KAJIAN TEORITIK
A. Tinjauan Teoritik
1. Tinjauan Umum Kurikulum
a. Pengertian Kurikulum
Menurut para ahli kurikulum memiliki tafsiran yang berbeda-beda tergantung dari pandangan dari masing- masing ahli. Arifin (2011:2-3) menyatakan bahwa secara etimologis istilah kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya “pelari” dan curere yang berarti “tempat berpacu”. Istilah kurikulum berasal dari dunia olahraga, terutama dalam bidang atletik pada zaman Romawi Kuno di Yunani. Dalam bahasa Prancis, istilah kurikulum berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run). Kurikulum berarti suatu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start sampai dengan garis finish untuk memperolah medali atau penghargaan. Jarak yang harus ditempuh tersebut kemudian diubah menjadi program sekolah dan semua orang yang terlibat didalamnya. Curriculum is the entire school program and all the people involved in it. Program tersebut berisi mata pelajaran-mata pelajaran (course) yang harus ditempuh peserta didik selama kurun waktu tertentu, seperti SD/MI (enam
tahun), SMP/MTs (tiga tahun), SMA/SMK/MA (tiga tahun) dan seterusnya. Dengan demikian, secara terminologis istilah kurikulum (dalam pendidikan) adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di sekolah untuk memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakikatnya merupakan suatu bukti bahwa siswa telah menempuh kurikulum yang berupa rencana pelajaran, sebagaimana halnya seorang pelari telah menempuh suatu jarak antara satu tempat ke tempat lain dan akhir nya mencapai finish. Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu pelajaran dan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu (Hamalik, 2007:16).
Dari penelusuran konsep, pada dasarnya kurikulum memiliki tiga dimensi pengertian, yakni kurikulum sebagai mata pelajaran, kurikulum sebagai pengalaman belajar dan kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran (Sanjaya, 2009: 4). Pengertian kurikulum sebagai mata pelajaran dapat ditemukan dari definisi yang dikemukan oleh Robert M. Hutchins (1935) yang menyatakan “The curriculum should include grammar, reading, theoretic and logic, and mathematic, and addition at the secondary level introduce the great books of the western world”. Dalam konsep kurikulum sebagai mata pelajaran biasanya berkaitan erat
dengan usaha untuk memperoleh ijazah. Ijazah sendiri berisi pada dasarnya menggambarkan kemampuan. Artinya, apabila siswa telah berhasil mendaparkan ijazah berarti ia telah menguasai pelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Kurikulum sebagai pengalaman belajar, salah satu pendukung dari pendangan ini adalah Romine (1945) yang berpendapat bahwa “Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupil have under direction of the school, whether in classroom or not”. Pengertian ini menunjukkan, bahwa kegiatan- kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja, melainkan mencakup juga kegiatan-kegiatan diluar kelas. Pergeseran makna kurikulum dari sejumlah mata pelajaran kepada pengalaman, selain disebabkan meluasnya fungsi dan tanggung jawab sekolah, juga dipengaruhi oleh penemuan-penemuan dalam bidang psikologi menganggap bahwa belajar itu bukan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, akan tetapi proses perubahan perilaku siswa. Oleh karena itu dalam proses belajar, pengalaman dianggap lebih penting dari pada hanya sekedar menumpuk sejumlah pengetahuan (Sanjaya, 2009: 7).
Pendapat kurikulum sebagai perencanaan belajar di kemukakan oleh Hilda Taba (1962 dalam Sanjaya, 2009 : 8) mengatakan “A curriculum is a plan for learning: therefore, what
is known about the learning process and the development of the individual has bearing on the shaping of a curriculum”. Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum menurut undang- undang pendidikan yang dijadikan acuan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Menurut Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional dikatakan bahwa kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Dari berbagai konsep kurikulum, maka dalam bahasan kurikulum dapat diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokuman yang dirancang dalam bentuk nyata. Dengan demikian, pengembangan kurikulum meliputi penyusunan dokumen, implementasi dokumen serta evaluasi dokumen yang telan disusun ( Sanjaya, 2009 : 9-10).
b. Komponen Kurikulum
Arifin (2011:82-94) mengembangkan komponen kurikulum menjadi komponen tujuan, komponen isi/ materi, komponen proses, dan komponen evaluasi.
Tujuan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis, karena akan mengarahkan dan memengaruhi komponen-komponen kurikulum lainnya. Dalam penyusunan suatu kurikulum, perumusan tujuan ditetapkan terlebih dahulu sebelum menetapkan komponen yang lainnya. Tujuan pendidikan suatu negara tidak bisa dipisahkan dan merupakan penjabaran dari tujuan negara atau falsafah negara, karena pendidikan merupakan alat untuk mencapai tujuan negara. Tujuan pendidikan nasional dirumuskan langsung oleh pemerintah sebagai pedoman bagi pengembangan tujuan-tujuan pendidikan yang lebih khusus. Tujuan institusional adalah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap lembaga pendidikan, baik pendidikan formal (TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA) maupun pendidikan nonformal (lembaga kursus, pesantren). Tujuan kurikuler adalah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap bidang studi atau mata pelajaran, seperti bidang studi Pendidikan Agama Islam, IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia, dan sebagainya. Tujuan pembelajaran umum adalah tujuan yang ingin dicapai pada setiap pokok bahasan, sedangkan tujuan pembelajaran
khusus (instructional objective) adalah tujuan dari setiap sub pokok bahasan.
Isi/materi kurikulum pada hakikatnya adalah semua kegiatan dan pengalaman yang dikembangkan dan disusun dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Secara umum, isi kurikulum dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) logika, yaitu pengetahuan tentang benar-salah, berdasarkan prosedur keilmuan, 2) etika, yaitu pengetahuan tentang baik-buruk, nilai, dan moral, dan 3) estetika, yaitu pengetahuan tentang indah-jelek, yang ada nilai seni. Berdasarkan pengelompokan isi kurikulum tersebut, maka pengembangan isi kurikulum harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) mengandung bahan kajian atau topik-topik yang dapat dipelajari peserta didik dalam proses pembelajaran, dan 2) berorientasi pada standar kompetensi lulusan, standar kompetensi mata pelajaran, dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Pemilihan isi kurikulum dapat juga mempertimbangkan kriteria sebagai berikut: 1) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, 2) sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, 3) bermanfaat bagi peserta didik, masyarakat, dunia kerja, bangsa dan negara, baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang, dan 4) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Proses pelaksanaan kurikulum harus menunjukkan adanya kegiatan pembelajaran, yaitu upaya guru untuk membelajarkan peserta didik, baik di sekolah melalui kegiatan tatap muka, maupun di luar sekolah melalui kegiatan terstruktur dan mandiri. Dalam konteks inilah, guru dituntut untuk menggunakan berbagai strategi pembelajaran, metode mengajar, media pembelajaran, dan sumber-sumber belajar. Pemilihan strategi pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan kurikulum (SK/KD), karakteristik materi pelajaran, dan tingkat perkembangan yang dapat digunakan guru dalam menyampaikan isi kurikulum, antara lain: 1) startegi ekspositori klasikal, yaitu guru lebih banyak menjelaskan materi yang sebelumnya telah diolah sendiri, sementara siswa lebih banyak menerima materi yang telah jadi, 2) strategi pembelajaran heuristik (discovery dan inquiry), 3) strategi pembelajaran kelompok kecil: kerja kelompok dan diskusi kelompok, dan 4) strategi pembelajaran individual.
Untuk mengetahui efektivitas kurikulum dan dalam upaya memperbaiki serta menyempurnakan kurikulum, maka diperlukan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum merupakan usaha yang sulit dan kompleks, karena banyak aspek yang harus dievaluasi, banyak orang yang terlibat, dan luasnya kurikulum yang harus diperhatikan. Evaluasi kurikulum dan luasnya kurikulum yang
harus diperhatikan. Evaluasi kurikulum memerlukan ahli-ahli yang mengembangkannya menjadi suatu disiplin ilmu. Evaluasi kurikulum juga erat hubungannya dengan definisi kurikulum itu sendiri, apakah sebagai kumpulan mata pelajaran atau meliputi semua kegiatan dan pengalaman anak di dalam maupun di luar sekolah.
c. Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Hidayat (2013:1-18) menjabarkan bahwa semenjak Indonesia merdeka sejak tahun 1945 telah mengalami perubahan kurikulum, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,2004, dan 2006.
Kurikulum pertama yang lahir setelah Indonesia merdeka adalah merupakan rencana pelajaran atau dalam bahasa Belanda disebut leer plan. Zaman dan suasana kehidupan berbangsa dengan spirit merebut kemerdekaan dan pendidikan lebih menekankan pada pembentukan karakter. Setelah rencana pelajaran 1947. Rencana Pelajaran 1947 merupakan pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda dengan mengurangi pendidikan kecerdasan intelektual. Kurikulum 1947 dilandasi semangat zaman dan suasana kehidupan berbangsa dengan spirit merebut kemerdekaan maka pendidikan lebih menekankan pada pembentukan karakter
manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain, kesadaran bernegara dan masyarakat.
Setelah Rencana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini, pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan menerbitkan buku Pedoman Kurikulum SD yang lebih merinci setiap mata pelajaran kemudian diberi nama Rencana Pelajaran Terurai 1952 yang berfungsi membimbing para guru dalam kegiatan mengajar di Sekolah Dasar. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang menjadi ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran sehari-hari, silabus mata pelajarannya jelas, seorang guru mengajar satu mata pelajaran.
Menjelang tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kurikulum ini diberi nama Rencana Pendidikan 1964 atau kurikulum 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang
SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program
Kurikulum 1964 masih mengalami perubahan yaitu menjadi kurikulum 1968, hal ini dipengaruhi oleh perubahan sistem politik dari pemerintahan rezim Orde Lama ke rezim pemerintahan Orde Baru. Kurikulum ini menjadi citra sebagai produk Orde Lama. Kurikulum 1968 menekankan pada pendekatan organisasi materi
pelajaran menjadi kelompok pembinaan jiwa Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah jam pelajarannya 9 mata pelajaran. Titik berat kurikulum ini terletak pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 diarahkan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.
Pembaruan kelima terjadi dengan diterbitkannya Kurikulum 1975/1976. Kurikulum 1975 untuk SD/ SMP dan SMA sedangkan Kurikulum 1976 untuk Sekolah Keguruan yaitu SPG dan Sekolah Menengah Kejuruan (STM, SMEA). Komponen yang terkandung dalam Kurikulum 1975 memuat: 1) tujuan institusional baik SD, SMP, dan SMA/ SPG/ SMEA/ STM, yaitu tujuan yang hendak dicapai lembaga pendidikan dalam melaksanakan program pendidikannya, 2) struktur program kurikulum, yaitu kerangka
umum program pengajaran yang akan diberikan pada tiap sekolah, 3) garis-garis besar program pengajaran, yang didalamnya terdapat hal-hal yang berhubungan dengan program pengajaran.
Dalam perkembangannya Kurikulum 1975 dianggap sudah tidak relevan lagi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum 1984 lahir sebagai perbaikan atau revisi terhadap Kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri sebagai berikut: 1) berorientasi kepada tujuan pembelajaran (instruksional), 2) pendekatan pembelajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA), 3) materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral, 4) menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan, 5) materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa, 6) menggunakan pendekatan keterampilan proses.\
Pada kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pembelajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar, kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan Kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terdapat ciri-ciri yang menonjol dalam Kurikulum 1994,
antara lain sebagai berikut: 1) pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan, 2) pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/ isi), 3) Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia, 4) dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial, 5) dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/ pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, 6) pengajaran dari hal yang konkret ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks, dan 7) pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman siswa.
Usaha pihak pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus-menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagi menjadi Kurikulum 2002 sebagai respon terhadap perubahan
desentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 23 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kurikulum saat ini diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Kurikulum Berbasi Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, 2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman, 3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, 4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, dan 5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah
mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan. Esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi.
d. Peranan Kurikulum
Prof. Dr. Soedijarto, M.A. mengatakan bahwa sekolah merupakan lembaga sosial yang keberadaannya merupakan bagian dari sistem sosial negara bangsa. Ia bertujuan untuk mencetak manusia susila yang cakap, demokratis, bertanggung jawab, beriman, bertakwa, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, berkepribadian yang mantap dan mandiri. Soedijarto lebih jauh mengatakan bahwa pencapaian itu akan bisa diraih ketika ada suatu proses yang terencana dengan efisien, efektif, dan relevan. Agar tujuan tersebut tercapai maka dibutuhkan kurikulum yang kuat, baik secara infrastruktur maupun superstruktur (Yamin, 2012:36).
Menurut Hamalik (2007: 11- 13), terdapat tiga peranan kurikulum yang sangat penting jika dianalisis sifat dari masyarakat dan kebudayaan, dengan sekolah sebagai institusi sosial dalam melaksanakan operasinya, yaitu:
1) Peranan Konservatif
Salah satu tanggung jawab kurikulum adalah
mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial pada generasi muda. Dengan demikian, sekolah sebagai suatu lembaga sosial dapat mempengaruhi dan membina tingkah-laku siswa sesuai dengan berbagai nilai sosial dalam masyarakat, sejalan dengan peranan pendidikan sebagai suatu proses sosial.
2) Peranan Kritis atau Evaluatif
Kebudayaan senantiasa berubah dan bertambah. Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai dan memilih berbagai unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Dalam hal ini, kurikulum turut aktif berpatisipasi dalam kontrol sosial dan memberi penekanan pada unsur berpikir kritis. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dihilangkan, serta dimodifikasi dan perbaikan. Dengan demikian, kurikulum harus merupakan pilihan yang tepat atas dasar kriteria tertentu. 3) Peranan Kreatif
Kurikulum berperan dalam melakukan berbagai kegiatan kreatif dan kontruktif, dalam artian menciptakan dan menyusun suatu hal yang baru sesuai dengan
kebutuhan masyarakat di masa sekarang dan masa mendatang. Untuk membantu setiap individu dalam mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berpikir, kemampuan, dan keterampilan yang baru, yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
Ketiga peran kurikulum tersebut harus berjalan secara seimbang, atau dengan kata lain terdapat keharmonisan diantara ketiganya. Dengan demikian, kurikulum dapat memenuhi tuntutan waktu dan keadaan dalam membawa siswa menuju kebudayaan masa depan.
e. Fungsi Kurikulum
Dilihat dari sisi pengembang kurikulum (guru), kurikulum mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) fungsi preventif, yaitu mencegah kesalahan para pengembang kurikulum terutama dalam melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana kurikulum, 2) fungsi korektif, yaitu mengoreksi dan membetulkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pengembang kurikulum dalam melaksanakan kurikulum, dan 3) fungsi konstruktif, yaitu memberikan arah yang jelas bagi para pelaksana dan pengembang kurikulum untuk membangun kurikulum yang lebih baik lagi pada masa yang akan datang. Sementara, Hilda Taba (1962)
mengemukakan terdapat tiga fungsi kurikulum, yaitu 1) sebagai transmisi, yaitu mewariskan nilai-nilai kebudayaan, 2) sebagai transformasi, yaitu melakukan perubahan atau rekonstruksi sosial, dan 3) sebagai pengembangan individu (Arifin, 2011:12).
Menurut Alexander Inglis (dalam Hamalik 2009: 13-14) kurikulum memiliki berbagai fungsi sebagai berikut:
1) Fungsi Penyesuaian (The Adjustive of Adaptive Function) Individu hidup dalam lingkungan. Setiap individu harus mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan secara menyeluruh. Karena lingkungan sendiri senantiasa berubah dan dinamis, maka masing-masing individu pun harus mampu menyesuaikan diri secara dinamis pula. Di balik itu, lingkungan pun harus disesuaikan dengan kondisi peorangan. Di sinilah letak fungsi kurikulum sebagai alat pendidikan, sehingga bersifat well-adjusted.
2) Fungsi Integrasi (The Integrating Function)
Kurikulum berfungsi mendidik pribadi-pribadi yang terintegrasi. Oleh karena itu individu sendiri merupakan bagian dari masyarakat, maka pribadi yang terintegrasi itu akan memberikan sumbangan dalam pembentukan atau pengintegrasian masyarakat.
Kurikulum perlu memberikan pelayanan terhadap perbedaan antara setiap orang dalam masyarakat. Pada dasarnya, diferensiasi akan mendorong orang berpikir kritis dan kreatif, sehingga akan mendorong kemajuan sosial dalam masyarakat. Akan tetapi, adanya diferensiasi tidak berarti mengabaikan solidaritas sosial dan integrasi, karena diferensiasi juga dapat menghindarkan terjadinya stagnasi sosial.
4) Fungsi Persiapan (The Propaedeutic Function)
Kurikulum berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkauan yang lebih jauh, misal melanjutkan studi ke sekolah yang lebih tinggi atau persiapan belajar dalam masyarakat. Persiapan kemampuan belajar lebih lanjut ini sangat diperlukan, mengingat sekolah tidak mungkin memberikan semua yang diperlukan siswa atau apa pun yang menarik perhatian mereka.
5) Fungsi Pemilihan (The Selective Function)
Perbedaan dan pemilihan adalah dua hal yang saling berkaitan. Pengakuan atas perbedaan berarti memberikan kesempatan bagi seseorang untuk memilih apa yang diinginkan dan menarik minatnya. Untuk mengembangkan
berbagai kemampuan tersebut kurikulum perlu disusun secara luas dan bersifat flaksibel.
6) Fungsi Diagnostik (The Diagnostik Function)
Salah satu segi pelayanan pendidikan adalah membantu dan mengarahkan siswa untuk mampu memahami dan menerima dirinya, sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Hal ini dapat dilakukan jika siswa menyadari semua kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya melalui proses eksplorasi. Selanjutnya siswa sendiri yang memperbaiki kelemahan tersebut dan mengembangkan fungsi diagnostik kurikulum dan akan membimbing siswa untuk dapat berkembang secara optimal.
Berbagai fungsi kurikulum tadi dilaksanakan olah kurikulum secara keseluruhan. Fungsi- fungsi tersebut memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan siswa, sejalan dengan arah filsafat pendidikan dan tujuan pendidikan.
2. Kurikulum 2013
a. Konsep Dasar Kurikulum 2013
Mulyasa (2013:66-68) menjelaskan dalam rangka
penuh tantangan dan ketidakpastian, diperlukan pendidikan yang dirancang berdasarkan kebutuhan nyata dilapangan. Untuk kepentingan tersebut pemerintah melakukan penataan kurikulum. Kurikulum yang saat ini sedang dikembangkan adalah Kurikulum 2013 berbasis kompentensi. Kurikulum 2013 merupakan tindak lanjut dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang pernah diuji cobakan pada tahun 2004. KBK atau (competency based curriculum) dijadikan acuan dan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan untuk pengembangan berbagai ranah pendidikan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) dalam sebuah jenjang dan jalur pendidikan, khususnya pada jalur pendidikan sekolah.
Pada hakikatnya kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang merefleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi dapat diuraikan sebagai berikut: 1) pengetahuan (knowledge); yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, 2) pemahaman (understanding); yaitu kedalaman kognitif, dan afektif yang dimiliki oleh individu. 3) kemampuan (skill); adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. 4) nilai (value); adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri
seseorang. 5) sikap (attitude); yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan dari luar. 6) minat (interest); adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Berdasarkan analisis kompetensi diatas, kurikulum 2013 berbasis kompetensi dapat dimaknai suatu konsep kurikulum yang
menekankan peda pengembangan kemampuan melakukan
(kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.
b. Rasional Pengembangan Kurikulum 2013
Dalam Permendikbud No. 70 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan, Kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut: 1) tantangan internal, 2) tantangan eksternal, 3) penyempurnaan pola pikir, 4) penguatan tata kelola kurikulum, dan 5) penguatan materi.