• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TERHADAP PROGRAM TITIP DOA DI BAITULLAH

A. Hukum Titip Doa Dengan Upah

Manusia, betapapun kuatnya tetap saja adalah makhluk lemah yang memiliki ketergantungan. Manusia memiliki naluri cemas dan mengharap. Naluri itu tidak dapat dielakkannya. Kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa bersandar kepada makhluk, betapapun kuat dan berkuasanya, sering kali tidak membuahkan hasil.

Setelah terbukti ketidakmampuan makhluk yang diandalkan untuk memenuhi harapan atau menangkal kecemasan, naluri tersebut tidak pupus, karena ketika itu diakui sebelumnya atau tidak manusia tadi mengadah kepada sumber yang dirasakannya pada lubuk hatinya yang terdalam. Dia menengadah ke langit mengharap kiranya Allah memenuhi harapan dan menghilangkan kecemasannya.

Allah Swt membukakan pintu yang selebar-lebarnya bagi manusia untuk memohon kepadanya, bahkan Allah marah terhadap mereka yang enggan berdoa. Kemarahan itu disebabkan karena keengganan itu mengisyaratkan bahwa manusia tidak mengakui kelemahannya dan kebutuhannya kepada Allah, padahal semua manusia harus merasa membutuhkannya karena memang semua manusia membutuhkannya.

Dahulu, dan boleh hingga kini ada yang berpendapat bahwa doa tidak berguna. Mereka, antara lain berkata bahwa “kalau yang diharapkan oleh siapa yang berdoa telah diketahui Allah, dengan pengetahuannya yang menyeluruh itu, bahwa

harapan tersebut akan terjadi, maka apa gunanya doa?, bukankan ia pasti terjadi?. Sedangkan kalau dalam pengetahuannya harapan si pemohon tidak akan terkabulkan, maka doa pun hanya akan sia-sia.”1

Pandangan diatas tidaklah tepat. Bukan saja karena manusia tidak mengetahui pengetahuan Allah menyangkut perintahnya, sehingga dia tetap dituntut berusaha, dan salah satu usaha itu adalah doa. Di samping itu, manusia juga dituntut oleh agama dan bahkan nalurinya untuk hidup dalam harapan, sedangkan salah satu wujud dari kondisi kejiwaan seperti itu tercemin dalam doa. Dengan doa, seseorang yang beriman akan merasa lega, puas hati, dan tenang.

Salah satu tuntunan Al-Quran dan sunnah yang berkaitan dengan doa adalah berdoa untuk orang lain, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, karena berdoa untuk orang lain merupakan anjuran agama. Anjuran tersebut tercakup dalam beberapa ayat Al-Quran, diantaranya yaitu

 

 

Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka

berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah

beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.Wahai Rabb kami,

sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Q. S al-Hasyr: 10)



Artinya: “Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.”(QS. Muhammad: 19)

1

Mendoakan sesama muslin juga merupakan salah satu tanda eratnya persaudaraan dengan sesama muslim. Terlebih lagi mendoakan sesama muslim tanpa sepengetahuan mereka. Saat seorang muslim mendoakan muslim lainnya yang berada jauh dari tempatnya tanpa sepengetahuannya, dengan doa-doa yang baik, niscaya doa tersebut akan dikabulkan Allah dan doa tersebut juga akan mencakup orang yang membacanya sendiri.

Mendoakan sesama muslim tanpa sepengatahuan orangnya termasuk dari sunnah hasanah yang telah diamalkan turun-temurun oleh para Nabi Muhammad Saw dan juga orang-orang saleh yang mengikuti mereka. Mereka senang kalau kaum muslimin mendapatkan kebaikan, sehingga merekapun mendoakan saudaranya di dalam doa mereka tatkala mereka mendoakan diri mereka sendiri.2

Karenanya Allah dan Rasulullah Saw memotifasi kaum muslimin untuk senantiasa mendoakan saudaranya, sampai-sampai Allah mengutus malaikat yang khusus bertugas untuk mengaminkan setiap doa seorang muslim untuk saudaranya dan sebagai balasannya malaikat itupun diperintahkan oleh Allah untuk mendoakan orang yang berdoa tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits ini

ْ ع ا ْي س ىبأ ْب ك ْلا ْع ا ث ح س ي ْب ىسيع ا ر ْخأ ي ارْبإ ْب احْسإ ا ث ح

ْ ق لاق ءا ْر لا ْح ْ اك ا ْص ْب لا ْع ْبا ا ْص ْ ع رْيبّلا ىبأ

اعْلا ّحْلا ير أ ْ لاقف ءا ْر لا أ ْ ج ْ جأ ْ ف لّْ ىف ءا ْر لا ابأ ْي أف اّلا

ْ ع ْقف

.

ى لا إف رْي ب ا ل لا ْ اف ْ لاق

ل قي اك س ي ع ها ى ص

:

ْع

2http://www.arrahmah.com/read/2012/06/15/20956- keutamaan-mendoakan-kebaikan-untuk-sesama-muslim-tanpa-sepengetahuannya.html, diakses pada 15 Agustus 2014 pukul 12.29

رْي ب يخأ اع ا ك لك ك سْأر ْع باج ْس بْيغْلا رْ ظب يخأ ْس ْلا ءْر ْلا

لْث ب كل ي آ ب لك ْلا ك ْلا لاق

(

س ا ر

)

3

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus. Telah menceritakan kepada kami Abdu al-Malik bin Abi Sulaiman dari Abi Zubair dari Shafwan dan dia adalah anak dari Abdullah bin Shafwan. Doa seorang muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus. Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, “Amin dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu. (HR. Muslim)

Berhubung doa malaikat adalah mustajabah, maka kita bisa mengatakan bahwa mendoakan sesama muslim tanpa sepengetahuannya termasuk dari doa-doa mustajabah. Karenanya jika kita berdoa untuk saudara sesama muslim, tentu saja doa yang sama akan kembali kepada kita. Maka potensi dikabulkannya akan lebih besar dibandingkan mendoakan diri kita sendiri.

Bagaimana dengan memohon untuk didoakan?. Ada segelintir orang yang tidak menganjurkan hal ini. Konon Umar bin al-Khatab ra. pernah dimintai orang untuk mendoakan diri mereka, namun ditolak olah Umar bin al-Khatab. Arti dari penolakan tersebut sebenarnya sayyidina Umar ra. bermaksud menyingkirkan pengultusan diri beliau oleh orang lain, sekaligus mematahkan potensi ‘ujub (berbangga diri), bukannya tidak membenarkan bolehnya mendoakan orang lain,

3Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajāj ibn Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-afāq: t.th), juz. 8, hal. 86

karena nabi Muhamad Saw sendiri pernah meminta agar sayyidi Umar ra. mendoakan beliau ketika sayyidina Umar ra datang berpamitan guna melaksanakan umrah.4

Mendoakan orang lain atau meminta didoakan oleh orang lain dicakup oleh kandungan pesan Allah unruk saling membantu dalam kebaikan, sebagaimana tercantum dalam Q. S al-Maidah: 2

   

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q. S al-Maidah: 2) Juga dalam hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

ْ لاق ءا ْر لا أ ْ ع

:

ل قي اك س ْي ع ها ى ص لا إ

:

ءْر ْلا ْع

لاق ،رْي ب يخأل اع ا ك لك ك سْأر ْع ، باج ْس بْيغْلا رْ ظب يخأ ْس ْلا

ب لك ْلا ك ْلا

:

لْث ب كل ي آ

( س ا ر ) 5

Artinya:“Dari Ummu Darda’ dan Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa seorang muslim untuk

saudaranya (muslim lainnya) yang tidak berada di hadapannya akan dikabulkan oleh Allah. Di atas kepala orang muslim yang berdoa tersebut terdapat seorang malaikat yang ditugasi menjaganya. Setiap kali orang muslim itu mendoakan kebaikan bagi saudaranya, niscaya malaikat yang menjaganya berkata, “Amin

(semoga Allah mengabulkan) dan bagimu hal yang serupa. (HR. Muslim)

Meminta didoakan oleh orang lain atau menitipkan doa, bukan hal yang baru di Indonesia. Di kampung-kampung di beberapa daerah di Indonesia, menitip doa biasanya dilakukan bersamaan dengan peringatan hajatan atau haul ulama besar yang

4

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran tentang Zikir dan Doa, hal. 265

5Abu Hasan Muslim ibn Hajāj ibn Muslim al-Qasyīri, al-Jāmi’u Shahih Muslim, (Birut: Dar al-Jīl,t.th), juz. 8, hal. 86

ternama di daerah yang bersangkutan. Atau yang lebih seringnya ketika ada tetangga atau sanak saudara mereka yang akan pergi haji atau umrah.

Dari berbagai pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa menitip doa atau meminta di doakan oleh orang lain, merupakan hal yang bisa bahkan dianjurkan oleh nabi Muhammad Saw. Terlebih lagi ketika orang yang kita minta didoain itu, merupakan orang yang akan pergi ke Baitullah.

B. Analisis Terhadap Program Titip Doa di Baitullah

Program Titip Doa di Baitullah yang diselenggarakan oleh komunitas sedekah harian merupakan salah satu program yang mendapatkan banyak perhatian dari kalangan masyarakat hingga ulama-ulama di Indonesia. Banyaknya perhatian yang diterima, mengakibatkan banyak juga respon yang dikemukakan masyarakat maupun ulama, baik yang positif atau negatif.

DR. KH. Ali Mustafa Yaqub MA, imam besar masjid Istiqlal Jakarta, berpendapat bahwasannya mendoakan orang lain itu dibolehkan, bahkan dianjurkan dalam Islam, karena adanya ayat Al-Quran yang membahas mengenai hal itu.

Berdoa dalam Islam merupakan hal yang sangat dianjurkan, karena berdoa termasuk dalam wilayah ibadah. Bahkan doa merupakan intisari dari ibadah. Doa adalah tali penghubung antara seorang hamba dan Tuhannya. Dengan doa, seorang

hamba akan mengetahui hakikat dirinya sebagai seorang manusia yang lemah yang sangat membutuhkan Allah sebagai penolongnya.6

Doa merupakan sarana berdialog, bercengkerama, mendekatkan pada Allah, menyampaikan pujian, kerinduan, ucapan terima kasih atau bahkan keluhan, kebutuhan dan penderitaan yang sedang dirasakan. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa Program Titip Doa di Baitullah merupakan program yang sama dengan mengharapkan sedekah dari orang lain, sedangkan dalam Islam hanya tiga orang saja yang diperbolehkan untuk meminta sedekah.

Pertama, adalah orang yang mempunyai tanggungan namun bukan milik pribadi, seperti panitia masjid yang masih terlilit hutang ketika dalam pembangunan masjid. Kedua, yaitu orang yang terkena bencana alam sehingga membuat hartanya habis, namun ada saksinya. Ketiga, yaitu orang yang tidak memiliki fisik untuk bekerja. Namun, hanya boleh meminta sedekah untuk menyambungkan hidupnya saja. Diluar dari tiga golongan tersebut, maka tidak diperbolehkan meminta sedekah dari orang lain. Mengenai meminta upah dalam berdoa, ulama telah bersepakat bahwa hal itu tidak dibenarkan.7

Prof. Huzaimah Tahido Yanggo, wakil ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memaparkan bahwa meminta didoakan oleh orang lain itu boleh, itu

6Wawancara dengan Mustafa Yakub ( Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta), pada 29 Agustus 2014.

7

Wawancara dengan Mustafa Yakub ( Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta), pada 29 Agustus 2014.

merupakan hal yang biasa. Berdoa merupakan ibadah, mendoakan orang lain juga ibadah.

Setiap hari ketika selesai shalat, kita selalu mendoakan orang lain tanpa sepengetahuannya. Itu merupakan salah satu doa yang mustajab, karena malaikat akan mengaminkan doa tersebut dan meminta kepada Allah agar memberikan kebaikan kepada orang yang mendoakan, sebagaimana doanya kepada orang lain.8

Namun, berdoa dengan mengharapkan imbalan merupakan hal yang dilarang, karena tidak ada nilai keikhlasan dalam melakukan pekerjaan tersebut. Sedangkan ketika berdoa, yang lebih diutamakan adalah nilai keikhlasan.

Salah satu dosen fakultas syariah dan hukum, Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc, MA berpendapat bahwasannya meminta didoakan oleh orang lain merupakan hal yang diperbolehkan dalam Islam, bahkan sayyidina Umar bin Khatab pernah meminta untuk didoakan oleh sahabat ketika akan menunaikan ibadah haji.9

Dari ketiga narasumber diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwasannya berdoa untuk diri sendiri dan orang lain merupakan suatu pekerjaan yang sangat dianjurkan dalam agama Islam. Karena dengan berdoa maka manusia tersebut memperlihatkan sisi kekurangannya dimata Sang Khalik. Terlebih lagi ketika mendoakan saudara sesama muslim tanpa sepengetahuan mereka, maka doa yang dipanjatkan akan di aminkan juga oleh malaikat.

8Wawancara dengan Prof. Huzaimah Tahido Yanggo, pada pada 1 September 2014 9Hasil wawancara dengan Hj. Siti. Hanna, S. Ag., Lc, MA, pada 3 September 2014

Mengenai program Titip Doa di Baitullah ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa narasumber, diantaranya yaitu

Pendapat pertama dikemukakan oleh Prof. Hasanudin Af, MA, beliau berpendapat bahwa kalau melihat program Titip Doa di Baitullah tersebut maka ada unsur penentuan tarif didalamnya. Penetuan tarif dalam hal ibadah merupakan hal yang tidak diperbolehkan dalam Islam karena menyimpang dari ketentuan syariat.10

Pendapat kedua dikemukakan oleh Asroru Niam Sholeh selaku sekrtaris komisi Majelis Ulama Indonesia (MUI).Mengenai program Titip Doa di Baitullah, beliau berpendapat bahwa ujrāh yang diterima berbeda dengan ujrāhyang diterima oleh pendakwah (penceramah). Beliau berpendapat bahwasannya yang demikian itu merupakan dua hal yang berbeda. Penceramah merupakan jasa, sama halnya dengan konsultasi hukum Islam, konsultasi waris, konsultasi zakat, kegitan tersebut lebih pada segi keilmuan. Yang satu objeknya hal-hal yang bersifat duniawi dan yang satunya terkait dengan materi keagamaan.

Tetapi materi keagamaan pun tidak tunggal, materi keagamaan ada juga hal-hal yang terkait dengan profesional hukum. Seperti dalam perhitungan waris, merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian. Sama juga dengan mengajarkan Al-Quran. Pekerjaan-pekerjaan tersebut juga merupakan hal yang berkaitan dengan ibadah, namun penerimaan upah dalam hal ini yakni untuk menghargai keahliannya, profesionalitasnya maupun spending timenya (meluangkan waktu).

10Wawancara dengan Prof. Hasanudin, AF., MA, pada tanggal 6 Nopember 2014, Pukul 10.15 WIB

Sedangkan meminta didoakan tidak memerlukan keahlian khusus ataupun profesionalitas khusus dikarenakan semua hamba di muka bumi dapat memohon (berdoa) kepada Allah Swt. Selain itu, doa juga merupakansalah satu kegiatan ibadah yang tidak memerlukan waktu khusus untuk melaksanakannya walaupun sebenarnya terdapat waktu-waktu dan tempat-tempat yang lebih dianjurkanuntuk berdoa oleh Allah. Namun pada hakikatnya berdoa merupakan kegiatan yang berbasis kebajikan yang tidak bisa digunakan untuk mendapatkan nilai ekonomis.11

Pendapat ketiga yaitu dari ibu Hj. Sitti Hanna, S. Ag., Lc, MA mengenai program titp doa di Baitullah, beliau tidak membenarkan program tersebut. Ada beberapa alasan yang dipaparkan untuk menguatkan ketidakbolehan program tersebut.

Pendapat keempat dari KH. Dr. Ahmad Mukri Aji, MA., doa merupakan sebuah energi atau senjata. Jika di tarifkan maka itu menjadi matrelialisasi, apalagi jika suatu saat nanti ada gugatan karena doanya tidak dikabulkan. Itulah yang menjadi profesi yang berbahaya. Mengenai rogram ini, jelas tidak boleh karena telah menentukan tarif jika ingin di doakan di Baitullah.12

Dari beberapa pendapat narasumber diatas, maka penulis dapat menganalisi bahwa dalam program Titip Doa di Baitullah sebenarnya ada beberapa point yang perlu di bahas. Pertama, dari iklan yang disampaikan oleh komunitas sedekah harian,

11Hasil wawancara dengan Asroru Niam Soleh, pada 14 Oktober 2014 12Wawancara dengan KH. Dr. Ahmad Mukri Aji MA, pada 9 Nopember 2014

hal itu telah mencerminkan komersial doa. Karena dengan jelas menetapkan tarif ketika ingin didoakan di Baitullah.

Kedua, akan membuat masyarakat menganggap bahwa seakan-akan doa yang diijabahkan hanyalah doa yang dipanjatkan di Baitullah. Seluruh tempat yang ada di dunia ini merupakan bumi Allah. Dimanapun kita berdoa di bumi Allah, maka doa yang kita panjatkan akan didengar dan diijabah oleh Allah.

Ketiga, ditakutkan orang-orang akan beranggapan kalau doa yang dipanjatkan di Baitullah itu akan langsung diijabahkan, jadi ketika berdoa untuk diampuni segala dosanya maka akan terlepas segala dosa mereka. Nantinya praktek seperti ini dapat disamakan dengan penghapusan dosa yang dilakukan oleh orang-orang kristiani. Dengan membayar beberapa rupiah, meraka didoakan oleh pendeta di Roma maka seluruh dosanya diampuni.13 pendapat ini juga dikemukan oleh Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA dan Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc, MA dalam wawancara penulis dengan mereka.

Dengan demikian, penulis dapat menyimpulkan bahwa ada persamaan pendapat diantara mereka dalam menyikapi permasalahan ujrāh ‘alā ath-thā’āt. Mereka bersepakat bahwa hal tersebut tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Terlebih lagi jika menentukan tarif atas pekerjaan tersebut, seperti contohnya meminta didoakan di Baitullah dengan ketentuan harus membayar beberapa rupiah, itu merupakan pelanggaran dalam syariat Islam. Karena berdoa itu haruslah disertai rasa

13

keikhlasan dan berdasarkan keridhaan. Sedanagkan titip doa ke Baitullah dengan menentukan tarif itu tidak diperbolehkan, dan ujrāhnyapun tidak halal.

Berbeda dengan pengambilan upah atas pengamalan ayat Al-Quran, masih terdapat ikhtilaf di kalangan ulama mengenai hukum tersebut. Menurut mazhab Hambali, tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan seperti azan, iqamat, mengajarkan Al-Quran dll, karena haram baginya mengambil upah tersebut. Sementara para ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah dari mengerjakan Al-Quran dan ilmu pengetahuan karena hal tersebut termasuk bagian dari suatu pekerjaan yang berhak untuk mendapatkan imbalan tertentu.14

Hal senada juga dikemukakan oleh Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA dalam hasil wawancara penulis dengan beliau, Memang ada ikhtilaf di ulama empat mazhab. Imam syafi’i yang memperbolehkan dan memberi kelonggaran untuk mengambil upah karena beliau sendiri hidup dari belas kasih orang lain, tapi tidak berarti beliau memberikan kelonggaran yang sebebas-bebasnya. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang tidak membolehkan, yang di larang oleh Imam Abu Hanifah yaitu upah yang diperoleh dari pekerjaan (berdakwah) yang tidak membutuhkan banyak waktu.15

KH. Dr. Ahmad Sudirman Abbas MA berpendapat bahwa dalam prespektif syariat Islam yang berkaitan dengan muamalat (hubungan sosial), ketika ada jasa atau

14Al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hal. 264-265

profesi yang bisa dinilai secara kualitatif bahkan kuantitatif maka itu legal (halal) ketika jasa tersebut di nilai, misalnya seperti jasa seorang ahli. Namun ketika hal tersebut berhubungan dengan ibadah, Rasulullah Saw dalam beberapa statement haditsnya mempersilahkan untuk mengambil nilai materi dari jasa yang berkaitan dengan ibadah khususnya mengajarkan Al-Quran. Ilmu agama yang berhubungan sebagai ta’zim li al-‘ilmi (penghargaan kepada ahli agama/orang yang mengajarkan ilmu fikih, hadits) itu sah-sah saja. Namun jika itu dijadikan profesi dengan adanya penentuan tarif maka itu tidak benar karena sudah dimatrelialisasikan. Namun jika ada interaktif dengan saling rela diantara keduanya itu tidak bermasalah.16

Dari berbagai uraian dan pendapat yang telah dikemukakan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam Program Titip Doa di Baitullah ada beberapa hal yang tidak dibenarkan berdasarkan ajaran agama Islam.

Pertama, program tersebut merupakan program yang mengkomersilkan ayat Al-Quran. Ini karena penentuan tarif yang ditetapkan oleh komunitas sedekah harian yang tertera dalam iklan. Dari iklan yang dipublikasikan, disampaikan bahwa masyarakat yang ingin didoakan harus membayar Rp.102.014 dan mengirimkan doa yang ingin disampaikan ke email tertentu.

Dalam Islam, komersialisasi ayat-ayat Al-Quran merupakan hal yang dilarang. Karena adanya berbagai penjelasan dalam Al-Quran dan hadits yang menguatkan hukum keharamannya.

16

Kedua, adanya unsur penipuan atau ketidakjelasan. Kerana kita tidak mengetahui apakah doa yang dititipkan akan benar-benar dipanjatkan di Baitullah atau tidak.Yang jadi permasalahannya adalah, bagaimana cara mereka memanjatkan doa-doa yang dititipkan tersebut, jika yang menitipkan banyak dan setiap orang menitipkan doa yang banyak juga. Akankah doa-doa yang disampaikan akan dipanjatkan dengan sungguh-sungguh?, dikarenakan doa merupakan ibadah dan intisari dari ibadah, sehingga ketika ingin bermunajat kepada Allah Swt haruslah disertai dengan khusyuk.

Sebagai sebuah media komunikasi terbaik dan wadah penyampaian keluh kesah serta permohonan kepada Allah yang Maha Agung, doa memiliki aturan dan etika (adab) tersendiri. Hal ini dimaksudkan agar menjadi jalan kemudahan untuk terkabulnya permohonan dan apa-apa yang diharapkan. Dalam hal ini, Ja’far Ash -Shidiq pernah mengingatkan “hati-hatilah memperhatikan adab dalam berdoa, curahkan perhatianmu kepada zat yang kamu ajak bicara, bagaimana kamu bermohon kepadanya dan untuk tujuan apa meminta pertolongan.”17

Diantara adab berdoa adalah, hendaknya memperhatikan ketenangan dan ketentraman hati agar dapat berkonsentrasi, kebeningan dan kejernihan hati dalam berdoa juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Menurut Ali ibn Abi Thalib, doa sesungguhnya merupakan kunci kebahagiaan. Oleh karena itu, doa yang paling

17M. Iqbal Irham, Panduan Meraih Kebahagiaan Menurut Al-Quran, (Bandung, Mizan Media Utama, 2011), hal. 156

baik adalah doa yang keluar dari lubuk hati yang terdalam dan dengan hati yang penuh keikhlasan.

Ini merupakan salah satu alasan kenapa sebaiknya kita berdoa sendiri tanpa menitipkan. Karena yang mengetahui kesusahan yang kita hadapi adalah diri kita sendiri, dengan berdoa sendiri maka apa yang kita inginkan akan tersampaikan dengan benar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Hj. Siti Hanna M. Ag., Lc, MA dalam wawancara penulis dengan beliau.

Ketika berdoa kepada Allah, berarti kita sedang dalam masalah. Dan yang mengetahui permasalah kita hanyalah diri kita sendiri. Ketika meminta didoakan oleh orang lain, maka inti dari doa yang disampaikan tidak tersampaikan dengan benar. Hal ini dikarenakan mereka tidak merasakan kesusahan yang sedang kita alami.

Sedangkan salah satu syarat doa yang diterima oleh Allah adalah doa yang dipanjatkan dengan penuh harap akan mendapatkan kebaikan, dan dengan merendakan diri dihadapan Allah. Harus dipanjatkan dengan khusuk, rendah hati, dan harus menampakkan kemiskinan dan kerendahan kita di hadapan Allah Swt.

Ketiga, akan menghancurkan nilai-nilai kebaikan dalam Islam. Dalam ajaran agama Islam, untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain bukan hanya tujuan yang harus diperhatikan, namun cara dan prakteknya juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa program yang di lakukan oleh komunitas sedekah harian merupakan program yang tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan syariat Islam.

Namun, dari hasil wawancara penulis dengan presiden komunitas sedekah harian, dapat disimpulkan bahwa tujuan sebenarnya dari program Titip Doa di Baitullah adalah untuk menjaring donatur baru dan mencari dana untuk menjalankan

Dokumen terkait