atau anak-anak yang masih dibawah umur
yang belum mengenal baca tulis al- Qur’an (Ahsin, 2005: 63). Metode ini dapat dilakukan dengan dua pilihan:
a) Mendengar dari guru atau yang membimbingya. Dalam hal
ini guru atau pembimbing dituntut untuk lebih berperan aktif serta sabar dan teliti dalam membacakan satu persatu
ayat-ayat untuk di hafal, sehingga penghafal mampu menghafal dengan sempurna baik bacaan ataupun pengucapannya. b) Merekam terlebih dahulu ayat-ayat yang akan di hafal sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuannya. Kemudian dengarkan dengan seksama dan ikuti secara perlahan.
17 4) Metode Gabungan
Metode ini merupakan metode gabungan antara metode
wahdah dengan metode kitabaah. Hanya saja tulisan disini lebih berfungs sebagai uji coba terhadap ayat-ayat yang telah di
hafalnya (Ahsin, 2005: 65).
Dalam hal ini setelah penghafal menghafal ayat-ayat kemudian menuliskannya di atas kertas yang telah disediakan
untuknya dengan hafalan juga. Ia telah mampu memproduksi ayat-ayat yang telah di hafalnya dalam bentuk tulisan, mka ia
bisa melanjutkan kembali menghafal ayat-ayat berikutnya, tetapi jika penghafal belum mampu mereproduksi hafalannya ke dalam tulisan secara baik, maka ia kembali menghafalkannya sehingga
ia benar-benar mencapai nilai hafalan yang valid. Kelebihan metode ini adalah adanya fungsi untuk memantapkan hafalan.
Pemantapan hafalan dengan cara ini pun akan baik sekali, karena dengan menulis akan memberikan kesan visual yang mantap. 5) Metode Jama’
Metode jama’adalah cara menghafal yang dilakukan secara
kolektif, atau secara bersama-sama di pimpin oleh seorang guru
atau pembimbing. Guru atau pembimbing membacakan satu ayat atau beberapa ayat kemudian penghafal menirukannya (Ahsin, 2005: 66). Guru atau pembimbing membimbingnya dengan
18
Setelah ayat-ayat tersebut dapat mereka baca dengan baik dan benar, selanjutnya mereka mengikuti bacaan guru atau
pembimbing dengan sedikit demi sedikit mencoba melepaskan mushaf (tanpa melihat mushaf) dan demikian seterusnya
sehingga ayat-ayat yang sedang dihafalnya itu benar-benar sepenuhnya masuk dalam bayangan.
Setelah semuanya hafal, barulah kemudian diteruskan pada
ayat-ayat berikutnya dengan cara yang sama. Cara ini termasuk metode yang baik untuk dikembangkan, karena akan dapat
menghilangkan kejenuhan, disamping akan membantu menghidupkan daya ingat terhadap ayat-ayat yang dihafalkannya.
Dari semua metode yang disebutkan di atas tidak semua metode efektif untuk digunakan dalam hafalan Qur’an siswa tuna rungu,
hanya sebagian metode yang bisa digunakan seperti metode wahdah, metode kitabah ataupun metode kitabah.
B. Anak Tuna Rungu
1. Pengertian tuna rungu
Tuna rungu adalah berasal dari kata tuna yang berarti kurang dan
19
Tuna rungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran dalam pendengaran baik permanen maupun tidak
permanen (Aphroditta, 2015: 44).
Tuna rungu merupakan suatu istilah umum yang menunjukkan
kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan kedalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa
melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantudengar dimana batas pendengaran yang dimilikinnya cukup
memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaram (Winarsih, 2007: 22).
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tuna
rungu adalah seorang anak yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik yang kurang mampu mendengar ataupun yang tidak mampu
mendengar permanen ataupun tidak permanen. 2. Jenis-jenis tuna rungu
Klasifikasi tuna rungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran
adalah sebagai berikut:
a. Gangguan pendengaran sangat ringan yaitu 27—40 dB.
20
e. Gangguan pendengaran ekstrem atau tuli yaitu diatas 91 dB
(Aphroditta, 2015: 45 ).
Samuel A. Kirk dalam Somad (1996: 29) mengemukakan klasifikasi tuna rungu sebagai berikut:
a. 0 dB : Menunjukkan pendengaran optimal.
b. 0-26 dB : Menunjukkan masih mempunyai pendengaran normal.
c. 27-40 dB : Menunjukkan kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membuttuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan
memerlukan terapi wicara.
d. 41-55 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas membutuhkan alat antu dengar dan terapi wicara
(tergolong tuna rungu sedang).
e. 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari anak yang dekat,
masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa ekspresif ataupun reseptif dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengarserta dengan cara yang khusus (tergolong tuna rungu agak
berat).
f. 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat,
21
g. 91 dB keatas : mungkin sadar akan adanya bunyi ataupun suara dan getaran, banyak tergantung pada penglihatanya dari pada
pendengarannya untuk proses menerima informasi dan dianggap tuli (tergolong tuna rungu berat sekali).
Menurut Boothroyd dalam Wasita (2012: 18-19), tuna rungu dapat
diklasifiskasikan sebagai berikut:
a. Berdasarkan tingkat kehilangan mendengar percakapan orang,
meliputi:
1) Kehilangan 15db – 30db (mild hearing losses) atau ketunarunguan rangan, daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal atau kemampuan mendengar untuk berbicara dan membedakan suara-suara atau sumber bunyi dalam taraf normal.
Modalitas belajar menggunakan auditori dan alat bantu dengar. 2) Kehilangan 31db – 60db (moderat hearing losses) atau
ketunarunguan sedang, daya tangkap terhadap suara manusia hanya sebagian atau kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara hampir normal. Modalitas belajar menggunakan auditori
dengan bantuan visual. Jika menggunakan alat bantu dengar kemampuan mendengar untuk bicaranya menjadi normal lagi.
3) Kehilangan 61db – 90db (severe hearing losses) atau ketunarunguan berat, daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada atau kemampuan mendengar dan kapasitas
22
visual. Jika menggunakan alat bantu dengar, kemampuan mendengar dapat menjadi normal dan kapasitas membedakan
suara dapat menjadi baik.
4) Kehilangan 91db – 120db (profound hearing losses) atau ketunarunguan sangat berat, daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama sekali atau kemampuan bicara dan kapasitas membedakan sumber bunyi sudah tidak ada.
Modalitas belajar dengan visual. Jika menggunakan alat bantu dengar kemampuan mendengar untuk bicaranya normal,
sedangkan kapasitas membedakan suara buruk. Pada derajat ini masih mampu mengenal irama dan intonasi sehingga modalitas belajar dapat menngunakan auditori dengan bantuan penglihatan.
5) Kehilangan lebih dari 120db (total hearing losses) atau ketunarunguan total, daya tangkap terhadap suara cakapan
manusia tidak ada sama sekali (tidak mampu mendengar) atau kemampuan mendengar dan kapasitas untuk bicara tidak ada, walaupun dengan bantuan alat bantu dengar. Modalitas belajar
mengandalkan pada alat bantu dengar.
b. Berdasarkan tempat terjadinya kehilangan, yaitu:
23
2) Kerusakan telinga bagian dalam dan hubungan saraf otak yang menyebabkan tuli sensoris.
c. Berdasarkan saat terjadinya kehilangan, yaitu:
1) Tunarungu bawaan artinya ketika lahir anak sudah mengalami
atau menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi.
2) Tunarungu setelah lahir artinya terjadinya tunarungu setelah
anak lahir yang diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit. d. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa, yaitu:
1) Tuli prabahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli sebelum dikuasainya suatu bahasa sekitar usia 1,6 tahun artinya anak menyamakan tanda atau signal tertentu seperti
mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk system lambang.
2) Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami sistem lambang yang berlaku di lingkungan.
3. Penyebab tuna rungu
Penyebab anak mengalami gangguan tunarungu dapat di
klasifikasikan sebagai berikut (Wasita, 2012: 23-24): a. Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (pre natal):
1) Faktor keturunan
24
3) Terjadi toxaemia (keracunan darah)
4) Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar
5) Kekurangan oksigen (anoxia)
b. Faktor saat anak dilahirkan (natal):
1) Faktor rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis 2) Anak lahir pre mature
3) Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang) 4) Proses kelahiran yang terlalu lama
c. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (post natal): 1) Infeksi
2) Meningitis (peradangan selaput otak)
3) Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan
4) Otitis media yang kronis
5) Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan
Anak yang mengalami tuna rungu memiliki penyebab yang berbeda-beda, ada beberapa penyebab tuna rungu menurut Trybus dalam Wasita (2012: 24) adalah:
a. Keturunan
b. Penyakit bawaan dari pihak ibu
c. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran d. Radang selaput otak (meningitis)
e. Otitis media atau radang pada bagian telinga tengah
25
Anak tuna rungu berbeda dengan anak-anak normal seperti biasanya, mereka memiliki karakteristik tersendiri, diantaranya adalah:
a. Sering keluar cairan dari liang telinga b. Bentuk daun telinga tidak normal
c. Sering mengeluh gatal atau sakit di liang telinga d. Jika bicara selalu melihat gerakan bibir lawan bicara e. Sering tidak bereaksi jika diajak bicara
f. Selalu minta diulang dalam pembicaraan (Wasita, 2012: 24).
Sedangkan menurut Uden dalam Wasita (2012: 25) menyebutkan
bahwa karakteristik anak tunarungu adalah sebagai berikut:
a. Memiliki sifat egosentris yag lebih besar dibanding anak tanpa gangguan pendengaran. Sifat ini menyebabkan mereka sulit untuk
menempatkan diri pada cara berfikir dan perasan orang lain serta kurang peduli terhadap efek perilaunya pada orang lain.
b. Memiliki sifat impulsive, yaitu tindakan tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jelas tanpa mengantisipasi akibat yang timbul dari perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya
perlu segera dipenuhi.
c. Memiliki sifat kaku (rigidity), yaitu kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas dalam kesehariannya.
26
4. Hambatan yang muncul akibat tunarungu
Ketunarunguan akan berdampak pada masalah kognisi dan bahasa
anak (Wasita, 2012: 22). Secara rinci masalah tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:
d. Masalah kognisi anak tunarungu
1) Kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah daripada kemampuan verbal anak normal.
2) Performance IQ anak tunarungu sama dengan anak normal. 3) Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada
anak normal terutama pada informasi yang bersifatsuksesif atau berurutan.
4) Informasi serempak anak tunarungu tidak berbeda dengan anak
normal.
5) Daya ingat jangka panjang anak tuna rungu tidak berbeda dengan
anak normal walaupun prestasi akhir biasanya tetap lebih rendah. e. Masalah bahasa anak tunarungu
1) Miskin dalam kosa kata.
2) Terganggu bicaranya.
3) Dalam berbahasa dipengaruhi oleh emosi atau visual order (apa
yang dirasakan dan apa yang dilihat). 4) Tunarungu cenderung pemata.
5) Bahasa merupakan hasil interaksi mereka dengan hal-hal yang
27 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis penelitian dan pendekatan
Dari segi pelaksanaan pengumpulan data, penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research) yang berlokasi di rumah Abata kabupaten temanggung. Penelitian lapangan adalah suatu penelitian yang dilakukan di lapangan atau di lokasi penelitian, suatu tempat yang dipilih
sebagai lokasi untukmenyelidiki gejala obyektif yang terjadi di lokasi tersebut (Fathoni, 2011: 96).
Penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif dapat membantu peneliti untuk memperoleh jawaban atas suatu gejala, fakta, dan realita yang dihadapi, sekaligus memberikan pemahaman dan pengertian
abru atas masalah tersebut sesudah menganalisis data yang ada (Khasanah, 2015: 33).
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode yang ditunjukkan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat yang lampau
(Sukmadinata, 2006: 5)
Penelitian kualitatif deskriptif ini adalah salah satu metode penelitian
28 B. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di lembaga pendidikan yaitu Rumah Abata Desa
Mungseng Kecamatan Tlogomulyo Kabupaten Temanggung. Alasan penulis memilih lokasi ini karena di Rumah Abata ini memberikan
pendidikan khusus bagi para tuna Rungu dengan pola metode yang unik terutama dalam hal menghafal Al-Qur’an.
C. Sumber data
1. Sumber data primer
Sumber data primer yaitu data yang di buat oleh peneliti dengan
maksud khusus untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang di tanganinya. Data di kumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumer pertama atau tempat objek penelitian.
Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari informan. Informan utama dalam penelitian ini adalah Pengasuh yayasan Rumah
Abata, Pendidik, terapis, dan pembimbing yang mendampingi keseharian anak.
2. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat pribadi
29
Berkaitan denan sumber data sekunder, penulis akan mencari dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan judul penelitian
seperti sejarah Rumah Abata, visi dan misi Rumah Abata, Pengasuh yayasan Rumah Abata, Pendidik,terapis, dan pembimbing Rumah
Abata.
D. Tekhnik pengumpulan data
Untuk mengetahui data-data di lapangan, maka digunakanlah beberapa
tekhnik pengumpulan data, yaitu wawancara, observasi, dokumentasi dan triangulasi:
1. Wawancara
Wawancara adalah tekhnik pengumpulan data melalui proses tanya jawab lisan yangberlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari
pihak yang mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang di wawancara. Orang yang mengajukan pertanyaan dalamwawancara
disebut pewawancara (interview) dan yang diwawancara disebut
interviewe (Fathoni, 2005: 105).
Dalam hal ini, peneliti akan mewawancarai pengasuh Rumah Abata,
Pendidik, Traphys, serta pembimbing. Dalam wawancara ini berkaitan tentang kegiatan-kegiatan pendidikan agama Islam, pembelajaran yang
30 2. Observasi
Peneliti melakukan observasi non partisipan. Pada metode observasi
penulis mecari data dan mencatat hal-hal yang penting dan yang diperlukan. Seperti letak geografis Rumah Abata, suasana belajar di
Rumah Abata, serta poa pembelajaran dalam hafalan AL-Qur’an. Data-data yang diperolehmelalui observasi antara lain:
a. Kemampuan membaca, berbicara dan menghafal Al-Qur’an siswa
tuna rungu saat masuk.
b. Pelaksanaan pembelajaran serta pembelajaran hafalan Al-Qur’an.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan bukti-bukti (gambar, suara, tulisan) terhadap segala hal baik obyek ataupun sedang terjadi. Metode ini akan
di gunakan peneliti sebagai pedoman untuk mecari data mengenai beberapa hal yang berupa catatan dan gambaran umum Rumah Abata.
Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam memperoleh data. Dalam hal ini data yang diperoleh penulis dengan metode dokumentasi dapat di kelompokan sebagai berikut:
a. Sejarah Rumah Abata. b. Visi dan misi Rumah Abata.
c. Keadaan pengasuh,pembimbing dan siswa Rumah Abata.
d. Buku catatan tentang pembelajaran hafalan Al-Qur’an siswa tuna rungu Rumah Abata.
31 E. Analisis data
Peneliti akan menggunakan analisis data model Miles dan Huberman
yang dikutip oleh Khasanah (2018: 37). Dalam analisis data ini meliputi tiga aktivitas, yaitu:
1. Reduksi data
Mereduksi data berarti merangkum data, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan
membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti
dalam melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
2. Penyajian data
Setelah data direduksi, makalangkah selanjutnya adalah mendisplay data. Penyajian data yaitu mendisplay data. Melalui penyajian tersebut
maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga semakin mudah dipahami. Dalam penelitian ini penulis menggunakan penyajian data dalam bentuk tabel dan naratif.
3. Penarikan kesimpulan
Setelah data di reduksi, maka langkah selanjutnya adalah penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Kesimpulan awal masih bersifat sementara akan berubah jika tidak ditemukan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan
32
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.
F. Pengecekan keabsahan data
Teknik yang digunakan untuk pengecekan keabsahan data adalah teknik
triangulasi. Tekhnik yang menggabungkan data dan sumber data yang telah ada. Triangulasi merupakan pengumpulan dan pengecekan menggunakan perspektif berlainan. Misal menggabungkan catatan lapangan hasil
pengamatan dan naskah hasil wawancara.
Dalam penelitian ini tekhnik triangulasi akan di gunakan pada
sumber-sumber yang diasumsikan banyak informasi yang akan didapat. Triangulasi yang akan digunakan adalah triangulasi teknik. Triangulasi teknik dilakukan dengan memakai beberapa metode penelitian dalam menggali
data sejenis, misalnya wawancara, observasi, dan angket (Khasanah, 2015: 37-38).
Pengujian data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu triangulasi teknik dan triangulasi sumber.
1. Triangulasi teknik adalah cara yang digunakan untuk mengecek
kebenaran data yang dilakukan dengan cara wawancara, kemudian hasil wawancara bisa dijawab dengan bukti data-data ataupun observasi.
Wawancara tersebut antara lain metode apa yang digunakan dalam pembelajaran hafalan AL-Qur’an siswa tunarungu di Rumah Abata? 2. Triangulasi sumber adalah membandingkan dan mengecek balik derajad
33
yang berbeda. Sumber yang di maksud adalah pengasuh, pembimbing, dan therapys dengan pertanyaan yang sama yaitu bagaimanakah dampak
dari pembelajaran hafalan Al-Qur’an siswa tuna rungu di Rumah Abata. G. Tahap-tahap penelitian
1. Tahap Pra-Lapangan
Dalam tahap ini yang dilakukan peneliti adalah menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan,
menjajaki keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, serta menyiapkan perlengkapan penelitian.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Pada tahap ini peneliti harus mempersiapkan diri dengan menjaga kesehatan fisik, berpenampilan rapi dan sopan saat melakukan penelitian.
Ketika memasuki lapangan, peneliti hendaknya berbaur menjadi satu dan menjaga keakraban dengan subjek. Selain itu peneliti harus berbahasa
yang baik dan jelas. Sambil berperan serta, peneliti juga mencatat data yang diperlukan.
3. Tahap Analisis Data
Analisis data menurut Patton dalam Moloeng (2011:103), adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu
pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Dalam hal ini peneliti mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan
34 BAB IV
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Paparan Data 1. Profil Lembaga
a. Letak geografis
Yayasan Abata atau Rumah Abata terletak di Jl. Subagio I/39, Rt. 02, Rw. 03, Kav. Argodewi kecamatan Mungseng Kabupaten
Temanngung. Nomor telephon yang bisa di hubungi adalah +62 856 404 35 800.
Yayasan Abata di Sahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan akta notaris nomor 03-11 Agustus 2017. Kep Menkumham nomor AHU-0012453.AH.01.04
Tahun 2017.
b. Sejarah Berdirinnya Rumah Abata
Rumah ABATA didirikan oleh pasanga suami istri yang memiliki seorang anak yang mengalami gangguan tuna rungu yang bernama pak lisin dan ibu nisak mempunyai anak bernama fadeela,
mereka berusaha melakukan terapi untuk fadeela, tetapi pak lisin merasa kesulitan mencari sekolah atau tempat terapis yang tepat
35
Dari situ muncul pemikiran untuk mendirikan sekolah gratis khusus tunarungu yaitu menampung anak-anak yang berkebutuhan
khusus dan keterbatasan dalam hal biaya, kemudian di namai ABATA karena dalam huruf hijaiyah tiga huruf pertama adalah alif,
ba’ dan ta, yang melambangkan bahwa setiap anak yang ingin
belajar membaca Qur’an harus berawalan membaca alif, ba’ dan ta.
Sekolah ABATA mulai beroperasi pada tanggal 1 oktober 2016.
Awal mulanya hanya memiliki dua siswa dan 3 siswa yang tidak mukim. Berawal dari situ setelah beberapa bulan berjalan kemudian
mendirikan yayasan. Dan sampai sekarang dinamai YAYASAN ABATA.
c. Visi dan Misi
Berdasarkan dokumen dari yayasan Rumah Abata dapat diperoleh informasi:
1) Visi Rumah ABATA
Setiap anak tunarungu atau gangguan pendengaran bisa mempunyai kemampuan berkomunikasi verbal secara baik,
mempunyai pemahaman Agama Islam dengan baik, mempunyai kemampuan beribadah dengan baik.
2) Misi Rumah ABATA
a) Melakukan upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat untuk peduli terhadap anak tunarungu dan
36
b) Mengembangkan konsep pembelajaran terpadu bagi anak tunarungu dan gangguan pendengaran.
c) Memberikan pembelajaran dan pelayanan bagi anak tunarungu dan gangguan pendengaran yang bermutu dan
terjangkau.
d) Mengembangkan kemitraan dengan masyarakat dan pihak-pihak terkait untuk mewujudkan sekolah tunarungu islam
terpadu.
e) Membiasakana anak-anak tunarungu untuk menjalankan
ibadah islam dengan tertib dan istiqomah. d. Tujuan Rumah Abata
Rumah Abata mempunyai dua tujuan yaitu:
1) Tujuan Umum
Sebagai solusi orang tua dan anak tunarungu dan gangguan
pendengaran Islam untuk memperoleh pendidikan dan terapi terpadu, juga menjadi mitra pemerintah untuk menurunkan angka gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia atau di
Kabupaten Temanggung khususnya melalui usaha penngkatan derajat indera pendengaran dan usaha kemampuan bicara guna
mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas dalam rangka mencapai tujuan anak tunarungu dan gangguan pendengaran yang mamu berkomunikasi secara verbal melalui kerjasama
37 2) Tujuan Khusus
Membantu orang tua dan anak tunarungu Temanggung untuk mewujudkan sanggar belajar atau sekolah tunarungu
islam yang terpadu meliputi pembelajaran formal, terapi wicara, terapi pendengan, pembelajaran dan pembiasaan melaksanakan ibadah Islam.
e. Struktur Organisasi
STRUKTUR ORGANISASI YAYASAN ABATA Pembina : 1. drg, Suhodo, M.M.
2. Yasir Arofat, S.E, Akt. 3. Endang Puspo
Pengawas : 1. Fahmi Hidayat, S.H.
2. M. Lazim, S. Sos. Ketua: dr. Antoni, Sp, OT.
Bendahara: Siti Noor Farida, Amd. Fis.
Sekretaris : Mukhlisin, S.HI.
Devisi pemb ekonomi: Budi Murtopo, S.S.
Devisi Pendidikan : Ahan Mahady, S.Pd.
38
Devisi Kesehatan : 1. H. Riyanto, SKM. MM 2. Alexius Nurmarmono
STRUKTUR ORGANISASI SEKOLAH Kepala Sekolah : Eriana Ristiani S. Pd.
Administrasi : Fitri Edhit Indah Bilyani Team ustadz atau ustadzah
a) Annisa Hadi b) Yuni Kristina c) Muthmainah
d) Vidya Cahya Ningrum e) Ela Efiana
f) Azizah Zunrutiyaningsih g) Brama Wijaya
h) Opi Ratna
39
f. Data Siswa, Pendamping dan Pengajar
Tabel 4.1: Data siswa mukim Rumah Abata
No Nama TTL
1.
Dwinova Angelina Firdausy
Kudus, 2 november 2009
2. Frisia Eka Widyastuti Kendal, 12 April 2007
3. Meza Maura Rahaf Temanggung, 12 maret 2008
4. Pitra Aulia Adi Nareswari Semarang, 27 maret 2010
5. Zannuba Meirnady Zahra Semarang, 20 Juni 2010
6. Arikah Sidoarjo, 15 Mei 2005
7. Shakira Hanna Khairunnisa Jakarta, 12 Agustus 2005
8.
Khansa Nafisa Muthia
Majid
Bekasi, 26 November 2009
9. Imro’atus Syarifah Karawang, 3 Januari 2009
10. Fadella Khadijah Temanggung, 20 Juni 2009
11. Hafshoh Nurrohiimah Jakarta, 20 Agustus 2005
12. Baita Qurotta Akyun Magelang, 21 Januari 2010
40
14. Adelina Puspita Ning Tiyas Pekalongan, 23 Mei 2011
15.
Anindya Rahima
Maheswari
Wonosobo, 16 November 2009
16. Aqila Mumtaza Bogor, 9 Juli 2009
Tabel 4.2: Siswa tidak mukim
No Nama Tempat, Tanggal lahir
1 Muhammad Mikhan Abi
Hasan Temanggung, 16 Juli 2012
2 Zulfikar Ahad Wildani Temanggung, 18 Maret 2012
3 Nada Rasmi Prasetyo Temanggung, 16 Oktober 2012
4 Nafisa Dwi Aisyah Temanggung, 5 Juni 2013
5 M. Ikhsan Ar-rasyid Temanggung, 7 September 2013
6 Hakim Temanggung, 6 Januari 2014
41
Tabel 4.3: Data Pendamping dan Pengajar
No Nama Jabatan
1. Eriana Ristiani, S.Pd. Kepala sekolah
2. Muthmainah S.Sos Guru asrama pagi
3. Brama Wijaya S.Pd Guru asrama sore
4. Yuni Kristina Guru sanggar
5. Vidya Cahya Ningrum Pendamping
6. Ela Efiana Pendamping
7. Zahro lilianasari Pendamping
8. Erna Ovianti Terapis
9. Anisa Hadi Terapis
2. Proses Pembelajaran di Rumah Abata
Proses pembelajaran di Rumah ABATA berjalan sesuai dengan
jadwal yang telah di buat. Pembelajaran di mulai sejak bangun tidur hingga akan tidur kembali, di Rumah ABATA bukan hanya
42
hidup mandiri meskipun memiliki kekurangan. Adapun program kegiatan unggulan di Rumah ABATA antara lain:
1. Terapi individu Visual Abata setiap hari termasuk latihan mengeluarkan suara dan kata, materinya meliputi membaca,
menulis, menghafal kosa kata, memahami konsep kalimat.
2. Terapi individu AVT (auditori verbal terapi) bagi yang memakai alat bantu dengar. Terapi ini bertujuan agar anak didik mampu
berkomunikasi secara nomal tanpa menggunakan alat bantu dengar dan tidak menggunakan bahasa isyarat.
3. Belajar individu iqra’ termasuk membaca dan menulis. 4. Hafalan Al-Qur’an dan do.a harian.
5. Pembiasaan sholat fardhu lima waktu berjamaah serta sholat sunnah
seperti sholat dhuha dan solat rowatib. 6. Beladiri.
7. Keterampilan memasak, mencuci, setrika dan lain-lain.
Adapun agenda kegiatan harian Rumah ABATA adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.4: Jadwal kegiatan harian Rumah Abata
WAKTU KEGIATAN
04.15 – 04.30
Anak bangun tidur dan persiapan sholat subuh berjamaah
04.30 – 05.00 Sholat Subuh Berjamaah
43 B. Temuan Penelitian
1. Sistem pembelajaran Tahfidz Qur’an anak tunarungu di Rumah Abata a. Metode
Rumah Abata merupakan sebuah yayasan yang menampung anak tunarungu untuk dibina dan diarahkan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki anak. Rumah Abata juga merupakan yayasan yang bernuansa islami kemudian disebut sebagai pesantren khusus tunarungu. Di Rumah Abata bukan hanya fokus pada
pendidikan umum saja, akan tetapi lebih fokus pada pendidikan
06.00 – 06.30 —–
06.30 – 07.15 Mandi / Sarapan / minum susu 07.15 – 07.30 Persiapan mengikuti Kelas pagi 07.30 – 11.00 Mengikuti Kelas belajar Pagi
11.00 – 12.00 Makan snack / buah / Istirahat siang 12.00 – 12.30 Sholat Dzuhur Berjamaah
12.30 – 13.00 Makan siang 13.00 – 14.00 Tidur siang
14.00 – 15.00 Mengikuti kegiatan Sanggar siang 15.00 – 15.30 Sholat Asar Berjamaah
15.30 – 17.00 Mengikuti Sanggar sore 17.00 – 18.00 —–
18.00 – 18.30 Sholat Maghrib Berjamaah 18.30 – 19.00 Makan Malam
44
agama Islamnya seperti cara beribadah, membaca dan menulis ayat Al-Qur’an, serta Tahfidz Qur’an.
Melihat dari siswanya yang memiliki keterbatasan pendengaran yang secara tidak langsung juga berakibat pada
kekurangan dalam berbicara, tidaklah mudah untuk membuat mereka paham dengan apa yang diajarkan. Maka dari itu, di Rumah Abata memiliki metode yang berbeda dengan sekolah pada
umumnya dalam pembelajaran Tahfidz Qur’an.
Metode itu disebut dengan metode abata yaitu
menggabungkan antara terapi wicara dengan terapi visual. Agar dapat menghafalkan AL-Qur’an siswa di Rumah Abata diwajibkan untuk bisa membaca dan menulis terlebih dahulu. Untuk bisa
membaca mereka diajarkan dengan cara melihat, siswa dibiasakan untuk melihat gerak bibir dari guru kemudian ditirukan, karena
tujuan utama Rumah Abata adalah untuk mengajari anak berkomunikasi seperti halnya anak-anak normal lain maka tidak boleh menggunakan bahasa isyarat. Dari kebiasaan itu maka anak
mampu memahami apa yang guru katakan dan mulai bisa mengucapkan huruf-huruf hija’iyah tanpa menggunakan bahasa
isyarat. Setelah mereka bisa membaca, barulah diajari untuk menulis dengan cara melihat dari yang guru tuliskan di papan tulis.
Mengajari anak tunarungu untuk membaca dan
45
bukanlah hal yang mudah, butuh kesabaran, ketelatenan dan ketelitian. Setelah mereka bisa mebaca dan menulis barulah
dibiasakan untuk menghafal Al-Qur’an.
Pembiasaan tersebut dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu:
1) Muroja’ah bersama yaitu membaca dan mengulang tiga surat pendek (An-Nas, Al-Falaq, dan Al-Ikhlas) sebelum belajar. 2) Membaca satu ayat dari satu persatu langsung dihadapan ustadz
dan dihafalkan langsung di depan ustadz, hal ini dilakukan secara berulang-ulang sampai anak hafal ayat tersebut.
3) Setelah mendapat pelajaran atau tambahan ayat dari ustadz kemudian diulang lagi menghafal dengan didampingi pendamping ketika mau tidur.
b. Media
Seperti halnya pembelajaran pada anak-anak normal,
pembelajaran anak-anak tunarungu juga menggunakan media. Media yang digunakan dalam pembelajaran antara lain kertas,
krayon warna, papan tulis, spidol, iqro’, buku tulis, serta bolpoint.
Media-media tersebut tidak bisa ditinggalkan dalam pembelajaran tahfidz di Rumah Abata. Karena pembelajaran tahfidz bagi anak
tunarungu lebih mengedepankan pada penglihatan. Seperti krayon
warna digunakan untuk mewarnai huruf hija’iyah yang ditulis di
46
c. Materi Tahfidz Qur’an anak tunarungu
Materi pembelajarannya di mulai dari baca tulis huruf hija’iyyah. Setelah bisa membedakan huruf hija’iyyah kemudian
masuk pada materi belajar membaca, yang digunakan adalah buku Iqro’. Kemudian materi untuk hafalannya adalah semua surat-surat
yang ada di dalam Al-Qur’an yang dimulai dari surat yang paling awal yaitu Al-Fatihah dilanjut menuju surat-surat pendek dalam juz
30. Yang membedakan antara materi pembelajaran tahfidz anak tunarungu dengan anak normal adalah targetnya. Target hafalan untuk anak normal biasa adalah juz sedang untuk anak tunarungu
adalah ayat.
d. Strategi Tahfidz Qur’an anak tunarungu
Strategi pembelajaran yang digunakan di Rumah Abata adalah strategi pembelajaran konseptual, dalam pembelajarannya
masih menggunakan berbagai macam metode. Untuk pembelajaran sudah direncanakan terlebih dahulu yang kemudian dalam penerapannya disesuaikan dengan kondisi. Selain itu strategi yang
digunakan adalah makhorijul huruf, tulisan dan juga isyarat. Strategi isyarat yaitu dengan perabaan tangan di tempat sumber bunyi,
miasalnya huruf ba’ yang keluar dari ujung bibir dan mengeluarkan
47
e. Waktu Tahfidz Qur’an anak tunarungu
Tahfidz Qur’an anak tunarungu di Rumah Abata tidak dibatasi
dengan waktu. Dalam artian kemampuan anak dalam menghafal yang berbeda-beda juga yang menentukan berapa banyak hafalan
yang didapat setiap bulannya. Semakin baik kemampuan anak maka akan semakin banyak hafalan yang didapat. Misalnya, Arikah dalam waktu 19 bulan mampu menghafal dari surah Al-Fatikhah sampai
surah Al-Lail sedangkan Hanna dalam waktu 19 bulan mampu menghafal sampai surah At-Takatsur.
Waktu pembelajaran tahfidz di Rumah Abata adalah tiga kali dalam sehari yaitu pertama, setelah bersih-bersih, tugasnya adalah
muroja’ah bersama menghafalkan 3 surah pendek kemudian
mengulang hafalan dengan pendamping. Kedua, pada jam 08.00 – 09.30 menambah hafalan bagi yang sudah lancar dan mengulang
hafalan bagi yang belum fasih dengan ustadzah. Ketiga, setelah sholat maghrib mengulang hafalan yang didapat pada jam pagi dengan pendamping.
f. Tujuan
Tujuan yang paling utama adalah mengajari siswa untuk bisa
berkomunikasi secara langsung tanpa harus menggunakan bahasa isyarat. Selain itu pembelajaran di Rumah Abata juga bertujuan untuk memberikan bekal kepada siswanya agar bisa mengikuti
48
sebagai seorang muslim tanpa harus bergantung kepada orang lain. Serta memberikan pengetahuan tentang agama maupun sosial dan
mengembangkan bakat ilmiah yang dimiliki anak tunarungu. 2. Faktor penghambat dan pendukung pembelajaran Tahfidz Qur’an anak
tunarungu di Rumah Abata a. Faktor penghambat
Akibat dari kekurangan yang dimiliki anak tunarungu, maka
muncul beberapa kendala yang dialami guru atau ustadz dalam pembelajaran tahfidz, diantaranya adalah sebagai berikut.
1) Faktor pengendalian emosi
Perilaku anak tunarungu sangat berbeda dengan perilaku anak normal. Karena kekurangan yang dialami anak-anak
tunarungu maka menyebab kan emosi mereka tidak setabil dan mudah marah. Hal ini juga yang memperngaruhi dalam hafalan
Al-Qur’an, di Rumah Abata anak-anak tunarungu juga memiliki karakteristik dan perilaku yang unik, diantaranya:
a) Emosi tidak stabil
Emosi anak tunarungu berbeda dengan emosi anak normal, mereka cenderung lebih labil dan tidak terkontrol.
Ketika ada masalah dengan teman misalnya emosi anak sering tidak bisa dikontrol, bahkan ada yang sampai
49 b) Adaptasi
Setiap anak yang baru berpindah tempat pasti
memiliki kemampuan yang berbeda dalam beradaptasi, begitupun juga dengan anak-anak tunarungu di Rumah
Abata. Siswa baru perilakunya cenderung masih mengikuti kebiasaan di rumah sehingga susah diatur, berteriak-teiak dan menangis ketika disuruh belajar.
c) Minat
Minat merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pembelajaran. Dengan adanya minat anak dengan sukarela akan belajar dan mengikuti kegiatan yang ada. Di Rumah Abata sendiri ada sebagian anak yang
sebenarnya menolak untuk dimasukkan di Rumah Abata, dengan adanya penolakan tersebut emosinya menjadi tidak
terkontrol sering kabur, ketika marah segala benda yang ada di depannya dibanting, seperti kaca, pintu di banting hingga copot, almari ditendang, gorden jendela ditarik-tarik hingga
lepas dan lain-lain. 2) Artikulasi
Anak-anak tunarungu selain memiliki kekurangan dalam pendengaran juga memiliki kekurangan dalam berbicara, selain tidak terbiasanya mereka berkata-kata juga sebelumya
50
sehingga membuat mereka sulit untuk berbicara dengan artikulasi kata yang tepat.
Suara mereka seakan masih terhenti di tenggorokan sehingga kata yang keluar hanyalah huruf-huruf vokal saja
seperti a, i, u, e, o, untuk huruf yang lain seperti r, q, k, s mereka masih sulit untuk mengucapkannya. Hal ini juga yang menghambat hafalan mereka, karena dalam hafalan Al-Qur’an
diperlukan artikulasi yang jelas sehingga makhorijul huruf yang keluar menjadi jelas dan fasih.
3) Belum bisa membaca
Anak tunarungu di Rumah Abata mayoritas usianya masih di bawah 10 tahun. Sebelum masuk Rumah Abata
kebanyakan belum menerima pendidikan sama sekali sehingga belum mengerti huruf dan otomatis belum bisa membaca. Hal
ini menjadi hambatan dalam menghafalkan Al-Qur’an, karena mereka memiliki kekurangan dipendengaran dan satu-satunya akses untuk bisa menghafal adalah dengan membaca
diulang-ulang, berbeda dengan anak normal yang hanya mendengarkan rekaman murotal mereka sudah bisa menghafalnya.
4) Faktor lingkungan teman
51
yang tinggi, mudah marah, manja serta semua keinginan harus dituruti. Kebanyakan anak yang sudah tinggal di Rumah Abata
ketika ada anak baru yang masuk akan mengikuti sikapnya. Sehingga sikapnya akan kembali seperti saat pertama datang.
Hal ini juga salah satu faktor yang menghambat hafalan
Al-Qur’an. Karena istiqomah dalam belajar sangat diperlukan
dalam hafalan, ketika anak sudah terkontaminasi sikap dengan
yang baru datang maka akan lebih susah untuk diatur dan jadwal yang ada banyak dilanggar.
b. Faktor pendukung
Selain faktor yang menghambat dalam pembelajaran tahfidz anak tunarungu adapula beberapa faktor yang mendukung
pembelajaran tahfidz, yaitu: 1) Lingkungan
Lingkungan di Rumah Abata dibuat menjadi lingkungan yang kondusif untuk belajar. Lingkungan yang kondusif akan memudahkan anak untuk belajar, mengingat serta menghafal
surat-surat dalam Al-Qur’an. Dikatakan kondusif karena lingkungan di rumah Abata tenang serta menyediakan fasilitas
52
belajar yang sudah tersusun dan disesuaikan dengan kebutuhan anak yaitu antara bermain dan belajar.
2) Kemauan
Kemauan anak untuk menghafal Al-Qur’an yang besar
juga menjadi salah satu faktor pendukung dalam pembelajaran
Tahfidz Qur’an. Ketika seorang anak memiliki sebuah kemauan
menghafal Al-Qur’an yang besar, maka anak itu akan dengan
suka rela mempelajari dan melakukan hal-hal yang sekiranya dapat membantu dalam menghafal.
3) Pengulangan
Kemampuan hafalan anak tunarungu dengan anak normal biasa tentunya berbeda. Anak normal hanya dengan
mendengar satu ayat dua sampai tiga kali maka ia dengan mudah bisa menirukan dan menghafalnya. Akan tetapi anak tunarungu
yang notabene kurang bisa mendengar dan sulit berbicara tidak akan bisa dengan hanya mendengarkan, mereka memerlukan pengulangan-pengulangan dan pendampingan khusus. Maka
dari itu di Rumah Abata menyediakan guru pendamping sebagai ganti orang tua yang akan menemani anak untuk mengulang
53 4) Konsistensi
Istiqomah dalam belajar juga mempengaruhi hafalan
anak. Konsisten disini berarti terus menerus. Sesuai dengan jadwal yang telah dibuat di Rumah Abata akan membuat siswa
belajar secara konsisten.
5) Semangat
Semangat yang tinggi untuk menghafal didapat dari
seringnya tampil di depan umum untuk menghafalkan
AL-Qur’an. Sehingga anak akan merasa terpacu untuk terus
memperbaiki hafalannya. Seperti pada saat acara pembukaan kantor statistik kabupaten Temanggung mereka tampil di depan publik untuk menghafalkan Al-Qur’an.
6) Orang tua
Orang tua merupakan salah satu faktor pendukung dalam
pembinaaan tahfidz anak tunarungu. Peran orang tua adalah mendukung serta mengawasi pembelajaran anak ketika berada di rumah. Di Rumah Abata siswanya kebanyakan datang dari
luar kota sehingga waktu libur dan diperbolehkan pulangpun juga cukup lama. Disinilah peran orang tua dibutuhkan, yaitu
54 7) Ustadz
Ustadz atau seorang guru merupakan faktor utama
dalam tahfidz Qur’an anak tunarungu. Kesabaran, ketelatenan
serta keuletan dalam mengajarkan baca tulis dan hafalan
Al-Qur’an yang membuat siswa memahami dan mampu menghafal
Al-Qur’an. 8) Pengasuh
Pengasuh yayasan Abata dalam menyiapkan sarana dan prasana dalam pembelajaran juga menjadi salah satu faktor
pendukung tahfidz Qur’an anak tunarungu. Tanpa adanya
sarana prasarana untuk pembelajaran maka pembelajaran tidak mungkin berlangsung.
3. Dampak pembelajaran Tahfidz Qur’an anak tunarungu di Rumah Abata Setelah dibina tentunya anak-anak tunarungu memiliki perubahan
menuju yang lebih baik. Dalam segi akhlak, kebiasaaan ataupun kemampuan. Diantara perubahan-perubahan yang telah ada setelah diamati adalah sebagai berikut:
a. Perubahan dalam perilaku dan akhlak
Perubahan yang dapat dilihat dari awal masuk Rumah Abata
dan setelah mendapatkan pembelajaran, anatar lain: 1) Pengendalian diri
Pengendalian diri anak ydapat terlihat dari emosi mereka.
55
setelah mendapat pembelajaran menjadi lebih sabar dan jarang marah.
2) Adaptasi
Anak yang dari awal masuk suka banting-banting barang
seperti ember, kaca, pintu, jendela, dan lain-lain setelah mendapat pembelajaran menjadi pribadi yang lebih tenang dan sudah tidak pernah banting-banting barang.
3) Komunikasi
Anak yang tidak mau berbicara sama sekali pada saat
pertama datang setelah mendapat pembelajaran menjadi suka bicara, dan sudah mau bercerita.
4) kemandirian
Kebanyakan pada awalnya anak-anak tidak bisa mengurus dirinya sendiri seperti mandi, sikat gigi, mencuci baju,
mencuci piring serta menyetrika baju setelh diajarkan atau dibina mereka menjadi terbiasa melakukannya sendiri bukan hanya ketika di Rumah Abata saja akan tetap setelah mereka pulang di
rumahpun mereka melakukannya.
5) Sopan santun