• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Program Titip Doa di Baitullah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Program Titip Doa di Baitullah"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

DiajukanUntukMemenuhi Salah SatuSyaratMemperoleh GelarSarjanaSyariah (S.Sy)

Oleh :

Dian KamalsariOhorela

NIM

:

1110043100044

Pembimbing

Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA NIP.95008171989031001

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

iii

LEMBAR PERYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa;

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persayaratan memperoleh gelar strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua Sumber saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta: 9 Desember 2014 M

16 Shafar 1436 H

(5)

iv ABSTRAK

Dian Kamal Sari Ohorela, NIM: 1110043100044, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Program Titip Doa Di Baitullah, program Studi perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M.

Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan mengenai hukum dari program yang dilaksanakan oleh Komunitas Sedekah Harian yakni mencari donatur dengan cara mendoakan orang lain di Mekkah namun dengan syarat adanya ujrah (upah) dengan nominal tertentu yang harus dibayar oleh donatur dan dikirim ke no rekening yang telah disediakan oleh komunitas.

Tujuan dari penelitian ini adalah agar mukallaf memahami mengenai hukum dari komersialisasi (jual beli) ayat Al-Quran. Selain itu untuk mengetahui hukum pengambilan ujrah (upah) dari pekerjaan yang berhubungan dengan ketaatan seperti mengajarkan ayat-ayat Al-Quran, shalat, adzan dll. Juga untuk mengetahui tempat-tempat yang diijabahkan doanya langsung tanpa adanya penghalang di muka bumi ini, walaupun pada hakikatnya dimana pun kita berdoa akan di dengar dan di ijabah oleh Allah Swt.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan menggunakan jenis penelitian analisis komperatif yakni metode analisis dengan perbandingan antara Al-Qur’an, Hadis, pendapat para ulama’ dan cendekiawan muslim yang mengkaji tentang permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini, serta penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengambil referensi pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah ini.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dalam penulisan skripsi ini ialah bahwa tidak ada ikhtilāf di kalangan ulama mengenai keharaman menukarkan ayat Al-Quran dengan dunia, namun dalam pengambilan ujrah (upah) terdapat ikhtilāf mengenai hukumnya.

(6)

v

ِميِحَّلٱِنَٰمۡحَّلٱِهَّلٱِمۡسِب

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa Allah Swt, yang telah memberikan nikmat dan petunjukNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Berkat rahmat dan hidayah dari Allah Swt, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP PROGRAM TITIP DOA DI BAITULLAH. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak kesulitan dan hambatan untuk mencapai data dan refrensi. Namun berkat kesungguhan hati dan ban tuan dari berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak JM. Muslimin, MA, Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

vi

3. Dr. H. Abd. Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA,selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberi arahan, saran serta petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah, khususnya kepada Dr. H. Taufiki, M. Ag dan Fahmi Ahmadi, S. Ag yang selalu memberikan suport dan dorongan di awal penulisan skripsi, semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah Swt.

5. Seluruh staf dankaryawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik dikala penulis mengumpulkan data dan materi skripsi.

6. Kepada keluarga tercinta terutama kepada ayahandatercinta (M. Kamal Nur Ohorella) yang tiada pernah berhenti untuk selaluberdoa serta memberi nasihat dan motivasi kepada penulis sehinggaskripsi ini selesai.

7. Sahabat dan rekan mahasiswa PMH (Perbandingan Mazhab Hukum) angkatan 2010, yang selalu memberikan semangat, dukungan, saran dan masukan kepada penulis. Terima kasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini dalam suka dan duka. Bagi penulis itu adalah pengalaman berharga yang takkan pernah terlupakan.

(8)

vii

Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah senantiasa meridhoi setiap langkah kita. Aamin

Jakarta: 9 Desember 2014 M

16Shafar1436 H

(9)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

LEMBAR PERNYATAAN ...iii

ABSTRAK ...iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI...viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan PerumusanMasalah ... 11

C. Tujuandan ManfaatPenelitian ... 11

D. MetodePenelitian ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II: JUAL BELI AYAT AL-QURAN DAN UJRAH(UPAH)ATAS PENGAMALANNYA SERTA GAMBARAN UMUM MENGENAI BAITULLAH A. Jual Beli Ayat Al-Quran ... 16

1. Pengertian Jual Beli ... 16

2. Dasar Hukum Jual Beli ... 19

3. Rukun dan Syarat Jual Beli ... 20

4. Hukum Jual Beli Ayat Al-Quran ... 26

B. Ujrah Atas Pengamalan Ayat Al-Quran ... 29

1. Pengertian Ujrah ... 29

2. Dasar Hukum Ujrah ... 31

3. Rukun dan Syarat Ujrah ... 31

(10)

ix

C. Gambaran Umum Mengenai Baitullah ... 38

1. Profil Baitullah ... 38

2. Tempat-tempat Mustajab di Baitullah ... 40

BAB III : TINJAUN UMUM TENTANG KOMUNITAS SEDEKAH HARIAN A. Profil Komunitas Sedekah Harian ... ... . 45

1. Latar Belakang Komunitas ……… 45

2. Visi dan Misi Komunitas ... 49

B. Gambaran Umum Program Titip Doa di Baitullah ... ... . 50

1. Latar Belakang Program ...50

2. Visi dan Misi Program……… 52

BAB IV : KAJIAN TERHADAP PROGRAM TITIP DOA DI BAITULLAH A. Hukum Titip Doa Dengan Ujrah... 62

B. Analisis Terhadap Program Titip Doa di Baitullah ... 67

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 80

B. Saran-saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tidak dapat disangkal bahwa era dewasa ini adalah era kegelisahan. Problem hidup terlihat dan dirasakan di mana-mana, bukan saja karena kebutuhan meningkat, tetapi juga karena ulah sementara pihak mengusik kedamaian dengan berbagai dalih atau menawarkan aneka ide yang saling bertentangan dan membingungkan.

Ditambah dengan semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, membantu manusia untuk mendapatkan dan memenuhi sesuatu keperluan hidupnya, terutama keperluan yang bersifat material. Dalam hal moril, ilmu pengetahuan dan teknologi belum, atau dapat dikatakan tidak akan mampu membantu manusia, karena memang hal-hal yang bersifat moril dan batiniah berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kenyataannya, tidak ada manusia yang terlepas dari harapan dan keinginan untuk mendapatkan bantuan dari orang lain atau dari Yang Maha Kuasa.

(12)

Sebagai seorang muslim, meyakini bahwa sumber segala kekuatan dan kekuasaan itu ada pada Allah Swt. Allah menyuruh manusia supaya bermohon kepadanya, dan berjanji akan mengabulkan permohonan (doa) hambanya.1

Dengan zikir dan doa, optimisme lahir, dan itulah yang dapat mengusik kegelisahan, karena itu dewasa ini sekian banyak pakar, bahkan yang hidup di Eropa dan Amerika sekalipun menganjurkan umat beragama untuk kembali mengingat Tuhan.

Doa dalam pengertian pendekatan diri kepada Allah dengan sepenuh hati, banyak juga dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Quran. Bahkan Al-Quran banyak menyebutkan pula bahwa tadharu’ (berdoa dengan sepenuh hati) hanya akan muncul bila disertai keikhlasan.

Doa merupakan kesempatan manusia mencurahkan hatinya kepada Tuhan, menyatakan kerinduan, ketakutan dan kebutuhan manusia kepada Tuhan. Dengan demikian, doa dipanjatkan hanya kepada Allah Swt, tidak kepada yang lain. Walaupun, misalnya ada orang yang berdoa di kuburan, doanya tetap harus ditujukan kepada Allah Swt, tidak boleh kepada orang yang ada dalam kubur.2

1

Zakiah Darajat, Doa Menunjang Semangat Hidup, ( Jakarta: CV Ruhama, 1996), Cet. 6, hal. 15

2

(13)

Doa merupakan bagian dari zikir. Ia adalah permohonan. Setiap zikir kendati dalam redaksinya tidak terdapat permohonan, tetapi kerendahan hati dan rasa butuh kepada Allah Swt yang selalu menghiasi pezikir, menjadikan zikir mengandung doa.3

Doa pada mulanya berarti permintaan yang ditujukan kepada siapa yang dinilai oleh yang meminta mempunyai kedudukan dan kemampuan yang melebihi kedudukan dan kemampuannya. Karena itu, doa bukan permintaan yang ditujukan kepada siapa yang setingkat dengan yang memohon. Konteksnya berseberangan dengan perintah. Sebab, walaupun perintah pada hakikatnya merupakan permintaan, tetapi ditujukan kepada siapa yang kedudukannya lebih rendah dari pada yang meminta.

Menurut istilah, doa ialah memohon kepada Allah Swt yang dirumuskan dalam satu rangkaian kalimat yang diucapkan oleh hamba dengan penuh harap akan mendapatkan kebaikan dari sisinya, dan dengan merendahkan diri kepadanya untuk memperoleh apa yang diinginkannya.4

Doa mengandung sejumlah manfaat. Di antaranya ialah untuk memohon keselamatan di akhirat, yaitu masuk surga dan terhindar dari api neraka. Keselamatan di akhirat harus diminta kepada Allah Swt, karena taat kepadanya yaitu menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya tidak otomatis membuat orang itu masuk surga.

3

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran tentang Zikir & Doa, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 177

4

(14)

Doa juga bermanfaat untuk meminta kelancaran urusan duniawi, seperti memperoleh pekerjaan, rezeki, kedudukan, bisnis, studi, jodoh, keturunan, dan sebagainya. Manusia dianjurkan untuk selalu berdoa memohon kemudahan urusan-urusan duniawi itu.

Selain itu, doa juga bermanfaat untuk memperoleh ketenangan pikiran, perasaan, hati atau jiwa. Makin banyak seseorang berdoa, maka makin tenang pula pikiran dan hatinya. Ketenangan hati itu dapat dilihat pada terbentuknya sikap-sikap sufistik pada diri orang yang banyak berdoa, seperti sabar, ikhlas, ridhā,qana’ah, syukur, jujur, optimis, istiqāmah, dan tawakkal. Kemudian dari ketenangan jiwa itu orang akan hidup sehat dan bahagia, sehingga dapat dikatakan bahwa doa bermanfaat untuk mewujudkan hidup sehat dan bahagia.

Sejatinya, berdoa merupakan salah satu kebutuhan psikologis setiap manusia. Sebagaimana sudah menjadi hukum alam, kehidupan manusia disertai berbagai kebutuhan. Maka Islam menjadikan berdoa sebagai mekanisme memohon, hanya kepada Allah Swt. Memohon untuk keluar dari belitan kebutuhan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.5

Bagi seorang muslim, doa merupakan senjata pamungkas untuk menyelesaikan berbagai problematika kehidupan. Dalam mencari solusi atas sebuah persoalan, seorang muslim biasa menggunakan dua saluran, yaitu saluran vertikal dan horizontal. Saluran vertikal berasal dari bumi (manusia) ke langit (Allah Swt) yang

5

(15)

dilakukan melalui doa atau istijābah. Dari langit, Allah kemudian menurunkan pengabulan-Nya ke bumi sebagai jawaban yang biasa disebut ijābah. Sedangkan saluran horizontal dilakukan melalui upaya penyelesaian masalah dengan mengerahkan seluruh kreativitas dan usaha maksimal untuk membuka persoalan yang dihadapi. Terkabul tidaknya sebuah doa bukan hanya ditentukan oleh cara pengucapannya, malainkan juga waktu, tempat dan muatan doa itu sendiri.6

Menurut pakar kesehatan jiwa, doa mengandung unsur psikoterapeutik yang mendalam. Terapi psikoreligius ini tidak kalah pentingnya dengan psikoterapi psikiatrik, karena mengandung kekuatan spiritual yang membangkitkan rasa percaya diri dan harapan sembuh.7

Doa merupakan intinya ibadah, karena dengan berdoa berarti telah menghadapkan segala urusan kepada Allah, dan doa merupakan pernyataan tentang kelemahan manusia di hadapan kekuasaan Allah Swt, serta merupakan cara untuk mengingat Allah Swt.8

Saat berdoa, ada beberapa adab yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu9 selalu menjaga makanan yang halal, jika memungkinkan menghadap ke arah kiblat, memperhatikan waktu dan keadaan yang memiliki keutamaan, mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan pundak, hendaknya dimulai dengan memuji Allah dan

6

Wawan Shafwan Shalehuddin, Ada Apa Dengan Doa Kita, (Bandung: Tafakur, 2005), hal. v

7

Sudirman Tebba, Meditasi Sufistik, hal. 105

8

M. Mutawalli Sya’rawi, Doa Yang Dikabulkan, (Jakarta: Pustaka Al kautsar, 1991), hal. 24 9

(16)

membaca shalawat kepada Rasulullah,berdoa dengan hati yang khusuk, rendah hati, menampakkan kemiskinannya dengan suara lirih, berdoa yang tidak mengandung unsur dosa atau untuk memutuskan hubungan, dan jika ingin berdoa untuk orang lain, hendaknya dimulai dengan doa untuk diri sendiri.

Agar doa mudah terkabul, dalam diri setiap manusia harus ada iman yang teguh, sekuat tenaga ia berusaha menjaga agar kepercayaannya kepada Allah tidak goyah. Keimanannya itu harus terwujud dalam sikapnya yangbaik terhadap sesama dan menjalankan perintah Allah dengan hati yang ikhlas.10

Allah menghendaki manusia berdoa kepadanya untuk setiap kebutuhannya, baik kecil maupun besar. Karenanya, pertemuan manusia dengan Tuhannya menjadi lebih intensif ketimbang pertemuannya dengan orang-orang dekat disekitarnya.11

Tuhanlah sumber keberadaan dan pemilik semua yang berhubungan dengan alam ini.Salah satu tuntutan Al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan doa adalah berdoa untuk orang lain, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menunjuk pada hal tersebut. Yang terpenting didoakan adalah kedua orang tua. Disamping berdoa untuk kedua ibu bapak, kaum muslimin juga merupakan orang-orang lain yang perlu didoakan. Berdoa buat orang lain merupakan anjuran agama.

Mendoakan orang lain atau meminta didoakan oleh orang lain dicakup oleh kandungan pesan Allah untuk saling membantu dalam kebaikan. Mendoakan orang

10

M. Arifin Ilham, Doa Ajaran Sahabat Rasulullaah, ( Jakarta: Hikmah, 2005), hal 7-8.

11

(17)

lain, lebih-lebih tidak di depannya, mengundang malaikat untuk mengaminkan sambil berdoa kiranya yang mendoakan orang lain itu memperoleh hal serupa dengan doanya.

Salah satu tanda eratnya persaudaraan dengan sesama muslim adalah mendoakan muslim lainnya yang tidak berada di hadapannya, atau tanpa sepengetahuannya. Saat seorang muslim mendoakan muslim lainnya yang berada jauh dari tempatnya, tanpa sepengetahuannya, dengan doa-doa yang baik, niscaya doa tersebut akan dikabulkan Allah dan doa tersebut juga akan mencakup orang yang membacanya sendiri. Sebagaimanasabda Rasulullah

ْ ع رْيبّلا ىبأ ْ ع ا ْي س ىبأ ْب ك ْلا ْع ا ث ح س ي ْب ىسيع ا ر ْخأ ي ارْبإ ْب احْسإ ا ث ح ْ جأ ْ ف لّْ ىف ءا ْر لا ابأ ْي أف اّلا ْ ق لاق ءا ْر لا ْح ْ اك ا ْص ْب لا ْع ْبا ا ْص ْ ع ْقف اعْلا ّحْلا ير أ ْ لاقف ءا ْر لا أ ْ ج . ى لا إف رْي ب ا ل لا ْ اف ْ لاق س ي ع ها ى ص ل قي اك : لاق رْي ب يخأ اع ا ك لك ك سْأر ْع باج ْس بْيغْلا رْ ظب يخأ ْس ْلا ءْر ْلا ْع لْث ب كل ي آ ب لك ْلا ك ْلا “ ( س ا ر ) 12

Artinya: “Dari Ummu Darda’ dan Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa seorang muslim untuk

saudaranya (muslim lainnya) yang tidak berada di hadapannya akan dikabulkan oleh Allah. Di atas kepala orang muslim yang berdoa tersebut terdapat seorang malaikat yang ditugasi menjaganya. Setiap kali orang muslim itu mendoakan kebaikan bagi saudaranya, niscaya malaikat yang menjaganya

berkata, “Amin (semoga Allah mengabulkan) dan bagimu hal yang serupa.” (HR.

Muslim)

Hadits ini merupakan sebuah modal berharga untuk banyak mendoakan kebaikan bagi saudara-saudara muslim lainnya. Selain mendapatkan pahala mendoakan mereka, juga akan mendapatkan kebaikan dari doa yangdipanjatkan

12

Abu al-Hasan muslim ibn al-Hajāj ibn Muslim al-Qasyirī, al-Jāmi’u al-Shahīh al-Musma

(18)

tersebut. Mendoakan kebaikan untuk sesama muslim sama halnya dengan mendoakan kebaikan untuk diri sendiri, sebagaimana dijelaskan di akhir hadits di atas. Malaikat mengamini doa kita dan Rasulullah Shallallāhu ‘alahi wa sallam menjamin bahwa Allah Ta’ala akan mengabulkannya.13

Dengan demikian, doa bukan hanya tenggelamnya seseorang ke dalam zat illahi. Namun, doa adalah penyingkap tabir semua kehidupan yang baik, dari sisi pemikiran maupun tindakan. Doa adalah gerakan yang menggugat kelemahan manusia agar meraih spiritualitas yang tinggi dan penuh pengakuan dosa kepada Allah, untuk mengubahnya menjadi kekuatan kepribadian manusia yang bersumber dari kekuatan Allah Swt.14

Namun bagaimana hukumnya mendoakan orang lain dengan mengharapkan imbalan tertentu. Apakah hal tersebut dapat dihukumi haram, makruh atau mubah?. Dikarenakan adanya berbagai referensi yang menyatakan tentang hukumnya. Fuqaha yang menyatakan bahwasannya boleh mendoakan orang lain dengan mengharapkan imbalan dapat dikategorikan sebagai upah dalam mengajarkan Al-Quran, hal ini di perbolehkan dengan merujuk pada hadits nabi

ضر يعس بأ ْ ع لك ْلا بأ ْ ع رّْب بأ ْ ع ا ع بأ ا ث ح ا ْع لا بأ ا ث ح

س ْي ع لا ى ص لا احْصأ ْ ر طْا لاق ْع لا

:

ا رفاس رْس ف

رعْلا ءايْحأ ْ ح ى ع ا لّ ى ح

˛

ْ فاض ْساف

˛

ْ

يضي ْ أ اْ بأف

˛

يس ف

13

Http://www.google.com/read/2012/06/15/20956/keutamaan mendoakan-kebaikan-untuk-sesama-muslim-tanpa-sepengetahuannya.html#sthash.qtlupkBs.dpuf, diakses pada 10 februari 2014 pukul 19:35.

14

(19)

حْلا كل

˛

ءْ ش ل ب ل اْ عسف

˛

ءْ ش ع ْي ال

˛

ْ ضْعب لاقف

:

طْ رلا ءال ْ ْي أ ْ ل

ا لّ ي لا

˛

ءْ ش ْ ضْعب ْع

ي ْ أ عل

˛

ا لاقف ْ ْ أف

:

ا يس إ طْ رلا ا يأ اي

ل

˛

ع ْي ال ءْ ش ل ب ل ا ْيعس

˛

ءْ ش ْ ْ ْ حأ ْع ْل ف

?

ْ ضْعب لاقف

:

ْ ع

قْرأل إ لا

˛

ا يض ْ ف ْ كا ْض ْسا ْ قل لا ْ ل

˛

ا عْج ى ح ْ ل ارب ا أ ا ف

ا ْعج ا ل

˛

غْلا ْ عيطق ى ع ْ حلاصف

.

ْي ع ل ْي طْاف

˛

أرْقي

)

ر ل ْ حْلا

ي لاعْلا

(

لاقع ْ طّ ا أ ف

˛

ق ب ا ّْ ي طْاف

.

لاق

:

لا ْ ْعج ْ ْ فْ أف

ْي ع ْ حلاص

˛

ْ ضْعب لاقف

:

ا سْقا

˛

ىقر لا لاقف

:

ى ص لا ْأ ى ح ا عْ ال

اك لا ل ركْ ف س ْي ع لا

˛

ا ر ْأي ا رظْ ف

.

لا ى ص لا ل سر ى ع ا قف

س ْي ع

˛

ل ا رك ف

˛

لاقف

:)

يْقر ا أ كيرْ ي ا

؟

(

لاق ث

:)

ْ ْصأ ْ ق

.

ا سْقا

ا ْ س ْ ع ل ا برْضا

(

س ْي ع لا ى ص لا ل سر كحضف

.

لا ْع بأ لاق

ا ب لك ْلا ابأ ْع س رّْب بأ ا ث ح ْعش لاق

(

رير با ا ر

)

15

Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Abu An-Nu’man telah menceritakan kepada kami

Abu ‘Awanah dari Abu Bisyri dan Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id radiallahu ‘anhu berkata: Ada rombongan orang dari sahabat Nabi SAW yang bepergian

dalam suatu perjalanan hingga ketika mereka sampai di salah satu perkampungan Arab, mereka meminta kepada penduduk setempat agar bersedia menerima mereka sebagai tamu penduduk tersebut, namun penduduk menolak. Kemudian kepala suku kampung tersebut terkena sengatan binatang, lalu diusahakan segala sesuatu untuk menyembuhkannya namun belum berhasil. Lalu diantara mereka ada yang brekata, coba kalian temui rombongan itu, semoga ada diantara mereka yang memiliki sesuatu. Lalu mereka mendatangi rombongan dan berkata: Wahai rombongan, sesungguhnya kepala suku kami telah digigit binatang dan kami telah mengusahakan pengobatannya namun belum berhasi. Apakah diantara kalian yang dapat menyembuhkannya?, maka berkata seseorang dari rombongan: Ya, demi Allah aku akan mengobati namun demi Allah kemarin kami meminta untuk menjadi tamu kalian namun kalian tidak berkenan maka aku tidak akan memjadi orang yang mengobati kecuali bila kalian memberi upah. Akhirnya mereka sepakat dengan imbalan puluhan ekor kambing. Maka dia berangkat dan membaca (

Alhamdulillah rabbil ‘alamin), seakan penyakit lepas dari ikatan tali padahal dia

pergi tidak membawa obat apapun. Dia berkata: maka mereka membayar upah yang telah mereka sepakati kepadanya. Seorang dari mereka berkata: Bagilah kambing-kambing itu! Maka orang yang mengobati berkata: Jangan kalain

15

(20)

bagikan hingga kita temui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu kita ceritakan kejadian tersebut kepada Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan kita tunggu apa yang akan Beliau perintahkan kepada kita. Akhirnya rombongan menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu mereka menceritakan peristiwa tersebut. Beliau berkata: Kamu tahu dari mana kalau Al Fatihah itu bisa sebagai ruqyah (obat)? Kemudian Beliau melanjutkan: kalian telah melakukan perbuatan yang benar, maka bagilah upah kambing-kambing tersebut dan masukkanlah aku dalam sebagai orang yang menerima upah tersebut. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tertawa. Abu 'Abdullah Al Bukhariy berkata, dan berkata, Syu'bah telah menceritakan kepada kami Abu Bisyir aku mendengar Abu Al Mutawakkil seperti hadits ini. (HR. Bukhori no. 2276)

Sedangkan fuqaha yang memakruhkan pengambilan upah atas pengajaran Al-Quran beralasan, bahwa upah tersebut seperti upah untuk mengajarkan shalat. Mereka mengatakan bahwa upah tersebut bukan pekerjaan mengajar Al-Quran tetapi jampi, baik mantera tersebut memakai Al-Quran atau yang lain.16

Fuqaha yang mengharamkan pengambilan upah atas pengamalan ibadah menggunakan Q.S al Baqarah: 41 sebagai dasar hukum mereka.

ا ث اي ب ا ر ّْ ا ب رفاك ل أ ا

ا ْ ع ا ل اق ص ْلّْأ ا ب ا اء

ق اف ايإ اي ق

Artinya:“Berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (al-Quran) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat). Janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan

harga yang rendah. Hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa.”(QS

al-Baqarah: 41).

Hal itu juga diperkuat lagi dengan pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang pengambilan upah atas hal-hal yang berhubungan dengan ibadah seperti doa, shalat, adzan dll. Menurut Ketua MUI Pusat Cholil Ridwan, titip doa dengan membayar sejumlah biaya itu sama dengan komersialisasi ibadah. "Jadi kalau

16

(21)

ibadah pakai tarif, pakai jasa, biro jasa, itu namanya komersialisasi ibadah. Itu tidak betul. Itu namanya penyimpangan dalam ibadah."17

Dari uraian diatas, maka penulis memilih judul Skripsi TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PROGRAM TITIP DOA DI BAITULLAH.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan mengenai jual beli dan ujrah (upah) sangatlah luas. Agar pembahasan skripsi ini tidak melebar dari yang diinginkan, maka penulis membatasi fokus pembahasan masalah hanya sebatas bagaimana hukumnya menerima upah dari mengamalkan ayat Quran dan bagaimana hukumnya mengkomersilkan ayat Al-Quran.

Dari pembatasan masalah diatas, agar identik dengan perumusan masalah ini, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum menerima upah (ujrah) atas pengamalan ayat Al-Quran ditinjau menurut hukum Islam?

2. Bagaimana hukumnya mengkomersilkan ayat Al-Quran dalam prespektif hukum Islam?

3. Apakah program titip doa di Baitullah dapat dikategorikan sebagai ujrah dari mengamalkan ayat Al-Quran atau jual beli ayat Al-Quran?

4. Bagaimana Tanggapan MUI dan Ulama di Indonesia terhadap Program Titip Doa di Baitullah?

17

(22)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui hukum menerima upah atas pengamalan ayat Al-Quran ditinjau menurut hukum Islam.

b. Untuk mengetahui hukum mengkomersilkan ayat Al-Qur’an dalam prespektif hukum Islam.

c. Untuk mengetahui apakah Program Titip Doa di Baitullah termasuk dalam ujrah (upah) dari mengamalkan ayat Al-Quran atau mengkomersilkan ayat Al-Quran. d. Untuk mengetahui tanggapan MUI dan Ulama di Indonesia mengenai program

titip doa di Baitullah. 2. Manfaat Penelitian

a. Secara Akademis

(23)

b. Secara Praktis

Manfaat penulisan skripsi ini secara praktis adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa ketika saling mendoakan harus disertai dengan rasa ikhlas tanpa imbalan apa pun.

D.Metode Penelitian

Metodologi yang digunakan oleh penulis untuk sampai pada rumusan yang tepat dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Titik tekan penelitian skripsi ini adalah bagaimana hukumnya mendoakan orang lain dengan menentukan tarif sesuai permintaan doa, dan juga pandangan ulama mengenai program titip doa di Baitullah. Oleh karena itu, penelitian skripsi ini termasuk jenis penelitian studi kasus.

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer, yakni Al Qur’an dan hadis dan pendapat ulama di Indonesia.

(24)

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian skripsi ini menggunakan studi pustaka yaitu dengan berbagai literatur yang terkait dengan permasalahan dan studi wawancara yaitu wawancara ke MUI dan Ulama-ulama di Indonesia.

4. Teknik Penulisan Skripsi

Adapun Teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2012.

E. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam (5) lima Bab, dimana masing-masing bab mempunyai sub bahasan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu dalam penulisan skripsi ini sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasan yang utuh. Lebih jelasnya, gambaran sistematika pembahasan penulisan skripsi ini sebagai berikut:

BAB I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, studi pustaka dan sistematika penulisan.

[image:24.612.102.529.98.386.2]
(25)

BAB III membahas mengenai lembaga Sedekah Harian yang melaksanakan program Titip Doa di Baitullah.

BAB IV membahas mengenai hukum titip doa dengan upah, serta analisis kasus.

(26)

16 BAITULLAH

A. Jual Beli Ayat Al-Quran 1. Pengertian Jual Beli.

Muamalah yang paling umum dilakukan oleh masyarakat adalah perdagangan atau transaksi jual beli yang dilakukan pada aset riil maupun finansial.1Jual beli menurut bahasa, yaitu persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual.2 Artinya menukar kepemilikan barang dengan barang atau saling tukar menukar.3Kata al-bai‟(jual) dan al-syira‟(beli) dipergunakan dalam pengertian yang sama.

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama.

1

Muhammad Nafik HR, Bursa Efek dan Investasi Syariah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2009), cet. 1, hal. 79

2

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), Edisi keempat, hal.146

3

(27)

Al-Sayid Sabiq, dalam Fikih Sunnah mendefinisikan jual beli yaitu pertukaran harta dengan harta yang dilandasi saling rela, atau pemindahan kepemilikan dengan penukaran dalam bentuk yang diizikan.4

Ulama hanafiyyah mendefinisikannya dengan

صْ ْج ى ع ل ا ب ل ا ل ا

5

Saling tukar menukar dengan harta melalui cara tertentu”

Ulama Hanafiah membedakan jual beli dalam arti khusus dan umum. Dalam arti khusus, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta. Maksudnya ialah melalui

ij b Q bul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dengan harga dari

penjual dan pembeli.6 Sedangkan dalam arti umum, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta.

Menurut Nawawi, jual beli adalah

ا ْي ْ لا ب لا باق

7

“Menukar harta dengan harta untuk menjadikan hak milik.”

Hasbi Ash-Shiddiqie dalam bukunya yang berjudul Pengantar Fiqih Muamalah, mendefinisikan jual beli dengan

4

Al-Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah: Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), cet. 1, hal. 159

5

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), Cet. 5, hal. 68

6

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet. 2, hal. 111

7 Abī Abdillāh ibnu Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Qudā

(28)

ا لا ى ع اي ْ لا ل ا ْي يل لا ْلاب لا ْلا ل ا ساسأ ى ع قي ْقع

8

“Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah

penukaran hak milik secara tetap.”

Dalam hal ini mereka melakukan penekanan kepada kata “milik dan

pemilikan”, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki,

seperti sewa-menyewa (Ij rah).

Dalam menguraikan apa yang dimaksud dengan al-m l (harta), terdapat perbedaan pengertian antara ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Akibat dari perbedaan ini, muncul pula hukum-hukum yang berkaitan dengan jual beli itu sendiri. Menurut jumhur ulama, yang dikatakan al-m l adalah materi dan manfaat. Oleh sebab itu, manfaat dan suatu benda, menurut mereka dapat diperjualbelikan. Ulama Hanafiyah mengartikan al-m l dengan suatu materi yang mempunyai nilai. Oleh sebab itu, manfaat dan hak-hak, menurut mereka, tidak boleh dijadikan obyek jual beli.

Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.9

2. Dasar Hukum Jual Beli

8

Hasbi Ash-Shiddiqie, pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 97. 9

(29)

Transaksi jual beli yang berlangsung jujur dan adil amatlah ditentukan dalam perdagangan atau bai‟ oleh Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.10 adapun ayat Al-Quran yang mengatur tentang jual beli ialah

 



Artinya:“Hai orang yang beriman, janganlah kalian makan harta yang ada diantara kalian dengan cara yang batil kecuali dengan jalan jual beli, suka sama suka diantara kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha

Penyayang kepada kalian.”(Q. S an-Nisa: 29)

...

Artinya: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q. S al-Baqarah: 275).

Adapun dasar hukum jual beli yang berasal dari hadits nabi diantaranya

ل س س ي ع ها ى ص لا أ ع ها ضر عفار ْب عافر ْ ع

:

بْس ْلا أ

بيْ أ

؟

لاق

:

يب لجرلا ل ع

,

ر رْ عْيب لك

.)

راّ ْلا ا ر

(

11

Artinya:“Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzār)

10

Muhammad Sharif Chaudry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), cet.1, hal. 120

11

(30)

3. Rukun dan Syarat Jual Beli.

Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menetapkan rukun jual beli, para

ulama berbeda pendapat.

Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya ijāb dan qabūlsaja. Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk berjual beli. Namun, karena unsur kerelaan berhubungan dengan sering tidak kelihatan, maka diperlukan indikator yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak. Indikator tersebut bisa dalam bentuk perkataan (ijāb dan kabul) atau dalam bentuk perbuatan, yaitu saling memberi (penyerahan barang, dan penerimaan uang). Dalam fikih, hal ini terkenal dengan istilah “bai al -mu‟ thah.”12

Ijāb menurut ulama Hanafiyah, adalah menetapkan perbuatan khusus yang

menunjukkan kerelaan yang terucappertama kali dari perkataan salah satu pihak, baik dari penjual maupun dari pembeli. Sedangkan qabūl adalah apa yang dikatakan kali kedua dari salah satu pihak. Dengan demikian, ucapan yang dijadikan sandaran hukum adalah siapa yang memulai pernyataan dan menyusulinya saja, baik itu dari penjual maupun pembeli.13

12

M. Ali Hasan, Berbagai Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2004), cet. 2, hal. 118

13

(31)

Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun dari jual beli ada empat yaitu:14 a) qid (orang yang berakad), yakni penjual dan pembeli.

b) Ma‟qūd „alaih (barang yang diperjualbelikan). c) Sighat (lafadz ij b dan qabūl).

d) Harga atau nilai tukar pengganti barang.

Menurut jumhur ulama, syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli, yakni: 1) Syarat ‘ qid. Yaitu:

a) Baligh dan berakal, agar tidak mudah tertipu. Orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya. Sebagaimana firman Allah

 ... Artinya: “Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh.

(Q. S an-Nisa:5)

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh diserahkan kepada orang bodoh. Illat larangan tersebut ialah karena orang bodoh tidak cakap dalam mengendalikan harta, orang gila juga tidak cakap dalam dalam mengelola harta. Sehingga orang bodoh, orang gila dan anak kecil tidak sah melakukan ijāb kabūl. Tetapi anak-anak yang belum baligh dan mengerti jual beli dapat dibolehkan mengadakan jual beli, misalnya jual beli koran, buku-buku dan makanan.15

14

Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), cet.1, hal. 68

15

(32)

b) Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orangkafir untuk merendahkan mukmin. Seperti dalam firmannya

 

Artinya:“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina

orang mukmin.” (Q. S an-Nisa: 14).

c) Kehendak sendiri, tidak dipaksa. Sebagaimana firmanAllah

 



Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta yang ada diantara kamu dengan jalan bathil., melainkan dengan jalan beli suka sama

suka.” (Q. S an-Nisa: 29).

d) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli. Jual beli seperti ini tidak sah.16

2) Ma‟qūd „Alaih (harga atau nilai tukar barang pengganti), yang masing-masing harus memenuhi syarat:17

a) Suci, barang yang najis atau yang haram tidak sah diperjualbelikan dan tidak boleh dijadikan uang untuk keperluan transaksi lainnya.

16

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hal. 116 17

(33)

b) Bermanfaat, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya, mengambil tukarannya juga terlarang karena termasuk dalam arti menyia-nyiakan harta yang terlarang.

c) Keadaan barang itu dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual sesuatu yang tidak dapat diserahterimakan, seperti ikan di laut, barang jaminan, karena semua itu mengandung unsur tipuan.

d) Barang tersebut memang milik penjual atau yangmewakilinya.

e) Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli, baik zat, bentuk, kadar (ukuran/nilai), maupun sifat-sifatnya sehingga diantara keduanya tidak terjadi penipuan.

f) Tidak boleh ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal yang lain.

g) Tidak dibatasi waktunya. Karena jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apa pun kecuali ketentuan syara’.

3) Syarat Sighat (Ijāb dan Kabūl).

Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijāb dan kabūl dilakukan, sebab ijāb dan kabul menunjukan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijāb kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijāb kabul dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijāb dan kabūl.18 Adapun

syarat-syarat ijāb kabūl yaitu:

18

(34)

a) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal. b) Jangan dihalangi dengan kata-kata lain antara ijāb dan kabūl.

c) Dilakukan dalam satu majelis. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa antara ijāb dan kabūl boleh diantarai oleh waktu, yang

diperkirakan bahwa pembeli sempat untuk berpikir. Namun ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jarak antara ijāb dan kabūl tidak terlalu lama, yang dapat menimbulkan dugaan bahwa objek pembicaraan telah berubah.

Dalam hal ijāb kabūl ini, para ulama fikih berbeda pendapat, diantaranya yaitu menurut ulama Syafi’iyah, ijāb kabūl ialah

ل ْلا صب اإ عْي ْلا قعْي ا

ا

ي

19

“Tidak sah akad jualbeli kecuali dengan sighat (ij b kabūl) yang diucapkan.”

Imam Malik berpendapat

ا ْ ْس اْل اب ّل ْ ق ْ ق عْي ْلا إ

20

“Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja.”

Pendapat lainnya ialah akad dengan perbuatan, atau disebut juga dengan aqad bi al-mu‟ thah yaitu

اع ْلا

ا

ْ ب ءأطْعاْلا ْخ اْلا

اك

ْخ أل اف ل ْ ْع ث ا ْيش ر ّْي ْ أك

ْقْلاب ك ْ

ثلا ْيطْعي عئ ا ْلا

21

19 Sohari Sahran, Ru’fah Abdullah,

Fikih Muamalah, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 2011), cet.1, hal. 70

20Sohari Sahran, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah,

hal.70

21

(35)

”Aqad bi al-mu‟athah ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ij b dan kabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai

pembayaran.”

4) Harga atau nilai tukar pengganti barang.

Termasuk unsur penting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang dijual (uang). Terkait dengan masalah ini, para ulama membedakan ats-tsaman dengan as-si‟i. Menurut mereka, ats-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara aktual, sedangkan al-s‟ir adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen. Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harta antar pedagang dan harga antara pedangan dengan konsumen. Oleh karena itu, para ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat ats-tsaman sebagai berikut:22

a) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

b) Boleh diserahkan pada akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian, maka waktu pembayaran harus jelas.

c) Apabila jual beli dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (

al-muqa‟yyadah atau barter), maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’.

22

(36)

4. Jual beli ayat Al-Quran

Jual beli yang sah adalah jual beli yang sesuai dengan perintah syariatdan memenuhi rukun serta syarat dalam jual beli. Dengan terpenuhnya rukun dan syarat ini, kepemilikan atas barang yang dijual dan penukar serta pemanfaatan keduanya menjadi halal. Jika jual beli bertentangan dengan syariat, maka jual beli dinyatakan tidak sah dan batal.

Jual beli yang tidak sah adalah jual beli yang tidak sesuai dengan syarat Islam. Meskipun jual beliini terlaksana, tetapi tidak menetapkan hukum syar’i dan

tidak menghasilkan kepemilikan meskipun pembeli telah menerima barang yang dijual karena sesuatu yang haram tidak bisa menjadi jalan untuk memiliki.23

Mengenai jual beli ayat Al-Quran, dapat dikatakan merupakan jual beli yang tidak sah. Dikarenakan tidak memenuhi rukun maupun syarat-syarat jual beli. Keharaman jual beli ayat Al-Quran juga dijelaskan dalam Q. S at-Taubah: 9

 

Artinya:“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang

mereka kerjakan.” (Q. S at-Taubah: 9)

Surat at-Taubahayat 9 ini merupakan gambaran kaum musyrik, yang biasa menukar ayat-ayat Allah swt dengan harga yang rendah. Mereka memutarbalikkan ayat-ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan dunia, baik berupa

23

(37)

kekuasaan, kepemimpinan, maupun harta dengan cara menghalangi manusia untuk beriman sehingga loyalitasnya tetap untuk mereka.

Sekalipun obyek ayat ini adalah kaum Musyrik, adanya penyifatan, “Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan,” menunjukkan bahwa

siapapun orang yang melakukan perbuatan tersebut berarti melakukan perbuatan paling buruk, yang tentu saja diharamkan.

Keharaman pekerjaan ini juga di tegaskan dalam ayat-ayat Al-Quran lainnya, diantaranya yaitu

  

Artinya: “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan

hanya kepada akulah kamu harus bertaqwa.”(Q. S al-Baqarah: 41)

Dalam kitab tafsir Al-Qurthubī, dijelaskan bahwa makna dari ayat diatas ialah Allah melarang mereka menjadi orang yang pertama kafir dan juga melarang mereka menukar ayat-ayat Allah dengan imbalan. Karena pada waktu itu, para pendeta melakukan hal itu, lalu mereka dilarang darinya. Demikianlah yang dikatakan oleh sekelompok ahli takwil.

Menurut pendapat yang lain, pada waktu itu para pendeta mengajarkan agama mereka dengan imbalan, lalu mereka dilarang mengambil gaji tersebut.

Dalam tafsir Ath-Thabarī, makna dari surat al-Baqarah: 41 adalah Abu ‘Aliyah mengatakan, makna kalimat,“Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku

dengan harga sedikit,” adalah, Janganlah kalian mengambil upah atas ayat-ayat

(38)

“Janganlah kalian mengambil harga (tham‟an, tsaman) sedikit dengan

menyembunyikan nama Allah.24

Jadi, takwil dari ayat tersebut adalah janganlah kalian menjual ilmu yang telah Aku berikan kepada kalian dalam kitab-Ku dan ayat-ayat-Ku dengan harga yang sangat murah dan perhiasan dunia yang sedikit. Penjualan mereka seperti itu berarti mereka meninggalkan keterangan yang ada dalam kitab mereka tentang Nabi Muhammad Saw bagi masyarakat, padahal di dalam kitab itu disebutkan bahwa beliau adalah nabi yang ummi, baik dalam Taurat maupun Injil.

Penjualan ini dilakukan dengan harga murah, yaitu berupa kesukaan mereka untuk mendapatkan kepemimpinan dari golongan dan agama mereka, dan mereka pun mendapatkan imbalan atas apa yang mereka jelaskan kepada masyarakat itu.Contoh lain dari penakwilan ayat di atas yaitu di zaman sekarang banyaknya penegak hukum seperti hakim, jaksa, advokat dll yang seharusnya menegakkan kebenaran dan melantangkan kebenaran, namun fakta yang terjadi di lapangan adalah mereka menutupi kebenaran dan memutarbalikan fakta yang sebenarnya hanya demi kekuasaan maupun kesenangan dunia seperti uang (suap).

Larangan menjual atau menukar ayat-ayat Allah Swt dengan harga sedikit tidak bisa dipahami sebagai kalau harganya mahal adalah boleh. Sebab, sekalipun perbuatannya itu dihargai dengan seluruh dunia dan segala isinya, semua itu tetap sedikit. Dunia dengan segala kesenangannya hanyalah seonggok perhiasan yang

24

(39)

penuh tipuan. Apa yang ada di dunia akan lenyap sementara apa yang ada pada sisi Allah kekal.

Dunia tidak ada artinya apa-apa jika dibandingkan dengan ampunan dan ridha Allah Swt yang salah satu wujudnya adalah surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Kunci agar seseorang tidak terjerumus ke dalam tindakan menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah adalah betul-betul bertakwa kepada Allah Swt. B. Ujrah Atas Pengamalan Ayat Al-Quran

1. Pengertian Ujrah

Al-Ij rahberasal dari kata al-ajru, yang arti menurut bahasanya ialah

al-„iwadh, arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti atau upah. Menurut MA. Tihami,

al-ij rah(sewa-menyewa) ialah akad (perjanjian) yang berkenaan dengan kemanfaatan (mengambil manfaat sesuatu) tertentu, sehingga sesuatu itu legal untuk diambil manfaatnya, dengan memberikan pembayaran (sewa) tertentu.25 Menurut Rachmat syafi’i, ij rahsecara bahasa adalah menjual manfaat.26

Menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ijar h, diantaranya ialah

Menurut Hanafiyah

ْ عب عفا ْلا ى ع ْقع

27

“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”

25

MA. Tihami, Kamus Istilah-istilah dalam Studi Keislaman menurut Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani, (Serang: Suhud Sentra Utama: 2003), hal. 35

26

Rachmat Syafi’i, Fikih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 121 27

(40)

Menurut Malikiyah, ij rahialah

اْ قْ ْلا ْعب

اا ع ْ ى ع قاع لا ي ْس

28

“Namabagiakad-akaduntukkemanfataan yang

bersifatmanusiawidanuntuksebagian yang dapatdipindahkan.” Menurut Syafi’iyah, ij rahialah

ْ ْع ْ عب حاباْلا لْ ْل باق حا ْ ْع ْ صْق ع ْ ى ع ْقع

29

“Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.

Menurut Sayid Sabiq, ij rahialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie, ij rahialah akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.

Sedangkan dalam Peraturan Bank Indonesia, ij rahdidefinisikan dengan transaksi sewa-menyewa atas suatubarang dan atau upah-mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.30

Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat dipahami bahwa ij rahadalah menukarkan sesuatu dengan adanya imbalan. Dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan mengupah. Sewa-sewa-menyewa adalah menjual manfaat, dan upah-mengupah adalah menjual tenaga atau kekuatan.31

28

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,hal. 114 29

Rachmat Syafi’i, Fikih Muamalah, hal. 122 30

Pasal 1ayat (10) Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005

31

(41)

2. Dasar Hukum Ijārah

Dasar-dasar hukum atau rujukan ij rahadalah Quran, Sunnah dan Al-Ijma’. Dasar hukum ij rahdalam Al-Quran adalah



Artinya:“Jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada

mereka upahnya.” (Q. S al-Thalaq: 6)

 

Artinya:“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku, ambillah ia sebagai

orang yang bekerja (pada kit), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang

kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

(Q. S al-Qashash: 26)

    



Artinya:“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah

kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

(Q. S al-Baqarah: 233) 3. Rukun dan Syarat Ijārah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun ij rahhanya ada dua, yakni ijāb dan kabul, dengan menggunakan kalimat al-ij rah, al-isti‟jar, al-iktira, dan al-ikra. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa rukun ij rahada empat, yaitu:32

a) „ qid (Orang yang berakad), yaitu mu‟jir/muajir (orang yang menyewakan atau memberikan upah) dan musta‟jir (orang yang sesuatu atau yang menerima upah). b) Shigat akad, yaitu ijāb kabūl antara mu‟jir dan musta‟jir.

32

(42)

c) Ujr h (upah).

d) Ma‟qud „alaih/manfaah (manfaat/ barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan).

Adapun yang menjadi syarat ij rahyang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, adalah:

a) Syarat ‘ qid.

Menurut ulama Hanafiyah, syarat untuk qid (orang yang berakad) harus berakal dan mumayyiz, tidak disyaratkan harus baligh. Sedangkan ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ij rahdan jual beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan aqid

harus mukallaf yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dikategorikan ahli akad. Syarat selanjutnya adalah cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) dan saling meridhai diantara kedua belah pihak.

b) Sighat.

Sighat adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa.

c) Ujrah (upah).

Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:

a. Berupa harta tetap yang diketahui oleh kedua belah pihak.

(43)

d) Ma‟qud „alaih

Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan barang yang disewakan dengan beberapa syarat, yaitu:

1) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.

2) Hendaklah barang yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).

3) Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’, bukan hal yang diharamkan.

4) Benda yang disewakan disyaratkan kekal zatnya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.

4. Upah atas pengamalan ayat-ayat Al-Quran

Mengenai upah yang diberikan kepada orang yang melakukan suatu ibadah, diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama karena berbedanya cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini, sehingga berbeda pula pendapat mereka mengenai ketentuan hukumnya. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijārah dalam perbuataan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca Al-Quran yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu haram hukumnya.

(44)

Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia, apabila seorang Muslim meninggal dunia, maka keluarganya memerintah kepada orang lain yang pandai membaca Al-Quran untuk membacakan Al-Quran di rumahnya atau di kuburan secara bergantian selama tiga malam bila yang meninggal belum dewasa, tujuh malam bagi orang orang meninggal yang sudah dewasa dan bahkan mencapai empat puluh malam, yang nantinya orang tersebut akan diberikan upah atas jasanya tersebut.

Pekerjaan seperti ini batal menurut hukum Islam karena yang membaca Al-Quran bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya.33

Menurut mazhab Hanbali, tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan seperti azan, iqamat, mengajar Al-Quran dll. Semua itu tidak dicatat kecuali sebagai ibadah orang yang mengerjakannya dan haram baginya mengambil upah atasnya. Namun demikian, diperbolehkan mengambil upah dari baitul mal atau dari wakaf atas amal yang manfaatnya dapat dirasakan orang banyak. Seperti pengadilan, pengajaran Al-Quran, perwakilan dalam haji dll. Karena semua ini terdapat kemaslahatan bersama. Ini bukanlah upah melainkan upaya untuk membantu pelaksanaan ibadah.34

Ulama yang berpendapat tidak boleh berpegang pada beberapa hadits nabi, diantaranya

33

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hal. 119

34

(45)

ْ ع راسي ْب يعس ْ ع راصْأا ر ْع ْب ْحرلا ْع ْب لا ْع لا ىبأ ْ ع

ْج ب ىغ ْي ا ا ْع ع ْ س ْي ع لا ى ص لا ل سر لاق لاق رْير ىبأ

ايقْلا ْ ي جْلا فْرع ْ جي ْ ل ايْ لا اضرع ب بيصيل اإ ع ي ا لج ّع لا

)

با ا ر

)

35

Artinya: “Dari Abi Thawalah ibn Abdi al-Rahman ibn Ma‟mari al-Anshari dari Sa‟id dari Yasar dari Abi Hurairah, telah berkata Rasulullah Saw,barang siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya untuk mencari ridha Allah Azza wa Jalla, kemudian dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta duniawi, maka dia tidak akan menemukan bau surga padahari kiamat.” (HR. Abu Daud)

لْ أ ْ اسا ْ ع لاق اصلا ْب ا ع ْ ع ْعث ْب ْسأا ع ىس ْب ا ع ْ ع

ىف ا ْع ى ْرأ لا ب ْ سْيل ْقف اسْ ق ْ ْ لجر ىلإ ْ أف با ْلا آْرقْلا صلا

ا ب ط ْ أ رس ْ إ لاقف ا ْع س ْي ع لا ى ص لا ل سر ْلأسف لا لي س

ا ْ ْقاف را ْ اقْ

(

جا با ا ر

)

36

Artinya:“Dari „Ubadah ibn Nasa‟i dari Aswad ibn Ta‟labah dari „Ubadah ibn Shamit, berkata, aku mengajarkan Al-Quran dan menulis kepada orang-orang dari ahlu Ash-Shufah (orang-orang-orang-orang miskin yang tinggal di teras masjid). Seseorang lelaki dari mereka kemudian menghadiahiku sebuah busur panah. Menurutku busur panah ini bukanlah harta, tetapi aku akan menggunakanya di jalanAllah. Aku kemudian menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw, lalu beliau bersabda: “Jika engkau ingin dibelenggudengan

belenggu api, maka terimalah busur panah itu.” (HR. Ibnu Majah)

Sementara para ulama mazhab Maliki, Syafi’i dan Ibnu Hazm membolehkan pengambilan upah dari mengajarkan Al-Quran dan ilmu pengetahuan karena hal tersebut termasuk bagian dari suatu pekerjaan yang berhak untuk mendapatkan imbalan tertentu. Ibnu Hazm berkata, boleh memberi upah kepada seseorang untuk

35

Sulaiman bin Al-Asy’as bin Syidad bin amar, Sunan Abu Daud, (Beirut, Dar al-Fikr, t.th), Juz. 11, hal 68, No. 3666

36

(46)

mengajarkan Al-Quran dan ilmu pengetahuan, baik upah diberikan setiap bulan maupun saat itu juga.

Ulama yang membolehkan berpendapat bahwasannya pekerjaan mengajarkan Al-Quran sama dengan pekerjaan yang lain.37 mereka berpedoman pada sebuah hadits

ضر يعس بأ ْ ع لك ْلا بأ ْ ع رّْب بأ ْ ع ا ع بأ ا ث ح ا ْع لا بأ ا ث ح

س ْي ع لا ى ص لا احْصأ ْ ر طْا لاق ْع لا

:

ا رفاس رْس ف

رعْلا ءايْحأ ْ ح ى ع ا لّ ى ح

˛

ْ فاض ْساف

˛

ْ

يضي ْ أ اْ بأف

˛

يس ف

حْلا كل

˛

ءْ ش ل ب ل اْ عسف

˛

ءْ ش ع ْي ال

˛

ْ ضْعب لاقف

:

طْ رلا ءال ْ ْي أ ْ ل

ا لّ ي لا

˛

ءْ ش ْ ضْعب ْع

ي ْ أ عل

˛

ا لاقف ْ ْ أف

:

ا يس إ طْ رلا ا يأ اي

ل

˛

ع ْي ال ءْ ش ل ب ل ا ْيعس

˛

ءْ ش ْ ْ ْ حأ ْع ْل ف

?

ْ ضْعب لاقف

:

ْ ع

قْرأل إ لا

˛

ا يض ْ ف ْ كا ْض ْسا ْ قل لا ْ ل

˛

ا عْج ى ح ْ ل ارب ا أ ا ف

ا ْعج ا ل

˛

غْلا ْ عيطق ى ع ْ حلاصف

.

ْي ع ل ْي طْاف

˛

أرْقي

)

ر ل ْ حْلا

ي لاعْلا

(

لاقع ْ طّ ا أ ف

˛

ق ب ا ّْ ي طْاف

.

لاق

:

لا ْ ْعج ْ ْ فْ أف

ْي ع ْ حلاص

˛

ْ ضْعب لاقف

:

ا سْقا

˛

ىقر لا لاقف

:

ى ص لا ْأ ى ح ا عْ ال

اك لا ل ركْ ف س ْي ع لا

˛

ا ر ْأي ا رظْ ف

.

لا ى ص لا ل سر ى ع ا قف

س ْي ع

˛

ل ا رك ف

˛

لاقف

:)

يْقر ا أ كيرْ ي ا

؟

(

لاق ث

:)

ْ ْصأ ْ ق

.

ا سْقا

ا ْ س ْ ع ل ا برْضا

(

س ْي ع لا ى ص لا ل سر كحضف

.

لا ْع بأ لاق

ا ب لك ْلا ابأ ْع س رّْب بأ ا ث ح ْعش لاق

(

رير با ا ر

)

38

Artinya:“Telah menceritakan kepada kami Abu An-Nu‟man telah telah menceritakan kepada

kami Abu „Awanah dari Abu Bisyri dan Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa‟id radiallahu „anhu berkata: Ada rombongan orang dari sahabat Nabi SAW yang

37

Ibnu Rusyd, Bid yatu Al-Mujtahid, penerjemah: Abdul Rasyid Shiddiq, (Jakarta: Akbar Media, 2013), cet.1, hal.389

38

(47)

bepergian dalam suatu perjalanan hingga ketika mereka sampai di salah satu perkampungan Arab, mereka meminta kepada penduduk setempat agar bersedia menerima mereka sebagai tamu penduduk tersebut, namun penduduk menolak. Kemudian kepala suku kampung tersebut terkena sengatan binatang, lalu diusahakan segala sesuatu untuk menyembuhkannya namun belum berhasil. Lalu diantara mereka ada yang brekata, coba kalian temui rombongan itu, semoga ada diantara mereka yang memiliki sesuatu. Lalu mereka mendatangi rombongan dan berkata: Wahai rombongan, sesungguhnya kepala suku kami telah digigit binatang dan kami telah mengusahakan pengobatannya namun belum berhasi. Apakah diantara kalian yang dapat menyembuhkannya?, maka berkata seseorang dari rombongan: Ya, demi Allah aku akan mengobati namun demi Allah kemarin kami meminta untuk menjadi tamu kalian namun kalian tidakberkenan maka aku tidak akan memjadi orang yang mengobati kecuali bila kalian memberi upah. Akhirnya mereka sepakat dengan imbalan puluhan ekor kambing. Maka dia berangkat dan membaca ( Alhamdulillah rabbil „alamin), seakan penyakit lepas dari ikatan tali padahal dia pergi tidak membawa obat apapun. Dia berkata: maka mereka membayar upah yang telah mereka sepakati kepadanya. Seorang dari mereka berkata: Bagilah kambing-kambing itu! Maka orang yang mengobati berkata: Jangan kalain bagikan hingga kita temui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu kita ceritakan kejadian tersebut kepada Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan kita tunggu apa yang akan Beliau perintahkan kepada kita. Akhirnya rombongan menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu mereka menceritakan peristiwa tersebut. Beliau berkata: Kamu tahu dari mana kalau Al Fatihah itu bisa sebagai ruqyah (obat)? Kemudian Beliau melanjutkan: kalian telah melakukan perbuatan yang benar, maka bagilah upah kambing-kambing tersebut dan masukkanlah aku dalam sebagai orang yang menerima upah tersebut. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tertawa. Abu 'Abdullah Al Bukhariy berkata, dan berkata, Syu'bah telah menceritakan kepada kami Abu Bisyir aku mendengar Abu Al Mutawakkil seperti hadits ini. (HR. Bukhori no. 2276)

(48)

orang yang melaksanakannya, sedangkan mengajarkan Al-Quran adalah ibadah yang dapat menjangkau selain orang yang mengajarkannya.39

Berdasarkan hal ini, maka orang yang mengajarkan Al-Quran dan ilmu boleh mengambil upah, karena dia telah berusaha untuk mentransferkan pengetahuannya kepada murid, tidak ubahnya seperti mengajarkan untuk menulis Al-Quran.

C. Gambaran Umum Mengenai Baitullah 1. Profil Kota Mekkah

a. Posisi Mekkah al-Mukarramah

Mekkah al-Mukarramah berada di bagian barat wilayah pemerintahan Arab Saudi yang berada di tanah Hijaz. Tepatnya di tengah lembah yang dikelililngi gunung-gunung di sekitarnya yang melingkari Ka’bah. Kawasan -kawasan yang rendah di sekitar Mekkah disebut dengan al-Batha’. Sedangkan bagian timur Masjidil Haram disebut dengan Ma’la, bagian barat dan selatan

disebut dengan Mislafah.

Mekkah memiliki pintu masuk utama yaitu Ma’la, Mislafah dan Syakibah.

Secara ilmu falak, Mekkah berada pada derajat 19, 25, 21 lintang utara; 46, 49 dan 39 lintang timur; dan berada padaketinggian 300 meter di atas laut. Mekkah sendiri merupakan pusarnya bumi.40

39

Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, penerjemah: Faturrahman dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), hal. 739

40

(49)

Allah telah memilih Mekkah sebagai tempat bangunan rumah-Nya dan tempat kelahiran nabi Muhammad sebagai nabi penutup dari semua nabi. Allah telah menjadikan Mekkah sebagai tempat beribada hamba-hambanya, dan mewajibkan mereka untuk datang ke tempat itu baik yang berada dekat maupun jauh.

Selain itu, Allah akan mengampuni dosa-dosanya siapa saja yang datang dan berdoa disana. Tidak ada satu tanah pun di muka bumi yang wajib didatangi oleh orang yang mampu, kecuali Mekkah. Allah telah mensyariatkan pada manusia untuk berthawaf di Baitullah dan tidak mewajibkan hal itu di tempat lain. Disebutkan bahwa di sana terdapat tempat-tempat yang doa-doa lebih gampang dikabulkan, ketergelinciran diampuni, kesalaha-kesalahn dihapuskan, dan disingkapkan semua kesulitan-kesulitan.

Kota Mekkah erat hubungannya dengan pembangunan Ka’bah. Sebelum

Islam, kota tersebut lebih dikenal dengan nama Bakkah. Adapun bangunan yang berada ditempat itu disebut dengan Ka’bah.Jadi, penyandangan nama Mekkah

terhadap tempat itu jelas setelah Islam turun.41

Kota Mekkah banyak disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya adalah



Gambar

gambaran umum mengenani Baitullah.

Referensi

Dokumen terkait

layanan juga merupakan bukti fisik dari semua pelayanan yang diberikan selama proses pemberian pelayanan di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Pneumothorax tertutup yaitu suatu pneumothorax dengan tekanan udara di rongga pleura yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi hemithorax kontralateral tetapi

Mahasiswa mencari informasi dari berbagai sumber buku, jurnal dan Internet Indikator  Ketepatan menjelaskan tentang Sistem Pencernaan Bentuk non-test;  Tulisan makalah

Tema penelitian yang dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2010 ini adalah ektoparasit pada burung tekukur dan puter, dengan judul Ragam Jenis Ekoparasit Burung

Dampak-dampak dari Gaya komunikasi pemimpin dan motivasi kerja dalam meningkatkan kinerja pelayanan publik di Kelurahan Tunggulwulung antara lain koordinasi antara

Nahiz eta, gure ustez, argi dagoen Fredulforen eta Valpuestaren arteko lotura (jarraikortasun bat duena bere familiako kideen artean eta Joanen dohaintza

Hasil penelitian menunjukkan genus yang paling banyak ditemukan pada perakaran bawang mekah ( E. americana ) adalah genus

Penggunaan Sistem Rangka Bresing Eksentrik (SRBE) dirasa sangat cocok dalam perencanaan bangunan gedung bertingkat yang tahan terhadap beban gempa dikarenakan pada