BAB II KAJIAN PUSTAKA
D. Kajian Umum Tentang Perempuan
1. Teori Hukum Feminis
Teori hukum feminis atau feminist legal theory (FLT) muncul pertama kali pada tahun 1970-an di Amerika bersamaan dengan berkembangnya gerakan Critical Legal Studies (CLS). Sebagai sebuah pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap
29
berlakunya hukum terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari hukum, pokok teori hukum feminis dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan CLS, maka teori hukum feminis diamsukkan dalam salah satu bab di dalam pembahasan CLS.30
Banyak para ahli yang belum dapat menerima dasar teori dari CLS, karena CLS masih di identifikasi sebagai sebuah gerakan semata. Sebagai sebuah gerakan, walaupun menuai kritik dari banyak kalangan karena diidentifikasi mengandung beberapa kontradiksi di dalam dirinya sendiri, namun para penganut gerakan CLS menyatakan bahwa apa yang dikemukakan akan bermanfaat bila dikombinasikan dengan Hermeneutika31 untuk menafsirkan kembali apa yang telah didekonstruksikan sebelumnya.
Pihak yang mengemukakan teori hukum feminis beserta CLS menganggap bahwa keberlakuan hukum dilihat dari sudut pamdang laki-laki, demikian pula dengan pemikiran-pemikiran yurisprudensi. Artinya adalah laki-laki yang menyusun hukum dan teori tentang hukum. Nilai-nilai laki-laki dalam hukum itulah yang kemudian berdampak kepada kelompok lain yang tidak terwakili dalam nilai-nilai tersebut, sehingga nilai-nilai yang umum dan absolut dianggap meniadakan adanya nilai yang lain.
30
Niken Savitri, HAM Perempuan- Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung, 200, hlm. 26.
31 Jazim Hamidi, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Intrepetasi Teks, Penerbit UII Press. 2005, hlm. 20. Pengertian Hermeneutika dapat dipahami sebagai proses mengubah sesuatu situasi dari ketidaktahuan menjadi mengerti. Pengertian tersebut merupakan peralihan dari sesuatu yang relatif abstrak dan gelap kepada ungkapan pikiran yang lebih jelas dalam bentuk bahasa yang dipahami manusia.
30
Para feminis yakin bahwa sejarah ditulis melalui sudut pandang laki-laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan perempuan di dalam pembuatan dan penyusunan sejarah. Walaupun feminis memiliki komitmen umum untuk kesetaraan, feminist jurisprudence32 terpisah ke dalam tiga aliran besar yaitu feminis tradisional, feminis liberal, dan feminis kultural. Feminis tradisional menyatakan bahwa perempuan sama rasionalnya dengan laki-laki dan karenanya harus memiliki kesempatan yang sama dalam memilih. Feminis liberal menentang asumsi adanya kewenangan laki-laki dan berusaha menghapus perbedaan gender yang disebabkan oleh hukum yang sekaligus membuat perempuan mampu bersaing di dalam pasar bebas. Feminis kultural memfokuskan diri pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam pengkajian teori hukum feminis terdapat hal penting berupa cara berpikir yang digunakan, yaitu analisis khususnya yang berkaitan dengan pengalaman perempuan, adanya bias gender secara implisit, jeratan/ikatan ganda dan dilema dari perbedaan, reproduksi model dominasi laki-laki, serta membuka pilihan-pilihan perempuan.33 2. Teori Kriminologi
a. Kriminologi Feminis antara lain:34
32 Niken Savitri, HAM Perempuan-Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 27. Feminist jurisprudence adalah filsafat hukum yang didasarkan pada kesetaraan dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Melalui beberapa pendekatan, feminis telah mengidentifikasikan unsur-unsur gender dan akibatnya pada hukum yang netral serta elaksanaannya. Hukum akan mempengaruhi masalah-masalah perkawinan, perceraian, hak reproduksi, perkosaan, dan kekerasan terhadap perempuan.
33 Niken Savitri. Ibid., hlm. 28.
31
Teori Feminist Pathways
Mungkin terobosan yang paling besar dalam teori dan penelitian Kriminologi Feminis adalah model Feminist Pathways. Dalam upaya untuk menunjukkan bagaimana kejahatan wanita terkait dengan pengalaman kehidupan wanita dan anak perempuan, teori ini berfokus pada cara-cara dimana tempat/kedudukan wanita di dalam masyarakat mengarahkan mereka kepada gaya hidup kriminal. Anak perempuan dan wanita telah menghadapi keterlibatan mereka dalam perilaku yang sebagian besar dilakukan pria. Teori Feminist Pathways berupaya meneliti perempuan dan pelanggaran yang mereka lakukan.
Kriminologi Socialist Feminist
Sebagian dari kritik kaum feminis terhadap kriminologi adalah pemeriksaan atau penelitian kejahatan tidak bergender. Keilmuan kriminologi feminis telah mengarah kepada upaya untuk memasukkan sebuah pemahaman yang lebih jelas tentang pengalaman baik pria maupun wanita. Masserschmidt (1986) berfokus pada cara-cara dimana kapitalisme patriarchal membangun pengalaman-pengalaman baik pria maupun wanita. Dia meletakkan sebuah teori yang berupaya mencoba menjelaskan baik kejahatan pria maupun kejahatan wanita dari berbagai tipe dan mengatakan bahwa seseorang tidak bisa mengabaikan baik struktur ekonomi atau hubungan gender
32
dalam hubungan sesungguhnya apapun dari kejahatan. Teorinya menyatakan bahwa pria kelas rendah yang dimarjinalkan dan minoritas terlibat dalam kejahatan jalanan karena peluang mereka yang terhalang dan peran mereka sebagai pria dalam masyarakat kapitalistis patriarchal. Sebaliknya, struktur hubungan gender dalam masyarakat cenderung untuk menempatkan kejahatan wanita kepada penipuan dan pencurian kecil-kecilan (level rendah).
b. Teori-teori Penyimpangan Budaya (Cultural Deviance Theories) Teori-teori penyimpangan budaya berargumen bahwa masyarakat kita terdiri atas kelompok dan sub-kelompok yang berbeda, masing-masing dengan standart atau ukuran benar dan salahnya sendiri. Tingkah laku yang dianggap normal di satu masyarakat mungkin dianggap menyimpang oleh kelompok lain.35 Cultural Deviance Theories memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada kelas menengah kebawah yang menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat. Tiga teori utama dari Cultural Deviance Theories adalah:36
a) Social disorganization.
Social disorganization theory memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka kejahatannyatinggi yang
35
Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 68.
33
berkaitan dengan desintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan urbanisasi.
b) Differential association.
Differential association theory memegang pendapat bahwa orang belajar melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan dengan nilai-nilai dan sikap-sikap anti sosial, serta pola-pola tingkah laku criminal.
c) Culture conflict.
Culture conflict theory menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang berlainan belajar aturan yang mengatur tingkah laku berbeda, dan bahwa aturan tersebut dari suatu kelompok mungkin berbenturan dengan aturan-aturan konvensional kelompok lainnya.
E. Kajian umum tentang Penyidik dalam Sistem Peradilan Pidana