• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Terhadap Pelaksanaan Program dan Kinerjanya

Dalam dokumen d adp 039732 chapter3 (Halaman 134-146)

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

B. Kajian Terhadap Program Implementas

5. Kajian Terhadap Pelaksanaan Program dan Kinerjanya

Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, tidak sedikit bentuk- bentuk pelayanan program Wajar Dikdas 9 tahun telah digulirkan oleh pemerintah Kabupaten Cianjur sebagai bentuk implementasi dari arah kebijakan yang telah ditetapkan, baik yang dilakukan melalui jalur pendidikan formal,

termasuk melalui jalur pendidikan alternatifnya seperti SMP Cerdas Seatap, SMP Pertbuka, maupu jalur pendidikan Non Formal.

Bersamaan dengan itu, tidak sedikit pula hasil telah dicapai sebagai dampak dari pelaksanaan program-program tersebut. Gambarannya, meskipun jumlah anak usia 7-15 tahun meningkat cukup berarti dari posisi tahun 2004 sebesar 388.773 menjadi 407.694 anak pada posisi tahun 2008, namun tren peningkatan anak yang bisa mengakses pendidikan jauh meningkat lebih besar lagi.

Peresisnya, jika jumlah anak yang bisa mengakses pendidikan dasar 9 tahun pada tahun 2004 tercatat sebanyak 316.755 orang, atau sekitar 81,7 persen dari jumlah total anak usia 7-15 tahun sebanyak 388.773 orang, maka pada tahun 2008 meningkat menjadi 377.745 anak, atau menjadi 92,6 persen dari total anak usia 7-15 tahun sebanyak 407.694 orang.

Implikasinya, jumlah anak usia 7-15 tahun yang tidak atau belum bisa mengakses pendidikan dar 9 tahun menurun dari 18,52 persen pada tahun 2004 menjadi 7,34 persen pada tahun 2008. Artinya, intervensi program yang telah dilakukan pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini, secara kuantitatif telah berhasil memberikan sumbangan dalam meningkatkan akses anak dari keluarga miskin dalam menikmati salah satu hak dasarnya, pendidikan dasar 9 tahun sebagaimana bisa dilihat dalam figur di bawah ini :

Tabel 5.2 Trend Peningkatan Anak Usia 7-15 Tahun yang Bisa Mengakses Pendidikan Wajar Dikdas 9 Tahun

URAIAN

TAHUN

2004 2005 2006 2007 2008

Jml Anak Usia 7-15 tahun (Usia Wajar Dikdas 9 Tahun

388.773 393.363 398.565 402.918 407.694 Jumlah total anak

usia 7-15 Tahun yang Tertampung

316.755 341.315 354.830 363.867 377.745

Jumlah anak usia 7- 15 tahun yang belum/ tidak Tertampung 72.018 52.048 43.735 39.051 29.949 Prosentase anak yang tidak tertampung 18,52 13,23 10,97 9,69 7,34

Dengan kata lain, ada pengaruh yang cukup berarti dari implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang dilakukan selama ini, paling tidak jika dilihat dari aspek kuantitatifnya sesuai dengan tujuan penelitian ini. Dampak lebih jauhnya, rata-rata lama sekolah (rate of year schooling) meningkat dari 6,42 tahun pada tahun 2004 menjadi 6,92 tahun pada tahun 2008. Dampak lebih jauhnya, Indeks Pembangunan Pendidikan (IP) sebagai salah satu indikator yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), cenderung terus mengalami peningkatan sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel berikut ini :

Tabel 5.3 Sumbangan kinerja Wajar Dikdas 9 tahun terhadap Peningkatan IPM Kabupaten Cianjur

Tahun RLS Melek Huruf Indeks

Pendidikan IPM 2004 6,42 96,51 78,61 66,18 2005 6,47 96,67 78,82 66,79 2006 6,60 96,79 79,19 67,44 2007 6,88 97,46 80,26 68,28 2008 6,92 92,66 80,48 68,72

Singkatnya, dilihat dari aspek peningkatan akses, baik yang dilakukan melalui pemberian pelayanan pendidikan melalui jalur formal maupun jalur non formal, termasuk didalamnya upaya peningkatan akses melalui jalur pendidikan alternatif, maka hasil kajian menunjukan bahwa implementasi kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun dalam lima tahun belakangan ini, dari 2004-2008, secara kuantitatif telah berhasil meningkatkan akses anak usia 7-15 tahun dalam menikmati pendidikan dasarnya.

Dilihat menurut jalur pendidikannya, hasil kaijian mengungkap bahwa jalur pendidikan formal reguler, yakni SD/MI dan SMP/MTs, cenderung dan tetap menjadi pilihan utama, yakni mencapai sekitar 91,27 persen dari total siswa usia 7-15 tahun yang ada pada tahun 2008. Bandingkan dengan jumlah siswa usia yang sama yang memilih jalur pendidikan formal non reguler seperti SMP Cerdas Seatap, SMP Terbuka dan sejenisnya serta jalur pendidikan non formal yang besarnya hanya mencapai 33.006 siswa, atau hanya sekitar 8,73 persen dari total jumlah siswa yang ada pada tahun 2008.

Itu semua menunjukan bahwa jalur pendidikan formal reguler, tetap merupakan pilihan pertama dan utama masyarakat, termasuk masyarakat miskin, dan karenanya memiliki nilai strategis dalam upaya peningkatan akses pendidikan dasar 9 tahun.

Dari hasil kajian pula terungkap bahwa dilihat dari tren peningkatannya dalam lima tahun terakhir ini, periode 2004-2008, prosentase peningkatan anak usia 7-15 tahun yang memanfaatkan atau mengikuti jalur pendidikan non reguler dan pendidikan non formal cenderung mengalami peningkatan yang jauh

lebih tinggi dibanding dengan prosesntase peningkatan anak yang mengikuti pendidikan dasar jalur non formal (paket A dan B) dan pendidikan formal reguler. Bahkan dari hasil kajian terungkap bahwa dilihat dari prosentasenya, jumlah siswa yang mengikuti pendidikan dasar melalui jalur formal justeru mengalami penurunan.

Tren itu terjadi bukan karena jalur pendidikan formal reguler yang kurang diminati, melainkan lebih oleh karena kemampuan daya tampung dibanding dengan peminatnya yang tidak seimbang. Dan ketika jalur pendidikan formal reguler itu kelebihan daya tampung, maka hampir bisa dipastikan kalau anak dari keluarga miskin dengan segala ketidakberdayaannya yang akan banyak tersisihkan.

Persisnya, jika prosentase siswa yang mengikuti pendidikan melalui jalur pendidikan formal reguler tercatat sebesar 97,67 persen dari juml;ah total siswa, maka pada prosentasenya pada tahun 2008 turun menjadi hanya 91,26 persen. Sebaliknya, prosentase siswa yang mengikuti jalur formal non reguler dan pendidikan non formal naik dari 2,33 persen pada tahun 2004 menjadi 8,73 persen pada tahun 2004.

Semua itu menunjukan bahwa tujuan penyediaan layanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan non formal dan non reguler yang disediakan pemerintah selama ini cukup efektif, atau paling tidak membantu, dalam upaya untuk menjaring anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung melalui jalur pendidikan formal reguler. Tabel di bawah ini sengaja diangkat untuk memperjelas perbedaan tren peningkatan prosentase pertahunnya :

Tabel 5.4 Perbandingan Trend Jumlah dan Prosentase Siswa usia 7-15 tahun yang Mengikuti Jalur Pendidikan Formal Reguler dengan Jalur Pendidikan Non Formal dan Formal Non Reguler

URAIAN TAHUN KETERANGAN 2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah Total Siswa Usia Wajar Dikdas 9 tahun 316.755 342.315 354.830 363.867 377.745 Dalam Periode lima tahun naik sebanyak 60.990 siswa Jumlah siswa yang mengikuti jalur pendidikan formal reguler 309.367 329.823 337.159 338.664 344.739 Dalam periode 5 tahun naik sebanyak 35.372 siswa

Prosentase 97,66 96,35 95,01 93,07 91,26 Turun sebesar 6,41 persen Jml Siswa yang mengkuti jalur pendidikan non formal dan formal non reguler 7.388 12.492 17.671 25.203 33.006 Dalam periode 5 tahun naik sebanyak 25.618 siswa

Prosentase 2,33 3,64 4,98 6,92 8,73 Naik sebesar 6,4 persen Dari hasil kajian terhadap temuan yang telah disajikan pada bab sebelumnya terungkap pula bahwa jalur pendidikan non formal melalui program PKBM-nya (Paket A dan B), serta program SMP Cerdas Seatap sebagai kelanjutan dari Program / Proyek PPK IPM yang dikembangkan Provinsi Jawa Barat, disamping program Wajar Dikdas 9 Tahun melalui jalur pendidikan pesantren, ternyata merupakan jalur pendidikan yang banyak diminati anak dari keluarga miskin dalam menyelesaikan pendidikan dasarnya.

Hal itu terjadi tidak saja karena program-program tersebut relatif banyak mendapatkan bantuan dukungan dari pemerintah, juga ada kecenderungan bahwa tidak sedikit anak tamatan SD atau MI di Kabupaten Cianjur yang karena motivasi orang tuanya, karena nilai budaya religious yang dianutnya, disamping

karena kemiskinannya, cenderung lebih banyak memilih jalur pendidikan pesantren ketimbang pendidikan umum.

Di situlah pula letak strategisnya bagi pemerintah Kabupaten Cianjur yang terkenal dengan ”kota santri”-nya ini untuk meningkatkan dan mengembangkan jalur pendidikan non formal di lingkungan pesantren. Dengan kata lain, jalur pendidikan yang mengintegrasikan Wajar Dikdas dengan sistem penyelenggaraan pendidikan di pesantren.

a. Pencapaian Dibanding Target

Namun dari hasil kajian terungkap pula bahwa meskipun berbagai bentuk program yang dilaksanakan selama ini telah berhasil membantu meningkatkan akses pendidikan dasar bagi anak dari keluarga miskin, tetapi jika dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan, maka hasilnya ternyata masih jauh dari yang diharapkan sebagaimana bisa ditelaah dalam tabel di bawah ini:

Figur 5.5 Pencapaian Dibanding Target yang Telah ditetapkan

NO INDIKATOR POSISI 2004 TARGET 2008 PENCAPAIAN 2008 KETERANGAN 1 Angka Partisipasi Kasar (APK) 76,03 104 % 87,67 Minus 16,33 point persen dibanding target 2 Angka Partisipasi Murni (APM) 68,99 96,40 % 83,87 Minus 12,53 point persen dibanding target

Jelasnya, dari target pencapaian APK tahun 2008 sebesar 104 persen, ternyata hanya bisa dicapai sebesar 87,67 persen, atau minus sebesar 16,33 poin persen. Demikian halnya untuk pencapaian APM. Dari target tahun

2008 sebesar 96,40 persen, ternyata hanya bisa dicapai sebesar 83,87 persen, atau minus sebesar 12,53 poin persen. Dengan kata lain, masih ada gap antara target dengan pencapaian.

Angka absolutnya, dari jumlah total anak usia 7-15 tahun tahun 2008 sebanyak 409.694 orang sebagaimana telah disajikan dalam bab sebelumnya, hampir 30.000 anak diantaranya ternyata belum bisa tersentuh dengan kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun yang digulirkan pemerintah Kabupaten Cianjur selama ini. Dan sesuai dengan hasil kajian, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besarnya - kalaupun tidak sampai seluruhnya- dari mereka yang belum tersentuh itu kebijakan itu adalah anak dari keluarga miskin dengan karakteristiknya yang begitu kompleks.

Itu semua menunjukan bahwa dari banyak aspeknya, target yang dibuat oleh Kabupaten Cianjur seperti telah dibahas dalam uraian sebelumnya menjadi tidak achievable dan bahkan tidak realistik jika dikaitkan dengan kemampuan dan kondisi riel pemerintah Kabupaten Cianjur dalam melakukan langkah intervensinya. Tegasnya, terget itu dibuat dan ditetapkan lebih banyak berdasarkan kepada upaya untuk mengejar besarnya target yang telah ditentukan pemerintah provinsi, bahkan mungkiun kepentingan politik ketimbang pertimbangan riel di lapangan. b. Beberapa Faktor Penyebab Tidak Tercapainya Target

Banyak faktor bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya target tersebut. Tidak saja karena menyangkut lemahnya tugas dan fungsi koordinasi dari Tim Wajar Dikdas yang telah dibentuk, atau karena kurangnya sosialisasi serta kurang akuratnya sasaran yang menjadi target

kebijakan sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tetapi secara substantif, program-program yang digulirkannya itu sendiri ternyata belum sepenuhnya bisa menjawab dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan riel yang dihadapi anak dari keluarga miskin.

Dari upaya peningkatan daya tampung sekolah yang dilakukan pemerintah ternyata sangat tidak sebanding dengan besarnya laju pertambahan penduduk usia Wajar Dikdas 9 tahun (7-15 tahun) sebagai akibat dari tinnginya laju pertumbuhan penduduk. Persisnya, seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya, rata-rata penambahan jumlah anak usia wajar Dikdas 9 tahun, anak usia 7-15 tahun, setiap tahunnya bertambah sebanyak 7.586 anak. Padalah pemerintah melalui penambahan ruang kelas baru (RKB) dan unit sekolah baru (USB), rata-rata setiap tahunnya hanya bisa menampung sebanyak 3.624 anak, atau hanya sekitar 47,7 persen dari kebutuhan.

Fakta itu sekaligus juga menunjukan bahwa meskipun target pencapaian Wajar Dikdas 9 Tahun sebagaimana yang telah ditetapkan dan dibahas di atas tidakterlalu tinggi, bahkan masih berada di bawah rata-rata pencapaian empat tahun sebelumnya, namun jika dibandingkan dengan kemampuan pemerintah untuk melayaninya, sebut pula kemampuan pemerintah untuk meningkatkan daya tampung sekolahnya, maka penentuan target itu menjadi sangat tidak realistik. Dengan kata lain, ada inkonsistensi antara kebijakan yang dibuat dengan implementasinya, antara rumusan dengan implementasinya. Tegasnya, ada gap atau diskrepansi antara pelayanan yang disediakan dengan tuntutan masyarakat.

Itulah faktor yang selama ini menjadi salah satu penyebab banyak anak dari keluarga miskin yang tidak tertampung dalam jalur pendidikan dasar formal. Itulah pula yang menjadi salah satu alasan mengapa jalur pendidikan non formal dan jalur pendidikan formal non reguler menjadi salah satu alternatif strategis, bahkan menjadi satu-satunya pilihan, dan karenanya cenderung meningkat sebagaimana bisa dilihat dalam tabel di atas. Itu pun, dalam realitasnya, tidak seluruh anak dari keluarga miskin, karena berbagai alasannya, tetap masih tidak bisa mengaksesnya.

Di pihak lain, meskipun selama ini juga tidak sedikit upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka meringankan beban anak dari keluarga miskin melalui pemberian berbagai bantuan seperti BOS, Beasiswa Miskin (BSM) dan sejenisnya, namun dari hasil penelitian terungkap bahwa besarnya jumlah bantuan itu ternyata masih jauh dari kebutuhan dan karenanya belum bisa menjawab sepenuhnya masalah yang dihadapi anak dari keluarga miskin.

Masalah lainnya, meskipun ada pos atau bagian dari dana BOS yang mestinya diberikan kepada anak dari keluarga miskin untuk membantu biaya transportasi yang memang sangat membutuhkannya, misalnya, namun tidak banyak sekolah yang bisa melakukannya karena sebagian besarnya habis untuk mendanai operasional sekolah. Padahal dari hasil penelitian terungkap, tidak sedikit anak dari keluarga miskin yang terpaksa drop out karena masalah besar atau mahalnya biaya transportasi ini.

Demikian halnya dengan sumber bantuan yang diberikan dalam bentuk program yang disebut dengan ”Bantuan Siswa Miskin” atau BSM,

selain jumlah kuota yang diberikan oleh pemerintah jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah anak miskin yang perlu mendapat bantuan – dan karenanya ada gap. Sekedar gambaran, dari jumlah siswa miskin tingkat SD yang diajukan untuk mendapatkan BSM pada tahun 2008 sebesar 15.725 anak, yang bisa dipenuhi tingkat provisnsi hanya sebanyak 7.832 anak, atau sekitar 50 persen dari kebutuhan. Parahnya, karena keterbatasan yang dimilikinya, kekurangan itu belum bisa dipenuhi oleh dukungan anggaran yang khusus disediakan pemerintah daerah.

Masalah lainnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa pengelolaannya pun, sebagian besarnya, tidak langsung diberikan kepada anak melainkan dilakukan oleh sekolah dengan alasan bahwa kalau diberikan kepada anak, dikhawatirkan tidak digunakan untuk membiayai kebutuhan pendidikannya. Yang memprihatinkan, dari hasil penelitian terungkap bahwa ketika dana itu dikelola oleh pihak sekolah pun, sebutlah dibelikan untuk pakaian seragam atau buku tulis, banyak murid dan orang tua yang mengeluh kalau bentuk-bentuk bantuan yang diberikan sekolah itu tidak selamanya sesuai dengan kebutuhan riel pendidikan yang dirasakan anak dari keluarga miskin.

Terbatasnya dukungan anggaran yang diberikan pemerintah dalam mendukung program akselerasi Wajar Dikdas 9 tahun ini merupakan persoalan tersendiri yang bisa diangkat untuk menjelaskan tidak tercapainya target. Sebagaimana secara deskriptif telah disajikan dalam bab sebelumnya, kendatipun besaran jumlah anggaran untuk mendukung program Wajar Dikdas 9 tahun ini mengalami peningkatan dari Rp. 19,9 Milyar pada tahun

2004 menjadi 62,6 milyar pada tahun 2008, namun sebagian besarnya lebih banyak digunakan untuk pembangunan fisik berupa rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru, termasuk pembangunan unit sekolah baru. Itu pun sebagian besarnya merupakan bantuan anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat (DAK) dan sumber anggaran provinsi Jawa Barat (Rolesharing).

Sebaliknya, dukungan anggaran untuk Wajar Dikdas 9 tahun yang disediakan pemetrintah Kabupaten Cianjur justeru mengalami penurunan dari Rp. 19,9 milyar pada tahun 2004 menjadi hanya Rp. 14,4 milyar pada tahun 2008. Itupun penggunaan anggarannya bukan diperuntukan untuk mendanai program-program yang secara langsung bisa membantu pendidikan anak dari keluarga miskin karena seagian besarnya diperuntukan untuk mendukung pelaksanaan Wajar Dikdas secara umum. Bahkan dari hasil kajian terungkap, tidak ada dukungan anggaran yang disediakan itu yang secara khusus dan langsung diperuntukan dalam rangka membantu meringankan biaya pendidikan bagi anak dari keluarga miskin.

Dilihat dari aspek supply side-nya, singkatnya, walaupun selama ini telah banyak program dilakukan pemerintah dalam rangka membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin, namun karena keterbatasan bantuan yang diberikannya, atau karena kekeliruan dalam mengelolanya, semua program itu belum mampu menjawab persoalan pendidikan yang dihadapi anak dari keluarga miskin. Dengan kata lain, masih ada gap atau diskrepansi antara layanan yang diberikan pemerintah dengan tuntutan riel anak dari keluarga miskin.

C. Kajian Terhadap Anak dari Keluarga Miskin yang Tidak Bisa

Dalam dokumen d adp 039732 chapter3 (Halaman 134-146)